بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
قاَلَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ،
الْعَالِمُ الْعَلاَّمَةُ، حُجَّةُ اْلاِسْلاَمِ، وَبَرَكَةُ اْلأَنَامِ: أَبُوْ
حَامِدٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍِ بْنِ مُحَمَّدٍِ الْغَزَالِيُّ الطُّوْسِىُّ؛
قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ، وَنَوَّرَ ضَرِيْحَهُ - آمِيْن: الْحَمْدُ لِلَّهِ حَقَّ
حَمْدِهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ، مُحَمَّدٍِ
رَسُوْلِهِ وَعَبْدِهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ مِنْ بَعْدِهِ
Berkata seorang Syekh yang agung, al-Alim al-Allamah,
Hujjatul Islam, pembawa berkah bagi manusia, Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi; semoga Allah menyucikan ruhnya dan
menyinari alam kuburnya. Amin: Segala puji bagi Allah dengan
sebenar-benar pujian. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
sebaik-baik makhluk, rasul dan utusan-Nya, Nabi besar Muhammad SAW, dan juga
kepada keluarga dan para sahabatnya dan para pengikutnya yang hidup pada masa
setelahnya.
أَمَّا بَعْدُ: فَاعْلَمْ أَيُّهَا
الْحَرِيْصُ الْمُقْبِلُ عَلَى اقْتِبَاسِ الْعِلْمِ، الْمُظْهِرُ مِنْ نَفْسِهِ
صِدْقَ الرَّغْبَةِ وَفَرْطَ التَّعَطُّشِ إِلَيْهِ، أَنَّكَ إِنْ كُنْتَ تَقْصُدُ
بِطَلَبِ الْعِلْمِ الْمُنَافَسَةَ وَالْمُبَاهَاةَ، وَالتَّقَدُّمَ عَلَى
اْلأَقْرَانِ، وَاسْتِمَالَةَ وُجُوْهِ النَّاسِ إِلَيْكَ، وَجَمْعِ حُطَامِ
الدُّنْيَا، فَأَنْتَ سَاعٍِ فِيْ هَدْمِ دِيْنِكَ، وَهَلاَكِ نَفْسِكَ، وَبَيْعِ
آخِرَتِكَ بِدُنْيَاكَ، فَصَفْقَتُكَ خَاسِرَةٌ وَتِجَارَتُكَ بَائِرَةٌ،
وَمُعَلِّمُكَ مُعِيْنٌ لَكَ عَلَى عِصْيَانِكَ، وَشَرِيْكٌ لَكَ فِيْ
خُسْرَانِكَ، وَهُوَ كَبَائِعِ سَيْفٍ مِنْ قَاطِعِ طَرِيْقٍ، كَمَا قَالَ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَعَانَ عَلَى
مَعْصِيَةٍِ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍِ كَانَ شَرِْيكًَا لَهُ فِيْهَا
Ammaa ba’du:
Ketahuilah, wahai orang yang besar semangat dan perhatiannya dalam
mencari ilmu, yang telah menunjukan cita-cita yang tinggi dan rasa dahaga yang
begitu kuat terhadap ilmu; seandainya niatmu dalam mencari ilmu itu hanyalah
untuk belomba-lomba dan
berbangga diri dengannya, lalu menjadi terkemuka dibanding
orang lain, dan untuk menarik perhatian
orang banyak terhadap dirimu, dan untuk menghimpunkan kekayaan dunia dengan
ilmu itu, maka sesungguhnya engkau telah melangkah untuk menghancurkan agamamu,
membinasakan dirimu sendiri, dan menjual akhiratmu demi memperoleh duniamu, maka
penjualanmu adalah rugi dan perniagaanmu rusak, dan guru yang mengajarkan
ilmu itu padamu seakan-akan telah menolongmu dalam melaksanakan kemaksiatan,
bersamamu dalam kerugian, dan laksana seseorang yang menjual pedang kepada perampok.
Seperti sabda Rasullullah SAW: “Barangsiapa yang menolong orang
lain melakukan suatu kemaksiatan walaupun dengan setengah kalimat, maka orang
itu dipandang telah ikut melakukan kemaksiatan tersebut.”[1]
وَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُكَ وَقَصْدُكَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ
اللهِ تَعَالَى مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ الْهِدَايَةَ، دُوْنَ مُجَرَّدِ
الرِّوَايَةِ؛ فَأَبْشِرْ، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَبْسُطُ لَكَ أَجْنِحَتَهَا
إِذَا مَشَيْتَ، وَحِيْتَانُ الْبَحْرِ تَسْتَغْفِرُ لَكَ إِذَا سَعَيْتَ.
وَلَكِنْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍِ، أَنَّ الْهِدَايَةَ
الَّتِيْ هِيَ ثَمَرَةُ الْعِلْمِ، لَهَا بِدَايَةٌ وَنِهَايَةٌ، وَظَاهِرٌ
وَبَاطِنٌ، وَلاَ وُصُوْلَ إِلَى نِهَايَتِهَا إِلاَّ بَعْدَ إِحْكَامِ
بِدَايَتِهَا، وَلاَ عُثُوْرَ عَلَى بَاطِنِهَا إِلاَّ بَعْدَ الْوُقُوْفِ عَلَى
ظَاهِرِهَا
Namun
apabila niatmu dalam mencari ilmu itu demi menggapai keridhaan Allah dan mendapatkan
hidayah, bukan sekedar agar engkau pandai berbicara (berceramah); maka
hendaklah engkau merasa gembira, karena para malaikat telah mengembangkan
sayapnya apabila kamu berjalan, dan ikan yang ada di lautan seluruhnya memohonkan
ampun bagimu di dalam setiap gerakmu. Namun demikian, sebelum sampai kepada
semua itu, hendaklah engkau mengetahui bahwa hidayah pada hakikatnya adalah
buah dari ilmu. Hidayah itu sendiri baginya ada “bidayah” (pemulaan) dan
ada pula “nihayah” (kesudahan/puncak), ada zahirnya
dan ada batinnya, dan engkau sekali-kali tidak akan pernah
sampai kepada puncak hidayah kecuali setelah engkau menapaki permulaannya, dan
engkau tidak akan dapat menyelami yang bersifat batin darinya kecuali setelah engkau
memahami dan menyempurnakan yang bersifat zahir darinya.
وَهَأَنَا مُشِيْرٌ عَلَيْكَ
بِبِدَايَةِ الْهِدَايَةِ؛ لِتُجَرِّبَ بِهَا نَفْسَكَ، وَتَمْتَحِنَ بِهَا
قَلْبَكَ، فَإِنْ صَادَفْتَ قَلْبَكَ إِلَيْهَا مَائِلاً، وَنَفْسَكَ بِهَا
مُطَاوِعَةً، وَلَهَا قَابِلَةً؛ فَدُوْنَكَ التَّطَلُّعَ إِلَى النِّهَايَاتِ
وَالتَّغَلْغُلَ فِيْ بِحَارِ الْعُلُوْمِ
Di dalam
kitab ini aku akan tunjukkan padamu “bidayatul hidayah” (pemulaan-permulaan
menuju hidayah); supaya engkau melatih dirimu dengan mengamalkannya, dan supaya
engkau dapat menguji hatimu. Seandainya engkau dapati hatimu cenderung
kepadanya dan hawa nafsumu tunduk mengikuti arahannya dan dapat memberikan perhatian
yang sewajarnya, maka pada saatnya engkau akan sampai di puncak hidayah dan engkau akan mampu mengarungi
lautan ilmu yang luas itu.
