Sayidina Ali
bin Abu Thalib ra pernah berkata:
“Ketahuilah
bahwa kefakihan itu adalah setiap kepahaman, (yaitu orang) yang tidak pernah
putus asa dari rahmat Allah dan yang tidak pernah merasa aman dari azab-Nya,
tidak pernah membuat mereka meremehkan maksiat kepada Allah, dan tidak
menghalangi orang lain untuk mencintai al-Qur’an. Tidak ada gunanya ibadah
tanpa ilmu tentangnya. Tidak ada gunanya ilmu tanpa pemahaman terhadapnya. Dan
tidak ada gunanya bacaan tanpa mentadabburinya.”
Tegukan
Hikmah:
Nasihat ini
termaktub dalam kitab Tahdzib Hilyatil Auliya’, 1/83 dan Shifatush
Shafwah, 1/170, serta diriwayatkan juga oleh Ad-Darimi, nomor 297.
Ada banyak
orang mengaku-ngaku sebagai seorang fakih atau berperilaku laksana seorang yang
fakih, namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Berhati-hatilah, jangan
sampai kita termasuk ke dalam golongan yang seperti itu, karena pada akhirnya
hanya akan memberikan kemudharatan bagi kita.
Sayidina Ali
bin Abu Thalib ra melalui ungkapan di atas menyebutkan kepada kita ciri-ciri
seorang hamba Allah yang fakih:
·
Tidak pernah berputus asa dari
rahmat Allah. Inilah ciri utama mereka. Apa pun kenyataan hidup yang
dialaminya, jika dia seorang hamba yang fakih maka ia akan memandang semua itu
sebagai bentuk curahan rahmat dari Allah Azza wa Jalla.
·
Tidak pernah merasa aman dari
azab-Nya. Seorang hamba Allah yang fakih senantiasa menyadari bahwa Allah
memiliki azab yang pedih bagi hamba-hamba yang mendurhakai-Nya. Ia menyadari
betul hal itu, sehingga setiap detik dari kehidupannya tak pernah ia rasakan
aman dari azab Allah. Kesadaran itu membuatnya untuk selalu berhati-hati
menjalani hidup, jangan sampai menyimpang dari aturan-aturan yang telah
digariskan Allah dan Rasul-Nya.
·
Tidak pernah meremehkan maksiat
kepada Allah sekecil apa pun. Hamba Allah yang fakih selalu menghindari maksiat
sekecil apa pun. Ia takkan pernah menganggap remeh suatu kemaksiatan.
Sesungguhnya ia tidak melihat ukuran kemaksiatan itu, namun yang lebih
diperhatikannya adalah kepada siapa kemaksiatan itu ia lakukan. Dengan
kefakihannya ia merasa tidak layak baginya bermaksikat terhadap Allah yang
menyayanginya, meski sekecil apa pun.
·
Tidak menghalangi orang lain
untuk mencintai al-Qur’an. Al-Qur’an berisikan petunjuk Allah. Tidak mungkin
seseorang bisa berjalan di alur yang digariskan Allah tanpa membaca, memahami
dan mengamalkan al-Qur’an. Seorang yang fakih takkan pernah menghalang-halangi
orang lain mencintai al-Qur’an. Bahkan, ia akan membuka ruang seluas-luasnya
bagi orang lain untuk mempelajari al-Qur’an dan mengamalkan isinya. Orang yang
fakih akan selalu bersama dengan orang-orang yang mencintai al-Qur’an.
·
Selalu beramal dengan landasan
ilmu disertai pemahaman yang benar terhadapnya. Seorang yang fakih takkan
pernah merasa puas dengan apa yang telah dipelajarinya. Ia akan terus belajar,
karena hanya dengan cara itulah ia akan paham. Dengan landasan ilmu dan
pemahaman yang baiklah suatu amal menjadi lebih bernilai di sisi Allah Ta’ala.
·
Selalu membaca al-Qur’an dan
mentadabburinya.
Demikianlah
yang disebutkan Sayidina Ali bin Abu Thalib ra seputar ciri hamba-hamba Allah
yang fakih. Sekarang, lihatlah diri kita. Apakah kita sudah memiliki ciri-ciri
tersebut? Kalau belum, pantaskah kita memandang diri kita sebagai seorang yang
fakih?
0 comments:
Post a Comment