Tentunya sebagai umat Islam kita bersepakat dan
meyakini dengan penuh keimanan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia
paling sempurna dan memiliki derajat kemuliaan tertinggi di sisi Allah SWT.
Beliau adalah yang terpilih di antara manusia-manusia pilihan. Beliau adalah
sosok terkasih di antara para kekasih Allah, yang jauh sebelum wujudnya hadir
di alam dunia ini cahaya (nur)-nya telah terlebih dahulu diciptakan
Allah. Bahkan keberadaan Nur Muhammad itu mendahului masa
diciptakannya Nabi Adam AS, Sang Abul Basyar.
Ada pendapat
yang mengatakan, syahdan mahar yang diberikan oleh Nabi Adam AS saat menikahi
Bunda Hawa adalah bacaan shalawat yang beliau lantunkan sebanyak sepuluh kali.
Luar biasa bukan? Padahal masa itu Nabi Adam AS sama sekali belum mengetahui
seperti apa wujud manusia yang kepadanya shalawat itu beliau haturkan.
Kemuliaan yang dianugerahkan Allah pada diri Nabi Muhammad SAW membuat namanya
disebut-sebut dalam pernikahan suci yang berlangsung antara Nabi Adam AS dengan
Bunda Hawa.
Bahkan
ketika Nabi Adam AS berbuat kekhilafan, dalam pertaubatannya kepada Allah SWT
beliau menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Beliau memohon ampun kepada Allah
dengan menyebut nama makhluk pilihan yang paling dikasihi Allah, yakni Nabi
Muhammad SAW. Telah sampai kepada kita riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW menceritakan perihal itu.
Di dalam
kitab ad-Durr al-Mantsur, Juz 1 halaman 91, al-Hafizh Jalaluddin
al-Suyuthi mengutip sebuah hadits yang bersumber dari Umar bin Khaththab ra,
yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لمَاَ أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ
عليه وسلم الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ ،
فَقَالَ : أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلاَّ غَفَرْتَ لِي، فَأَوْحَى اللهُ
إِلَيْهِ ، « وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ » فَقَالَ : تَبَارَكَ اسْمُكَ،
لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ، فَإِذًا فِيْهِ مَكْتُوْبٌ :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ
أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا ِممَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسَمِكَ،
فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ : يَا آدَمُ، إِنَّهُ آخِرُ النَبِيِّيْنَ
مِنْ ذُرِّيَّتِكَ، وَلَوْلاَهُوَ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ
“Tatkala
Nabi Adam AS berbuat kesalahan, beliau mengangkat kepalanya ke ‘Arsy dan
memohon, “Ya Allah aku memohon kepada Engkau dengan kebenaran Muhammad SAW,
maka tidak lain Engkau akan mengampuniku” Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya,
“Apa dan siapakah Muhammad SAW?” Baginda AS menjawab, “Ketika Engkau jadikan
aku, maka aku melihat ke ‘Arsy-Mu dan terpandang tulisan “Laa ilaha illallah
Muhammadur rasulullah”. Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi
darinya di sisi-Mu yang namanya Engkau letakan bersama nama-Mu.” Lantas Allah
mewahyukan kepada baginda AS, “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi akhir
zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka aku tidak akan
menciptakanmu.” (HR Thabrani, al-Hakim, Abu Nu’aim, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir)
Dalam
riwayat Imam Baihaqi yang lain disebutkan dengan redaksi:
صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأَحَبُّ
الْخَلْقِ إِلَيَّ، وَإِذْ سَأَلْتَنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ،
وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
“…Benar engkau
ya Adam. Sungguh dia (Muhammad SAW) adalah makhluk yang paling aku cintai. Jika
engkau meminta kepada-Ku dengan kebenarannya, maka sungguh Aku mengampunimu.
Jika tidak karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakanmu.”[1]
Setelah
menyimak informasi di atas tentu Anda lebih menyakini lagi betapa kedudukan
Rasulullah SAW itu sangat tinggi dan mulia di sisi Allah. Sebagai kekasih
Allah, Nabi Muhammad SAW kemudian disifati oleh-Nya sebagai sosok manusia yang ma’shum,
yakni manusia yang terpelihara dari dosa. Pastinya kita semua mengetahui
bahwa tiada balasan apa pun yang akan dianugerahkan Allah kepada sosok yang
terpelihara dari dosa selain Surga.
Mungkin di
dalam hati Anda muncul pertanyaan, “Kalau demikian, mengapa kita masih perlu
bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW? Shalawat artinya doa. Bershalawat kepada
Nabi SAW berarti mendoakan beliau. Mengapa kita mesti mendoakan beliau,
sedangkan beliau telah mendapat jaminan Surga dari Allah SWT? Bukankah yang
lebih layak untuk didoakan diri kita sendiri yang masih bergelimang dengan dosa
dan kemaksiatan ini?”
