Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Saturday, October 20, 2018

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Kedua)

2. Pahala Sedekah

Selain doa dari orang-orang Muslim, yang juga memberi manfaat bagi orang-orang yang telah meninggal dunia adalah pahala sedekah. Seseorang yang bersedekah lalu sedekah itu ia atas namakan orang yang telah meninggal dunia, maka pahala sedekah itu akan sampai dan memberi manfaat bagi si mayit. Sebagian orang telah menolak hal ini dengan mengatakan bahwa mayit tetap tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup. Namun ketahuilah bahwa perkataan mereka itu sedikit pun tidak mengandung kebenaran dan menunjukkan pengingkaran mereka terhadap ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mari kita simak sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa sedekah orang yang masih hidup apabila pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka si mayit akan memperoleh manfaat darinya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاًَ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Artinya: “Dari Aisyah ra bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,: “Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya (atas namanya)?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Pada hadits ini jelas sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa sedekah seseorang yang masih hidup bisa bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia, tentu saja dengan syarat sedekah itu diatasnamakan untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut. Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, Juz 11, halaman 84, menjelaskan bahwa pahala sedekah itu sampai kepada mayit telah menjadi ijma’ umat Islam. Artinya, orang yang tidak percaya bahwa pahala sedekah itu bisa sampai kepada orang yang telah meninggal dunia sesungguhnya telah menentang kesepakatan umat Islam, bahkan menentang apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam riwayat lain disebut sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra bahwa Sa’ad bin Ubadah ra ibunya meninggal dunia saat dia tidak ada di sisinya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia saat aku tidak ada. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau bersabda, “Ya.” Dia berkata, “Aku bersaksi kepada Tuan bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku sedekahkan atas (nama) nya.” (HR Imam Bukhari).

Di hadits ini diberitakan bahwa sesuatu yang disedekahkan atas nama seseorang yang telah meninggal dunia bukan hanya dalam bentuk uang ataupun makanan, namun juga kebun dan segala yang ada di dalamnya. Sa’ad bin Ubadah ra ingin sekali melakukan sesuatu yang bisa memberikan manfaat untuk ibunya yang telah meninggal dunia, maka ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah jika ia bersedekah diatasnamakan ibunya yang telah wafat itu akan memberikan manfaat baginya? Terhadap pertanyaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan sedekah itu akan bermanfaat bagi ibunya. Maka Sa’ad bin Ubadah ra pun menyedekahkan kebun miliknya yang pahalanya ia mohonkan kepada Allah agar bermanfaat bagi ibunya yang telah tiada.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاًَ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاًَ وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta, namun dia tidak memberi wasiat terhadap harta yang ditinggalkannya, dapatkah harta itu menghapus dosa-dosanya jika harta tersebut aku sedekahkan atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR Imam Muslim).

Coba Anda perhatikan hadits di atas. Di dalamnya Abu Hurairah ra menceritakan kepada kita tentang seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah harta yang disedekahkan dapat menghapus dosa-dosa ayahnya yang telah meninggal dunia? Terhadap pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ya. Artinya, sedekah yang diberikan oleh orang yang masih hidup apabila dengan ikhlas diniatkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, maka si mayit itu akan menerima manfaatnya, bahkan bisa menjadi penebus bagi dosa-dosanya.

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ شُعْبَةَ يُحَدِّثُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ الْحَسَنَ يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّ أُمَّهُ مَاتَتْ فَقَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ قَالَ فَتِلْكَ سِقَايَةُ آلِ سَعْدٍ بِالْمَدِينَةِ قَالَ شُعْبَةُ فَقُلْتُ لِقَتَادَةَ مَنْ يَقُوْلُ تِلْكَ سِقَايَةُ آلِ سَعْدٍ قَالَ الْحَسَنُ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Hajjaj berkata, “Aku mendengar Syu'bah bercerita dari Qatadah berkata, “Aku mendengar al-Hasan bercerita dari Sa'ad bin Ubadah ibunya meninggal dunia lalu ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku meninggal, apakah aku bersedekah untuknya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya.” Ia bertanya, “Sedekah apa yang paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memberi minum.” Berkata al-Hasan, “Itulah sumur keluarga Sa'ad di Madinah.” Berkata Syu’bah, “Aku berkata kepada Qatadah, “Siapa yang berkata: Itulah sumur keluarga Sa'ad?” Ia menjawab, “al-Hasan”. (HR Imam Ahmad).

Perhatikanlah, di hadits ini diceritakan Sa’ad bin Ubadah ra karena ingin memberikan sedekah yang terbaik untuk ibunya yang telah wafat, ia kemudian membuat sebuah sumur di Madinah, yang setiap orang diizinkan untuk mengambil air darinya. Semua pahala dari sedekah yang ia lakukan itu ia niatkan untuk ibunya yang telah tiada. 

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِي نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِيْنَ بَدَنَةً وَأَنَّ عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ أَمَّا أَبُوْكَ فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيْدِ فَصُمْتَ وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ نَفَعَهُ ذَلِكَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengkhabarkan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa pada masa Jahiliyah al-Ash bin Wa`il bernadzar untuk menyembelih seratus ekor unta, dan Hisyam bin al-Ash menyembelih bagiannya sebanyak lima puluh ekor unta, dan sesungguhnya Amru bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu, lalu beliau pun bersabda, “Adapun bapakmu, seandainya dia mau mengikrarkan tauhid lalu kamu berpuasa dan bersedekah untuknya, niscaya itu akan bermanfaat baginya.” (HR Imam Ahmad).

