Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Friday, March 29, 2019

Allah Ingin Engkau Mengenal-Nya

 
اِذاَ فَتَحَ لَكَ وِجْهَة ً مِنَ التَّـعَرُّفِ فَلاَ تُبَالِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلاَّ وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّـعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدهُ عَلَيْكَ وَاْلاَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ وَاَيْنَ مَاتُـهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ اِلَيْكَ
Apabila telah dibukakan Allah kepadamu jalan menuju ma’rifat, maka sungguh dengan kema’rifatan itu engkau tak perlu peduli dengan amalmu yang sedikit. Karena sesungguhnya tidaklah dibukakan kema’rifatan itu kepadamu kecuali karena Dia ingin engkau mengenal-Nya. Tidakkah engkau mengerti bahwa ma’rifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amalmu hanya balas jasa kepada-Nya. Lalu, di manakah letak perbandingan antara balas jasamu kepada-Nya dengan ma’rifat yang Dia anugerahkan kepadamu?
 
Syarah:
Sudah menjadi fitrah bahwa orang yang beriman selalu ingin mengenal Allah yang telah menciptakan dan melindunginya. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua orang dapat mengenal-Nya. Hanya orang –orang tertentu yang telah mendapatkan jalan menuju ma’rifat sajalah yang benar-benar bisa mengenal Allah lewat penglihatan mata hatinya. Dan ini merupakan nikmat yang sangat besar yang diberikan Allah kepadanya.
 
Ma’rifat mengenal kepada Allah adalah puncak keberuntungan seorang hamba, maka apabila Dia telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal-Nya, maka engkau tak perlu mempedulikan sudah berapa banyak amalmu. Sebab ma’rifat itu sebuah karunia dan pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikan yang telah engkau lakukan. Bila pintu ma’rifat terbuka untukmu, itu pertanda bahwa Allah ingin engkau mengenal-Nya.
Share:
Share:

Tuesday, March 26, 2019

Meragukan Janji Allah akan Memadamkan Cahaya Nurani


لاَ يُشَكِّـكَنَّكَ فِى الْوَعْدِ عَدَمُ وُقُوْعِ الْمَوْعُوْدِ وَاِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُـهُ لِئَـلاَّيَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًا فِى بَصِيْرَتِكَ وَاِخْـمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ
Jangan sekali-kali engkau meragukan janji Allah yang telah Dia janjikan, sedang waktunya sudah nyata (akan datang), hanya saja belum tiba (saatnya); agar keragu-raguanmu itu tidak mengotori penglihatan mata hatimu dan tidak memadamkan cahaya nuranimu..

Syarah:

Dalam hikmah sebelumnya telah dijelaskan bahwa Allah akan mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Demikianlah yang telah menjadi janji-Nya. Karena itu, apabila suatu saat doa kita belum dikabulkan-Nya, maka janganlah hal itu membuat kita ragu dalam menerima janji-Nya. Sebab keraguan itu akan mengotori hati kita dan akan menyebabkan redupnya cahaya iman yang menerangi penglihatan mata batin kita.

Allah telah berfirman di dalam al-Qur’an bahwa Dia adalah Dzat yang takkan pernah mengingkari janji. Ayat tersebut dapat dijadikan pegangan agar hati kita tidak ragu akan janji-Nya dan agar kita tidak berputus asa dalam memohon bantuan dan pertolongan-Nya.
Share:

Monday, March 25, 2019

Kabulnya Doa Sesuai Keinginan-Nya

لاَيَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْاِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَاءْسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ اْلاِجَابَة َ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لاَ فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى الْوَقْتِ الَّذِى يُرِيْدُ لاَ فِى الْوَقْتِ الَّذِى تُـرِيْدُ
Janganlah keterlambatan (tertundanya) waktu pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau (telah) bersungguh-sungguh dalam berdoa menyebabkan (engkau) putus harapan, sebab Allah telah menjamin dan menerima semua doa dalam apa yang Dia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu; dan pada waktu yang Dia ditentukan, bukan pada waktu yang engkau tentukan.

