Tatkala seorang bayi telah dilahirkan ibunya, disunnahkan
untuk diperdengarkan padanya kumandang adzan di telinga sebelah kanan. Tentu
saja hal itu dilakukan setelah sang bayi dibersihkan dari cairan dan kotoran
lainnya. Amalan mulia ini pun tak luput dari vonis bid’ah, sekalipun sangat
jelas ada dalil yang memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW mengamalkannya.
Dalil yang Membid’ahkan
Mengumandangkan adzan dan iqamah di
telinga bayi yang telah lazim diamalkan oleh umat Islam dibid’ahkan dengan
alasan bahwa adzan hanya dilakukan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat
telah tiba dan iqamah adalah ajakan atau pemberitahuan bahwa shalat segera
dilaksanakan. Jika adzan dan iqamah
dikumandangkan selain untuk tujuan itu, maka masuk dalam kategori bid’ah dan
terlarang untuk diamalkan. Vonis bid’ah itu semakin gencar disebarluaskan
ketika Syaikh Albani mengeluarkan fatwa bahwa semua hadits tentang adzan dan
iqamah selain untuk shalat adalah dhaif (lemah), termasuk di dalamnya
hadits yang bersumber dari Abu Rafi’ ra yang menjadi landasan para ulama sejak
dahulu menganjurkan setiap Muslim mengumandangkan adzan di telinga bayi yang
baru lahir.
Jawabannya
Perbuatan ini sunnah, bukan bid’ah seperti yang
dituduhkan oleh sebagian orang. Kalau Anda mengumandangkan adzan di telinga
bayi yang sebelah kanan setelah ia dilahirkan, maka perbuatan Anda itu sesuai
dengan amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Dari
Ubaidullah bin Abu Rafi’ dari bapaknya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW
mengumandangkan adzan seperti dalam shalat pada telinga Hasan bin Ali saat ia
dilahirkan oleh Fatimah.” (HR
Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Berdasarkan hadits tersebut, pastinya Anda mengetahui bahwa melantunkan adzan pada telinga kanan sang bayi sesaat setelah ia dilahirkan adalah amalan yang memiliki landasan syariat, dan ia termasuk sesuatu yang disunnahkan.
Lalu, bagaimana pendapat yang menyatakan bahwa hadits itu dhaif (lemah)? Tentu saja pendapat itu layak untuk ditolak. Seperti yang dituliskan di atas, Imam Tirmidzi menilai hadits itu sebagai hadits hasan shahih. Imam Abu Dawud yang juga meriwayatkan hadits tersebut tidak memberikan komentar dan penilaian apa pun, dan menurut kaidah yang digunakan oleh Imam Nawawi dan para ahli hadits lainnya, bila Abu Dawud tidak memberikan penilaian hadits yang diriwayatkannya maka hadits tersebut layak dijadikan hujjah dan tidak dhaif. Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi juga menyetujui penilaian shahih hadits di atas.
Dalam al-Mustadrak, Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dengan lafal “adzan di telinga Husain”, dan beliau mengatakan sanadnya shahih. Di dalam Tuhfah al-Ahwadzi (5/90), al-Mubarakfuri menyatakan bahwa hadits yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Dalam al-Majmu’, VIII/443, disebutkan bahwa Ashhab al-Syafi’i juga mengutip hadits tentang adzan dan iqamah di telinga bayi dari Umar bin Abdul Aziz.
Selain itu, hal yang tak bisa untuk diabaikan adalah bahwa hadits di atas juga diamalkan oleh segenap ulama. Sedangkan menurut kaidah ilmu musthalah al-hadits, setiap hadits yang diterima dan diamalkan oleh para ulama tidak perlu diperhatikan lagi sanadnya.
Selain memperdengarkan lantunan adzan di telinga sebelah kanan, juga dianjurkan untuk memperdengarkan lantunan iqamah di telinga bayi yang sebelah kiri. Hal itu akan membuat indra pendengaran sang bayi menjadi terbentengi dan tertanami oleh suara kalimat tauhid, sehingga ia selamat dari bisikan iblis dan manusia yang akan merusak akidahnya.
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Husain bin Ali ra, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barangsiapa dikaruniai anak, kemudian melantunkan adzan
pada telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, maka selamatlah ia dari
bisikan jin.” (HR al-Baihaqi, Ibnu
Sunni dan Abu Ya’la).
Hadits ini memang memiliki sanad yang dhaif, seperti yang dikatakan oleh al-Hafzih al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir (no. 9085), al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ (no. 1541) dan al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi (IV/169). Namun demikian, hadits ini memiliki penguat sebuah hadits shahih, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi yang disebutkan sebelumnya, sehingga ia menjadi boleh untuk diamalkan. Bahkan, seandainya tidak ada penguat pun hadits itu masih bisa diamalkan karena ia hanya dalam masalah fadhail al-a’mal.
Dengan demikian, memfatwakan bid’ah mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir karena derajat haditsnya dhaif tentu saja sikap yang terlalu terburu-buru, dan kita wajib untuk menolaknya. Apalagi para imam ahli hadits seperti Imam Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim menilainya sebagai hadits shahih, setidaknya hasan shahih. Kalau hanya Syaikh Albani yang menilainya sebagai hadits dhaif tidak berarti bahwa hal itulah yang paling benar, karena kapabilitas dan kredibilitas Imam Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim dalam menilai hadits lebih diterima daripada Syaikh Albani. Selain itu, banyaknya para ulama yang memfatwakan sunnahnya mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir, menandakan bahwa hadits itu diterima dan amalan tersebut bukanlah bid’ah.
Hikmah Kumandang Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi yang Baru Lahir
Tentunya Anda memaklumi bahwa kalimat adzan adalah
kalimat dakwah yang sempurna. Sebagian besar isinya adalah kalimat tauhid dan
ajakan untuk menunaikan shalat dan meraih kejayaan dan kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, sebelum sang bayi berhadapan dengan berbagai
suara dan ucapan yang kotor dan tidak mendidik, seyogyanya kepadanya
diperdengarkan terlebih dahulu kalimat tauhid sebagai landasan kehidupannya.
Selain itu, kalimat tauhid juga berfungsi untuk mengingatkan janji yang pernah kita ucapkan di hadapan Allah sebelum kita diciptakan, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS. al-A’raf [7]: 172).
Suara kumandang adzan yang diperdengarkan kepada si bayi yang baru lahir juga bermakna memberikan pendidikan akidah yang benar kepadanya. Ini adalah pendidikan yang paling dasar dan paling dibutuhkan sebagai bekal untuk meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Selain adzan, kumandang iqamah juga diperdengarkan ke telinga bayi yang sebelah kiri, sehingga benteng pendengarannya akan semakin kokoh. Kalimat dalam iqamah tidak jauh berbeda dengan kalimat adzan. Hanya berbeda dalam jumlah pengucapan dan pada iqamah terdapat kalimat “qad qaamatish shalaah”, sebanyak dua kali. Kalimat itu adalah penekanan agar menegakkan shalat. Dan tahukah Anda apa hakikat shalat itu? Shalat adalah bentuk komunikasi dua arah antara manusia dengan Allah SWT dan wujud penghambaan diri seorang hamba kepada Khalik-nya.
Dengan memperdengarkan iqamah kepadanya, maka tersirat pesan agar kelak dia menjadi manusia yang menegakkan shalat dan tidak melalaikannya. Karena tanpa menegakkan shalat, mustahil seseorang akan menjadi manusia yang bertauhid, saleh dan bertakwa kepada-Nya.
0 comments:
Post a Comment