4. Pahala Haji
Tentang sampainya pahala haji kepada orang yang sudah
meninggal dunia, disebutkan di dalam Shahih al-Bukhari
sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ
عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ
بِالْوَفَاءِ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang
wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun
dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku
menghajikannya?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana
pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?
Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk
dibayar.” (HR Imam Bukhari).
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa
pahala amal haji yang ditunaikan oleh seorang anak boleh dihadiahkan untuk
ibunya yang telah meninggal dunia, sehingga hutang nadzar ibunya itu menjadi
terbayar dan ia tidak lagi berdosa karena nadzarnya itu di hadapan Allah subhanahu
wa ta’ala. Hal
ini sesungguhnya merupakan bentuk rahmat Allah terhadap hamba-Nya, yang mana
suatu kelalaian yang dilakukannya semasa kehidupannya di dunia hingga bisa
membahayakan bagi kehidupannya di akhirat dapat diselesaikan oleh anak-anaknya
yang masih hidup. Anak-anak yang baik tentu bisa menolong ibu-bapaknya, baik
ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya.
Hadits yang senada dengan hadits di atas juga
diriwayatkan oleh Imam Nasa’i sebagai berikut:
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَتْ
امْرَأَةٌ سِنَانَ بْنَ سَلَمَةَ الْجُهَنِيَّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ
عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا
دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ
أُمِّهَا
Artinya: “Bahwasanya Ibnu Abbas berkata, “Isteri
Sinan bin Salamah memerintahkan untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ibunya telah meninggal dan belum melakukan haji, apakah
sah ia melakukan haji untuk ibunya? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ya, apabila ibunya memiliki hutang kemudian ia membayarnya
bukankah hal tersebut adalah sah? Maka hendaknya ia berhaji untuk ibunya.”
(HR Imam Nasa’i).
Mari kita simak lagi hadits berikutnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ الْفَضْلُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ
يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اْلآخَرِ فَقَالَتْ
إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى
الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ وَذَلِكَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika al-Fadhal
membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang wanita
dari suku Khats’am sehingga al-Fadhal memandangnya dan wanita itu pun memandang
kepadanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalihkan wajah al-Fadhal
ke arah yang lain. Wanita itu berkata, “Sesungguhnya kewajiban yang telah Allah
tetapkan sampai kepada bapakku ketika dia sudah berusia lanjut sehingga dia
tidak mampu untuk menempuh perjalanannya, apakah boleh aku menghajikannya?”
Beliau menjawab, “Ya.” Peristiwa ini terjadi pada Haji Wada’.” (HR Imam
Bukhari)
Pada hadits ini dijelaskan
tentang kebolehan seorang anak perempuan untuk menggantikan orangtuanya (dalam
hal ini bapaknya) untuk mengerjakan ibadah haji, dan amal tersebut bisa
membebaskan bapaknya dari kewajiban ibadah haji. Kalau kita perhatikan makna yang terkandung di dalam
hadits tersebut akan kita dapatkan informasi bahwa amal yang dilakukan seorang
anak pahalanya bisa diberikan untuk bapaknya yang masih hidup. Sedangkan pada
hadits sebelumnya, amal seorang anak dapat dihadiahkan atau diberikan pahalanya
untuk ibunya yang telah tiada. Dengan kata lain, pahala dari amal yang
dilakukan seseorang bisa berpindah atau diambil manfaatnya oleh orang lain,
tentu saja apabila orang yang mengerjakan amal tersebut meniatkannya untuk
orang yang ia maksudkan.
