Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Monday, October 22, 2018

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Terakhir)

4. Pahala Haji

Tentang sampainya pahala haji kepada orang yang sudah meninggal dunia, disebutkan di dalam Shahih al-Bukhari 
sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar.” (HR Imam Bukhari).

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pahala amal haji yang ditunaikan oleh seorang anak boleh dihadiahkan untuk ibunya yang telah meninggal dunia, sehingga hutang nadzar ibunya itu menjadi terbayar dan ia tidak lagi berdosa karena nadzarnya itu di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini sesungguhnya merupakan bentuk rahmat Allah terhadap hamba-Nya, yang mana suatu kelalaian yang dilakukannya semasa kehidupannya di dunia hingga bisa membahayakan bagi kehidupannya di akhirat dapat diselesaikan oleh anak-anaknya yang masih hidup. Anak-anak yang baik tentu bisa menolong ibu-bapaknya, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya.

Hadits yang senada dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i sebagai berikut:

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَتْ امْرَأَةٌ سِنَانَ بْنَ سَلَمَةَ الْجُهَنِيَّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا
Artinya: “Bahwasanya Ibnu Abbas berkata, “Isteri Sinan bin Salamah memerintahkan untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ibunya telah meninggal dan belum melakukan haji, apakah sah ia melakukan haji untuk ibunya? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, apabila ibunya memiliki hutang kemudian ia membayarnya bukankah hal tersebut adalah sah? Maka hendaknya ia berhaji untuk ibunya.” (HR Imam Nasa’i).

Mari kita simak lagi hadits berikutnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ الْفَضْلُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اْلآخَرِ فَقَالَتْ إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ وَذَلِكَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika al-Fadhal membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang wanita dari suku Khats’am sehingga al-Fadhal memandangnya dan wanita itu pun memandang kepadanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalihkan wajah al-Fadhal ke arah yang lain. Wanita itu berkata, “Sesungguhnya kewajiban yang telah Allah tetapkan sampai kepada bapakku ketika dia sudah berusia lanjut sehingga dia tidak mampu untuk menempuh perjalanannya, apakah boleh aku menghajikannya?” Beliau menjawab, “Ya.” Peristiwa ini terjadi pada Haji Wada’.” (HR Imam Bukhari)

Pada hadits ini dijelaskan tentang kebolehan seorang anak perempuan untuk menggantikan orangtuanya (dalam hal ini bapaknya) untuk mengerjakan ibadah haji, dan amal tersebut bisa membebaskan bapaknya dari kewajiban ibadah haji. Kalau kita perhatikan makna yang terkandung di dalam hadits tersebut akan kita dapatkan informasi bahwa amal yang dilakukan seorang anak pahalanya bisa diberikan untuk bapaknya yang masih hidup. Sedangkan pada hadits sebelumnya, amal seorang anak dapat dihadiahkan atau diberikan pahalanya untuk ibunya yang telah tiada. Dengan kata lain, pahala dari amal yang dilakukan seseorang bisa berpindah atau diambil manfaatnya oleh orang lain, tentu saja apabila orang yang mengerjakan amal tersebut meniatkannya untuk orang yang ia maksudkan.

Mungkin Anda akan berkata bahwa amal anak adalah amal kedua orangtuanya juga, sehingga tidaklah menjadi masalah bila si anak melakukan ibadah haji yang pahalanya ia niatkan untuk bapak atau ibunya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Lalu, adakah hadits yang memperlihatkan bahwa seseorang melaksanakan ibadah haji yang pahalanya ia niatkan untuk orang lain selain kedua orangtuanya? Ya, tentu saja ada. Perhatikanlah hadits berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاًَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيْبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan: Labbaika ‘an Syubrumah (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya, “Siapakah Syubrumah itu?” Dia menjawab. “Saudaraku! atau kerabatku!” Beliau bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Belum!” Beliau berkata, “Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR Imam Abu Dawud).

Hadist ini menjelaskan bahwa ibadah haji yang seharusnya ditunaikan oleh seseorang boleh digantikan oleh orang lain. Tentu saja jika seseorang yang seharusnya menunaikannya itu memiliki uzur syar’i, misalnya sudah terlalu tua atau sudah meninggal dunia. Hadits ini juga tidak menjelaskan antara seorang anak dengan bapaknya atau dengan ibunya, namun antara seseorang dengan kerabatnya. 

