Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Tuesday, October 30, 2018

Mengapa Shalawat Itu Kita Haturkan kepada Nabi Muhammad SAW?

Tentunya sebagai umat Islam kita bersepakat dan meyakini dengan penuh keimanan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia paling sempurna dan memiliki derajat kemuliaan tertinggi di sisi Allah SWT. Beliau adalah yang terpilih di antara manusia-manusia pilihan. Beliau adalah sosok terkasih di antara para kekasih Allah, yang jauh sebelum wujudnya hadir di alam dunia ini cahaya (nur)-nya telah terlebih dahulu diciptakan Allah. Bahkan keberadaan Nur Muhammad itu mendahului masa diciptakannya Nabi Adam AS, Sang Abul Basyar.

Ada pendapat yang mengatakan, syahdan mahar yang diberikan oleh Nabi Adam AS saat menikahi Bunda Hawa adalah bacaan shalawat yang beliau lantunkan sebanyak sepuluh kali. Luar biasa bukan? Padahal masa itu Nabi Adam AS sama sekali belum mengetahui seperti apa wujud manusia yang kepadanya shalawat itu beliau haturkan. Kemuliaan yang dianugerahkan Allah pada diri Nabi Muhammad SAW membuat namanya disebut-sebut dalam pernikahan suci yang berlangsung antara Nabi Adam AS dengan Bunda Hawa.

Bahkan ketika Nabi Adam AS berbuat kekhilafan, dalam pertaubatannya kepada Allah SWT beliau menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Beliau memohon ampun kepada Allah dengan menyebut nama makhluk pilihan yang paling dikasihi Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Telah sampai kepada kita riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menceritakan perihal itu.

Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, Juz 1 halaman 91, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi mengutip sebuah hadits yang bersumber dari Umar bin Khaththab ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لمَاَ أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ عليه وسلم الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ ، فَقَالَ : أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلاَّ غَفَرْتَ لِي، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ ، « وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ » فَقَالَ : تَبَارَكَ اسْمُكَ، لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ، فَإِذًا فِيْهِ مَكْتُوْبٌ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا ِممَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسَمِكَ، فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ : يَا آدَمُ، إِنَّهُ آخِرُ النَبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ، وَلَوْلاَهُوَ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ
“Tatkala Nabi Adam AS berbuat kesalahan, beliau mengangkat kepalanya ke ‘Arsy dan memohon, “Ya Allah aku memohon kepada Engkau dengan kebenaran Muhammad SAW, maka tidak lain Engkau akan mengampuniku” Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya, “Apa dan siapakah Muhammad SAW?” Baginda AS menjawab, “Ketika Engkau jadikan aku, maka aku melihat ke ‘Arsy-Mu dan terpandang tulisan “Laa ilaha illallah Muhammadur rasulullah”. Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya di sisi-Mu yang namanya Engkau letakan bersama nama-Mu.” Lantas Allah mewahyukan kepada baginda AS, “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka aku tidak akan menciptakanmu.” (HR Thabrani, al-Hakim, Abu Nu’aim, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir)

Dalam riwayat Imam Baihaqi yang lain disebutkan dengan redaksi:

صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ، وَإِذْ سَأَلْتَنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
“…Benar engkau ya Adam. Sungguh dia (Muhammad SAW) adalah makhluk yang paling aku cintai. Jika engkau meminta kepada-Ku dengan kebenarannya, maka sungguh Aku mengampunimu. Jika tidak karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakanmu.[1]

Setelah menyimak informasi di atas tentu Anda lebih menyakini lagi betapa kedudukan Rasulullah SAW itu sangat tinggi dan mulia di sisi Allah. Sebagai kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW kemudian disifati oleh-Nya sebagai sosok manusia yang ma’shum, yakni manusia yang terpelihara dari dosa. Pastinya kita semua mengetahui bahwa tiada balasan apa pun yang akan dianugerahkan Allah kepada sosok yang terpelihara dari dosa selain Surga.

Mungkin di dalam hati Anda muncul pertanyaan, “Kalau demikian, mengapa kita masih perlu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW? Shalawat artinya doa. Bershalawat kepada Nabi SAW berarti mendoakan beliau. Mengapa kita mesti mendoakan beliau, sedangkan beliau telah mendapat jaminan Surga dari Allah SWT? Bukankah yang lebih layak untuk didoakan diri kita sendiri yang masih bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan ini?”

Ya, selintas memang pertanyaan dan pernyataan seperti itu terkesan benar. Seolah-olah dengan bershalawat yang ‘untung’ hanya Nabi SAW, sementara kepada kita tidak memberikan kebaikan apa-apa. Agar Anda bisa memahami mengapa shalawat itu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, simaklah penjelasan kami di bawah ini. Semoga Allah meluaskan hati kita untuk menerima ilmu dari-Nya.