Mungkin Anda akan berkata bahwa
amal anak adalah amal kedua orangtuanya juga, sehingga tidaklah menjadi masalah
bila si anak melakukan ibadah haji yang pahalanya ia niatkan untuk bapak atau
ibunya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Lalu, adakah hadits yang memperlihatkan bahwa
seseorang melaksanakan ibadah haji yang pahalanya ia niatkan untuk orang lain
selain kedua orangtuanya? Ya, tentu saja ada. Perhatikanlah hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاًَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ
مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيْبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ
قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan: Labbaika ‘an Syubrumah (ya
Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya, “Siapakah
Syubrumah itu?” Dia menjawab. “Saudaraku! atau kerabatku!” Beliau bertanya,
“Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab,
“Belum!” Beliau berkata, “Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah
untuk Syubrumah.” (HR Imam Abu Dawud).
Hadist ini menjelaskan bahwa ibadah haji yang
seharusnya ditunaikan oleh seseorang boleh digantikan oleh orang lain. Tentu
saja jika seseorang yang seharusnya menunaikannya itu memiliki uzur syar’i,
misalnya sudah terlalu tua atau sudah meninggal dunia. Hadits ini juga tidak
menjelaskan antara seorang anak dengan bapaknya atau dengan ibunya, namun
antara seseorang dengan kerabatnya.
Hadits ini menegaskan bahwa pahala haji seseorang
boleh dihadiahkan atau diberikan kepada orang lain. Hadits ini pula yang
menjadi dasar bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada orang lain guna
menghajikan orang-orang yang telah meninggal dunia yang semasa hidupnya belum
sempat menunaikan ibadah haji. Tentu saja orang yang diminta untuk menghajikan
itu sebelumnya telah menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana
yang diisyaratkan dalam hadits di atas.
Dengan demikian tuduhan sebagian orang bahwa
menghajikan orang lain yang telah wafat itu sebagai sebuah perbuatan bid’ah
tidaklah benar. Hadits ini adalah dalil untuk amaliah yang demikian itu.
5. Pahala Kurban
Menyembelih kurban adalah ibadah
sunnah, bahkan menjadi wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya minimal
sekali seumur hidupnya. Namun
demikian tetap disunnahkan untuk berkurban setiap tahun apabila seseorang
memiliki kemampuan untuk itu. Nah, Islam membolehkan menyembelih hewan kurban
dan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal dunia. Simaklah hadits-hadits berikut ini.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan sebagai
berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِيْ سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِيْ سَوَادٍ
وَيَنْظُرُ فِيْ سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا
عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ
ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ
بِاسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Artinya: “Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk
yang di kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua
matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau
untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bawalah
pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu.”
Lantas Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah diasah, beliau
mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau
menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan, “Dengan nama Allah, ya Allah,
terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian
beliau berkurban dengannya.” (HR Imam Muslim).
Dalam doa yang dibaca Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam saat menyembelih domba, sebagaimana yang disebutkan di
atas, tekandung makna pahala dari kurban tersebut beliau harapkan kepada Allah
agar juga diberikan kepada keluarga dan umat Islam secara keseluruhan. Yang berkurban itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun pahalanya tidak hanya untuk beliau tapi juga untuk
keluarga dan seluruh umat beliau. Umat Rasulullah yang dimaksud dalam doa
tersebut bukan hanya yang hidup, tapi juga yang telah wafat; bukan hanya yang
hidup sezaman dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi juga
umat beliau yang hidup saat ini, bahkan yang hidup pada masa-masa yang akan
datang.
Artinya, melalui hadits ini
secara tidak langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kita bahwa berkurban lalu pahalanya diniatkan untuk orang
yang telah tiada adalah diperbolehkan, dan pahalanya akan sampai dan diperoleh
oleh si mayit. Orang
yang telah meninggal dunia itu akan memperoleh manfaat dari ibadah kurban yang
dilakukan oleh orang yang masih hidup yang diniatkan untuk dirinya.
