آدَابُ
اْلإِمَامَةِ وَالْقُدْوَةِ
Adab-adab
Menjadi Imam dan
Makmum
يَنْبَغِيْ
للإِمَامِ أَنْ يُخَفِّفَ الصَّلاَةَ، قَالَ أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا
صَلَّيْتُ خَلْفَ أَحَدٍ صَلاَةً أَخَفَّ وَلاَ أَتَمَّ مِنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Seyogyanya seorang imam dalam shalat berjamaah
meringankan shalatnya. Anas ra berkata: “Aku belum pernah shalat di belakang
seorang pun yang lebih ringan dan lebih sempurna daripada shalat Rasulullah
SAW.”[1]
وَلاَ
يُكَبِّرُمَا لَمْ يَفْرَغِ الْمُؤَذِّنُ مِنَ اْلاِقَامَةِ، وَمَا لَمْ تُسَوَّ
الصُّفُوْف، وَيَرْفَعُ اْلإِمَامُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرَاتِ، وَلاَ يَرْفَعُ
الْمَأْمُوْمُ صَوْتَهُ إِلاَّ بِقَدْرِ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ
Hendaklah imam tidak memulai takbiratul ihram sebelum muadzin
selesai mengumandang iqamah dan sebelum shaf para makmum tertata dengan rapi.
Imam hendaknya juga meninggikan suaranya saat mengucapkan takbir-takbir di
dalam shalat. Sebaliknya, makmum hendaknya tidak mengeraskan suaranya kecuali
sebatas yang dapat didengar oleh dirinya sendiri.
وَيَنْوِي
اْلإِمَامُ اْلإِمَامَةَ لِيَنَالَ الْفَضْل، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ صَحَّتْ صَلاَةُ
الْقَوْمِ إِذَا نَوَوْا اْلاِقْتِدَاءَ بِهِ، وَنَالُوْا فَضْلَ الْقُدْوَةِ
Imam hendaknya meniatkan dirinya sebagai imam agar
memperoleh keutamaan shalat berjamaah. Apabila ia tidak berniat menjadi imam
maka shalat para makmum yang meniatkan diri mengikutinya tetap sah dan
memperoleh keutamaan shalat berjamaah, sementara ia (sang imam) hanya
memperoleh shalat sendirian.
وَيُسِرُّ
بِدُعَاءِ اْلاِسْتِفْتَاحِ وَالتَّعَوُّذِ كَالْمُنْفَرِدِ، وَيَجْهَرُ
بِالْفَاتِحَةِ وَالسُّوْرَةِ فِيْ جَمِيْعِ الصُّبْحِ، وَأَوْلَتَي الْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ، وَكَذَلِكَ الْمُنْفَرِدُ
Hendaklah imam memelankan suaranya saat membaca doa
iftitah dan ta’awudz, sebagaimana yang dilakukan saat shalat sendirian, dan
mengeraskan suaranya saat membaca al-Fatihah dan surat dalam shalat Subuh dan dua rakaat
pertama pada shalat Maghrib dan Isya. Yang demikian itu juga hendaklah
dilakukan oleh orang yang shalat sendirian.
وَيَجْهَرُ
بِقَوْلِهِ: (آمِيْنَ) فِي الْجَهْرِيَّةِ، وَكَذَلِكَ الْمَأْمُوْمُ، وَيَقْرُنَ
الْمَأْمُوْمُ تَأْمِيْنَهُ بِتَأْمِيْنِ اْلإِمَامِ مَعًا، لاَ تَعْقِيْبًا لَهُ
Imam disunnahkan mengeraskan suaranya saat mengucapkan aamiin
dalam shalat-shalat jahriyyah (shalat yang bacaannya dikeraskan). Hal
yang sama juga disunnahkan bagi makmum. Bacaan aamiin-nya makmum dan
imam hendaklah bersamaan, bukan bergantian.
وَيَسْكُتُ
اْلإِمَامُ سَكْتَةً عَقِبَ الْفَاتِحَةِ لِيَثُوْبَ إِلَيْهِ نَفَسَهَ،
وَيَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ الْفَاتِحَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ فِيْ هَذِهِ
السَّكْتَةِ، لِيَتَمَكَّنَ مِنَ اْلاِسْتِمَاعِ عِنْدَ قِرَاءَةِ اْلإِمَامِ،
وَلاَ يَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ السُّوْرَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ إِلاَّ إِذَا لَمْ
يَسْمَعْ صَوْتَ اْلإِمَامِ
Setelah membaca al-Fatihah hendaklah imam berhenti
sejenak untuk mengatur kembali nafasnya. Dalam shalat-shalat jahriyyah,
saat imam diam inilah makmum membaca al-Fatihah agar setelah itu mereka dapat
mendengar surat
yang dibaca oleh sang imam. Makmum tidak perlu membaca surat dalam shalat-shalat jahriyyah
kecuali bila ia tidak mendengar bacaan imam.
وَلاَ
يَزِيْدُ اْلإِمَامُ عَلَى الثَّلاَثَةِ فِيْ تَسْبِيْحَاتِ الرُّكُوْعِ
وَالسُّجُوْدِ، وَلاَ يَزِيْدُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ قَوْلِهِ:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Hendaklah imam tidak menambahkan bacaan tasbih lebih dari
tiga kali baik di dalam ruku’ maupun sujud. Imam pun tidak dianjurkan untuk
untuk menambah bacaan apa pun dalam tasyahud awal setelah ucapan: Allaahumma
shalli ‘alaa Muhammad.