Ya, selintas
memang pertanyaan dan pernyataan seperti itu terkesan benar. Seolah-olah dengan
bershalawat yang ‘untung’ hanya Nabi SAW, sementara kepada kita tidak
memberikan kebaikan apa-apa. Agar Anda bisa memahami mengapa shalawat itu kita
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, simaklah penjelasan kami di bawah ini.
Semoga Allah meluaskan hati kita untuk menerima ilmu dari-Nya.
Begini.
Shalawat itu pada hakikatnya adalah ekspresi cinta dari seorang Muslim kepada
Nabi yang telah menunjukkan jalan kepada Allah SWT. Kalau Anda mencintai Nabi,
maka shalawat adalah salah satu bukti cinta Anda kepada beliau. Seorang pria
yang sedang jatuh cinta secara naluri akan selalu terkenang kepada wanita yang
dicintainya itu. Ia akan membisikkan nama wanita itu lewat bibir dan hatinya.
Ia akan berdoa kepada Tuhan agar wanita yang ia cintai itu selalu mendapatkan
kebaikan demi kebaikan. Bila limpahan kebaikan tertuju kepada kekasihnya, maka
ia akan merasa bahagia. Keuntungan yang ia peroleh saat mendoakan kekasihnya
adalah hadirnya perasaan bahagia di dalam jiwanya, dan itu jauh lebih berharga
daripada apa pun yang ada di dunia ini.
Demikian
pula dengan orang yang mencintai Rasulullah SAW. Ia akan selalu membisikkan
nama Muhammad lewat lisan dan kalbunya. Bershalawat adalah cara yang paling
disyariatkan dalam mengingat Nabi. Jika Anda mencintai Nabi, maka hati Anda
akan bergetar kencang saat menyebut nama beliau. Getar-getar yang hadir saat
menyenandungkan doa dan pujian kepada Sang Kekasih Rasulullah SAW memberikan
kenikmatan tersendiri di dalam diri yang tak bisa dilukiskan melalui kalimat
apa pun. Kenikmatan itulah yang mendorong orang-orang yang sangat besar
cintanya kepada Nabi untuk selalu bershalawat kepadanya. Orang yang mencintai
Nabi tidak akan merasa berat bershalawat kepadanya, karena shalawat adalah
ekspresi cinta kepada Rasulullah SAW.
Lalu, di
mana letak keuntungannya bagi diri kita? Upss…sabar dulu. Jangan sampai Anda
berpikir bahwa tak ada untungnya bershalawat kepada Nabi. Ketahuilah, kalau
Anda mencintai seseorang, ada kemungkinan besar suatu saat ia akan mengecewakan
Anda. Tapi, jika Anda mencintai Nabi SAW, dunia – akhirat Anda tidak akan
pernah kecewa. Kok bisa? Ya, memang seperti itu. Coba simak lagi tambahan
keterangan berikut ini.
Ketika Anda
melazimkan diri setiap hari bershalawat, maka tanpa sadar sebenarnya Anda
sedang menghadirkan nama Rasulullah SAW di kehidupan Anda sehari-hari. Hal itu
akan membuat hati Anda selalu terpaut kepada beliau, sehingga tidak ada waktu
yang Anda lalui kecuali Anda terkenang kepadanya. Cinta itu tumbuh di dalam
hati orang yang selalu mengenang kekasihnya. Semakin hari cinta Anda akan
semakin besar kepada Baginda Nabi. Nabi Muhammad SAW atas izin Allah akan
mengetahui betapa besar cinta Anda kepadanya. Karena sebagaimana sejumlah
hadits yang telah disebutkan sebelumnya, setiap shalawat yang Anda baca akan
disampaikan kepada beliau.
Dan kalau
Nabi SAW yang kita cintai itu mengetahui cinta kita terhadapnya, maka akan
semakin besar peluang bagi kita memperoleh balasan cinta dari beliau. Balasan
cinta dari Sang Nabi akan membukakan kepada kita pintu untuk memperoleh syafaat
dari beliau. Ketika syafaat Nabi tercurah kepada kita, maka semakin besar
kesediaan Allah Ta’ala untuk mencintai kita. Mengapa? Karena Allah akan
mencintai orang yang mencintai hamba yang paling dikasihi-Nya. Sekarang
pastinya Anda sudah tahu apa anugerah Allah kepada orang-orang yang
dicintai-Nya, yakni Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Bukankah itu
sebuah keberuntungan yang sangat besar? Lalu, mengapa masih merasa berat untuk
bershalawat. Bangkitlah dan tinggalkan kemalasan itu. Sampaikan shalawat dan
salam kepada Rasulullah SAW. Semoga Allah mencintai kita karena shalawat itu.
Untuk lebih
mempertegas betapa besar keberuntungan yang akan diperoleh orang-orang yang
banyak bershalawat kepada Nabi SAW, mari kita simak uraian Quraish Shihab
berikut ini.
Kata beliau,
“Sebuah kesimpulan yang tak mungkin bisa untuk dibantah adalah bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah manusia pendidik dan perantara utama bagi pengetahuan dan
keimanan orang-orang yang beriman. Beliau manusia yang paling besar jasanya
dibanding dengan yang lain, termasuk orangtua, guru, kiai, dan lain-lain.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa jasa mereka sangat besar dalam menuntun kita
secara spiritual. Namun satu hal yang pasti, apa yang mereka ajarkan itu tidak
dapat mereka lakukan tanpa kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini.