Berkurban yang pahalanya diniatkan untuk orang yang
telah meninggal dunia sesungguhnya bukanlah perkara baru. Bahkan Ali bin Abu
Thalib ra telah melakukannya. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍِّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي
بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَاْلآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ أَمَرَنِيْ بِهِ يَعْنِي
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا
Artinya: “Dari Hanasy dari Ali bahwasanya ia pernah
berkurban dengan dua ekor kambing; seekor untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan seekor lagi untuk dirinya sendiri, hingga ia pun ditanya tentang hal
itu. Ali menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal
itu kepadaku, maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya.” (HR Imam
Tirmidzi).
Demikian jelas dalam hadits ini
diterangkan bahwa menyembelih kurban lalu pahalanya diniatkan untuk orang yang
telah meninggal dunia diperbolehkan dan si mayit akan memperoleh manfaat dari
amaliah itu. Ali bin Abu Thalib ra
telah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan
hal itu, sehingga beliau selalu berkurban dengan dua ekor kambing: yang satu
atas nama dirinya dan yang satu lagi atas nama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dengan perbuatannya itu, Ali bin Abu Thalib ra
sesungguhnya sedang menghadiahkan pahala kurban untuk Baginda Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin saat ini ada orang yang
mengatakan bid’ah dan haram menghadiahkan pahala bacaan surat al-Fatihah untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dengan tuduhan seperti itu,
sebenarnya mereka telah menuduh Ali bin Abu Thalib berbuat bid’ah. Nauudzubillah!
6. Membayar Hutang
Hutang adalah tanggungan yang harus dibayar oleh orang
yang berhutang baik sendiri ataupun melalui kuasanya bila telah mampu
membayarnya. Bagi orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai hutang, maka
hutangnya itu boleh dilunasi oleh keluarganya atau orang lain yang secara
ikhlas bersedia menanggungnya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ
حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang Mukmin itu terhalang dengan hutangnya
hingga dibayar hutang tersebut.” (HR Imam Tirmidzi).
Apa pun makna terhalang dalam hadits tersebut, pada
intinya adalah berupa kesulitan. Nah, Seorang Mukmin yang telah meninggal dunia
akan mengalami kesulitan jika ia meninggalkan hutang hingga hutangnya dibayar
lunas. Lalu, siapakah yang melunasi hutangnya itu? Mungkinkah dia yang telah
tiada itu mampu dengan sendirinya melunasi hutang-hutangnya? Tentu saja tidak.
Yang melunasinya adalah orang-orang yang masih hidup, baik dari kalangan
keluarganya maupun orang lain. Artinya, perbuatan orang hidup yang melunasi
hutang-hutangnya itu bermanfaat baginya sekalipun ia telah meninggal dunia.
Bukankah ini menunjukkan dalil bahwa amaliah orang yang hidup bermanfaat bagi
orang yang telah meninggal dunia?
Umat Islam sepakat bahwa hutang
orang yang telah meninggal dunia bisa dilunasi orang lain yang bukan termasuk
ahli warisnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Abu Qatadah, bahwa dia
pernah melunasi hutang seseorang yang sudah meninggal dunia sebanyak dua dinar.
Setelah hutang itu dilunasi, maka
Nabi Saw bersabda, “Sekarang kulitnya terasa dingin olehnya.” (HR Imam
al-Hakim).
Umat Islam juga sepakat bahwa
seseorang yang telah meninggal dunia, namun memiliki hutang kepada orang yang
masih hidup, lalu orang yang masih hidup ini membebaskan hutang itu
(menganggapnya telah lunas/mengikhlaskannya), maka hal itu juga bermanfaat bagi
orang yang telah meninggal dunia, sehingga dia terbebas dari tanggungannya
kepada orang yang masih hidup itu.
7. Pahala Bacaan al-Qur’an
Membaca al-Qur’an adalah ibadah yang memberikan pahala
bagi pelakunya. Itulah sebabnya setiap Muslim dianjurkan untuk membaca
al-Qur’an, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada
kita bahwa kelak pada hari kiamat al-Qur’an itu akan datang kepada para
pembacanya untuk memberikan syafaat. Karena membaca al-Qur’an mengandung
pahala, maka pahala membaca al-Qur’an ini pun diperbolehkan untuk dihadiahkan
kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan hal itu telah menjadi pendapat mayoritas
ulama.