وَيَقْتَصِرُ
فِي الرَّكْعَتَيْنِ اْلأَخِيْرَتَيْنِ عَلَى الْفَاتِحَةِ، وَلاَ يُطَوِّلُ عَلَى
الْقَوْمِ، وَلاَ يَزِيْدُ دُعَاءَهُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ عَلَى قَدْرِ
تَشَهُّدِهِ وَصَلاَتِهِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam dua rakaat terakhir hendaklah imam membatasi diri
hanya dengan membaca al-Fatihah, dan tidak memanjangkan bacaannya. Ia pun tidak
dianjurkan untuk menambahkan doanya dalam tasyahud akhir melebihi batas bacaan
tasyahud dan shalawatnya kepada Rasulullah SAW.
وَيَنْوِي
اْلإِمَامُ عِنْدَ التَّسْلِيْمِ السَّلاَمَ عَلَى الْقَوْمِ، وَيَنْوِي الْقَوْمُ
بِتَسْلِيْمِهِمْ جَوَابَهُ
Ketika membaca salam hendaklah imam meniatkannya sebagai
ucapan salam kepada para makmum. Sementara makmum hendaklah meniatkan salam
yang mereka ucapkan sebagai jawaban salam dari sang imam.
وَيَلْبَثُ
اْلإِمَامُ سَاعَةً بَعْدَ مَا يَفْرَغُ مِنَ السَّلاَمِ وَيُقْبِلُ عَلَى
النَّاسِ بِوَجْهِهِ، وَلاَ يَلْتَفِتُ إِنْ كَانَ خَلْفَهُ نِسَاءٌ لِيَنْصَرِفْنَ أَوَّلاً
Hendaklah sang imam berdiam sejenak setelah selesai
mengucapkan salam, lalu menghadapkan wajahnya ke arah makmum. Namun seyogyanya
ia tidak berbalik jika di belakangnya terdapat jamaah kaum wanita hingga mereka
bubar terlebih dahulu.
وَلاَ
يَقُوْمُ أَحَدٌ مِنَ الْقَوْمِ حَتَّى يَقُوْمَ اْلإِمَامُ، وَيَنْصَرِفَ
اْلإِمَامُ حَيْثُ شَاءَ عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ شِمَالِهِ، وَالْيَمِيْنُ أَحَبُّ
إِلَيْهِ
Bagi para makmum, hendaklah tidak ada seorang pun di
antara mereka yang berdiri (meninggalkan tempat shalatnya) sebelum imam
berdiri. Sang imam diperbolehkan meninggalkan tempat shalatnya ke arah mana
saja yang dikehendakinya. Ia boleh bergeser ke kiri atau ke kanan. Namun
tentunya arah kanan lebih disukai.
وَلاَ
يَخُصُّ اْلإِمَامُ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ فِيْ قُنُوْتِ الصُّبْحِ، بَلْ
يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اهْدِنَا، وَيَجْهَرُ بِهِ، وَيُؤَمِّنُ الْقَوْمُ، وَلاَ
يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ، إِذْ لَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ فِي اْلاَخْبَارِ،
وَيَقْرَأُ الْمَأْمُوْمُ بَقِيَّةَ الْقُنُوْتِ مِنْ قَوْلِهِ: إِنَّكَ تَقْضِيْ
وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
Sang imam hendaknya tidak mengkhususkan dirinya dalam doa
qunut Subuh. Namun hendaklah ia mengucapkan: [Allaahummahdinaa] –Ya
Allah, berilah kami petunjuk.[2]
Dan hendaklah ia mengeraskan suaranya saat membaca doa qunut, sedangkan makmum
mengaminkannya tanpa disertai mengangkat tangan mereka,[3]
karena yang demikian itu tidak dijelaskan dalam hadits Nabi SAW. Makmum hendaklah
membaca doa qunut yang masih tersisa mulai dari bacaan: [Innaka taqdhii wa
laa yuqdhaa ‘alaik] –Sesungguhnya Engkau dapat memastikan segala sesuatu,
dan tak ada sesuatu pun yang dapat memastikan sesuatu atas-Mu.
وَلاَ
يَقِفُ الْمَأْمُوْمُ وَحْدَهُ، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ، أَوْ يَجُرُّ إِلَى
نَفْسِهِ غَيْرَهُ
Janganlah makmum berdiri seorang diri, tapi hendaklah ia
masuk ke dalam shaf atau menarik seseorang untuk berdiri bersamanya.
وَلاَ
يَنْبَغِي لِلْمَأْمُوْمِ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَى اْلإِمَامِ فِيْ أَفْعَالِهِ
أَوْ يُسَاوِيْهِ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْهُ، وَلاَ يَهْوِي
لِلرُّكُوْعِ إِلاَّ إِذَا انْتَهَى اْلإِمَامُ إِلَى حَدِّ الرُّكُوْعِ، وَلاَ
يَهْوِى لِلسُّجُوْدِ مَا لَمْ تَصِلْ جَبْهَةُ اْلاِمَامِ إِلَى اْلاَرْضِ
Tidak selayaknya bagi makmum untuk membarengi (apalagi
mendahului) imam dalam berbagai gerakan shalat yang dikerjakannya. Namun
hendaklah makmum mengakhirkan gerakannya dari gerakan imam. Makmum tidak boleh
menurunkan badannya untuk rukuk kecuali bila imam telah berada pada posisi
rukuk yang sempurna. Demikian pula makmum tidak boleh menurunkan badannya untuk
sujud sebelum kening imam sampai ke tanah (tempat sujud).
0 comments:
Post a Comment