مِنْ عَلاَمَاتِ اْلاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ
عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
Setengah dari tanda bahwa
seseorang itu bersandar pada kekuatan amal usahanya, yaitu berkurangnya
pengharapan terhadap rahmat karunia Allah ketika terjadi padanya suatu
kesalahan (dosa).
Syarah:
Kalimat: Laa ilaaha
ilallaah, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung dan
berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang
memberi dan menolak melainkan Allah. Zhahirnya syariat menyuruh kita berusaha
dan beramal, sedang hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal
usaha itu, tujuannya supaya kita tetap bersandar pada karunia rahmat Allah.
Kalimat: Laa haula wa
laa quwwata ilaa billaah, maknanya tidak ada daya untuk menghindarkan diri
dari bahaya kesalahan, dan tidak ada kekuatan untuk menjalankan amal kebaikan
kecuali dengan pertolongan Allah dan rahmat-Nya semata.
Firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا
هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakanlah:
“Dengan
karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.”(QS. Yunus: 58)
Sedang bersandar pada amal usaha itu berarti lupa
pada karunia rahmat Allah yang memberi hidayah kepadanya yang akhirnya akan
membuatnya menjadi ujub, sombong, merasa sempurna diri, sebagaimana yang
terjadi kepada Iblis saat ia diperintah untuk bersujud kepada Nabi Adam, ia
berkata, “Aku lebih baik daripadanya.” Hal yang sama juga terjadi pada Qarun
saat ia membanggakan kekayaannya, ia berkata, “Sesungguhnya aku mendapat
kekayaan ini semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”
Apabila kita dilarang meyekutukan Allah dengan berhala,
batu, kayu, pohon, binatang dan manusia, maka kita pun dilarang untuk
menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri. Seolah-olah sudah merasa cukup
kuat dan dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, hidayah
dan karunia-Nya.
Seyogianya kita mengambil teladan dari Nabi
Sulaiman, ketika ia menerima nikmat yang sangat banyak dari Allah. Allah
mengabadikannya dalam al-Qur’an:
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ
كَرِيمٌ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku,
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang
bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS.
An-Naml: 40)
0 comments:
Post a Comment