Ada pun dalil-dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama
untuk mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada si mayit adalah
sebagai berikut:
Pertama, pahala bacaan al-Qur’an itu
dianalogikan (qiyas) dengan pahala doa, sedekah, haji dan memerdekakan
budak yang dapat dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia. Menurut mayoritas ulama tidak ada perbedaan antara
pahala haji, sedekah, wakaf, dan doa dengan pahala bacaan al-Qur’an. Dengan
bahasa yang lebih sederhana semua yang dihadiahkan kepada orang yang telah
tiada itu adalah sama, yakni pahala.
Kedua, tradisi
kaum salaf dari kalangan shahabat Anshar yang membacakan al-Qur’an di makam
keluarga mereka yang meninggal dunia. Al-Khallal meriwayatkan hadits berikut
ini:
عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ
كَانَتِ اْلأَنْصَارُ اِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا اِلَى قَبْرِهِ
يَقْرَءُوْنَ لَهُ الْقُرْآنَ
Artinya:
“Asy-Sya’bi berkata, “Kaum Anshar, apabila seseorang di antara mereka
meninggal dunia, maka mereka selalu mendatangi makamnya membacakan al-Qur’an
untuknya.” (HR Imam Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Juz 4,
halaman 236, dan Imam al-Khallal dalam al-Amr bil Ma’ruf wa al-Nahyi ‘ani
al-Munkar, halaman 89).
Ketiga,
ada banyak hadits yang menunjukkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada
orang yang telah meninggal dunia, antara lain hadits-hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَاَسْرِعُوْا إِلَى
قَبْرِهِ وَلْيَقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ
Artinya:
“Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila di antara kamu ada yang meninggal dunia, janganlah kamu tahan
lama-lama dan segerakanlah menguburnya dan agar dibacakan surat al-Fatihah di
atas kepalanya.” (HR Imam Thabrani dan Imam Baihaqi).
عَنْ عَلِيٍّ مَرْفُوْعًا:
مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ (قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ) إِحْدَى عَشَرَةَ
مَرَّةًَ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهُ لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ
اْلاَمْوَاتِ
Artinya:
“Dari Ali secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam), “Barangsiapa yang melewati makam, lalu membaca Qul huwallaahu ahad
sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang sudah
meninggal dunia (yang bermakam di situ), maka ia akan diberi pahala sebanyak
orang-orang yang meninggal itu.” (HR Imam al-Samarqandi dalam Fadhail
Qul Huwallaahu Ahad dan Imam al-Rafi’i).
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ
هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ
ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra secara marfu’, “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu
membaca surat al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad dan al-Haakumut takaatsur,
kemudian mengatakan: “Ya Allah aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi
kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi
penolongnya kepada Allah.” (HR Imam Sa’ad al-Zanjani).
عَنْ أَنَسٍِ مَرْفُوْعًا:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ
لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاةٌُ
Artinya:
“Dari Anas bin Malik secara marfu’, “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu
membaca surat Yasin, maka Allah akan meringankan siksa mereka dan ia akan
memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (HR Imam
Abdul Aziz[1]).
Kedua hadits di atas, yakni yang diriwayatkan oleh Imam
Sa’ad al-Zanjani dan Imam Abdul Aziz, disebutkan juga oleh pendiri aliran
Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, di dalam kitabnya Ahkam Tamanni
al-Maut, halaman 75.
Al-Imam
al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi mengatakan, meskipun
hadits-hadits di atas secara sanad derajatnya dhaif (lemah)[2] namun keseluruhannya
menunjukkan bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an sesungguhnya
memiliki dasar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keempat, kaum
Muslimin dalam setiap kurun waktu selalu berkumpul dan membacakan al-Qur’an
untuk orang-orang yang telah meninggal dunia di antara mereka, tanpa ada ulama
yang mengingkarinya, sehingga hal tersebut menjadi ijma’ di kalangan mereka.
