Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Wednesday, January 30, 2019

Sang Gubernur Pun Jatuh Cinta

Pada zaman Khalifah Al-Mahdi, ada seorang gubernur yang pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan membagi-bagikan uang dinar di hadapan mereka. Semuanya saling berebut memungut uang itu dengan penuh kegembiraan, kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat hanya diam tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dibandingkan dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang sangat kekurangan harta. 

Dengan penuh rasa heran Sang Gubernur bertanya, Mengapa engkau tidak ikut memungut uang dinar itu, seperti tetanggamu yang lain?Wanita berwajah jelek itu menjawab, Karena yang mereka cari uang dinar yang hanya menjadi bekal di dalam dunia. Sedangkan yang kuperlukan bukan bekal dunia, melainkan bekal akhirat.” “Apa yang engkau maksudkan?tanya Sang Gubernur mulai merasa tertarik pada kepribadian wanita itu. Maksudku, bekal dunia bagiku sudah cukup. Yang masih kuperlukan adalah bekal akhirat. Shalat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia kurasakan sangat singkat bila dibandingkan dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan abadi.
 
Mendengar jawaban itu, Sang Gubernur merasa sangat tersindir. Ia sadar, selama ini  dirinya hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya sudah sangat berlimpah, rasanya tak mungkin habis dimakan keluarganya hingga tujuh turunan. Sementara usianya sudah di atas setengah abad, dan malaikat Izrail sudah mengintainya. 

Akhirnya, Sang Gubernur jatuh cinta kepada wanita lusuh yang berparas jelek itu. Berita itu pun kemudian tersiar ke seluruh pelosok negeri. Para pembesar negeri tak habis pikir bagaimana mungkin seorang gubernur bisa jatuh hati kepada wanita jelata dan berwajah jelek. 

Maka pada suatu kesempatan, mereka diundang oleh Sang Gubernur ke rumahnya dan membuat pesta untuk mereka. Para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh itu pun turut diundang. Kepada mereka diberikan gelas yang terbuat dari kristal bertatahkan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur itu kemudian meminta kepada mereka agar membanting gelas yang ada di genggaman mereka. Semuanya merasa heran dan tak satu pun di antara mereka yang bersedia melakukannya. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi bantingan gelas. Semua mata tertuju ke arah sumber suara itu. Alangkah kagetnya mereka melihat seorang wanita berwajah jelek di hadapannya terdapat pecahan gelas yang berserakan beserta permata yang menghiasinya. 

Sang Gubernur lalu bertanya: Mengapa kaubanting gelas itu?Tanpa rasa takut wanita itu menjawab: Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurutku hal itu jauh lebih baik daripada wibawa Tuan berkurang karena perintah Tuan tidak dipatuhi.Gubernur terkesima. Para tamu pun kagum atas jawaban yang sangat masuk akal itu. Sebab lainnya?tanya Gubernur. Wanita itu menjawab, Kedua, aku hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam al-Quran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya kulaksanakan perintah Tuan. Gubernur semakin takjub, demikian pula para tamunya. Masih ada sebab lain?tanya Sang Gubernur. 

Wanita itu mengangguk lalu berkata: Ketiga, dengan memecahkan gelas itu, tentu semua orang akan menganggapku sebagai orang gila. Namun, hal itu lebih baik bagiku. Biarlah aku dicap sebagai orang gila daripada tidak melakukan perintah gubernurnya, yang itu menunjukkan kedurhakaan. Tuduhan bahwa aku gila akan kuterima dengan lapang dada daripada aku dituduh durhaka kepada penguasaku. Karena hal itu jauh lebih berat buatku.” 

Maka ketika Sang Gubernur yang telah ditinggal mati istrinya itu melamar lalu menikahi wanita bertampang jelek dan berkulit hitam itu, semua yang mendengar justru merasa sangat gembira karena Sang Gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada pemimpinnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya. 

Hikmah: 

Kesadaran akan kefanaan dunia seisinya dan keabadian akhirat dengan segala yang ada di dalamnya. Kezuhudan terhadap dunia dan kekhawatiran bila bekal akhirat belum tercukupi yang menghiasi batin wanita itu telah memancarkan cahaya kecantikan yang memupuskan paras jelek lahiriah yang dimilikinya. Pakaian kumal, kulit hitam, paras buruk dan derajat jelata yang disandang wanita itu sirna oleh kebijaksanaan batin yang dimilikinya. Gubernur pun jatuh cinta padanya. 
 
