Beliau adalah
seorang ulama terkemuka dalam mazahab Syafi’i. Tatkala menjelaskan pengertian bid’ah,
beliau berkata:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ
يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Bid’ah
adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam.” [1]
Menurut pengertian
yang diberikan oleh al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah ini,
seluruh perbuatan atau amaliah keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada
masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bid’ah,
meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Dengan demikian, berdasarkan
pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu Mushhaf, menulis
kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati
maulid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, khutbah dengan
selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji,
pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amaliah baik lainnya adalah bid’ah.
Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam.
Namun demikian
beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam dianggap sebagai bid’ah dhalalah
(bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam
neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah
sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.
Mari kita simak
penjelasan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah tentang
pembagian bid’ah ini serta contoh-contoh yang beliau sampaikan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ
يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ
اِلَى: بِدْعَةٍِ وَاجِبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُحَرَّمَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ
مَنْدُوْبَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مَكْرُوْهَةٍِ، وَبِدْعَةٍِ مُبَاحَةٍِ، وَالطَّرِيْقُ
فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ:
فَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلاِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ
فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ
قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌُ، وَاِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ
الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌُ
Artinya: “Bid’ah
adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam. Bid’ah terbagi lima: bid’ah wajibah (bid’ah wajib), bid’ah
muharramah (bid’ah haram), bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah
(bid’ah makruh), dan bid’ah mubahah (bid’ah mubah). Jalan untuk mengetahui hal
itu dengan membandingkan bid’ah pada kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah itu
masuk ke dalam kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk ke
dalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharramah. Apabila masuk ke dalam
kaidah sunnat, maka menjadi bid’ah mandubah. Dan apabila masuk ke dalam kaidah
mubah, maka menjadi bid’ah mubahah.”
Saat memberikan
contoh-contoh yang termasuk ke dalam lima macam bid’ah tersebut, beliau
berkata:
وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ
أَمْثِلَةٌُ: اَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ
بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى
حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ
فَهُوَ وَاجِبٌ. الْمِثَالُ الثَّانِيْ: الْكَلاَمُ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ
لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ
أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا مَذْهَبُ اْلقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ
الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ
الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مٍنَ اْلبِدَعِ الْوَاجِبَةِ
وَلِلْبِدَاعِ
الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ
الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ اِحْسَانٍِ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الأَوَّلِ،
وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ. وَلِلْبِدَاعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌُ:
مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌُ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ
مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ
الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامِ
Artinya: “Bid’ah
wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu Nahwu
sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu ’alaihi
wa sallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syari’at itu wajib
dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu Nahwu. Sedangkan
sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib.
Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan
yang lemah. Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah
ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak
terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah
memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah,
jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa
generasi awal, di antaranya adalah shalat tarawih. Bid’ah makruhah memiliki
banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi Mushhaf
al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan
dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah,
memakai baju kebesaran...” [2]
0 comments:
Post a Comment