Hadits ini menegaskan bahwa pahala haji seseorang boleh dihadiahkan atau diberikan kepada orang lain. Hadits ini pula yang menjadi dasar bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada orang lain guna menghajikan orang-orang yang telah meninggal dunia yang semasa hidupnya belum sempat menunaikan ibadah haji. Tentu saja orang yang diminta untuk menghajikan itu sebelumnya telah menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits di atas. 

Dengan demikian tuduhan sebagian orang bahwa menghajikan orang lain yang telah wafat itu sebagai sebuah perbuatan bid’ah tidaklah benar. Hadits ini adalah dalil untuk amaliah yang demikian itu. 

5. Pahala Kurban

Menyembelih kurban adalah ibadah sunnah, bahkan menjadi wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya minimal sekali seumur hidupnya. Namun demikian tetap disunnahkan untuk berkurban setiap tahun apabila seseorang memiliki kemampuan untuk itu. Nah, Islam membolehkan menyembelih hewan kurban dan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal dunia. Simaklah hadits-hadits berikut ini.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِيْ سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِيْ سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِيْ سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Artinya: “Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan, “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.” (HR Imam Muslim).

Dalam doa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyembelih domba, sebagaimana yang disebutkan di atas, tekandung makna pahala dari kurban tersebut beliau harapkan kepada Allah agar juga diberikan kepada keluarga dan umat Islam secara keseluruhan. Yang berkurban itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun pahalanya tidak hanya untuk beliau tapi juga untuk keluarga dan seluruh umat beliau. Umat Rasulullah yang dimaksud dalam doa tersebut bukan hanya yang hidup, tapi juga yang telah wafat; bukan hanya yang hidup sezaman dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi juga umat beliau yang hidup saat ini, bahkan yang hidup pada masa-masa yang akan datang. 

Artinya, melalui hadits ini secara tidak langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bahwa berkurban lalu pahalanya diniatkan untuk orang yang telah tiada adalah diperbolehkan, dan pahalanya akan sampai dan diperoleh oleh si mayit. Orang yang telah meninggal dunia itu akan memperoleh manfaat dari ibadah kurban yang dilakukan oleh orang yang masih hidup yang diniatkan untuk dirinya. 

Berkurban yang pahalanya diniatkan untuk orang yang telah meninggal dunia sesungguhnya bukanlah perkara baru. Bahkan Ali bin Abu Thalib ra telah melakukannya. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:

عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍِّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ أَمَرَنِيْ بِهِ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا
Artinya: “Dari Hanasy dari Ali bahwasanya ia pernah berkurban dengan dua ekor kambing; seekor untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seekor lagi untuk dirinya sendiri, hingga ia pun ditanya tentang hal itu. Ali menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya.” (HR Imam Tirmidzi).

Demikian jelas dalam hadits ini diterangkan bahwa menyembelih kurban lalu pahalanya diniatkan untuk orang yang telah meninggal dunia diperbolehkan dan si mayit akan memperoleh manfaat dari amaliah itu. Ali bin Abu Thalib ra telah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan hal itu, sehingga beliau selalu berkurban dengan dua ekor kambing: yang satu atas nama dirinya dan yang satu lagi atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dengan perbuatannya itu, Ali bin Abu Thalib ra sesungguhnya sedang menghadiahkan pahala kurban untuk Baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin saat ini ada orang yang mengatakan bid’ah dan haram menghadiahkan pahala bacaan surat al-Fatihah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dengan tuduhan seperti itu, sebenarnya mereka telah menuduh Ali bin Abu Thalib berbuat bid’ah. Nauudzubillah!

6. Membayar Hutang

Hutang adalah tanggungan yang harus dibayar oleh orang yang berhutang baik sendiri ataupun melalui kuasanya bila telah mampu membayarnya. Bagi orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai hutang, maka hutangnya itu boleh dilunasi oleh keluarganya atau orang lain yang secara ikhlas bersedia menanggungnya. 

Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang Mukmin itu terhalang dengan hutangnya hingga dibayar hutang tersebut.” (HR Imam Tirmidzi).