Betapa mulia di sisi Allah derajat seorang hamba yang lebih mengutamakan kepentingan akhirat daripada dunia. Di dunia pun sudah terbukti dalam kisah tersebut, seorang wanita jelata menjadi istri gubernur yang masuk dalam golongan bangsawan. Allah juga akan menundukkan dunia dengan segala isinya kepada hamba yang tidak mencari dan tidak bergantung kepadanya. Ini pun dibuktikan oleh wanita dalam kisah tersebut. Dia tidak menginginkan kekayaan dunia dan tidak mau bergantung padanya, namun kenyataannya, kekayaan itulah yang menghampirinya saat ia dijadikan istri oleh gubernur. Penataan batin yang baik dalam diri wanita tersebut telah memancar menjadi sebuah kecantikan, suatu hal yang bertolak belakang dengan kondisi kaum wanita saat ini yang sibuk mempercantik lahiriahnya namun mengabaikan kecantikan ruhaninya.
Share:

Tuesday, January 29, 2019

Kesungguhan Cinta Tsauban kepada Nabi

Tsauban adalah seorang budak yang sangat mencintai Nabi Muhammad SAW dan selalu merindukan beliau. Sehari tidak bertemu dengan Nabi, Tsauban merasa seperti telah berpisah setahun dengan beliau. Seandainya diizinkan ia ingin setiap saat bersama Nabi. Ketika tidak bertemu dengan Nabi, ia merasa sangat sedih, murung dan seringkali menangis. Ternyata Nabi pun demikian terhadap Tsauban. Beliau mengetahui betapa besarnya kasih sayang Tsauban terhadap dirinya.

Suatu hari Tsauban dikabarkan sakit, lalu Nabi SAW menemuinya. Saat bertemu Nabi, Tsauban berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak sakit, tapi aku sangat sedih jika berpisah dan tidak bertemu denganmu walaupun hanya sebentar. Jika dapat bertemu, barulah hatiku tenang dan merasa bahagia. Ketika dalam pikiranku terlintas persoalan akhirat, hatiku bertambah cemas, takut kalau aku tidak dapat bersama denganmu lagi. Engkau pasti akan menempati tempat di surga yang mulia, sementara aku belum tentu akan masuk ke dalam surga meskipun yang paling bawah. Ya Rasulullah, hatiku sangat bimbang tentulah saat itu kita tidak akan bertemu lagi.

Mendengar kata-kata Tsauban, Nabi SAW merasa sangat terharu. Namun beliau tidak dapat berbuat apa-apa karena itu merupakan urusan Allah. Setelah peristiwa itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW: Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka nanti akan bersama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi, syuhada, orang-orang shaleh dan mereka adalah sebaik-baik teman.Mendengar jaminan Allah itu, Tsauban menjadi tenang hatinya.

Hikmah:

Engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai.Itulah kata bijak yang pernah terucap dari lisan Rasulullah SAW. Ya, siapa yang ia cintai, maka ia akan bersama dengannya. 

Dalamnya rasa cinta Tsauban kepada Rasulullah telah menjadikan jiwanya senantiasa ingin bersama dengan manusia mulia itu. Kebahagiaan dirasakannya manakala mereka bertemu, dan kesedihan mengusik jiwanya ketika mereka berpisah. Disebabkan oleh cinta, jiwa Tsauban melayang hingga ke alam akhirat. Di sana ia menyaksikan Rasulullah yang dicintainya itu berada dalam kedudukan yang mulia, sedangkan ia dalam penantian panjang apakah akan masuk ke dalam surga ataukah terjerumus ke jurang neraka. Jarak yang begitu jauh telah memisahkannya dari orang yang ia cintai, padahal jiwanya merintih perih ingin tetap bersama. Allah Yang Maha Halus menyaksikan dan mendengar rintihan jiwa Tsauban yang dimabuk cinta sehingga turunlah firman Allah tersebut. Inilah berita gembira bagi orang-orang yang mencintai Rasulullah SAW, yakni kebersamaan dengan beliau di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi.
Share:

