Sebelumnya telah disebutkan bahwa niat ightiraf yang
diwajibkan oleh para ulama ketika mencelupkan tangan ke dalam wadah wudhu
sejatinya hanyalah niat untuk membasuh anggota wudhu di luar wadah, sehingga
asalkan wudhunya tidak di dalam wadah maka otomatis sudah terpenuhi niat ightiraf (Bagian 2 silakan baca di sini). Praktik demikian menurut Syaikh asy-Syarwani adalah praktik hampir semua orang,
bahkan yang awam sekalipun, sebagaimana sudah dinukil sebelumnya.
Meskipun sudah demikian mudah untuk dipraktikkan,
namun ternyata para ulama, bahkan di internal Syafi’iyah sekalipun, tidak
seluruhnya sepakat untuk mewajibkan adanya niat ightiraf ini. Ada juga
tokoh Syafi’iyah yang menganggap bila saat tangan menyentuh air di dalam wadah
tanpa ada niat apapun, maka airnya tidak menjadi musta’mal. Imam Nawawi menyebutkan:
وَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَصِيرُ،
وَقَطَعَ الْبَغَوِيُّ بِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ
“Apabila
ia tidak berniat apapun maka menurut pendapat yang shahih airnya menjadi musta’mal.
Tetapi al-Baghawi memastikan bahwa air tersebut tidak musta’mal”.
(an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I, halaman 9).
Dengan demikian menurut al-Baghawi, ketika tangan
menyentuh air di dalam wadah belum ada niatan sama sekali, baik niatan untuk
membasuh tangan di dalam wadah atau membasuhnya di luar wadah, maka tetap saja
tak masalah sebab airnya tidak menjadi musta’mal. Pendapat ini lebih
ringan daripada pendapat resmi mazhab Syafi’i.
Senada dengan al-Baghawi, beberapa ulama Syafi’iyah
lainnya banyak yang tidak mewajibkan niat ightirâf sama sekali,
sebagaimana dinukil dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidîn. Di antara mereka yang
tidak mewajibkannya adalah Ibnu al-Muqri, asy-Syasi, Ibnu Abdissalam, Ibnu
‘Ujail, dan inilah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Ghazali. Hal ini membuat Syaikh Abu Makhramah
menghimbau para alim ulama demikian:
قال أبو مخرمة : فلا يشدد العالم على العامي بل يفتيه بعدم
وجوبها
Abu
Makhramah berkata: “Maka orang alim janganlah mempersulit orang awam, tapi
hendaknya dia berfatwa dengan ketidak wajiban niat ightirâf.” (Sayyid
Abdurrahman Ba’alawi, Bughyat al-Musytarsyidîn, halaman 26).
Bila
kita mengikuti pendapat yang tak mewajibkan niat ightiraf ini, maka
asalkan wudhu dilakukan di luar wadah air berarti hukumnya sah meskipun dalam
hati tak ada niatan sama sekali untuk mengeluarkan air ke luar dari wadahnya.
Anggap saja misalnya orangnya masih mengobok-obok air tanpa ada niatan
melanjutkan wudhu. Hal ini tak membuat airnya menjadi musta’mal.
Meskipun dinilai sebagai pendapat lemah dalam mazhab, namun pendapat ini bisa
difatwakan untuk orang dipraktikkan orang awam.
Yang
bermasalah hanyalah ketika ada niatan untuk membasuh tangan di dalam wadah air,
tidak di luarnya. Dalam perspektif Syafi’iyah, ini menyebabkan airnya menjadi musta’mal
sehingga tak bisa dipakai lagi, seperti sudah dibahas sebelumnya. Namun,
bila kita keluar dari mazhab Syafi’i dan beralih ke mazhab lain, maka air musta’mal
pun masih boleh dipakai untuk berwudhu. Mazhab Malikiyah misalnya
berpendapat:
المالكية قالوا: الاستعمال لا يرفع طهورية الماء، فيجوز
استعماله في الوضوء، والغسل، ونحوهما، ولكن يكره استعماله في ذلك إن وجد غيره،
فالاستعمال لا يسلب طهورية الماء، ولو كان ذلك الماء قليلاً
“Para
Ulama Malikiyah berkata: Pemakaian air tidak menghilangkan kemampuan air
tersebut Untuk menyucikan [lagi], maka boleh memakai air musta’mal di
dalam wudhu, mandi dan selainnya. Akan tetapi makruh untuk memakai air
musta’mal untuk tujuan tersebut apabila masih ditemukan air lainnya.
Pemakaian air itu sendiri tidak menghilangkan kemampuan air untuk mensucikan
benda lain meskipun air tersebut sedikit.” (Abdurrahman al-Jaza’iri, al-Fiqh
‘ala Madzâhib al-Arba’ah, juz I, halaman 37).
Tentunya
bila beralih mazhab seharusnya mengikuti seluruh aturan mazhab tersebut.
Misalnya, dalam mazhab Maliki berwudhu wajib untuk membasuh seluruh kepala dari
depan hingga belakang dan wajib untuk menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya
dengan mengalirkan air saja ke kulit. Asal aturan ini dilakukan maka tak
masalah berwudhu langsung ke dalam air gayung sekalipun sebab meskipun
berstatus air sisa tetapi tetap dapat digunakan.
Dengan
demikian, polemik tentang sah tidaknya wudhu dalam air yang hanya satu gayung
adalah ranah ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama) yang
lumrah di dalam dunia fiqih. Inti dari semua bahasan ini adalah: bila mengikuti
mazhab yang melarang penggunaan air musta’mal, maka berwudhu dengan air
satu gayung adalah sah selama wudhunya dilakukan di luar gayung. Bila mengikuti
mazhab yang tidak melarang penggunaannya, maka wudhunya sah meskipun dilakukan
di dalam gayung itu sekalipun.
Wallahu
a'lam.
Sumber: di sini
0 comments:
Post a Comment