وَإِنْ صَادَفْتَ قَلْبَكَ عِنْدَ
مُوَاجَهَتِكَ إِيَّاهَا بِهَا مُسَوِّفًا، وَبِالْعَمَلِ بِمُقْتَضَاهَا
مُمَاطِلاً؛ فَاعْلَمْ أَنَّ نَفْسَكَ الْمَائِلَةَ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ هِيَ
النَّفْسُ اْلأَمَّارَةُ بِالسُّوْءِ، وَقَدْ انْتَهَضَتْ مُطِيْعَةً لِلشَّيْطَانِ
اللَّعِيْنِ لِيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ؛ فَيَسْتَدْرِجُكَ بِمَكِيْدَتِهِ
إِلَى غَمْرَةِ الْهَلاَكِ، وَقَصْدُهُ أَنْ يُرَوِّجَ عَلَيْكَ الشَّرَّ فِيْ
مَعْرِضِ الْخَيْرِ حَتَّى يُلْحِقَكَ: بِاْلأَخْسَرِيْنَ
أَعْمَالاً، الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَياةِ الدُنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
Tetapi jika
engkau dapati hatimu tidak memberikan perhatian kepadanya dan nafsumu suka
berlambat-lambat dalam melaksanakan perintahnya; maka ketahuilah bahwa
kecenderunganmu dalam menuntut ilmu sebenarnya dikendalikan oleh nafsu ammarah
bissuu’, hanya tunduk kepada perintah setan yang terkutuk yang hendak
menipumu dengan berbagai macam tipudayanya; sehingga engkau akan terjerumus ke dalam
jurang kebinasaan. Dengannya setan bermaksud menawarkan kepadamu
keburukan dalam kemasan kebaikan, sehingga engkau termasuk dalam golongan yang
disebutkan dalam firman Allah: “…orang yang paling rugi perbuatannya,
(yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka
mengira telah berbuat sebaik-baiknya.”[2]
وَعِنْدَ ذَلِكَ يَتْلُوْ عَلَيْكَ
الشَّيْطَانُ فَضْلَ الْعِلْمِ وَدَرَجَة الْعُلَمَاءِ، وَمَا وَرَدَ فِيْهِ مِنَ
اْلأَخْبَارِ وَاْلآثَارِ وَيُلْهِيْكَ عَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ
هُدًى، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا، وَعَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ
يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
Pada waktu
itu, setan akan selalu membisikkan kepadamu tentang keutamaan ilmu dan
kemuliaan derajat para ulama. Ia juga menyuarakan kepadamu berbagai keterangan
yang ada di dalam hadits maupun atsar perihal keutamaan ilmu dan kemuliaan para
ulama itu. Sedangkan pada saat yang sama setan mengalihkan perhatianmu dari
sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak
bertambah hidayahnya (amalnya), maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.”[3] Juga dari sabda Rasulullah SAW: “Manusia yang paling pedih siksanya
di hari Kiamat adalah orang alim yang tidak bermanfaat ilmunya.”[4]
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، وَقَلْبٍ
لاَ يَخْشَعُ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ، وَدُعَاءٍ لاَ يَسْمَعُ
Padahal
Rasulullah SAW selalu berdoa: [Allaahumma innii a-‘uudzubika min ‘ilmin laa
yanfa’, wa qalbin laa yakhsya’, wa ‘amalin laa yurfa’, wa du’aa-in laa yasma’]
–Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermafaat,
hati yang tidak kusyu’, amal yang tidak diangkat (tidak diterima),
dan dari doa yang tidak didengar (tidak dimakbulkan).”[5]
وَعَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَرَرْتُ لَيْلَةَ
أُسْرِىَ بِيْ بِأَقْوَامٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ،
فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَأْمُرُ بِالْخَيْرِ وَلاَ نَأْتِيْهِ
وَنَنْهَى عَنِ الشَّرِّ وَنَأْتِيْهِ
Setan juga memalingkanmu
dari sabda Rasullullah SAW: “Pada malam isra’ mi’raj diperlihatkan padaku kaum yang dipotong
lidah mereka dengan gunting yang terbuat dari api.
Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami adalah orang
yang suka menyuruh orang lain berbuat kebaikan tetapi kami
tidak melakukannya, dan kami suka melarang orang lain meninggalkan
kejahatan tetapi kami mengerjakannya.”[6]
فَإِيَّاكَ يَا مِسْكِيْنُ أَنْ تُذْعِنَ لِتَزْوِيْرِهِ
فَيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ، فَوَيْلٌ لِلْجَاهِلِ حَيْثُ لَمْ يَتَعَلَّمْ
مَرَّةً وَاحِدَةً، وَوَيْلٌ لِلْعَالِمِ حَيْثُ لَمْ يَعْمَلْ بِمَا عَلِمَ
أَلْفَ مَرَّةٍ
Maka
berhati-hatilah engkau wahai saudaraku dari tipu daya setan dan janganlah
engkau tunduk kepada tipu dayanya itu, karena ia akan membelenggumu dengan tali
tipuannya. Celakalah orang bodoh yang tidak mau belajar, dan kecelakaan seribu
kali lipat bagi orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ عَلَى
ثَلاَثَةِ أَحْوَالٍ: رَجُلٌ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَتَّخِذَهُ زَادَهُ إِلَى
الْمَعَادِ، وَلَمْ يَقْصُدْ بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ؛
فَهَذَا مِنَ الْفَائِزِيْنَ
Dan
ketahuilah bahwa manusia dalam menuntut ilmu itu terbagi kepada tiga keadaan: Pertama,
orang yang mencari ilmu untuk menjadikannya sebagai bekal menuju negeri
akhirat, maka niatnya dalam mencari ilmu itu tiada lain kecuali untuk
memperoleh keridhaan Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat. Maka orang yang
demikian ini termasuk dalam golongan orang-orang
yang beruntung.
وَرَجُلٌ طَلَبَهُ
لِيَسْتَعِيْنَ بِهِ عَلَى حَيَاتِهِ الْعَاجِلَةِ، وَيَنَالَ بِهِ الْعِزَّ
وَالْجَاهَ وَالْمَالَ، وَهُوَ عَالِمٌ بِذَلِكَ مُسْتَشْعِرٌ فِيْ قَلْبِهِ
رَكَاكَةَ حَالِهِ وَخِسَّةَ مَقْصَدِهِ، فَهَذَا مِنَ الْمُخَاطِرِيْنَ. فَإِنْ
عَاجَلَهُ أَجَلُهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ خِيْفَ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ،
وَبَقِيَ أَمْرُهُ فِيْ خَطِرِ الْمَشِيْئَةِ؛ وَإِنْ وَفَقَ لِلتَّوْبَةِ قَبْلَ
حُلُوْلِ اْلأَجَلِ، وَأَضَافَ إِلَى الْعِلْمِ الْعَمَلَ، وَتَدَارَكَ مَا
فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْخَلَلِ - الْتَحَقَ بِالْفَائِزِيْنَ، فَإِنَّ: التَّائِبُ
مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Kedua, orang
yang mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan segera (duniawi), untuk meraih
kemuliaan, kedudukan dan kekayaan. Sebenarnya di dalam hatinya dia mengetahui
dan menyadari bahwa tujuan yang demikian itu adalah buruk dan hina. Orang ini
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahaya (mengkhawatirkan
keadaannya). Apabila ajalnya menjemput sebelum dia bertaubat, maka
dikhawatirkan dia akan mengalami su-ul khatimah, dan nasibnya di hari
Kiamat berada dalam kehendak Allah. Namun jika dia mendapat kesempatan
bertaubat sebelum ajal menghampirinya, bergegas untuk melakukan amal sesuai
dengan ilmunya, menyempurnakan kekurangannya di masa lalu, maka ada kemungkinan
dia digabungkan dengan orang-orang yang beruntung. Sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW: “Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak
mempunyai dosa.”[7]
وَرَجُلٌ ثَالِثٌ
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ؛ فَاتَّخَذَ عِلْمَهُ ذَرْيعَةً إِلَى
التَّكَاثُرِ بِالْمَالِ، وَالتَّفَاخُرِ بِالْجَاهِ، وَالتَّعَزُّزِ بِكَثْرَةِ
اْلأَتْبَاعِ، يَدْخُلُ بِعِلْمِهِ كُلَّ مُدْخَلٍ رَجَاءَ أَنْ يَقْضِىَ مِنَ
الدُّنْيَا وَطَرَهُ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ يُضْمِرُ فِيْ نَفْسِهِ أَنَّهُ عِنْدَ
اللهِ بِمَكَانَةٍ، لاتِّسَامِهِ بِسِمَةِ الْعُلَمَاءِ، وَتَرَسُّمِهِ
بِرُسُوْمِهِمْ فِي الزِّىِّ وَالْمَنْطِقِ، مَعَ تَكَالُبِهِ عَلَى الدُّنْيَا
ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، فَهَذَا مِنَ الْهَالِكِيْنَ، وَمِنَ الْحَمْقَى
الْمَغْرُوْرِيْنَ، إِذِ الرَّجَاءُ مُنْقَطِعٌ عَنْ تَوْبَتِهِ لِظَنِّهِ أَنَّهُ
مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ، وَهُوَ غَافِلٌ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: يَأَيُهَّا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنََ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ
Ketiga, orang yang
telah dikuasai oleh setan; orang ini menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mengumpulkan
harta, berbangga-bangga dengan kedudukan dan merasa
hebat dengan banyaknya pengikut. Dia menggunakan ilmunya untuk meraih segala
yang diharapkan dan dihajatkannya dari keuntungan dunia. Walaupun demikian, dia
masih terpedaya lagi dengan menyangka bahwa dia mempunyai kedudukan yang tinggi
di sisi Allah, karena tampilannya menyerupai tampilan para ulama, bergaya
dengan gaya mereka, baik dalam perkataan maupun sikap formal. Padahal lahir
