Ada
polemik di masyarakat tentang orang yang berwudhu dari air satu gayung saja.
Lumrahnya, masyarakat Indonesia yang notabene berlimpah air berwudhu dengan
jumlah air yang lebih dari itu. Kali ini kita akan membahas perihal ini dari
perspektif fiqih perbandingan secara ringkas.
Ada
dua hal pokok yang perlu diurai dalam masalah ini, yakni masalah jumlah airnya
dan masalah tata cara berwudhunya. Mengenai jumlah air wudhu dan mandi besar,
Imam Nawawi menukil kesepakatan ulama sebagai berikut:
أجمع المسلمون على أن الماء الذي يجزئ
في الوضوء والغسل غير مقدر بل يكفي فيه القليل والكثير إذا وجد شرط الغسل وهو
جريان الماء على الأعضاء
“Para
Ulama Muslimun sepakat bahwa air yang dianggap mencukupi dalam wudhu dan mandi
tidaklah ditentukan, tetapi dianggap cukup air sedikit atau banyak ketika sudah
memenuhi syarat mandi [dan wudhu], yaitu mengalirkan air ke anggota tubuh.”
(an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz IV, halaman 2).
Jadi,
jumlah batas keabsahan air sebenarnya tidak ditentukan. Selama mencukupi untuk
menunaikan rukun wudhu maka tak masalah. Tetapi para ulama seluruhnya juga
sepakat bahwa jumlah air wudhu tidak boleh berlebihan. Imam Nawawi juga menukil
kesepakatan ini dalam kitabnya yang lain sebagai berikut:
اتفق أصحابنا وغيرهم على ذم الإسراف
في الماء في الوضوء والغسل
“Para
sahabat kami (Syafi’iyah) dan selain mereka sepakat untuk mencela praktek
berlebihan dalam menggunakan air, dalam wudhu dan mandi”. (an-Nawawi, al-Majmû’,
juz II, halaman 190)
Setelah
sepakat bahwa berlebihan adalah tercela, maka pertanyaannya berapakah ukuran
berlebihan ini? Ukuran tidak berlebihan ini harus dikembalikan pada kebiasaan
Rasulullah Saw,
bukan kepada selera masing-masing orang sebab akan berbeda-beda. Dalam hal ini
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw berwudhu dengan jumlah air seperti berikut:
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم
يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ
“Nabi
Muhammad Saw
mandi besar dengan air satu sha’ hingga empat mud dan berwudhu dengan air satu
mud.” (HR. Bukhari)
Jumlah
satu mud air adalah sejumlah air yang diambil dengan dua telapak tangan orang
dewasa ketika disatukan. Telapak tangan yang menjadi patokan adalah telapak
tangan standar orang Arab, sedikit lebih lebar dari telapak tangan orang
Indonesia. Dalam kitab Fath al-Qadîr Fî ‘ajâ’ib al-Maqâdîr karya Kyai
Maksum bin Ali disebutkan bahwa satu mud air adalah setara dengan 786
gram. Adapun menurut kitab al-Fiqh al-Islâmiy Wa’adillatuh karya Dr.
Wahbah az-Zuhaily disebutkan bahwa satu mud setara 675 gram (Juz I,
halaman 533). Sedikit perbedaan jumlah ini bisa dibilang wajar mengingat ukuran
sebenarnya adalah telapak tangan. Sedangkan satu sha’ adalah empat mud, inilah
yang menjadi jumlah air yang dipakai Rasulullah Saw untuk mandi besar.
Jumlah
yang sangat sedikit inilah yang menjadi patokan standar untuk berwudhu sehingga
berwudhu dengan air yang jauh lebih banyak dapat dianggap berlebihan. Menjaga
agar tidak berlebihan memakai air ini tetap harus diperhatikan meskipun
berwudhu dari air laut sekalipun, seperti perkataan Syaikh Ibnu Ruslan dalam
kitab Zubad-nya:
مَكْرُوهُهُ فِي الْمَاءِ حَيْثُ
أَسْرَفَا # وَلَوْ مِنْ الْبَحْرِ الْكَبِيرِ اغْتَرَفَا
“Makruhnya
air wudhu adalah sekiranya berlebih, meskipun ia mengambil dari lautan besar.”
(Nadham Zubad Ibnu Ruslân)
Dengan
demikian, tentang ukuran berwudhu dengan air satu gayung tidak bermasalah.
Bahkan jumlah ini tergolong baik sebab lebih dekat pada aturan sunnah. Satu mud
sendiri sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw tidak sampai satu gayung dalam ukuran
gayung standar yang tak terlalu kecil.
Perlu
dicatat di sini bahwa jumlah yang terlalu sedikit juga makruh sebab
mengkhawatirkan airnya tidak merata. Para ulama fiqih menyebut contoh yang
terlalu sedikit itu misalnya dengan taqtîr atau meneteskan-neteskan air pada
anggota wudhu. (lihat misalnya: al-Bujairami, Hasyiyat al-Bujairamî ‘ala
al-Khathîb, Juz I, halaman 175). Meskipun sebelumnya dinukil adanya
kesepakatan ulama bahwa jumlah air wudhu tidak ditentukan, hanya saja dalam
menurut satu riwayat dari Imam Abu Hanifah, jumlah satu mud adalah batas
minimal berwudhu sehingga tidak boleh kurang dari itu (Muhammad Na’im, Mausû’ah
Masâ’il al-Jumhûr Fi al-Fiqh al-Islâmî, juz I, halaman 89).
Setelah
masalah jumlah air ini selesai, maka masalah kedua yakni tatacara dalam
berwudhu dengan air sedikit tersebut. Dalam hal ini ada tatacara yang
disepakati seluruh ulama dan ada pula yang diperselisihkan. Titik perdebatannya
ada dalam masalah air musta’mal atau air sisa. Periciannya akan kita bahas pada
tulisan berikutnya.
0 comments:
Post a Comment