2. Pahala Sedekah
Selain doa dari orang-orang Muslim, yang juga memberi
manfaat bagi orang-orang yang telah meninggal dunia adalah pahala sedekah.
Seseorang yang bersedekah lalu sedekah itu ia atas namakan orang yang telah
meninggal dunia, maka pahala sedekah itu akan sampai dan memberi manfaat bagi
si mayit. Sebagian orang telah menolak hal ini dengan mengatakan bahwa mayit
tetap tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh
orang-orang yang hidup. Namun ketahuilah bahwa perkataan mereka itu sedikit pun
tidak mengandung kebenaran dan menunjukkan pengingkaran mereka terhadap ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mari kita simak sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa
sedekah orang yang masih hidup apabila pahalanya dihadiahkan kepada orang yang
telah meninggal dunia, maka si mayit akan memperoleh manfaat darinya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاًَ
قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ
نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ
تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: “Dari Aisyah ra bahwa ada seorang
laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,: “Ibuku meninggal
dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan
bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya
(atas namanya)?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Pada hadits ini jelas sekali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa sedekah
seseorang yang masih hidup bisa bermanfaat bagi orang yang telah meninggal
dunia, tentu saja dengan syarat sedekah itu diatasnamakan untuk orang yang
telah meninggal dunia tersebut. Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, Juz 11, halaman 84, menjelaskan bahwa pahala
sedekah itu sampai kepada mayit telah menjadi ijma’ umat Islam. Artinya, orang
yang tidak percaya bahwa pahala sedekah itu bisa sampai kepada orang yang telah
meninggal dunia sesungguhnya telah menentang kesepakatan umat Islam, bahkan
menentang apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat lain disebut sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ
غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا
غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra bahwa Sa’ad bin Ubadah
ra ibunya meninggal dunia saat dia tidak ada di sisinya. Kemudian dia berkata, “Wahai
Rasulullah, ibuku meninggal dunia saat aku tidak ada. Apakah akan bermanfaat
baginya bila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau bersabda, “Ya.”
Dia berkata, “Aku bersaksi kepada Tuan bahwa kebunku yang penuh dengan
bebuahannya ini aku sedekahkan atas (nama) nya.” (HR Imam Bukhari).
Di hadits ini diberitakan bahwa
sesuatu yang disedekahkan atas nama seseorang yang telah meninggal dunia bukan
hanya dalam bentuk uang ataupun makanan, namun juga kebun dan segala yang ada
di dalamnya. Sa’ad bin Ubadah ra
ingin sekali melakukan sesuatu yang bisa memberikan manfaat untuk ibunya yang
telah meninggal dunia, maka ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam apakah jika ia bersedekah diatasnamakan ibunya yang telah wafat itu
akan memberikan manfaat baginya? Terhadap pertanyaan itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan sedekah itu akan bermanfaat bagi ibunya. Maka
Sa’ad bin Ubadah ra pun menyedekahkan kebun miliknya yang pahalanya ia mohonkan
kepada Allah agar bermanfaat bagi ibunya yang telah tiada.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاًَ
قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ
مَالاًَ وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ
نَعَمْ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku telah
meninggal dunia dan meninggalkan harta, namun dia tidak memberi wasiat terhadap
harta yang ditinggalkannya, dapatkah harta itu menghapus dosa-dosanya jika
harta tersebut aku sedekahkan atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR
Imam Muslim).
Coba Anda perhatikan hadits di atas. Di dalamnya Abu
Hurairah ra menceritakan kepada kita tentang seorang laki-laki yang bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah harta yang
disedekahkan dapat menghapus dosa-dosa ayahnya yang telah meninggal dunia?
Terhadap pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
ya. Artinya, sedekah yang diberikan oleh orang yang masih hidup apabila dengan
ikhlas diniatkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, maka si
mayit itu akan menerima manfaatnya, bahkan bisa menjadi penebus bagi
dosa-dosanya.
