Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Monday, March 18, 2019

Tanda Orang yang Menyombongkan Amalnya di Hadapan Allah

 
مِنْ عَلاَمَاتِ اْلاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
Setengah dari tanda bahwa seseorang itu bersandar pada kekuatan amal usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan terhadap rahmat karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan (dosa). 
 
Syarah:
Kalimat: Laa ilaaha ilallaah, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung dan berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang memberi dan menolak melainkan Allah. Zhahirnya syariat menyuruh kita berusaha dan beramal, sedang hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal usaha itu, tujuannya supaya kita tetap bersandar pada karunia rahmat Allah.  

Kalimat: Laa haula wa laa quwwata ilaa billaah, maknanya tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari bahaya kesalahan, dan tidak ada kekuatan untuk menjalankan amal kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah dan rahmat-Nya semata.

Firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(QS. Yunus: 58)

Sedang bersandar pada amal usaha itu berarti lupa pada karunia rahmat Allah yang memberi hidayah kepadanya yang akhirnya akan membuatnya menjadi ujub, sombong, merasa sempurna diri, sebagaimana yang terjadi kepada Iblis saat ia diperintah untuk bersujud kepada Nabi Adam, ia berkata, “Aku lebih baik daripadanya.” Hal yang sama juga terjadi pada Qarun saat ia membanggakan kekayaannya, ia berkata, “Sesungguhnya aku mendapat kekayaan ini semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”

Apabila kita dilarang meyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, binatang dan manusia, maka kita pun dilarang untuk menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri. Seolah-olah sudah merasa cukup kuat dan dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, hidayah dan karunia-Nya.

Seyogianya kita mengambil teladan dari Nabi Sulaiman, ketika ia menerima nikmat yang sangat banyak dari Allah. Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an: 
 
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40) 
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online