Monday, January 28, 2019

Bid’ah Menurut Al-Imam Ibn al-‘Arabi al-Maliki

Beliau adalah seorang hafizh, faqih, dan mufassir besar dari mazhab Maliki. Beliau berkata dengan bid’ah:

وَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ: وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ الْبِدَعِ مَا خَلَفَ السُّنَّةَ وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍِ
“Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah.’ Bid’ah yang dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi Sunnah. Perkara baru yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.” [1]


[1] Lihat: ‘Aridhat al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, 10/147.
Share:

Keteguhan Iman Bilal

Bilal, seorang budak berkulit hitam, adalah salah satu di antara tujuh orang yang pertama kali menyatakan keislamannya secara terang-terangan meskipun diancam oleh kaum kafir Quraisy. Saat mengetahui bahwa Bilal telah memeluk Islam, maka tuannya kemudian menyiksa Bilal dengan memakaikan kepadanya baju besi dan menjemurnya di padang pasir yang sangat panas. Ketika ditanya tentang agamanya, Bilal tetap mengatakan 'Ahad! Ahad!'(Allah Yang Esa, Allah Yang Esa).

Bilal kemudian diseret hingga ke lereng gunung tetapi Bilal tetap mengatakan 'Ahad! Ahad!' Imannya tidak guncang sedikit pun. Menyaksikan keteguhan iman yang ada dalam diri Bilal, tuannya kemudian meningkatkan siksaan dengan meletakkan batu besar di atas tubuhnya lalu dijemur di tengah teriknya matahari. Namun, tidak ada ucapan lain yang keluar dari mulut Bilal kecuali 'Ahad! Ahad!' Bilal rela mati daripada mengganti imannya yang hak dengan yang batil.

Ketika Abu Bakar diberitahu tentang penyiksaan yang dialami oleh Bilal, maka beliau kemudian menemui Umaiyah yang sedang menyiksa Bilal. Abu Bakar meminta agar Bilal dibebaskan. Sebagai tebusannya, Abu Bakar menyerahkan seorang budak hitam yang lebih kuat. Setelah menebusnya, Abu Bakar pun membebaskan Bilal dari statusnya sebagai seorang budak.

Hikmah:

Iman adalah anugerah Allah SWT yang tak bisa dibandingkan nilainya dengan apa pun yang ada di dunia ini. Iman bukan sesuatu yang dapat dimiliki melalui suatu percobaan, bukan pula yang dipaksakan merasuk ke relung jiwa. Iman terpatri ke dalam hati yang paling dalam melalui hidayah Allah. Dia Yang Maha Halus dan Maha Lembut yangmenanamkannya di dalam hati seorang hamba tanpa melihat latar belakang kehidupannya di dunia ini. 

Bilal adalah sosok seorang hamba yang merasakan kuatnya patrian iman yang dilekatkan Allah SWT dalam kalbunya. Pedihnya siksaan yang ia terima tak mampu menggoyahkan, apalagi mencabut iman dari kalbunya. Siksaan demi siksaan yang ditujukan untuk melepas imannya, justru semakin mengokohkan iman tersebut di dalam jiwanya. Ia semakin merasakan kedekatan dirinya dengan Zat yang diimaninya. Terbukti tak ada keluhan yang muncul dari lisannya ketika menahan siksa kecuali menyebut nama Zat Yang Maha Agung itu: Allah…, Allah… 

Betapa berat ujian yang diberikan Allah SWT kepada Bilal untuk mengetahui sedalam dan sekokoh apa iman itu terpatri dalam kalbunya. Bukankah kita belum pernah merasakan ujian seberat itu? Kita pantas belajar dari generasi didikan Rasulullah SAW tersebut dalam mempertahankan iman yang sudah dianugerahkan Dia Yang Maha Kuasa kepada kita.
Share:

Sunday, January 27, 2019

Bid’ah Menurut Al-Imam Ibnu ‘Abd al-Barr

Beliau adalah seorang hafizh lagi faqih dari kalangan mazhab Maliki. Pernyataan beliau tentang bid’ah pun memperlihatkan pandangan beliau yang tidak menganggap semua bid’ah itu dhalalah. Simaklah apa yang beliau katakan:

وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ إِخْتِرَاعُ مَالَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفًا لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌُ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍِ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
 
“Adapun ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang sudah berlaku, maka ia adalah bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi dasar syari’at dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” [1]

Perhatikanlah, dengan berlandaskan pada ucapan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan bahwa bid’ah yang terlarang, yang disifati sebagai bid’ah dhalalah, adalah bid’ah dalam agama yang menyelisihi sunnah yang telah berlaku di dalam agama ini. Bid’ah semacam ini harus ditolak, dicela, dilarang, bahkan pelakunya wajib dijauhi jika memang kesesatannya telah terbukti dengan jelas. Namun, apabila bid’ah dalam urusan agama itu tidak bertentangan dengan sunnah yang telah berlaku, maka ia adalah sebaik-baik bid’ah.




[1] Lihat: al-Istidzkar, 5/152.
Share:

Berkat Kejujuran

Pada saat berusia delapan belas tahun, Syekh Abdul Qadir Jailani meminta izin kepada ibunya untuk merantau ke kota Baghdad guna memperdalam ilmu agama. Sang ibu tidak menghalangi cita-cita mulia Abdul Qadir Jailani meskipun terasa berat untuk melepaskan anaknya bepergian menempuh jarak ratusan kilometer. Sebelum berangkat, sang ibu berpesan kepada Abdul Qadir agar jangan pernah berkata bohong dalam keadaan bagaimana pun juga. Selain itu sang ibu juga memberi bekal berupa uang empat puluh dirham yang dijahitkan di dalam pakaiannya. Setelah itu sang ibu melepas kepergian anak yang disayanginya bersama satu rombongan kafilah yang kebetulan juga hendak menuju ke kota Baghdad.

Dalam perjalanan, mereka diserang oleh enam puluh orang penyamun. Semua harta kafilah tersebut habis dirampas tetapi para penyamun tidak mengusik Abdul Qadir karena menyangka ia tidak memiliki apa-apa. Salah seorang penyamun bertanya, Hai anak muda, apa yang ada padamu? Apakah engkau tak memiliki sesuatu apa pun?Abdul Qadir Jailani menjawab, Tuan, aku hanya memiliki uang empat puluh dirham yang dijahitkan oleh ibuku di bagian dalam pakaian yang kupakai ini.Penyamun itu merasa heran mendengar jawaban Abdul Qadir Jailani. Ia kemudian melapor kepada pemimpin mereka. Setelah itu pakaian Abdul Qadir dipotong dan ternyata memang ada uang di dalamnya sebanyak empat puluh dirham seperti yang diberitahu olehnya.

Pemimpin penyamun itu lalu bertanya, Hai anak muda, mengapa engkau berkata jujur, padahal kau tahu bahwa kami pasti akan merampas uang itu?Abdul Qadir Jailani menjawab, Tuan, sebelum berangkat, ibuku berpesan kepadaku agar tidak berkata bohong dalam keadaan apa pun juga. Aku pun telah berjanji di hadapan ibuku bahwa aku akan melaksanakan pesan itu. Demi janjiku pada ibuku, maka aku berkata jujur pada kalian meskipun kutahu uang itu akan kalian rampas.

Mendengar penuturan Abdul Qadir Jailani, pemimpin penyamun itu menangis dan menyadari kesalahannya. Ia kemudian berkata, Sungguh mulia hidupmu, hai anak muda. Engkau yang masih muda seperti ini mampu menunjukkan ketaatan luar biasa kepada ibumu. Sementara aku yang lebih tua ini, hidupku penuh maksiat kepada Allah SWT. Mulai saat ini aku bersumpah tidak akan merampok lagi.Dia pun bertaubat di hadapan Abdul Qadir Jailani dan diikuti oleh pengikut-pengikutnya.