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ شُعْبَةَ يُحَدِّثُ
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ الْحَسَنَ يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ
أَنَّ أُمَّهُ مَاتَتْ فَقَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَيُّ
الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ قَالَ فَتِلْكَ سِقَايَةُ آلِ سَعْدٍ
بِالْمَدِينَةِ قَالَ شُعْبَةُ فَقُلْتُ لِقَتَادَةَ مَنْ يَقُوْلُ تِلْكَ
سِقَايَةُ آلِ سَعْدٍ قَالَ الْحَسَنُ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Hajjaj
berkata, “Aku mendengar Syu'bah bercerita dari Qatadah berkata, “Aku mendengar al-Hasan
bercerita dari Sa'ad bin Ubadah ibunya meninggal dunia lalu ia berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku meninggal, apakah aku
bersedekah untuknya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya.”
Ia bertanya, “Sedekah apa yang paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Memberi minum.” Berkata al-Hasan, “Itulah sumur keluarga
Sa'ad di Madinah.” Berkata Syu’bah, “Aku berkata kepada Qatadah, “Siapa yang
berkata: Itulah sumur keluarga Sa'ad?” Ia menjawab, “al-Hasan”. (HR Imam
Ahmad).
Perhatikanlah, di hadits ini
diceritakan Sa’ad bin Ubadah ra karena ingin memberikan sedekah yang terbaik
untuk ibunya yang telah wafat, ia kemudian membuat sebuah sumur di Madinah,
yang setiap orang diizinkan untuk mengambil air darinya. Semua pahala dari sedekah yang ia lakukan itu ia
niatkan untuk ibunya yang telah tiada.
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا
حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ
الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ
وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِي نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِيْنَ بَدَنَةً وَأَنَّ
عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ
أَمَّا أَبُوْكَ فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيْدِ فَصُمْتَ وَتَصَدَّقْتَ
عَنْهُ نَفَعَهُ ذَلِكَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Husyaim
telah mengkhabarkan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Amru bin
Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa pada masa Jahiliyah al-Ash
bin Wa`il bernadzar untuk menyembelih seratus ekor unta, dan Hisyam bin al-Ash
menyembelih bagiannya sebanyak lima puluh ekor unta, dan sesungguhnya Amru
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu, lalu
beliau pun bersabda, “Adapun bapakmu, seandainya dia mau mengikrarkan tauhid
lalu kamu berpuasa dan bersedekah untuknya, niscaya itu akan bermanfaat
baginya.” (HR Imam Ahmad).
Dalam hadits di atas ada kalimat: “…seandainya dia
mau mengikrarkan tauhid lalu kamu berpuasa dan bersedekah untuknya, niscaya itu
akan bermanfaat baginya.” Maknanya adalah selama orang yang meninggal dunia
itu adalah orang yang pernah mengikrarkan kalimat tauhid dan ia tetap
mempertahankan apa yang telah diikrarkannya itu hingga kematian menjemputnya,
maka ia bisa menerima manfaat dari amal yang dilakukan oleh orang yang masih
hidup, semisal sedekah atau puasa, yang pahalanya diniatkan untuknya.
3. Pahala Puasa
Puasa adalah salah satu amaliah
yang dilakukan oleh orang yang masih hidup yang pahalanya bisa sampai kepada
orang yang telah meninggal dunia apabila diniatkan untuknya. Ada banyak hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang hal itu. Simaklah baik-baik,
semoga Allah memberikan pemahaman yang baik pada diri kita.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: “Dari Aisyah ra bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang
puasa maka walinya (boleh) berpuasa untuknya.” (HR Imam Bukhari dan Imam
Muslim).[1]
Pada hadits ini Aisyah ra menceritakan
kepada kita apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yakni jika ada seseorang yang meninggal dunia sedangkan ia masih
memiliki hutang puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya. Seseorang yang memiliki hutang puasa berarti memiliki
tanggungan kewajiban yang belum ia tunaikan. Sedangkan jika suatu ibadah yang
diwajibkan itu tidak ditunaikan maka ia memperoleh dosa. Nah, orang yang
meninggal dunia dan masih meninggalkan kewajiban puasanya, maka ia menanggung
dosa. Namun hal itu bisa dianggap terampuni dan kewajiban puasanya dipandang
telah ditunaikan jika walinya atau ahli warisnya berpuasa untuknya. Lihatlah, bukankah
itu berarti amal orang yang hidup pahala dan manfaatnya sampai kepada orang
yang telah meninggal dunia?
Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ
أَفَأَقْضِيْهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Datang
seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai
kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Hutang
kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR Imam Bukhari).
Meninggalkan puasa berarti meninggalkan kewajiban yang
harus dilaksanakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang
meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang puasa digambarkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhutang kepada Allah. Jika hutang
kepada manusia saja harus dibayar, maka tentunya hutang kepada Allah jauh lebih
layak untuk dibayar. Nah, orang yang meninggal dunia karena sudah tidak mungkin
lagi baginya untuk melunasi hutang puasanya kepada Allah, maka orang yang masih
hiduplah yang harus membayarnya, terutama dari kalangan ahli warisnya.[2] Apabila ahli warisnya telah berpuasa untuknya maka
hutang puasanya dianggap terbayarkan. Artinya, amaliah orang yang masih hidup
bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia.
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي
بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ قَالَ فَقَالَ وَجَبَ أَجْرُكِ وَرَدَّهَا
عَلَيْكِ الْمِيْرَاثُ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ
شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ صُوْمِي عَنْهَا
Artinya: “Dari Buraidah ra, ia berkata, “Ketika
saya sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba
datanglah seorang wanita dan berkata, “Aku pernah memberikan seorang budak
wanita kepada ibuku, dan kini ibuku telah meninggal. Bagaimana dengan hal itu?”
Beliau menjawab, “Kamu telah mendapatkan pahala atas pemberianmu itu, dan
sekarang pemberianmu itu telah kembali kepadamu sebagai pusaka.” Wanita itu
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, ibuku punya hutang puasa satu bulan, bolehkah
saya membayar puasanya?” Beliau menjawab: “Ya, bayarlah puasanya itu.” (HR
Imam Muslim).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً
رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ
تَصُوْمَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ
فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُوْمِي
Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita
pergi berlayar, dan ia bernadzar jika Allah Tabaraka wa Ta’ala menyelamatkannya
(hingga mencapai daratan) maka ia akan berpuasa selama satu bulan penuh.
Kemudian Allah Azza wa Jalla menyelamatkannya, tetapi ia tidak berpuasa hingga
ia meninggal dunia. Maka salah seorang kerabatnya menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal itu. Beliau berkata, “Berpuasalah engkau
untuknya!” (HR Imam Ahmad).
Selain membayar hutang puasa
orang yang telah meninggal dunia dengan cara berpuasa untuknya, diriwayatkan
pula dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sampainya pahala
pemberian makanan kepada orang yang sudah meninggal dunia sebagai pengganti
puasanya.
Perhatikanlah hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ
فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
Artinya: “Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan masih
memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya.” (HR Imam Tirmidzi).
Dalam hadits ini disebutkan
alternatif lain yang bisa dilakukan untuk melunasi hutang puasa orang yang
telah meninggal dunia, yakni dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap
hari puasa yang ia tinggalkan. Artinya,
jika Anda memberi sedekah berupa makanan kepada seorang miskin pada setiap
hari-hari puasa yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia,
maka pahalanya akan sampai kepadanya dan ia dianggap telah melunasi hutang
puasanya. Ini berarti amaliah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa
memberi manfaat bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Renungkanlah.
Bersambung...
[1] Hadits ini
dikuatkan pula oleh Ibnu Wahab dari 'Amru. Dan Yahya bin Ayyub meriwayatkannya
dari Ibnu Abu Ja'far.
[2]
Imam Nawawi mengatakan disunnahkan bagi wali (yakni kaum kerabat) untuk
membayar hutang puasa orang yang telah wafat. Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Imam al-Hasan al-Bashri, Thawus, Zuhri, Qatadah, Abu Tsur dan
yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment