Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Wednesday, May 15, 2019

Penjelasan tentang Kemaksiatan Hati (Bagian Keempat)

وَأَمَّا الْعُجْبُ وَالْكِبْرُ وَالْفَخْرُ: فَهُوَ الدَّاءُ الْعُضَالُ، وَهُوَ نَظَرُ الْعَبْدِ إِلَى نَفْسِهِ بِعَيْنِ الْعِزِّ وَاْلاِسْتِعْظَامِ، وَإِلَى غَيْرِهِ بِعَيْنِ اْلاِحْتِقَارِ وَالذُّلِّ
‘Ujub (Bangga Diri dan Sombong): Semua itu pada hakikatnya merupakan  penyakit yang sangat kronis dan sulit disembuhkan. ‘Ujub adalah memandang diri sendiri dengan pandangan penuh kemuliaan dan keagungan, sedangkan orang lain dipandang dengan pandangan yang merendahkan dan menghinakan. 
 
وَنَتِيْجَتُهُ عَلَى اللِّسَانِ أَنْ يَقُوْلَ: أَنَا وَأَنَا، كَمَا قَالَ إِبْلِيْسُ اللَّعِيْنُ: أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ، خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَارٍ، وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ.
Pada lisan, sifat ini biasanya membuat seseorang senang berkata: “Aku, dan aku.”[1] Hal ini sebagaimana ucapan Iblis terkutuk saat menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam AS: “Aku lebih baik daripada dia. Aku Engkau ciptakan dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan (hanya) dari tanah.”[2]
 
وَثَمَرَتُهُ فِي الْمَجَالِسِ: التَّرَفُّعُ وَالتَّقَدُّمُ، وَطَلَبُ التَّصَدُّرِفِيْهَا، وَفِي الْمُحَاوَرَةِ اْلاِسْتِنْكَافِ مِنْ أَنْ يُرَدَّ كَلاَمُهُ عَلَيْهِ
Buah dari sifat ini dalam majelis (perkumpulan) adalah merasa dirinya sebagai yang tertinggi dan terdepan dibanding orang lain dan selalu mencari tempat yang membuatnya bisa tampil di depan. Sementara dalam sebuah diskusi atau perbincangan, buah dari sifat ini mewujud dalam sikap tidak mau menerima jika ada orang lain yang menolak pendapatnya.
 
وَالْمُتَكَبِّرُ: هُوَ الَّذِيْ إِنْ وُعِظَ أَنِفَ، أَوْ وَعَظَ عَنَّفَ، فَكُلُّ مَنْ رَأَى نَفْسَهُ خَيْرًا مِنْ أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ مُتَكَبِّرٌ
Orang yang sombong adalah orang yang apabila dinasehati merasa enggan menerima nasehat itu, karena ia memandang remeh terhadap orang yang menasehatinya. Namun jika memberi nasehat, ia akan melakukannya dengan sikap kasar dan suara keras.[3] Singkat kata, siapa pun yang memandang dirinya lebih baik dari makhluk Allah yang lain maka sungguh ia adalah seorang yang sombong.
 
بَلْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الْخَيِّرَ مَنْ هُوَ خَيِّرٌ عِنْدَ اللهِ فِيْ دَارِ اْلآخِرَةِ، وَذَلِكَ غَيْبٌ، وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلَى الْخَاتِمَةِ
Oleh karena itu, hal yang seharusnya engkau pahami adalah bahwa orang yang baik adalah orang yang mulia di sisi Allah di kehidupan akhirat kelak, dan itu termasuk persoalan gaib dan sangat tergantung pada keadaan seseorang di akhir hayatnya.
 
فَاعْتِقَادُكَ فِيْ نَفْسِكَ أَنَّكَ خَيْرٌ مِنْ غَيْرِكَ جَهْلٌ مَحْضٌ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ لاَ تَنْظُرَ إِلَى أَحَدٍ إِلاَّ وَتَرَى أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْكَ، وَأَنَّ الْفَضْلَ لَهُ عَلَى نَفْسِكَ
Maka keyakinanmu tentang dirimu bahwa engkau lebih baik dari orang lain benar-benar suatu kebodohan. Mestinya yang engkau lakukan adalah tidak memandang orang lain kecuali dengan menganggapnya lebih baik darimu dan memandangnya sebagai orang yang lebih memiliki keutamaan dibanding dirimu. 
 
Bersambung...


[1] Maksudnya: Orang yang ‘ujub, bangga diri dan sombong, senang sekali mengaku-aku. Ia senang berkata, “Ini kalau bukan karena aku….”; “Jika aku tidak ada saat itu, mungkin masjid ini tidak akan pernah selesai dibangun”; dan sebagainya. Pendek kata, ia sangat senang membangga-banggakan diri dan amalnya di hadapan orang lain.
[2] Lihat: QS. al-A’raf [7]: 12.
[3] Biasanya diiringi dengan kata-kata yang menyakiti perasaan orang yang dinasihatinya.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online