Hikmah:

Sejak dahulu hanya ada sedikit orang yang percaya bahwa kejujuran akan membawa keberuntungan. Jumlah itu sepertinya akan semakin sedikit di zaman modern ini di mana kebanyakan orang berprinsip bahwa keberuntungan dan keuntungan akan diperoleh bila memiliki trik-trik yang jitu, dan kejujuran tidak mendapatkan tempat dalam trik-trik tersebut.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kisah tersebut, membuktikan bahwa kejujuran membawa keberuntungan. Ia tidak hanya beruntung karena uangnya empat puluh dirham tidak jadi dirampas oleh perampok tersebut, namun kejujurannya itu juga telah membawa pencerahan bagi para perampok tersebut sehingga mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang diridhai Allah SWT. Selain itu, ketaatannya pada nasehat ibunya telah menjadikan Allah menyertai Abdul Qadir dengan perlindungan-Nya, dan menjadikannya jalan bagi kembalinya orang-orang yang bergelimang maksiat kepada Allah Yang Maha Kasih. 

Maka, kejujuran dan ketaatan pada nasehat orangtua adalah dua hal yang harus tetap dipelihara dalam diri kita di tengah kehidupan masyarakat modern yang bernapas dengan kebohongan dan dituntun oleh paham individualisme.
Share:

Bolehkah Adzan Tanpa Wudhu?

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak diperbolehkan mengumandangkan azan tanpa berwudhu. Berikut bunyi haditnya:

 وعن الزهري عن أبى هريرة عن النبي صلي الله عليه وسلم قال " لا يؤذن الا متوضئ " رواه الترمذي 
Dari Az-Zuhri, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw bersabda, ‘Tidak adzan seorang muadzin kecuali ia dalam keadaan telah berwudhu.(HR Tirmidzi)

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah karena hadits ini bermasalah. Menurut Imam an-Nawawi, Az-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abu Hurairah ra, sehingga hadits Az-Zuhri tersebut munqati’ atau terputus sanadnya.

والاصح أنه عن الزهري عن ابي هريرة موقوف عليه وهو منقطع فان الزهري لم يدرك أبا هريرة
Yang paling sahih adalah bahwa hadits dari Az-Zuhri dari Abu Hurairah itu terputus. Karena sebenarnya Az-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abu Hurairah.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105).

Oleh karena itu, hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil ketidakabsahan melaksanakan adzan tanpa berwudhu.

Ada hadits lain yang lebih tepat untuk dijadikan landasan atas hal ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasai dan beberapa mukharrij yang lain dari sahabat Muhajir bin Qanfadz sebagai berikut:

عن المهاجر بن قنفذ رضي الله قال " أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو ييول فسلمت عليه فلم يرد علي حتى توضأ ثم اعتذر إلي فقال إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر أو قال على طهارة " حديث صحيح
“Dari Muhajir bin Qanfadz ra berkata, Aku mendatangi Rasulullah Saw dan ia sedang menunaikan hajat kecil di toilet, kemudian aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawabnya hingga ia selesai berwudhu. Rasul kemudian memohon maaf dan mengemukakan alasan mengapa tidak menjawab salam al-Muhajir. Kemudian Rasulullah berkata, “Aku tidak suka menyebut asma Allah Saw kecuali dalam keadaan suci (ala tuhrin),” atau ia berkata “ala thaharatin”.’” Hadits tersebut sahih.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarh al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105)

Karena dalam adzan kita menyebut asma Allah Swt maka mengumandangkan adzan dalam keadaan berhadats (tanpa berwudhu) diqiyaskan dengan kejadian Rasulullah yang tidak ingin mengucapkan salam sebelum beliau dalam keadaan suci, karena saat itu beliau baru saja selesai dari kamar mandi.

Hal inilah yang menjadi landasan para ulama Syafiiyah bahwa mengumandangkan adzan tanpa wudhu tetap sah, namun makruh. Sah dalam hal ini adalah tak perlu mengumandangkan adzan lagi.

Para ulama yang sependapat dengan hal ini adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Hanifah, al-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibn al-Mundzir.

Sedangkan para imam yang menolak pendapat ini dan lebih memilih pendapat yang menyebutkan bahwa adzannya orang yang tidak berwudhu tidak sah adalah Atha’, Mujahid, al-Auzai, dan Ishaq. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa adzannya sah tapi ketika iqamah ia harus sudah dalam keadaan berwudhu (suci dari hadats) (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syar al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)

Wallahu A’lam...
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online