Dalam hadits di atas ada kalimat: “…seandainya dia mau mengikrarkan tauhid lalu kamu berpuasa dan bersedekah untuknya, niscaya itu akan bermanfaat baginya.” Maknanya adalah selama orang yang meninggal dunia itu adalah orang yang pernah mengikrarkan kalimat tauhid dan ia tetap mempertahankan apa yang telah diikrarkannya itu hingga kematian menjemputnya, maka ia bisa menerima manfaat dari amal yang dilakukan oleh orang yang masih hidup, semisal sedekah atau puasa, yang pahalanya diniatkan untuknya. 

3. Pahala Puasa

Puasa adalah salah satu amaliah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup yang pahalanya bisa sampai kepada orang yang telah meninggal dunia apabila diniatkan untuknya. Ada banyak hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang hal itu. Simaklah baik-baik, semoga Allah memberikan pemahaman yang baik pada diri kita.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: “Dari Aisyah ra bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka walinya (boleh) berpuasa untuknya.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).[1]

Pada hadits ini Aisyah ra menceritakan kepada kita apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni jika ada seseorang yang meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya. Seseorang yang memiliki hutang puasa berarti memiliki tanggungan kewajiban yang belum ia tunaikan. Sedangkan jika suatu ibadah yang diwajibkan itu tidak ditunaikan maka ia memperoleh dosa. Nah, orang yang meninggal dunia dan masih meninggalkan kewajiban puasanya, maka ia menanggung dosa. Namun hal itu bisa dianggap terampuni dan kewajiban puasanya dipandang telah ditunaikan jika walinya atau ahli warisnya berpuasa untuknya. Lihatlah, bukankah itu berarti amal orang yang hidup pahala dan manfaatnya sampai kepada orang yang telah meninggal dunia?

Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيْهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR Imam Bukhari).

Meninggalkan puasa berarti meninggalkan kewajiban yang harus dilaksanakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang puasa digambarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhutang kepada Allah. Jika hutang kepada manusia saja harus dibayar, maka tentunya hutang kepada Allah jauh lebih layak untuk dibayar. Nah, orang yang meninggal dunia karena sudah tidak mungkin lagi baginya untuk melunasi hutang puasanya kepada Allah, maka orang yang masih hiduplah yang harus membayarnya, terutama dari kalangan ahli warisnya.[2] Apabila ahli warisnya telah berpuasa untuknya maka hutang puasanya dianggap terbayarkan. Artinya, amaliah orang yang masih hidup bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia.

عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ قَالَ فَقَالَ وَجَبَ أَجْرُكِ وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيْرَاثُ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ صُوْمِي عَنْهَا
Artinya: “Dari Buraidah ra, ia berkata, “Ketika saya sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang wanita dan berkata, “Aku pernah memberikan seorang budak wanita kepada ibuku, dan kini ibuku telah meninggal. Bagaimana dengan hal itu?” Beliau menjawab, “Kamu telah mendapatkan pahala atas pemberianmu itu, dan sekarang pemberianmu itu telah kembali kepadamu sebagai pusaka.” Wanita itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, ibuku punya hutang puasa satu bulan, bolehkah saya membayar puasanya?” Beliau menjawab: “Ya, bayarlah puasanya itu.” (HR Imam Muslim).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْجَاهَا أَنْ تَصُوْمَ شَهْرًا فَأَنْجَاهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ قَرَابَةٌ لَهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صُوْمِي
Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita pergi berlayar, dan ia bernadzar jika Allah Tabaraka wa Ta’ala menyelamatkannya (hingga mencapai daratan) maka ia akan berpuasa selama satu bulan penuh. Kemudian Allah Azza wa Jalla menyelamatkannya, tetapi ia tidak berpuasa hingga ia meninggal dunia. Maka salah seorang kerabatnya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal itu. Beliau berkata, “Berpuasalah engkau untuknya!” (HR Imam Ahmad).

Selain membayar hutang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan cara berpuasa untuknya, diriwayatkan pula dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sampainya pahala pemberian makanan kepada orang yang sudah meninggal dunia sebagai pengganti puasanya.

Perhatikanlah hadits berikut ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
Artinya: “Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya.” (HR Imam Tirmidzi).

Dalam hadits ini disebutkan alternatif lain yang bisa dilakukan untuk melunasi hutang puasa orang yang telah meninggal dunia, yakni dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan. Artinya, jika Anda memberi sedekah berupa makanan kepada seorang miskin pada setiap hari-hari puasa yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepadanya dan ia dianggap telah melunasi hutang puasanya. Ini berarti amaliah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa memberi manfaat bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Renungkanlah.

Bersambung...


[1] Hadits ini dikuatkan pula oleh Ibnu Wahab dari 'Amru. Dan Yahya bin Ayyub meriwayatkannya dari Ibnu Abu Ja'far.
[2] Imam Nawawi mengatakan disunnahkan bagi wali (yakni kaum kerabat) untuk membayar hutang puasa orang yang telah wafat. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam al-Hasan al-Bashri, Thawus, Zuhri, Qatadah, Abu Tsur dan yang lainnya.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online