Syarah:
Allah telah berjanji akan mengabulkan doa,  sesuai dengan firman-Nya: “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan untukmu.” 

Dan Allah berfirman: 

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih.” (QS. Al-Qashash: 68)

Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang selintas tampak baik baginya, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya. Karena itu bila Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana memilihkan sesuatu untuknya, hendaknya ia ridha dan menerima pilihan itu; walaupun pada lahirnya terasa pahit dan menyakitkan, namun itulah yang terbaik baginya. Itulah sebabnya bila engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, namun belum juga terkabul harapanmu, janganlah terburu-buru putus asa dan menghentikan doamu.

Firman Allah: 

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Imam Abul Hasan Asy-Syadzili menjelaskan kandungan firman Allah berikut:

قَدْ أُجِيْبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيْمَا وَلاَ تَتَّبِعَانِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua (yakni Musa dan Harun, berkenaan dengan kebinasaan Fir'aun dan tentaranya), maka hendaklah kamu berdua tetap istiqamah (yakni sabar dalam melanjutkan perjuangan dan terus berdoa), dan jangan mengikuti jejak orang-orang yang tidak mengerti (kekuasaan dan kebijaksanaan Allah).” (QS. Yunus: 89)

Maka terwujudnya kebinasaan Fir'aun setelah Allah menerima doa Nabi Musa dan Nabi Harun, yakni setelah berdoa selama 40 tahun.

Rasulullah Saw bersabda: “Pasti akan dikabulkan doamu selama tidak terburu-buru, yakni dengan berkata, “Aku telah berdoa, dan tidak diterima.”

Rasulullah Saw juga bersabda: “Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau dihindarkan darinya marabahaya, atau diampuni sebagian dosanya; selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang mengandung dosa atau untuk memutus silaturrahim.”

Tatkala Syaikh Abu Abbas al-Mursi jatuh sakit, datanglah seseorang menjenguknya seraya berkata, “Afakallah--Semoga Allah menyembuhkanmu.” Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab. Kemudian orang itu berkata lagi, “Allah yu'aafika.” Maka Abu Abbas menjawab, “Apakah kau mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Allah? Sungguh aku telah memohon kesehatan, dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah Rasulullah Saw memohon kesehatan dan beliau berkata, “Selalu bekas makanan khaibar itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.” Abu Bakar as-Shiddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khaththab memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh. Utsman bin Affan memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Ali bin Abi Thalib memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Maka bila engkau memohon kesehatan kepada Allah, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan-Nya untukmu. Maka sebaik-baik hamba adalah yang menyerahkan segala sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu syahwatnya.”
Share:

Sunday, March 24, 2019

Tanda Butanya Mata Hati


اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْـصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
Kesungguhanmu untuk mencapai apa yang telah dijamin Allah untukmu, dan kelalaianmu terhadap apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, adalah tanda butanya mata hatimu.
 
Syarah:
Siapa saja yang disibukkan mencari sesuatu yang telah dijamin Allah untuknya, seperti rizki, sehingga menyebabkannya lalai dalam memenuhi kewajiban yang telah diperintahkan Allah atasnya, maka itu pertanda kebutaan mata hatinya.
 
Firman Allah: 

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Ankabut:  60)
 
Firman Allah: 

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta (menuntut) rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha 132)
 
Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu terhadap Allah, dan Allah akan mencukupi untukmu apa yang menjadi bagianmu.
 
Di sini ada dua perkara yang perlu diperhatikan
 
1. Yang dijamin oleh Allah untukmu pasti akan sampai kepadamu. Maka jangan berburuk sangka (su-uzhan) kepada Allah. Dia pasti menepati janji-Nya.
2. Yang dituntut Allah atasmu, yakni kewajibanmu terhadap Allah, maka jangan pernah engkau abaikan sepanjang hidupmu.
 
