Pertanyaan:
Apa hukum memakan kelamin hewan kurban?
Jawaban:
Para ulama ahli fikih berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, setidaknya ada tujuh bagian yang diharamkan dari hewan yang halal dimakan seperti kambing, yaitu darah yang mengalir, alam kelamin, dua testis, kelamin betina, ghuddah, kemih, dan kandung empedu.
Para ulama ahli fikih berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, setidaknya ada tujuh bagian yang diharamkan dari hewan yang halal dimakan seperti kambing, yaitu darah yang mengalir, alam kelamin, dua testis, kelamin betina, ghuddah, kemih, dan kandung empedu.
مَا يَحْرُمُ
أَكْلُهُ مِنْ أَجْزَاءِ الْحَيَوَانِ الْمَأْكُولُ سَبْعَةٌ : الدَّمُ
الْمَسْفُوحُ وَالذَّكَرُ وَالْأُنْثَيَانِ وَالْقُبُلُ وَالْغُدَّةُ
وَالْمَثَانَةُ وَالْمَرَارَةُ
“Sesuatu yang haram dimakan dari bagian anggota tubuh hewan yang boleh
dimakan ada tujuh, yaitu darah yang mengalir, alat kelamin, dua testis,
kemaluan kambing betina, ghuddah, kemih (kandung kencing), dan kandung empedu.” (Ibnu Abidin, Hasyiyatu Raddil Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 1421
H/2000 M, juz VI, halaman 311).
قَوْلُهُ
وَالْغُدَّةُ) بِضَمِّ الْغَيْنِ الْمُعْجَمَةِ كُلُّ عُقْدَةٍ فِي الْجَسَدِ
أَطَافَ بِهَا شَحْمٌ ، وَكُلُّ قِطْعَةٍ صُلْبَةٍ بَيْنَ الْعَصَبِ وَلَا تَكُونُ
فِي الْبَطْنِ كَمَا فِي الْقَامُوسِ
“Pernyataannya (pengarang); al-ghuddah, dengan diharakati dhammah huruf
ghain-nya, maknanya adalah setiap gumpalan yang tumbuh di dalam tubuh yang
diliputi oleh lemak atau setiap bagian yang keras yang terdapat di antara urat
dan tidak berada dalam perut. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat
dalam kitab Al-Qamus (karya Fairuz Abadi, pent.).” (Ibnu Abidin, Hasyiyatu Raddil Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 1421
H/2000 M, juz VI, halaman 749).
Keharaman ketujuh bagian tubuh hewan yang boleh dimakan tersebut didasarkan
pada hadits riwayat Mujahid yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai
alat kelamin kambing, dua testis, kemaluan, ghuddah, kandung
kemih, kandung kencing, dan darah.
Menurut Al-Kasani, ketidaksukaan Rasulullah SAW dalam konteks ini maksudnya
adalah makruh tahrim. Logika yang dibangun untuk sampai pada simpulan makruh
tahrim adalah adalah bahwa dalam hadits tersebut mengumpulkan antara enam
hal (yaitu alat kelamin, dua testis, kemaluan, ghuddah, kandung kemih
dan kandung kencing) dengan darah dalam ketidaksukaan (fil karahah),
sedangkan darah yang mengalir itu sendiri diharamkan.
وَرُوِيَ عَنْ
مُجَاهِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الشَّاةِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَيَيْنِ
وَالْقُبُلَ وَالْغُدَّةَ وَالْمَرَارَةَ وَالْمَثَانَةَ وَالدَّمَ فَالْمُرَادُ
مِنْهُ كَرَاهَةُ التَّحْرِيمِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الْأَشْيَاءِ
السِّتَّةِ وَبَيْنَ الدَّمِ فِي الْكَرَاهَةِ ، وَالدَّمُ الْمَسْفُوحُ مُحَرَّمٌ
“Diriwayatkan dari Mujahid ra bahwa ia berkata, Rasulullah tidak menyukai
(kariha) kelamin kambing, dua testis, kemaluan kambing (betina), ghuddah,
kandung empedu, kandung kencing, dan darah. Yang
dimaksud tidak menyukai dalam konteks ini adalah makruh tahrim. Kecendrungan
untuk memahami makruh di sini sebagai makruh tahrim karena terkumpulnya di
antara enam hal dengan darah dalam hadits tersebut, sedangkan darah yang
mengalir itu hukumnya adalah haram.” (‘Alauddin
Al-Kasani, Bada’ius Shana’i fi Tartibis Syara’i, Beirut, Darul Kitab
Al-‘Arabi, 1982 M, juz V, halaman 61).
