Kebahagiaan
adalah mimpi setiap orang. Ia dirindukan namun sering tak kunjung datang.
Hingga manusia selalu tergerak untuk meraih kebahagiaan itu. Dengan demikian,
meski ada penderitaan, pada dasarnya manusia cenderung untuk mendambakan
kebahagiaan.
Manusia
memang seharusnya bahagia. Bahagia adalah sebuah pilihan. Meski manusia tak
jarang ditimpa musibah bahkan secara beruntun, ia tetap bisa merasakan bahagia.
Artinya, ada pilihan ketika manusia merasakan kondisi seperti itu. Apakah ia
akan tetap berada dalam penderitaan tersebut atau memilih untuk tidak tenggelam
dalam penderitaan tersebut. Justru penderitaan itu ia gunakan sebagai pijakan
untuk merasakan kebahagiaan.
Seorang
penyair dan sufi besar bernama Sa’di Syirazi pernah merasakan kesedihan dalam
hatinya karena ia kehilangan sepatu. Ia menderita. Hingga pada suatu saat
berada di Masjid Kufah, ia melihat seseorang yang telah kehilangan kedua
kakinya. Namun, orang tersebut tak terlihat menderita.
Sa’di
kemudian merasakan perasaan yang lain. Ia memang masih tak punya sepatu namun
ia tak lagi menderita. Ia kemudian bersujud kepada Allah SWT dengan penuh rasa
syukur. Perasaan Sa’di berubah atas musibah yang ia alami.
Agama
telah menyatakan, supaya manusia tidak berduka dengan apa yang hilang dari
mereka dan tidak terlalu bersuka ria dengan apa yang datang kepadanya.
Kebahagiaan yang sejati adalah kepuasan menerima apa yang Allah takdirkan.
Termasuk di dalamnya ketika ditimpa kehilangan. Meski banyak orang yang terpaku
dengan sebuah kehilangan yang menimpanya.
Mereka
mengalami missing tile syndrome atau sindroma genteng hilang. Pada suatu
ketika seseorang melihat atap rumahnya, dilihatnya atap itu lengkap. Pada saat
berikutnya, orang itu melihat ada satu genteng yang hilang di atap rumahnya.
Orang itu terus memikirkan genteng yang hilang itu. Melupakan semua genteng
bagus yang masih berada di atap rumah. Ini membuatnya menjadi menderita. Ini
pun terjadi dalam kehidupan. Jika seseorang terus memusatkan pada sesuatu yang
hilang, tentu tak akan membuatnya bahagia.
Menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya juga menjadi tangga mencapai
kebahagiaan. Karena tujuan akhir dari semua perintah Allah adalah untuk meraih
kebahagiaan. Allah menyuruh manusia untuk ruku dan sujud serta berbuat kebaikan
agar manusia bahagia. “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, dia akan
mendapatkan penghidupan yang sempit.” (QS. 20: 124).
Selain
itu, tak semestinya kebahagiaan itu dinikmati sendiri. Jika meneladani Nabi
Muhammad SAW, maka seorang Muslim tak akan memonopoli kebahagiaan tersebut.
Sebab, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan merupakan amal yang paling utama
jika membuat orang lain bahagia.
0 comments:
Post a Comment