وَأَمَّا الْعُجْبُ وَالْكِبْرُ
وَالْفَخْرُ: فَهُوَ الدَّاءُ الْعُضَالُ، وَهُوَ نَظَرُ الْعَبْدِ إِلَى نَفْسِهِ
بِعَيْنِ الْعِزِّ وَاْلاِسْتِعْظَامِ، وَإِلَى غَيْرِهِ بِعَيْنِ اْلاِحْتِقَارِ
وَالذُّلِّ
‘Ujub (Bangga Diri dan Sombong): Semua itu pada
hakikatnya merupakan penyakit yang
sangat kronis dan sulit disembuhkan. ‘Ujub adalah memandang diri sendiri dengan
pandangan penuh kemuliaan dan keagungan, sedangkan orang lain dipandang dengan
pandangan yang merendahkan dan menghinakan.
وَنَتِيْجَتُهُ عَلَى اللِّسَانِ أَنْ
يَقُوْلَ: أَنَا وَأَنَا، كَمَا قَالَ إِبْلِيْسُ اللَّعِيْنُ: أَنَا خَيْرٌ
مِنْهُ، خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَارٍ، وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ.
Pada lisan, sifat ini biasanya membuat seseorang senang
berkata: “Aku, dan aku.”[1]
Hal ini sebagaimana ucapan Iblis terkutuk saat menolak perintah Allah untuk
bersujud kepada Nabi Adam AS: “Aku lebih baik daripada dia. Aku Engkau ciptakan
dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan (hanya) dari tanah.”[2]
وَثَمَرَتُهُ فِي الْمَجَالِسِ:
التَّرَفُّعُ وَالتَّقَدُّمُ، وَطَلَبُ التَّصَدُّرِفِيْهَا، وَفِي الْمُحَاوَرَةِ
اْلاِسْتِنْكَافِ مِنْ أَنْ يُرَدَّ كَلاَمُهُ عَلَيْهِ
Buah dari sifat ini dalam majelis (perkumpulan) adalah
merasa dirinya sebagai yang tertinggi dan terdepan dibanding orang lain dan
selalu mencari tempat yang membuatnya bisa tampil di depan. Sementara dalam
sebuah diskusi atau perbincangan, buah dari sifat ini mewujud dalam sikap tidak
mau menerima jika ada orang lain yang menolak pendapatnya.
وَالْمُتَكَبِّرُ: هُوَ الَّذِيْ إِنْ
وُعِظَ أَنِفَ، أَوْ وَعَظَ عَنَّفَ، فَكُلُّ مَنْ رَأَى نَفْسَهُ خَيْرًا مِنْ
أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ مُتَكَبِّرٌ
Orang yang sombong adalah orang yang apabila dinasehati
merasa enggan menerima nasehat itu, karena ia
memandang remeh terhadap orang yang menasehatinya. Namun jika
memberi nasehat, ia akan melakukannya dengan sikap kasar dan suara
keras.[3]
Singkat kata, siapa pun yang memandang dirinya lebih baik dari makhluk Allah
yang lain maka sungguh ia adalah seorang yang sombong.
بَلْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ
أَنَّ الْخَيِّرَ مَنْ هُوَ خَيِّرٌ عِنْدَ اللهِ فِيْ دَارِ اْلآخِرَةِ، وَذَلِكَ
غَيْبٌ، وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلَى الْخَاتِمَةِ
Oleh karena itu, hal yang seharusnya engkau pahami adalah
bahwa orang yang baik adalah orang yang mulia di sisi Allah di kehidupan
akhirat kelak, dan itu termasuk persoalan gaib dan sangat tergantung pada
keadaan seseorang di akhir hayatnya.
فَاعْتِقَادُكَ فِيْ نَفْسِكَ أَنَّكَ
خَيْرٌ مِنْ غَيْرِكَ جَهْلٌ مَحْضٌ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ لاَ تَنْظُرَ إِلَى
أَحَدٍ إِلاَّ وَتَرَى أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْكَ، وَأَنَّ الْفَضْلَ لَهُ عَلَى
نَفْسِكَ
Maka keyakinanmu tentang dirimu bahwa engkau lebih baik
dari orang lain benar-benar suatu kebodohan. Mestinya yang engkau lakukan
adalah tidak memandang orang lain kecuali dengan menganggapnya lebih baik
darimu dan memandangnya sebagai orang yang lebih memiliki keutamaan dibanding
dirimu.
Bersambung...
[1]
Maksudnya: Orang yang ‘ujub, bangga diri dan sombong, senang sekali
mengaku-aku. Ia senang berkata, “Ini kalau bukan karena aku….”; “Jika aku tidak
ada saat itu, mungkin masjid ini tidak akan pernah selesai dibangun”; dan
sebagainya. Pendek kata, ia sangat senang membangga-banggakan diri dan amalnya
di hadapan orang lain.
[2] Lihat:
QS. al-A’raf [7]: 12.
[3] Biasanya
diiringi dengan kata-kata yang menyakiti perasaan orang yang dinasihatinya.
0 comments:
Post a Comment