batin dia adalah orang yang sangat rakus terhadap kekayaan dunia. Orang yang
seperti ini termasuk dalam golongan orang yang binasa, bodoh dan tertipu. Sangat
tipis harapan ia dapat bertaubat kepada Allah karena dia telah menyangka bahwa
dirinya termasuk dalam golongan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dia lalai
terhadap firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yangberiman, mengapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”[8]
وَهُوَ مِمَّنْ قَالَ
فِيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا مِنْ غَيْرِ
الدَّجَّالِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجَّالِ، فَقِيْلَ: وَمَا هُوَ
يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: عُلَمَاءُ السُّوْءِ
Dan orang ini sesungguhnya
temasuk dalam golongan yang disebutkan
oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Selain
daripada dajjal, ada satu pekara yang sangat aku takutkan untuk kalian
fitnahnya daripada dajjal. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab: “Para ulama
su’, yakni ulama yang jelek.”[9]
وَهَذَا لِأَنَّ الدَّجَّالَ غَايَتُهُ
اْلإِضْلاَل، وَمِثْلُ هَذَا الْعَالِمُ وَإِنْ صَرَفَ النَّاسَ عَنِ الدُّنْيَا
بِلِسَانِهِ وَمَقَالِهِ، فَهُوَ دَاعٍ لَهُمْ إِلَيْهَا بِأَعْمَالِهِ
وَأَحْوَالِهِ، وَلِسَانُ الْحَالِ أفصح مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ، وَطِبَاعُ
النَّاسِ إِلَى الْمُسَاهَمَةِ فِي اْلأَعْمَالِ أَمْيَلُ مِنْهَا إِلَى
الْمُتَابَعَةِ فِي اْلأَقْوَالِ
Yang demikian itu karena dajjal tujuannya sudah sangat
jelas, yakni menyesatkan manusia. Lain halnya dengan ulama jelek ini, mereka
mengajak manusia berpaling dari dunia dengan lisan dan perkataan mereka, namun
mereka mengajak manusia kepada dunia dengan amal dan perbutan mereka. Padahal
bahasa perilaku lebih besar pengaruhnya daripada bahasa ucapan, dan tabiat
manusia lebih cenderung mengikuti amal daripada mengikuti perkataan.
فَمَا أَفْسَدَهُ هَذَا الْمَغْرُوْرُ
بِأَعْمَالِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَصْلَحَهُ بِأَقْوَالِهِ، إِذْ لاَ يَسْتَجْرِىءُ
الْجَاهِلُ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ بِاسْتِجْرَاءِ الْعُلَمَاءِ،
فَقَدْ صَارَ عِلْمُهُ سَبَبًا لِجُرْأَةِ عِبَادِ اللهِ عَلَى مَعَاصِيْهِ،
وَنَفْسُهُ الْجَاهِلَةُ مُدِلَّةٌ مَعَ ذَلِكَ تُمَنِّيْهِ وَتُرَجِّيْهِ،
وَتَدْعُوْهُ إِلَى أَنْ يَمُنَّ عَلَى اللهِ بِعِلْمِهِ، وَتُخَيِّلَ إِلَيْهِ
نَفْسُهُ أَنَّهُ خَيُْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ
Akibatnya, kerusakan yang timbul sebagai dampak amal
mereka lebih banyak daripada kebaikan yang ditimbulkan oleh perkataan mereka.
Orang yang tidak berilmu (baca: masyarakat awam) tidak akan berani mencintai
dunia kecuali setelah melihat keberanian ulama jelek mencintai dunia. Maka ilmu
yang mereka miliki itu menjadi sebab beraninya manusia bermaksiat kepada Allah.
Lebih daripada itu, nafsu mereka yang bodoh menghadirkan angan-angan tentang
posisi mereka yang tinggi di sisi Allah, mendorong mereka merasa telah berbuat
banyak untuk Allah dengan ilmu mereka, dan nafsu mereka menghadirkan hayalan
dalam diri mereka bahwa mereka lebih baik dari kebanyakan manusia.
