Pertanyaan:
Bagaimana hukum memanjangkan jenggot?
Jawaban:
Ada perintah untuk memanjangkan jenggot dan merawatnya dalam hadits, antara lain sabda Rasulullah Saw, "Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik. Peliharalah jenggot kalian dan potonglah kumis kalian." (HR Bukhari dan Muslim)
Para ahli fiqh berselisih pendapat menanggapi perintah dalam hadits ini, apakah menunjukkan hukum wajib atau sunnah? Jumhur fuqaha mengatakan wajib, namun madzhab Syafi'i mengatakan sunnah. Banyak pandangan dari madzhab Syafi'i yang menjelaskan hukum tersebut, di antaranya:
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari berkata, "Makruh mencabut jenggot yang baru tumbuh pertama kali demi menjaga murudah (tak ada bulunya) dan ketampanan." (Syaikh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1 hlm.551) Al-'Allamah al-Ramli mengomentari pernyataan ini dalam al-Hasyiyah 'ala Asna 'al-Mathalib, "(Lafazh: makruh mencabut jenggot) mencakup pula mencukurnya. Pendapat al-Halimi dalam Minhaj-nya yang mencetuskan hukum tidak boleh bagi seseorang mencukur jenggot dan alisnya merupakan pendapat yang lemah." (Syaikh Syihabuddin Ahmad al-Ramli, al-Hasyiyah 'ala Asna al-Mathalib, juz 1 hlm. 551)
Al-'Allamah Ibn Hajar al-Haitami berkata, "Ulama telah membahas tentang permasalahan jenggot dan semisalnya yang termasuk makruh hukumnya, yaitu mencabut dan mencukurnya. Begitu pula hukum kedua alis." (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 9 hlm. 375-376)
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Qasim al-'Abbadi dalam al-Hasyiyah 'ala Tuhfah al-Muhtaj, beliau berkata, "Hukum haram berseberangan dengan pendapat yang mu'tamad (menjadi rujukan). Dalam Syarh al-'Ubab diterangkan, "Faidah: al-Syaikhain (al-Rafi'i dan an-Nawawi) berpendapat makruh mencukur jenggot." (Ibn Qasim al-'Abbadi, Hasyiyah Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz 9 hlm. 375-376)
Al-'Allamah al-Bujairami dalam Syarh 'ala al-Khatib berkata, "Mencukur jenggot hukumnya makruh termasuk bagi laki-laki dewasa, tidak sampai haram." (al-Bujairami, Hasyiyah 'ala Syarh al-Khatib, juz 4 hlm. 346) Penyebutan laki-laki di sini tidak dimaksudkan perbandingan dengan perempuan tetapi dengan laki-laki yang masih remaja, sehingga runtutan teks ini menunjukkan kemakruhan mencukur jenggot yang baru tumbuh bagi para laki-laki remaja. Maka al-Bujairami memberi catatan bahwa jenggot yang baru tumbuh bukan merupakan kriteria. Bagi laki-laki dewasa hukumnya juga makruh.
Terdapat pula ulama selain madzhab Syafi'i yang memakruhkan mencukur jenggot, antara lain Qadhi 'Iyadh, penulis al-Syifa' dan salah satu imam madzhab Maliki. Beliau berkata bahwa makruh mencukur, memotong dan mengerok jenggot." (Lihat: al-Hafizh al-'Iraqi, Tharh al-Tatsrib, juz 2 hlm. 83; al-Syaukani, Nail al-Authar, juz 1 hlm. 143)
Terlihat bahwa ulama fiqh yang mewajibkan memelihara jenggot serta mengharamkan mencukurnya memandang perkara lain selain nash hadits, yakni bahwa mencukur jenggot termasuk perilaku tercela serta tidak sesuai dengan bentuk manusia secara wajar. Syaikh Ahmad Syihabuddin al-Ramli --ayahanda Al-'Allamah Syamsuddin Muhammad al-Ramli-- dalam Hasyiyah 'ala Asna al-Mathalib berkata tentang ta'zir (hukuman), bahwa tidak boleh menta'zir dengan mencukur jenggot. Beliau menuturkan, "(Lafazh: Bukan jenggotnya) Guru kami berkata, "Karena mencukur jenggot adalah siksa bagi pelakunya dan sangat tercela."
Mengaitkan perintah dengan adat adalah tanda dialihkannya hukum yang dihasilkan oleh perintah tersebut dari wajib menjadi sunnah, sedangkan masalah jenggot sendiri merupakan masalah adat. Para ulama fiqh berpendapat bahwa banyak hal hukumnya sunnah di mana dalil haditsnya secara jelas menunjukkan perintah. Ini terjadi karena hal tersebut ada kaitannya dengan adat. Seperti sabda Rasulullah Saw, "Warnailah uban kalian. Janganlah kalian menyerupai musuh kalian dari orang-orang musyrik. Sedangkan yang paling baik untuk mewarnai uban kaliam adalah pohon pacar dan pohon katam (nama sebuah pohon)." (HR Bukhari dan Muslim)
Redaksi perintah di dalam hadits mewarnai uban di atas tidak lebih eksplisit daripada redaksi perintah dalam hadits memanjangkan jenggot. Akan tetapi ketika mewarnai uban atau meninggalkannya sama-sama menjadi adat di masyarakat, maka fuqaha menyunnahkan dan tidak mewajibkannya.
Dengan metode seperti ini, beberapa tokoh Islam bersikap ekstrim dalam masalah memakai topi dan pakaian ala Eropa. Mereka memilih pendapat yang mengafirkan orang yang melakukannya, bukan karena perbuatannya yang kufur namun karena indikasi menyerupai perbuatan orang-orang kafir di masanya. Ketika pakaian ala Eropa menjadi tren di suatu komunitas, tidak satu pun ulama Islam yang mengafirkan orang yang memakai pakaian tersebut.
Hukum berjenggot di era klasik di mana semua kalangan baik kafir maupun Muslim memelihara jenggotnya dan tidak ada pendorong untuk mencukurnya, hukumnya masih diperselisihkan antara mayoritas ulama yang mengatakan wajib memeliharanya dan ulama Syafi'i yang menyunnahkannya. Jadi, tidak berdosa jika mencukurnya.
Karena itu kami memilih untuk mengikuti pendapat ulama Syafi'i, lebih-lebih di masa sekarang di mana tren masyarakat sudah berubah. Mencukur jenggot hukumnya makruh, sedangkan memanjangkannya hukumnya sunnah, dan bagi seorang Muslim yang melakukannya akan mendapat pahala. Hal ini tetap melihat keserasian jenggot tersebut dengan penampilannya, serta menyesuaikannya dengan bentuk wajah dan ketampanan masing-masing.
Wallahu a'lam.
Sumber: Al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan karya Prof. Dr. Ali Jum'ah
0 comments:
Post a Comment