Syaikh Ibrahim al-Khawwas berkata, “Janganlah memaksakan diri untuk mencapai apa yang telah dijamin Allah untukmu, dan jangan pula engkau mengabaikan apa yang diamanatkan Allah atasmu.” 
 
Oleh sebab itu, barangsiapa yang berusaha untuk mencapai apa yang sudah dijamin Allah untuknya, dan mengabaikan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya kepada Allah, maka itu merupakan pertanda yang sangat jelas akan kebutaan mata hatinya.
Share:

Friday, March 22, 2019

Tenangkan Jiwamu


اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّـدْ بِـيْرِفَماَ قَامَ بهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُـمْ بِهِ لِنَـفْـسِكَ
Tenangkan jiwamu dari urusan kepentingan dunia, sebab apa yang telah dijamin Allah untukmu, janganlah engkau turut memikirkannya.

Syarah:

Kecemasan dan ketidaktenangan jiwa kebanyakan disebabkan oleh keadaan pikiran yang mengkhawatirkan kejadian-kejadian buruk yang akan menimpa kita. Padahal kejadian itu sendiri belum tentu akan terjadi. Keadaan ini sebagian besar dialami oleh orang-orang yang kurang memiliki sifat tawakkal kepada Allah.

Sebagai seorang hamba, wajib bagi kita mengetahui kewajiban apa yang ditetapkan Allah atas kita, dan wajib melaksanakannya. Sedangkan jaminan “upah” ada di tangan-Nya, maka tenangkan jiwamu dan tidak perlu ikut memikirkan apa yang telah dijamin Allah untukmu. Jangan pula engkau meragukan akan sampainya jaminan itu kepadamu, sebab ragu terhadap jaminan Allah merupakan tanda lemahnya iman.
Share:

Wednesday, March 20, 2019

Apa Standar Menjijikkan atau Tidaknya Seekor Hewan?

Allah menghalalkan berbagai macam jenis makanan pada manusia dan mengharamkan sebagian jenis makanan yang lain. Salah satu jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah berbagai macam daging hewan. Dalam menjelaskan halal-haramnya mengonsumsi hewan, syariat ada kalanya menyebutkan nama hewan tersebut lalu memberi status hukum mengonsumsinya secara tegas. Misalnya, tentang halalnya ikan dan belalang dan haramnya daging babi.

Dalam kesempatan lain, syariat tidak menyebut nama hewan tertentu, melainkan kriteria-kriterianya. Seperti yang terjadi pada haramnya hewan yang memiliki gigi taring (dzi nabin) dari beberapa hewan buas dan memiliki kuku yang bercakar (dzi mikhlab) dari berbagai jenis burung.

Adakalanya juga syariat menjelaskan halal-haram suatu makanan dari jenis hewan tanpa menyebutkan nama spesifik hewan dan tanpa menyebut pula kriterianya, melainkan berdasarkan sifat baik-buruknya suatu makanan yang salah satunya mencakup terhadap berbagai macam jenis hewan. Hal ini misalnya seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
 
يَسْأَلونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik’.” (QS. Al-Maidah Ayat: 4)

Dalam menjelaskan salah satu sifat orang mukmin, Al-Qur’an juga menyinggung hal ini:
 
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
“Orang yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS Al-A’raf Ayat: 157)

Dalam berbagai kitab fiqih klasik dijelaskan bahwa yang menjadi pijakan baik-buruknya suatu hewan sehingga layak dimakan atau tidak adalah berdasarkan penilaian orang Arab, bukan berdasarkan penilaian dari golongan selain Arab. Sehingga ketika terdapat pertentangan antara penilaian orang Arab dengan penilaian orang selain dari bangsa Arab dalam menilai suatu hewan tentang layak dimakan atau tidak, maka yang dimenangkan adalah penilaian orang Arab.

Pertanyaannya, mengapa yang menjadi pijakan penilaian baik-buruknya (menjijikkan atau tidak) suatu hewan ditentukan oleh orang Arab? Mengapa masyarakat dari bangsa lain tidak berhak untuk memiliki penilaiannya sendiri?