فَكُنْ أَيُّهَا الطَّالِبُ مِنَ
الْفَرِيْقِ اْلأَوَّلِ، وَاحْذَرْ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّانِيْ،
فَكَمْ مِنْ مُسَوِّفٍ عَاجَلَهُ اْلأَجَلُ قَبْلَ التَّوْبَةِ فَخَسِرَ،
وَإِيَّاكَ ثُمَّ إِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّالِثِ، فَتَهْلِكَ
هَلاَكًا لاَ يُرْجَى مَعَهُ فَلاَحُكَ، وَلاَ يُنْتَظَرُ صَلاَحُكَ
Oleh karena
itu wahai para penuntut ilmu, jadikanlah dirimu bersama dengan golongan yang
pertama, dan berhati-hatilah agar engkau tidak termasuk ke dalam golongan yang kedua.
Janganlah engkau menunda-nunda taubat, berapa banyak orang yang menunda-nunda
taubat kemudian ajal menjemput, padahal ia belum sempat bertaubat, lalu ia
menjadi orang yang merugi. Dan jangan sekali-kali engkau termasuk dalam
golongan yang ketiga. Jika sampai engkau termasuk di dalamnya maka engkau akan
terjerumus ke jurang kebinasaan yang tidak dapat diharapkan keberuntungannya dan tidak dapat ditunggu
lagi kebaikannya.
فَإِنْ قُلْتَ: فَمَا بِدَايَةُ
الْهِدَايَةِ لِأُجَرِّبَ بِهَا نَفْسِيْ؟ فَاعْلَمْ، أَنَّ بِدَايَتَهَا
ظَاهِرَةُ التَّقْوَى، وَنِهَايَتَهَا بَاطِنَةُ التَّقْوَى؛ فَلاَ عَاقِبَةَ
إِلاَّ بِالتَّقْوَى، وَلاَ هِدَايَةَ إِلاَّ لِلْمُتَّقِيْنَ
Maka apabila engkau
bertanya: Apakah permulaan
jalan menuju hidayah itu agar aku dapat menguji diriku dengannya? Ketahuilah,
bahwa permulaan jalan menuju hidayah itu ialah ketakwaan yang bersifat zahir, sedangkan
puncaknya adalah ketakwaan yang bersifat batin. Sungguh tidak ada keberuntungan
hakiki yang akan dicapai kecuali dengan ketakwaan,
sebagaimana halnya tidak ada hidayah kecuali untuk orang-orang yang bertakwa.
وَالتَّقْوَى: عِبَارَةٌ عَنِ
امْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ تَعَالَى، وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ، فَهُمَا
قِسْمَانِ وَهَا أَنَا أُشِيْرُ عَلَيْكَ بِجُمَلة مُخْتَصَرَةٍ مِنْ ظَاهِرِ
عِلْمِ التَّقْوَى فِي الْقِسْمَيْنِ جَمِيْعًا، وَأُلْحِقُ قِسْمَا ثَالِثًا
لِيَصِيْرَ هَذَا الْكِتَابُ جَامِعًا مُغْنِيًا وَاللهُ الْمُسْتَعَانِ
Dan ketakwaan meliputi dua hal: melaksanakan perintah
Allah SWT dan menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang-Nya. Aku akan
jelaskan kepadamu dua bagian takwa zahir tersebut dengan penjelasan yang
ringkas, dan aku aku tambahkan bagian ketika yang berhubungan dengan amal hati
agar kitab ini menjadi lebih lengkap dan menyeluruh. Semoga Allah memberi
pertolongan.
[1] Ada hadits yang agak
mirip dengan hadits tersebut:
مَنْ
أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
“Barangsiapa menolong untuk membunuh
seorang mukmin meski dengan setengah kalimat, maka dia akan berjumpa dengan
Allah dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya: putus asa dari rahmat
Allah.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra)
[2] QS.
al-Kahfi [18]: 103-104.
[3] HR
Dailami dari Ali bin Abu Thalib ra.
[4] HR
Thabrani dan Baihaqi dari Abu Hurairah ra
[5] HR Ahmad
dari Anas ra, dan al-Hakim dari Ibnu Mas’ud ra.
[6] HR Ahmad
dari Anas ra.
[7] HR Ibnu
Majah dan Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud ra.
[8] QS.
ash-Shaf [61]: 2.
[9] HR Ahmad
dari Abu Dzar ra.
0 comments:
Post a Comment