آدَابُ
الْعَالِمِ
Adab-adab
Seorang Alim (Guru)
وَإِنْ
كُنْتَ عَالِمًا، فَآدَابُ الْعَالِمِ: اْلاِحْتِمَالُ، وَلُزُوْمُ الْحِلْمِ،
وَالْجُلُوْسُ بِالْهَيْبَةِ عَلَى سَمْتِ الْوَقَارِ مَعَ إِطْرَاقِ الرَّأْسِ،
وَتَرْكُ التَّكَبُّرِ عَلَى جَمِيْعِ الْعِبَادِ إِلاَّ عَلَى الظَّلَمَةِ
زَجْرًا لَهُمْ عَنِ الظُّلْمِ، وَإِيْثَارُ التَّوَاضُعِ فِي الْمَحَافِلِ
وَالْمَجَالِسِ
Apabila engkau seorang alim (guru), maka berikut adalah
adab-adab seorang alim yang harus engkau jaga: (1) Senantiasa bersabar (menerima
keluhan dan masalah dari para murid), (2) senantiasa tenang (saat berhadapan
dengan berbagai hal), (3) duduk dengan tenang dan berwibawa serta menundukkan
kepala, (4) tidak bersikap sombong terhadap siapa pun kecuali kepada
orang-orang yang berbuat zalim dengan tujuan mengingatkan mereka atas kezaliman
yang mereka lakukan, (5) mengutamakan sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam
berbagai acara dan majelis,
وَتَرْكُ
الْهَزْلِ وَالدُّعَابَةِ، وَالرِّفْقُ بِالْمُتَعَلِّمِ، وَالتَّأَنِّي
بِالْمُتَعَجْرِفِ، وَإِصْلاَحُ الْبَلِيْدِ بِحُسْنِ اْلاِرشَادِ وَتَرْكُ
الْحَرَدِ عَلَيْهِ، وَتَرْكُ اْلأَنَفَهِ مِنْ قَوْلِ: لاَ أَدْرِيْ، وَصَرْفُ
الْهِمَّةِ إِلَى السَّائِلِ وَتَفَهُّمِ سُؤَالَهُ، وَقُبُوْلُ الْحُجَّةِ
(6) Meninggalkan sikap berkelakar dan bergurau, (7) berlemah-lembut
kepada para murid, (8) bersikap halus dalam menghadapi murid yang nakal, (9)
memperbaiki murid yang bodoh dengan memberikan petunjuk yang baik kepadanya dan
tidak memarahinya, (10) Tidak sungkan (gengsi)
untuk berkata: “Aku tidak tahu”, (11) Mencurahkan perhatian kepada
seseorang yang bertanya dan berusaha memahami pertanyaannya, (12) Menerima hujjah/dalil
(yang benar sekalipun dari murid, orang lain, bahkan lawan),
وَاْلاِنْقِيَادُ
لِلْحَقِّ بِالرُّجُوْعِ إِلَيْهِ عِنْدَ الْهَفْوَةِ، وَمَنْعُ الْمُتَعَلِّمِ
عَنْ كُلِّ عِلْمٍ يَضُرُّهُ، وَزَجْرُهُ عَنْ أَنْ يُرِيْدَ بِالْعِلْمِ
النَّافِعِ غَيْرَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، وَصَدُّ الْمُتَعَلِّمِ عَنْ أَنْ
يَشْتَغِلَ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ فَرْضِ الْعَيْنِ؛
وَفَرْضُ عَيْنِهِ: إِصْلاَحُ ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِالتَّقْوَى، وَمُؤَاخَذَةُ
نَفْسِهِ أَوَّلاً بِالتَّقْوَى لِيَقْتَدِيَ الْمُتَعَلِّمُ أَوَّلاً
بِأَعْمَالِهِ، وَيَسْتَفِيْدُ ثَانِيًا مِنْ أَقْوَالِهِ
(13) Tunduk kepada kebenaran dengan kembali kepadanya
jika melakukan kesalahan, (14) mencegah murid dari setiap ilmu yang membawa
mudharat, (15) melarang murid mencari ilmu yang bermanfaat namun niatnya tidak
mencari keridhaan Allah, (16) menghalangi murid dari menyibukkan diri dengan
hal-hal yang fardhu kifayah sebelum menyelesaikan hal-hal yang fardhu ‘ain; dan
yang fardhu ‘ain baginya adalah memperbaiki zahir dan batinnya dengan ketakwaan
kepada Allah, (17) hendaklah orang yang alim terlebih dahulu mengatur dirinya
dengan takwa agar murid-muridnya dapat meneladani tingkah lakunya terlebih
dahulu sebelum mengikuti tutur sapanya.
0 comments:
Post a Comment