Namun menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab yang ditulis oleh Imam Muhyiddin Syarf An-Nawawi, hadits riwayat
dari Mujahid di atas dianggap sebagai hadits yang lemah. Konsekuensinya
hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
Lebih
lanjut, ia mengemukakan pandangan Al-Khaththabi yang menyatakan bahwa sesuai
dengan ijma’ atau konsensus para ulama bahwa darah adalah haram.
Sedangkan keenam hal yang disebutkan bersama darah adalah dimakruhkan bukan
diharamkan. Demikian yang kami pahami dipernyataannya berikut ini:
فَصْلٌ) عَنْ
مُجَاهِدٍ قَالَ (كَانَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَكْرَهُ مِنَ الشَّاةِ
سَبْعًا الدَّمَ وَالْمَرَارَ وَالذَّكَرَ وَالْاُنْثَيَيْنِ وَالْحَيَا
وَالْغُدَّةَ وَالْمَثَانَةَ وَكَانَ أَعْجَبُ الشَّاةِ إِلَيْهِ مُقَدَّمَهَا)
رَوَاهُ الْبَيْهَقِىُّ هَكَذَا مُرْسَلًا وَهُوَ ضَعِيفٌ قَالَ وَرُوِىَ
مَوْصُولًا بِذْكْرِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَهُوَ حَدِيثٌ قَالَ وَلَا يَصِحُّ وَصْلُهُ
قَالَ الْخَطَّابِىُّ اَلدَّمُ حَرَامٌ بِالْاِجْمَاعِ وَعَامَّةُ الْمَذْكُورَاتِ
مَعَهُ مَكْرُوهَةٌ غَيْرُ مُحَرَّمَةٌ
“(Fasal), diriwayatkan dari Mujahid ia berkata, ‘Rasulullah SAW tidak
menyukai tujuh bagian dari kambing yaitu darah, kandung kemih, alat kelamin,
dua testis, kemaluan, ghuddah, kandung kencing. Dan bagian
kambing yang paling disukai Rasulullah SAW adalah hasta dan bahunya’. Demikianlah hadits ini diriwayakan
Al-Baihaqi secara mursal dan masuk kategori hadits dha’if. Al-Baihaqi berkata,
ada juga yang diriwayatkan secara maushul (bersambung sanadnya atau muttashil)
dengan menyebutkan Ibnu Abbas RA yaitu sebuah hadits...namun sayangnya
kebersambungan tersebut tidak bisa diterima. Al-Khaththabi berpendapat bahwa
darah itu haram sesuai dengan ijma’ para ulama, sedangkan semua yang disebutkan
bersama darah dalam hadits tersebut adalah dimakruhkan bukan diharamkan.”
Serupa dengan pandangan Al-Khaththabi adalah riwayat Ibnu Habib dari
kalangan madzhab Maliki, yang menyatakan testis hewan yang halal dimakan adalah
tidak sampai dihukumi haram. Hal ini sebagaimana yang pahami dalam
keterangan yang terdapat dalam kitab At-Taj wal Iklil sebagai berikut:
وَرَوَى ابْنُ
حَبِيبٍ اسْتِثْقَالَ أَكْلِ عَشْرَةٍ دُونَ تَحْرِيمِ الْأُنْثَيَانِ
وَالْعَسِيبُ وَالْغُدَّةُ...
“Ibnu Habib meriwayatkan tentang menganggap beratnya (istitsqal) memakan
sepuluh (bagian tubuh hewan yang halal) tetapi tidak diharamkan, yaitu dua
testis, alat kelamin, ghuddah...”
Kesimpulan:
Dari
penjelasan yang telah disampaikan, setidaknya
ada dua pandangan mengenai hukum testis kambing. Pertama, menyatakan haram
seperti dikemukakan oleh para ulama dari kalangan madzhab Hanafi. Sedangkan
pendapat kedua menyatakan tidak haram, seperti yang dikemukakan Al-Khaththabi
ulama dari kalangan madzhab
Syafi’i dan riwayat Ibnu Habib dari kalangan ulama Madzhab Maliki.
0 comments:
Post a Comment