Demikian yang diungkapkan oleh al-Imam al-Hafizh
Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi dalam risalahnya yang membahas tentang
sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia. Beliau
adalah seorang ulama terkemuka dari madzhab Hanbali.[3]
Berdasarkan dalil-dalil tersebut kemudian mayoritas ulama
mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an (tentunya termasuk membaca surat
Yasin) apabila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia akan sampai
kepadanya dan ia dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan tersebut.
Seandainya saat ini ada orang yang mengatakan bahwa
doa-doa memang bermanfaat bagi orang yang meninggal dunia, namun untuk bacaan
al-Qur’an pahalanya hanya akan menjadi milik si pembaca, maka dapat dijawab
bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an itu pun pada hakikatnya disampaikan
melalui permohonan atau doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Perhatikanlah
kaum Muslim yang mengadakan tahlilan dan yasinan. Apakah ada di antara mereka
yang mengakhiri majelis tersebut tanpa doa dan permohonan kepada Allah agar
semua pahalanya disampaikan kepada orang yang telah meninggal dunia? Tentu saja
tidak. Setelah semua amaliah dilaksanakan, yakni membaca surat Yasin dan
dzikir-dzikir lainnya, maka akan dimohonkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
agar semua pahala dan manfaatnya disampaikan kepada si mayit.
Hal
ini sebagaimana yang dinasihatkan oleh Imam Nawawi berikut ini:
فَاْلإِخْتِيَارُ اَنْ
يَقُوْلَ الْقَارِئُ بَعْدَ فَرَاغِهِ اَللَّهُمَّ اَوْصِلْ ثَوَابَ مَا
قَرَأْتُهُ اِلَى فُلاَنٍِ
Artinya: “Sebaiknya
orang yang membaca al-Qur’an atau dzikir (untuk orang yang meninggal dunia) itu
berdoa: “Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang kubaca ini kepada si fulan.”
(al-Adzkar, halaman 150).
Nah, kalau demikian bisa dikatakan bahwa seluruh proses hadiah pahala atau
yang disebut juga kirim doa pada hakikatnya adalah doa dan permohonan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala agar seluruh manfaat atau pahala dari bacaan
al-Qur’an dan dzikir-dzikir yang telah dilantunkan seluruhnya disampaikan Allah
kepada orang yang telah meninggal dunia. Orang-orang yang hadir di majelis tahlilan
sesungguhnya adalah orang-orang yang sedang berdoa kepada Allah. Adakah dalil
yang melarang seseorang berdoa kepada Allah? Tentu saja tidak ada.
Nah, jika Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa yang
dimohonkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan bahwa pahala bacaan
al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal
dunia? Dengan
keikhlasan dan ketulusan hati kita berdoa kepada Allah, maka kita yakin bahwa
pahala itu akan disampaikan Allah kepada si mayit dan ia bisa memperoleh
manfaat dari bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir-dzikir yang dilantunkan di
dalam majelis tahlilan tersebut.
[1]
Abdul Aziz adalah murid dari al-Imam al-Khallal.
[2] Para ulama mengatakan bahwa hadits dhaif dapat
dipakai sebagai dalil dalam perkara yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal,
yakni segala ketentuan yang tidak berkaitan dengan akidah, tafsir atau
hukum. Insyaallah akan datang
pembahasan tentang hukum beramal dengan hadits dhaif.
[3]
Keterangan al-Hafizh Syamsuddin ini dikutip secara lengkap oleh al-Imam
al-Hafzih Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Syarh al-Shudur (hal. 267-269)
dana al-Imam al-Safarini al-Hanbali dalam al-Buhur al-Zakhirah (Juz 1,
hal. 359-363).
0 comments:
Post a Comment