Dalam berbagai referensi disebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena orang Arab-lah yang pertama kali mendapatkan tuntutan syariat Islam dan kepada merekalah Rasulullah Saw menjadi utusan Allah, serta dikarenakan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yang tak lain agar mereka dapat memahaminya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab at-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghayah wa at-Taqrib:
 
وَكُلُّ حَيَوَانٍ اِسْتَخْبَثَتْهُ اَلْعَرَبُ فَهُوَ حَرَامٌ اِلّا مَا وَرَدَ اَلشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ, وَاعْتُبِرَ عُرْفُ الْعَرَبِ ِلأَنَّهُمْ اَلَّذِيْنَ خُوطِبُوا بِالشَّرْعِ أَوَّلًا وَفِيْهِمْ بُعِثَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلاَّمَ وَنَزَلَ اَلْقُراَنُ.
“Setiap hewan yang dianggap menjijikkan menurut orang Arab maka dihukumi haram kecuali hewan-hewan yang dijelaskan oleh syara’ tentang kehalalannya. Kebiasaan orang Arab dijadikan pijakan tak lain dikarenakan mereka adalah orang-orang yang pertama kali mendapatkan khitab (tuntutan agama) oleh syara’ dan kepada merekalah Nabi Muhammad (pertama kali) diutus dan Al-Qur’an turun.” (Syekh Musthofa Dib ad-Dimsyiqi, at-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghayah wa at-Taqrib, hal. 239)

Alasan lain mengapa orang Arab yang menjadi pijakan penialaian baik-buruknya sesuatu adalah dikarenakan mustahil sepakatnya penilaian semua watak manusia dalam menilai menjijikkan atau tidaknya suatu hewan. Status hukumnya menjadi relatif. Sehingga dalam menilai suatu hewan harus berdasarkan penilaian golongan tertentu yang dalam hal ini adalah orang Arab. Penjelasan tersebut seperti yang dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib:
 
ـ (وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ) أَيْ الطَّيِّبَاتِ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ وَهُمْ الْعَرَبُ لَا كُلِّ النَّاسِ لِاسْتِحَالَةِ اتِّفَاقِ طَبَائِعِ النَّاسِ عَلَى اسْتِطَابَةِ حَيَوَانٍ أَوْ اسْتِخْبَاثِهِ
“Halal bagi manusia segala hewan yang dianggap bagus, maksudnya dianggap bagus menurut sebagian orang yaitu orang Arab, bukan dianggap bagus oleh semua orang, sebab mustahil sepakatnya semua watak manusia dalam menentukan bagus atau menjijikkannya hewan.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz IV, hal. 406) 

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut, maka segala hewan yang dianggap baik oleh orang Arab maka dihukumi halal untuk dimakan, meskipun tidak ada dalil Al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan secara khusus tentang kehalalan hewan tersebut. Misal: halalnya mengonsumsi ayam, bebek, dan hewan lainnya. Sebaliknya, segala hewan yang dianggap buruk atau menjijikkan menurut pandangan orang Arab maka dihukumi haram untuk mengonsumsinya, meskipun sebagian orang menganggap bahwa mengonsumsi hewan ini bukanlah hal yang menjijikkan, misalnya seperti mengonsumsi hewan bekicot, laron, kepompong, dan hewan-hewan lainnya yang dianggap buruk atau menjijikkan untuk dikonsumsi. 

Wallahu a’lam.
Share:

Kekuatan Takdir


سَوَابِقُ الْهِمَمِ لاَ تَحْرِقُ اَسْوَارَ اْلاَقْدَارِ
Kuatnya semangat (perjuangan) tidak akan dapat menembus tirai takdir (yang telah Allah tetapkan).

Syarah:

Berbagai macam karamah atau kejadian-kejadian yang luar biasa dari seorang wali tidaklah dapat menembus keluar dari takdir, maka segala yang terjadi itu semata-mata hanya dengan takdir Allah Ta’ala.

