تَنَوَّعَتْ اَجْنَاسُ
اْلاَعْمَالِ لِتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ اْلاَحْوَالِ
Bermacam-macamnya
jenis amal (a’mal) karena bermacam-macamnya karunia Allah yang diberikan kepada
hamba-Nya (ahwal).
Syarah:
Dalam pandangan tasawuf, “hal” diartikan
sebagai pengalaman ruhani dalam proses
mencapai hakikat dan ma’rifat. “Hal”
merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang
melahirkan ma’rifatullah (pengenalan
tentang Allah). Tanpa
“hal”
tidak ada hakikat dan tidak diperoleh ma’rifat.
Ahli ilmu membina ma’rifat melalui dalil
ilmiah, sedangkan ahli tasawuf berma’rifat
melalui pengalaman tentang hakikat.
Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli keruhanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf, yaitu terbuka hal-hal yang bersifat gaib baginya. Yang terpenting dari kasyaf adalah dapat mengenali tipu daya setan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini.
Rasulullah Saw sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril dalam rupanya yang asli dua kali saja. Namun demikian, meskipun pada setiap kali Jibril menemui Rasulullah dengan rupa yang berbeda-beda, beliau tetap mengenalinya.
Bila seorang ahli keruhanian telah memperoleh kasyaf, maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan “hal” atau zauk, yaitu pengalaman keruhanian tentang hakikat ketuhanan. “hal” tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini sudah pernah dijelaskan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang ma’rifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai di pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ, seseorang hanya dapat menunggu datangnya karunia Allah. Semata-mata karunia Allah yang membawa ma’rifat kepada hamba-hamba-Nya, dan karunia Allah yang mengandung ma’rifat inilah yang dinamakan “hal”.
Ada orang yang memperoleh “hal” sekali saja dan dikuasai oleh “hal” dalam waktu tertentu saja. Namun ada pula yang terus-menerus di dalam “hal”. “Hal” yang terus-menerus atau berkekalan itu dinamakan wishal, yaitu penyerapan “hal” secara terus-menerus, kekal (baqa’). Orang yang mencapai wishal akan terus hidup dengan cara “hal” yang terjadi. “Hal-hal” (ahwal) dan wishal bisa dibagi menjadi lima macam:
1. Abid
Abid adalah orang yang dikuasai oleh “hal”
atau zauk yang membuat dia merasakan dengan sangat bahwa dirinya
hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan
upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, usaha, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya
adalah daya dan upaya yang datang dari Allah. Semuanya itu adalah karunia
Allah. Allah sebagai Pemilik yang
sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa
yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar hanya
kepada Allah Ta’ala,
dan sekiranya dia
melepaskan sandaran itu maka dia akan jatuh, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya
dari Allah.
2. Asyikin
Asyikin ialah orang yang memandang sifat Keindahan Allah Ta’ala. Rupa, bentuk, warna dan
ukuran tidak menjadi soal baginya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang di
dalamnya dia melihat
Keindahan serta Keelokan Allah. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar
merenungi alam dan memuji Keindahan Allah pada apa yang disaksikannya. Dia bisa
saja duduk menikmati
keindahan alam berjam-jam tanpa merasa jemu. Gulungan ombak dan tetesan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang terlihat
baginya adalah warna
Keindahan dan Keelokan Allah. Orang yang menjadi asyikin “tidak peduli” lagi adab dan peraturan
masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini,
melainkan pada alamnya sendiri yang di dalamnya yang
ada hanyalah Keindahan
Allah.
3. Muttakhaliq
Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya.
Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil.
Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya hanyalah alat dan Allah menjadi
Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia
merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan
terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang “berpisah” dari dirinya sendiri.
Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang
lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. “Hal” Qurbi Faraidh adalah dia
melihat bahawa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri
adalah gerakan Allah, dan diamnya pun gerakan Allah. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri,
tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti
perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faraidh
ialah bercampur antara yang logis
dengan tidak logis, mengikut adat dengan
merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang
dia sampaikan adalah, “Tidak tahu! Allah berbuat apa yang
Dia kehendaki”.
Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakhaliq
melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah dan dia menjadi pelaku atau
pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. “Hal”
Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah karena
Allah memberikan gerak kepadanya
untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa yang
membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan
izin Allah, juga kelakuan beliau menyeru orang mati supaya bangkit dari
kuburnya. Nabi Isa melihat sifat-sifat Allah yang diizinkan untuk
menjadi kemampuannya. Oleh karena itu
beliau tidak ragu untuk menggunakan kemampuan tersebut menciptakan
burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah Ta’ala.
4. Muwahhid
Muwahhid adalah
fana’ dalam dzat. Dzatnya
lenyap dan Dat Mutlak yang menguasainya. Bagi
muwahhid dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah.
Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran
basyariah dan sekalian maujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia
biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan.
Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah,
maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia
benar-benar telah lenyap dari ke-‘Abdullah-an’ dan
benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’. Ketika
dia dikuasai oleh “hal” dia terlepas daripada beban hukum syara’. Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku
Hakiki’. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam ridha Allah. Apabila dia sedang tidak
dikuasai oleh “hal”, maka kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui
bahwa “hal” tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh “hal” tidak berupaya menahannya.
Kalangan
sufi bersepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan
dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!
5. Mutahaqqiq
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam
dzat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang
terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanah
sebagai khalifah Allah di muka bumi dan
kehidupan dunia yang wajib diurusi.
Dalam kesadaran dzat seseorang tidak
keluar dari khalwatnya dengan Allah dan
tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya.
Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun dulu
kepada kesadaran sifat,
barulah dia bisa memimpin orang lain.
Orang yang telah mengalami kefanaan dalam dzat
kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh
Allah menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah
dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai-Nya. Orang
inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli
thariqah yang sejati, dan ahli syariat yang
sejati. Seluruhnya berkumpul pada
dirinya dalam satu kesatuan yang menjadikannya sebagai
Insan Rabbani. Insan Rabbani
peringkat tertinggi ialah para nabi; dan Allah
karuniakan kepada mereka ma’sum,
sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi
perlindungan dan pemeliharaan.
0 comments:
Post a Comment