Puncak kenikmatan dunia dipengaruhi oleh dua faktor:
kekayaan dan kekuasaan. Keduanya,
kekayaan dan kekuasaan, menurut Imam al-Ghazali, merupakan puncak kenikmatan dan kemewahan
dunia. Dengan memiliki keduanya, seseorang dapat dengan mudah mencapai tujuan
dan segala hal yang diinginkannya. Tidak mengherankan bila keduanya memiliki
daya tarik tinggi dan selalu diperebutkan.
Dibanding
harta dan kekayaan, menurut Imam al-Ghazali, pangkat dan kekuasaan jauh lebih menggoda.
Ini karena kekuasaan memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak terdapat pada
kekayaan, terutama menyangkut tiga hal. Pertama, kekuasaan dapat menjadi
alat (media) untuk
memperoleh dan menumpuk kekayaan. Jadi, orang yang memiliki kekuasaan pada
hakikatnya ia telah memiliki kekayaan. Tidak demikian sebaliknya. Orang yang
memiliki kekayaan tidak dengan sendirinya ia dapat mencapai puncak kekuasaan.
Kedua, kekuasaan melahirkan pengaruh yang
luas dan relatif lebih langgeng ketimbang pengaruh harta. Harta bisa dicuri,
dirampas, dan dikorupsi, sedangkan kekuasaan, dalam arti pengaruh dan loyalitas
dari rakyat kepada pemimpin yang dikagumi, tidak mungkin dan sama sekali tidak
bisa dicuri atau ditukar. Ketiga, kekuasaan dapat menaikkan dan
mendongkrak popularitas seseorang. Bahkan bagi penguasa yang adil, setiap orang
sesungguhnya telah menjadi 'corong' dan 'media' yang setiap saat memublikasikan
kebaikan-kebaikannya.
Bagi Imam al-Ghazali, pangkat dan kedudukan itu
tidak hanya dalam arti formal, tetapi juga dalam arti nonformal. Hakikat
pangkat atau kekuasaan itu, menurutnya, adalah qiyam-u al-manzilah fi qulub
al-nas (seseorang memperoleh kedudukan atau tempat yang tinggi di hati
manusia), sehingga mereka tunduk dan patuh kepadanya dan selalu berada di bawah
kuasa dan kendalinya. Pendeknya, kekuasaan itu pada akhirnya melahirkan
pengaruh berupa kepatuhan, kesetiaan, dan loyalitas.
Meskipun
begitu, kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk pada dirinya sendiri. Seperti
halnya kekayaan, kekuasaan merupakan sesuatu yang baik asal diperoleh dengan
cara yang baik dan dipergunakan secara baik pula. Ini berarti kekuasaan tidak
boleh dicari dengan jalan kebohongan, kecurangan, atau melanggar aturan main.
Agama tidak boleh pula dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.
Perbuatan yang disebut terakhir ini dinilai Imam al-Ghazali sebagai tindakan kriminal
atau pelecehan (jarimah) terhadap agama itu sendiri.
Kekuasaan
harus dicapai secara jujur dan adil dengan menunjukkan kemampuan tertentu yang
secara objektif memang ada dan dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Konon,
Nabi Yusuf mencalonkan diri sebagai bendaharawan negara dalam pemerintahan
Mesir Kuno, karena ia merasa sanggup dan memiliki kemampuan untuk tugas itu.
Perhatikan firman Allah ini: “Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku sebagai bendaharawan
negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan luas’.” (QS. Yusuf: 55)
Godaan
kekuasaan memang sangat tinggi. Tapi, jangan karena pamrih kekuasaan, agama dan
moralitas dikesampingkan. Kekuasaan dapat dicapai dengan memberikan bukti, bukan dengan janji-janji.
0 comments:
Post a Comment