Hikmah ini menjadi sebab dari hikmah sebelumnya: (Iraadatuka tajriid). Seakan-akan mushannif berkata: “Hai murid, keinginan (himmah)-mu pada sesuatu tidak ada gunanya, karena himmah yang keras (kuat) itu tidak bisa menjadikan apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak bersamaan dengan takdir dari Allah...” 

Jadi, hikmah ini (sawaabiqul himam) mengandung arti untuk menentramkan hati sang murid dari keinginannya yang sangat. Firman Allah: 
 
وَمَا تَشَاءُوْنَ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ ۚ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah...” (QS. Al-Insaan 30)
Share:

Tuesday, March 19, 2019

Maqam Tajrid dan Kasab


إِرَادَتُـكَ التَّجْرِيْدَ معَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِى اْلاَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ، وَإِرَادَتُـكَ اْلاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
Keinginanmu untuk tajrid (hanya beribadat saja tanpa berusaha untuk dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha (kasab), maka keinginanmu itu termasuk nafsu syahwat yang samar (halus). Sebaliknya, keinginanmu untuk berusaha (kasab), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus beribadah tanpa kasab (berusaha), maka keinginan yang demikian berarti menurun dari semangat yang tinggi.

Syarah:
Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apalagi kalau majikan itu adalah Allah Yang Maha Mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dan tanda bahwa Allah menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha (kasab) adalah apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan engkau lalai dalam menjalankan suatu kewajiban agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak (rakus) terhadap milik orang lain.

Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha (tajrid) adalah apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak disangka-sangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan-Nya untukmu. 

Syaikh Ibnu ‘Athaillah berkata, Aku datang kepada guruku, Syaikh Abu Abbas al-Mursiy. Aku  merasa bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk ke dalam barisan para wali sangatlah sulit dan terasa tidak mungkin bila masih sibuk dengan ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab). Tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guruku bercerita, Ada seorang yang ahli di bidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata, Aku akan meninggalkan kebiasaanku dan memilih untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab, Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti akan sampai kepadamu.
Share:

Monday, March 18, 2019

Tanda Orang yang Menyombongkan Amalnya di Hadapan Allah

 
مِنْ عَلاَمَاتِ اْلاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
Setengah dari tanda bahwa seseorang itu bersandar pada kekuatan amal usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan terhadap rahmat karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan (dosa). 
 
Syarah:
Kalimat: Laa ilaaha ilallaah, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung dan berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang memberi dan menolak melainkan Allah. Zhahirnya syariat menyuruh kita berusaha dan beramal, sedang hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal usaha itu, tujuannya supaya kita tetap bersandar pada karunia rahmat Allah.  

Kalimat: Laa haula wa laa quwwata ilaa billaah, maknanya tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari bahaya kesalahan, dan tidak ada kekuatan untuk menjalankan amal kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah dan rahmat-Nya semata.

Firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(QS. Yunus: 58)

Sedang bersandar pada amal usaha itu berarti lupa pada karunia rahmat Allah yang memberi hidayah kepadanya yang akhirnya akan membuatnya menjadi ujub, sombong, merasa sempurna diri, sebagaimana yang terjadi kepada Iblis saat ia diperintah untuk bersujud kepada Nabi Adam, ia berkata, “Aku lebih baik daripadanya.” Hal yang sama juga terjadi pada Qarun saat ia membanggakan kekayaannya, ia berkata, “Sesungguhnya aku mendapat kekayaan ini semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”

Apabila kita dilarang meyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, binatang dan manusia, maka kita pun dilarang untuk menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri. Seolah-olah sudah merasa cukup kuat dan dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, hidayah dan karunia-Nya.

Seyogianya kita mengambil teladan dari Nabi Sulaiman, ketika ia menerima nikmat yang sangat banyak dari Allah. Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an: 
 
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40) 
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online