Lebih-lebih apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW itu tidak hanya bermanfaat
di kehidupan dunia ini, namun juga berfaedah di kehidupan akhirat berupa
limpahan pahala, Surga dan keridhaan Allah SWT.”
Quraish
Shihab melanjutkan, “Di sinilah kita bisa memahami dengan baik makna firman
Allah:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا
أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا
حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Katakanlah, “Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasu-lNya
dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya....” (QS. at-Taubah [9]: 24)
Demikian
pula dengan makna hadits berikut:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih
dicintainya daripada orangtuanya, anak-anaknya dan dari manusia seluruhnya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Anas ra)
Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:
عَبْدَ اللهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ، يَا رَسُولَ اللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللهِ لَأَنْتَ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ
Abdullah bin Hisyam menuturkan, “Kami pernah bersama
Nabi SAW yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khaththab. Kemudian
Umar berujar, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari
segala-galanya selain diriku sendiri.” Nabi SAW bersabda, “Tidak, demi Dzat
yang jiwa berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Maka Umar berujar, “Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai
daripada diriku.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” (HR
Bukhari)
Ketika
ditanyakan kepada Imam Fakhrurazi, mengapa kita mesti bershalawat kepada Nabi
Muhammad SAW padahal Allah dan para malaikatnya sudah bershalawat kepada
beliau? Apakah Nabi SAW membutuhkan shalawat dari kita? Maka, untuk pertanyaan
itu beliau menjawab, “Rasulullah SAW tidak membutuhkan shalawat dari kita. Kita
membaca shalawat pun bukan karena Rasulullah SAW membutuhkannya. Kalau
pemahamannya demikian, tentu Nabi SAW pun tidak membutuhkan shalawat dari para
malaikat, karena Allah SWT telah bershalawat kepada beliau. Tujuan dari
shalawat yang kita baca adalah untuk menampakkan keagungan dan kemuliaan Nabi
Muhammad SAW. Seperti halnya Allah SWT memerintahkan kita untuk berdzikir,
tentu bukan karena Allah membutuhkan dzikir dari kita. Namun tujuannya tiada
lain kecuali untuk menampakkan keagungan Allah dari kita sebagai ungkapan kasih
sayang Allah untuk memberikan pahala kepada kita.”
Perhatikanlah!
Nabi SAW sama sekali tidak membutuhkan shalawat dari kita. Namun ketika Allah
SWT bershalawat kepada Nabi dan itu diikuti oleh para malaikat, tersirat makna
perintah Allah agar kita memuliakan dan mengagungkan beliau SAW. Dengan kata
lain, Allah dan para malaikat saja memuliakan Rasulullah SAW dengan bershalawat
kepadanya, lalu pantaskah kita menahan bibir dan hati ini dari membaca
shalawat?
Ketahuilah,
Rasulullah SAW adalah cahaya yang menerangi kita sehingga mampu membedakan
antara yang hak dan yang batil. Beliau adalah pijar keimanan yang menuntun kita
menempuh jalan Tuhan. Berkat beliau keimanan yang menjadi modal kebahagiaan
hidup dunia – akhirat menyelimuti hati kita. Kehadiran beliau menjadi jalan
turunnya kasih sayang Allah terhadap semesta. Bukankah begitu besar jasa beliau
terhadap kita? Tidak ada yang lebih berjasa kepada kita di antara makhluk Allah
melebihi Rasulullah SAW.
Jika ada
seseorang yang melakukan satu kebaikan pada kita, kita akan berterima kasih
kepadanya dan tidak akan melupakan kebaikannya itu. Lalu, adakah orang yang
lebih layak kita haturkan terima kasih kepadanya selain dari Nabi Muhammad SAW?
Tidak…, sekali-kali tidak! Beliaulah orang yang paling berjasa dan beliaulah
yang paling layak menerima ucapan terima kasih dari kita. Bershalawat selain
sebagai ungkapan cinta, juga sebagai ungkapan terima kasih dan balas budi kita
pada beliau. Dari sinilah dapat dipahami mengapa akhirnya kita diperintahkan
bershalawat oleh Allah SWT sebagaimana yang tertulis di dalam QS. al-Ahzab
[33]: 56. Perintah itu tidaklah berasal dari permintaan Nabi, melainkan atas
inisiatif murni dari Allah SWT.
Hal yang
lebih mengesankan lagi dari keistimewaan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW
adalah maslahat dan manfaat yang kita terima bukan hanya nanti di akhirat,
namun di kehidupan dunia pun sudah bisa kita rasakan. Insya Allah akan ada
pemaparan tersendiri di dalam buku perihal keajaiban-keajaiban yang dapat
dirasakan oleh orang-orang yang melazimkan dirinya berdzikir dengan shalawat.
0 comments:
Post a Comment