Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Monday, September 24, 2018

Pasal Adab-adab Menjadi Imam dan Makmum

آدَابُ اْلإِمَامَةِ وَالْقُدْوَةِ

Adab-adab Menjadi Imam dan Makmum

يَنْبَغِيْ للإِمَامِ أَنْ يُخَفِّفَ الصَّلاَةَ، قَالَ أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ أَحَدٍ صَلاَةً أَخَفَّ وَلاَ أَتَمَّ مِنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Seyogyanya seorang imam dalam shalat berjamaah meringankan shalatnya. Anas ra berkata: “Aku belum pernah shalat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sempurna daripada shalat Rasulullah SAW.”[1]

وَلاَ يُكَبِّرُمَا لَمْ يَفْرَغِ الْمُؤَذِّنُ مِنَ اْلاِقَامَةِ، وَمَا لَمْ تُسَوَّ الصُّفُوْف، وَيَرْفَعُ اْلإِمَامُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرَاتِ، وَلاَ يَرْفَعُ الْمَأْمُوْمُ صَوْتَهُ إِلاَّ بِقَدْرِ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ
Hendaklah imam tidak memulai takbiratul ihram sebelum muadzin selesai mengumandang iqamah dan sebelum shaf para makmum tertata dengan rapi. Imam hendaknya juga meninggikan suaranya saat mengucapkan takbir-takbir di dalam shalat. Sebaliknya, makmum hendaknya tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas yang dapat didengar oleh dirinya sendiri. 

وَيَنْوِي اْلإِمَامُ اْلإِمَامَةَ لِيَنَالَ الْفَضْل، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ صَحَّتْ صَلاَةُ الْقَوْمِ إِذَا نَوَوْا اْلاِقْتِدَاءَ بِهِ، وَنَالُوْا فَضْلَ الْقُدْوَةِ
Imam hendaknya meniatkan dirinya sebagai imam agar memperoleh keutamaan shalat berjamaah. Apabila ia tidak berniat menjadi imam maka shalat para makmum yang meniatkan diri mengikutinya tetap sah dan memperoleh keutamaan shalat berjamaah, sementara ia (sang imam) hanya memperoleh shalat sendirian.

وَيُسِرُّ بِدُعَاءِ اْلاِسْتِفْتَاحِ وَالتَّعَوُّذِ كَالْمُنْفَرِدِ، وَيَجْهَرُ بِالْفَاتِحَةِ وَالسُّوْرَةِ فِيْ جَمِيْعِ الصُّبْحِ، وَأَوْلَتَي الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَكَذَلِكَ الْمُنْفَرِدُ
Hendaklah imam memelankan suaranya saat membaca doa iftitah dan ta’awudz, sebagaimana yang dilakukan saat shalat sendirian, dan mengeraskan suaranya saat membaca al-Fatihah dan surat dalam shalat Subuh dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya. Yang demikian itu juga hendaklah dilakukan oleh orang yang shalat sendirian.

وَيَجْهَرُ بِقَوْلِهِ: (آمِيْنَ) فِي الْجَهْرِيَّةِ، وَكَذَلِكَ الْمَأْمُوْمُ، وَيَقْرُنَ الْمَأْمُوْمُ تَأْمِيْنَهُ بِتَأْمِيْنِ اْلإِمَامِ مَعًا، لاَ تَعْقِيْبًا لَهُ
Imam disunnahkan mengeraskan suaranya saat mengucapkan aamiin dalam shalat-shalat jahriyyah (shalat yang bacaannya dikeraskan). Hal yang sama juga disunnahkan bagi makmum. Bacaan aamiin-nya makmum dan imam hendaklah bersamaan, bukan bergantian.

وَيَسْكُتُ اْلإِمَامُ سَكْتَةً عَقِبَ الْفَاتِحَةِ لِيَثُوْبَ إِلَيْهِ نَفَسَهَ، وَيَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ الْفَاتِحَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ فِيْ هَذِهِ السَّكْتَةِ، لِيَتَمَكَّنَ مِنَ اْلاِسْتِمَاعِ عِنْدَ قِرَاءَةِ اْلإِمَامِ، وَلاَ يَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ السُّوْرَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ إِلاَّ إِذَا لَمْ يَسْمَعْ صَوْتَ اْلإِمَامِ
Setelah membaca al-Fatihah hendaklah imam berhenti sejenak untuk mengatur kembali nafasnya. Dalam shalat-shalat jahriyyah, saat imam diam inilah makmum membaca al-Fatihah agar setelah itu mereka dapat mendengar surat yang dibaca oleh sang imam. Makmum tidak perlu membaca surat dalam shalat-shalat jahriyyah kecuali bila ia tidak mendengar bacaan imam. 

وَلاَ يَزِيْدُ اْلإِمَامُ عَلَى الثَّلاَثَةِ فِيْ تَسْبِيْحَاتِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، وَلاَ يَزِيْدُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ قَوْلِهِ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Hendaklah imam tidak menambahkan bacaan tasbih lebih dari tiga kali baik di dalam ruku’ maupun sujud. Imam pun tidak dianjurkan untuk untuk menambah bacaan apa pun dalam tasyahud awal setelah ucapan: Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad.

وَيَقْتَصِرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اْلأَخِيْرَتَيْنِ عَلَى الْفَاتِحَةِ، وَلاَ يُطَوِّلُ عَلَى الْقَوْمِ، وَلاَ يَزِيْدُ دُعَاءَهُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ عَلَى قَدْرِ تَشَهُّدِهِ وَصَلاَتِهِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam dua rakaat terakhir hendaklah imam membatasi diri hanya dengan membaca al-Fatihah, dan tidak memanjangkan bacaannya. Ia pun tidak dianjurkan untuk menambahkan doanya dalam tasyahud akhir melebihi batas bacaan tasyahud dan shalawatnya kepada Rasulullah SAW.

وَيَنْوِي اْلإِمَامُ عِنْدَ التَّسْلِيْمِ السَّلاَمَ عَلَى الْقَوْمِ، وَيَنْوِي الْقَوْمُ بِتَسْلِيْمِهِمْ جَوَابَهُ
Ketika membaca salam hendaklah imam meniatkannya sebagai ucapan salam kepada para makmum. Sementara makmum hendaklah meniatkan salam yang mereka ucapkan sebagai jawaban salam dari sang imam.

وَيَلْبَثُ اْلإِمَامُ سَاعَةً بَعْدَ مَا يَفْرَغُ مِنَ السَّلاَمِ وَيُقْبِلُ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، وَلاَ يَلْتَفِتُ إِنْ كَانَ خَلْفَهُ نِسَاءٌ  لِيَنْصَرِفْنَ أَوَّلاً
Hendaklah sang imam berdiam sejenak setelah selesai mengucapkan salam, lalu menghadapkan wajahnya ke arah makmum. Namun seyogyanya ia tidak berbalik jika di belakangnya terdapat jamaah kaum wanita hingga mereka bubar terlebih dahulu. 

وَلاَ يَقُوْمُ أَحَدٌ مِنَ الْقَوْمِ حَتَّى يَقُوْمَ اْلإِمَامُ، وَيَنْصَرِفَ اْلإِمَامُ حَيْثُ شَاءَ عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ شِمَالِهِ، وَالْيَمِيْنُ أَحَبُّ إِلَيْهِ
Bagi para makmum, hendaklah tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdiri (meninggalkan tempat shalatnya) sebelum imam berdiri. Sang imam diperbolehkan meninggalkan tempat shalatnya ke arah mana saja yang dikehendakinya. Ia boleh bergeser ke kiri atau ke kanan. Namun tentunya arah kanan lebih disukai. 

وَلاَ يَخُصُّ اْلإِمَامُ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ فِيْ قُنُوْتِ الصُّبْحِ، بَلْ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اهْدِنَا، وَيَجْهَرُ بِهِ، وَيُؤَمِّنُ الْقَوْمُ، وَلاَ يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ، إِذْ لَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ فِي اْلاَخْبَارِ، وَيَقْرَأُ الْمَأْمُوْمُ بَقِيَّةَ الْقُنُوْتِ مِنْ قَوْلِهِ: إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
Sang imam hendaknya tidak mengkhususkan dirinya dalam doa qunut Subuh. Namun hendaklah ia mengucapkan: [Allaahummahdinaa] –Ya Allah, berilah kami petunjuk.[2] Dan hendaklah ia mengeraskan suaranya saat membaca doa qunut, sedangkan makmum mengaminkannya tanpa disertai mengangkat tangan mereka,[3] karena yang demikian itu tidak dijelaskan dalam hadits Nabi SAW. Makmum hendaklah membaca doa qunut yang masih tersisa mulai dari bacaan: [Innaka taqdhii wa laa yuqdhaa ‘alaik] –Sesungguhnya Engkau dapat memastikan segala sesuatu, dan tak ada sesuatu pun yang dapat memastikan sesuatu atas-Mu.

وَلاَ يَقِفُ الْمَأْمُوْمُ وَحْدَهُ، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ، أَوْ يَجُرُّ إِلَى نَفْسِهِ غَيْرَهُ
Janganlah makmum berdiri seorang diri, tapi hendaklah ia masuk ke dalam shaf atau menarik seseorang untuk berdiri bersamanya. 

وَلاَ يَنْبَغِي لِلْمَأْمُوْمِ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَى اْلإِمَامِ فِيْ أَفْعَالِهِ أَوْ يُسَاوِيْهِ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْهُ، وَلاَ يَهْوِي لِلرُّكُوْعِ إِلاَّ إِذَا انْتَهَى اْلإِمَامُ إِلَى حَدِّ الرُّكُوْعِ، وَلاَ يَهْوِى لِلسُّجُوْدِ مَا لَمْ تَصِلْ جَبْهَةُ اْلاِمَامِ إِلَى اْلاَرْضِ
Tidak selayaknya bagi makmum untuk membarengi (apalagi mendahului) imam dalam berbagai gerakan shalat yang dikerjakannya. Namun hendaklah makmum mengakhirkan gerakannya dari gerakan imam. Makmum tidak boleh menurunkan badannya untuk rukuk kecuali bila imam telah berada pada posisi rukuk yang sempurna. Demikian pula makmum tidak boleh menurunkan badannya untuk sujud sebelum kening imam sampai ke tanah (tempat sujud).


[1] Riwayat Bukhari dan Muslim.
[2] Lafazh yang bermakna tunggal diganti dengan yang bermakna jamak.
[3] Dalam madzhab Syafi’i, pendapat yang paling kuat dan populer adalah mengangkat tangan saat membaca qunut dalam shalat Subuh. Ada banyak riwayat yang menjelaskan tentang hal itu.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online