Apa pun makna terhalang dalam hadits tersebut, pada intinya adalah berupa kesulitan. Nah, Seorang Mukmin yang telah meninggal dunia akan mengalami kesulitan jika ia meninggalkan hutang hingga hutangnya dibayar lunas. Lalu, siapakah yang melunasi hutangnya itu? Mungkinkah dia yang telah tiada itu mampu dengan sendirinya melunasi hutang-hutangnya? Tentu saja tidak. Yang melunasinya adalah orang-orang yang masih hidup, baik dari kalangan keluarganya maupun orang lain. Artinya, perbuatan orang hidup yang melunasi hutang-hutangnya itu bermanfaat baginya sekalipun ia telah meninggal dunia. Bukankah ini menunjukkan dalil bahwa amaliah orang yang hidup bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia?

Umat Islam sepakat bahwa hutang orang yang telah meninggal dunia bisa dilunasi orang lain yang bukan termasuk ahli warisnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Abu Qatadah, bahwa dia pernah melunasi hutang seseorang yang sudah meninggal dunia sebanyak dua dinar. Setelah hutang itu dilunasi, maka Nabi Saw bersabda, “Sekarang kulitnya terasa dingin olehnya.” (HR Imam al-Hakim).

Umat Islam juga sepakat bahwa seseorang yang telah meninggal dunia, namun memiliki hutang kepada orang yang masih hidup, lalu orang yang masih hidup ini membebaskan hutang itu (menganggapnya telah lunas/mengikhlaskannya), maka hal itu juga bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia, sehingga dia terbebas dari tanggungannya kepada orang yang masih hidup itu.

7. Pahala Bacaan al-Qur’an

Membaca al-Qur’an adalah ibadah yang memberikan pahala bagi pelakunya. Itulah sebabnya setiap Muslim dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada kita bahwa kelak pada hari kiamat al-Qur’an itu akan datang kepada para pembacanya untuk memberikan syafaat. Karena membaca al-Qur’an mengandung pahala, maka pahala membaca al-Qur’an ini pun diperbolehkan untuk dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan hal itu telah menjadi pendapat mayoritas ulama. 
 
Ada pun dalil-dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama untuk mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada si mayit adalah sebagai berikut:

Pertama, pahala bacaan al-Qur’an itu dianalogikan (qiyas) dengan pahala doa, sedekah, haji dan memerdekakan budak yang dapat dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia. Menurut mayoritas ulama tidak ada perbedaan antara pahala haji, sedekah, wakaf, dan doa dengan pahala bacaan al-Qur’an. Dengan bahasa yang lebih sederhana semua yang dihadiahkan kepada orang yang telah tiada itu adalah sama, yakni pahala.

Kedua, tradisi kaum salaf dari kalangan shahabat Anshar yang membacakan al-Qur’an di makam keluarga mereka yang meninggal dunia. Al-Khallal meriwayatkan hadits berikut ini:
 
عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ اِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا اِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ الْقُرْآنَ
Artinya: “Asy-Sya’bi berkata, “Kaum Anshar, apabila seseorang di antara mereka meninggal dunia, maka mereka selalu mendatangi makamnya membacakan al-Qur’an untuknya.” (HR Imam Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Juz 4, halaman 236, dan Imam al-Khallal dalam al-Amr bil Ma’ruf wa al-Nahyi ‘ani al-Munkar, halaman 89).

Ketiga, ada banyak hadits yang menunjukkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia, antara lain hadits-hadits berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَاَسْرِعُوْا إِلَى قَبْرِهِ وَلْيَقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ
Artinya: “Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila di antara kamu ada yang meninggal dunia, janganlah kamu tahan lama-lama dan segerakanlah menguburnya dan agar dibacakan surat al-Fatihah di atas kepalanya.” (HR Imam Thabrani dan Imam Baihaqi).

عَنْ عَلِيٍّ مَرْفُوْعًا: مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ (قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ) إِحْدَى عَشَرَةَ مَرَّةًَ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهُ لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلاَمْوَاتِ
Artinya: “Dari Ali secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Barangsiapa yang melewati makam, lalu membaca Qul huwallaahu ahad sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia (yang bermakam di situ), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang-orang yang meninggal itu.” (HR Imam al-Samarqandi dalam Fadhail Qul Huwallaahu Ahad dan Imam al-Rafi’i).

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra secara marfu’, “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surat al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad dan al-Haakumut takaatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” (HR Imam Sa’ad al-Zanjani).

عَنْ أَنَسٍِ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاةٌُ
Artinya: “Dari Anas bin Malik secara marfu’, “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin, maka Allah akan meringankan siksa mereka dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (HR Imam Abdul Aziz[1]).

Kedua hadits di atas, yakni yang diriwayatkan oleh Imam Sa’ad al-Zanjani dan Imam Abdul Aziz, disebutkan juga oleh pendiri aliran Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, di dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, halaman 75.

Al-Imam al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi mengatakan, meskipun hadits-hadits di atas secara sanad derajatnya dhaif (lemah)[2] namun keseluruhannya menunjukkan bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an sesungguhnya memiliki dasar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Keempat, kaum Muslimin dalam setiap kurun waktu selalu berkumpul dan membacakan al-Qur’an untuk orang-orang yang telah meninggal dunia di antara mereka, tanpa ada ulama yang mengingkarinya, sehingga hal tersebut menjadi ijma’ di kalangan mereka. 

Demikian yang diungkapkan oleh al-Imam al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi dalam risalahnya yang membahas tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia. Beliau adalah seorang ulama terkemuka dari madzhab Hanbali.[3]

Berdasarkan dalil-dalil tersebut kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an (tentunya termasuk membaca surat Yasin) apabila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia akan sampai kepadanya dan ia dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan tersebut. 

Seandainya saat ini ada orang yang mengatakan bahwa doa-doa memang bermanfaat bagi orang yang meninggal dunia, namun untuk bacaan al-Qur’an pahalanya hanya akan menjadi milik si pembaca, maka dapat dijawab bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an itu pun pada hakikatnya disampaikan melalui permohonan atau doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Perhatikanlah kaum Muslim yang mengadakan tahlilan dan yasinan. Apakah ada di antara mereka yang mengakhiri majelis tersebut tanpa doa dan permohonan kepada Allah agar semua pahalanya disampaikan kepada orang yang telah meninggal dunia? Tentu saja tidak. Setelah semua amaliah dilaksanakan, yakni membaca surat Yasin dan dzikir-dzikir lainnya, maka akan dimohonkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar semua pahala dan manfaatnya disampaikan kepada si mayit.

Hal ini sebagaimana yang dinasihatkan oleh Imam Nawawi berikut ini:

فَاْلإِخْتِيَارُ اَنْ يَقُوْلَ الْقَارِئُ بَعْدَ فَرَاغِهِ اَللَّهُمَّ اَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ اِلَى فُلاَنٍِ 
Artinya: “Sebaiknya orang yang membaca al-Qur’an atau dzikir (untuk orang yang meninggal dunia) itu berdoa: “Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang kubaca ini kepada si fulan.” (al-Adzkar, halaman 150).

Nah, kalau demikian bisa dikatakan bahwa seluruh proses hadiah pahala atau yang disebut juga kirim doa pada hakikatnya adalah doa dan permohonan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar seluruh manfaat atau pahala dari bacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir yang telah dilantunkan seluruhnya disampaikan Allah kepada orang yang telah meninggal dunia. Orang-orang yang hadir di majelis tahlilan sesungguhnya adalah orang-orang yang sedang berdoa kepada Allah. Adakah dalil yang melarang seseorang berdoa kepada Allah? Tentu saja tidak ada. 

Nah, jika Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa yang dimohonkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia? Dengan keikhlasan dan ketulusan hati kita berdoa kepada Allah, maka kita yakin bahwa pahala itu akan disampaikan Allah kepada si mayit dan ia bisa memperoleh manfaat dari bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir-dzikir yang dilantunkan di dalam majelis tahlilan tersebut.


[1] Abdul Aziz adalah murid dari al-Imam al-Khallal.
[2] Para ulama mengatakan bahwa hadits dhaif dapat dipakai sebagai dalil dalam perkara yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal, yakni segala ketentuan yang tidak berkaitan dengan akidah, tafsir atau hukum. Insyaallah akan datang pembahasan tentang hukum beramal dengan hadits dhaif.
[3] Keterangan al-Hafizh Syamsuddin ini dikutip secara lengkap oleh al-Imam al-Hafzih Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Syarh al-Shudur (hal. 267-269) dana al-Imam al-Safarini al-Hanbali dalam al-Buhur al-Zakhirah (Juz 1, hal. 359-363).
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online