Begini. Shalawat itu pada hakikatnya adalah ekspresi cinta dari seorang Muslim kepada Nabi yang telah menunjukkan jalan kepada Allah SWT. Kalau Anda mencintai Nabi, maka shalawat adalah salah satu bukti cinta Anda kepada beliau. Seorang pria yang sedang jatuh cinta secara naluri akan selalu terkenang kepada wanita yang dicintainya itu. Ia akan membisikkan nama wanita itu lewat bibir dan hatinya. Ia akan berdoa kepada Tuhan agar wanita yang ia cintai itu selalu mendapatkan kebaikan demi kebaikan. Bila limpahan kebaikan tertuju kepada kekasihnya, maka ia akan merasa bahagia. Keuntungan yang ia peroleh saat mendoakan kekasihnya adalah hadirnya perasaan bahagia di dalam jiwanya, dan itu jauh lebih berharga daripada apa pun yang ada di dunia ini.

Demikian pula dengan orang yang mencintai Rasulullah SAW. Ia akan selalu membisikkan nama Muhammad lewat lisan dan kalbunya. Bershalawat adalah cara yang paling disyariatkan dalam mengingat Nabi. Jika Anda mencintai Nabi, maka hati Anda akan bergetar kencang saat menyebut nama beliau. Getar-getar yang hadir saat menyenandungkan doa dan pujian kepada Sang Kekasih Rasulullah SAW memberikan kenikmatan tersendiri di dalam diri yang tak bisa dilukiskan melalui kalimat apa pun. Kenikmatan itulah yang mendorong orang-orang yang sangat besar cintanya kepada Nabi untuk selalu bershalawat kepadanya. Orang yang mencintai Nabi tidak akan merasa berat bershalawat kepadanya, karena shalawat adalah ekspresi cinta kepada Rasulullah SAW.

Lalu, di mana letak keuntungannya bagi diri kita? Upss…sabar dulu. Jangan sampai Anda berpikir bahwa tak ada untungnya bershalawat kepada Nabi. Ketahuilah, kalau Anda mencintai seseorang, ada kemungkinan besar suatu saat ia akan mengecewakan Anda. Tapi, jika Anda mencintai Nabi SAW, dunia – akhirat Anda tidak akan pernah kecewa. Kok bisa? Ya, memang seperti itu. Coba simak lagi tambahan keterangan berikut ini.

Ketika Anda melazimkan diri setiap hari bershalawat, maka tanpa sadar sebenarnya Anda sedang menghadirkan nama Rasulullah SAW di kehidupan Anda sehari-hari. Hal itu akan membuat hati Anda selalu terpaut kepada beliau, sehingga tidak ada waktu yang Anda lalui kecuali Anda terkenang kepadanya. Cinta itu tumbuh di dalam hati orang yang selalu mengenang kekasihnya. Semakin hari cinta Anda akan semakin besar kepada Baginda Nabi. Nabi Muhammad SAW atas izin Allah akan mengetahui betapa besar cinta Anda kepadanya. Karena sebagaimana sejumlah hadits yang telah disebutkan sebelumnya, setiap shalawat yang Anda baca akan disampaikan kepada beliau.

Dan kalau Nabi SAW yang kita cintai itu mengetahui cinta kita terhadapnya, maka akan semakin besar peluang bagi kita memperoleh balasan cinta dari beliau. Balasan cinta dari Sang Nabi akan membukakan kepada kita pintu untuk memperoleh syafaat dari beliau. Ketika syafaat Nabi tercurah kepada kita, maka semakin besar kesediaan Allah Ta’ala untuk mencintai kita. Mengapa? Karena Allah akan mencintai orang yang mencintai hamba yang paling dikasihi-Nya. Sekarang pastinya Anda sudah tahu apa anugerah Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya, yakni Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Bukankah itu sebuah keberuntungan yang sangat besar? Lalu, mengapa masih merasa berat untuk bershalawat. Bangkitlah dan tinggalkan kemalasan itu. Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Semoga Allah mencintai kita karena shalawat itu.

Untuk lebih mempertegas betapa besar keberuntungan yang akan diperoleh orang-orang yang banyak bershalawat kepada Nabi SAW, mari kita simak uraian Quraish Shihab berikut ini.

Kata beliau, “Sebuah kesimpulan yang tak mungkin bisa untuk dibantah adalah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia pendidik dan perantara utama bagi pengetahuan dan keimanan orang-orang yang beriman. Beliau manusia yang paling besar jasanya dibanding dengan yang lain, termasuk orangtua, guru, kiai, dan lain-lain. Memang tak bisa dipungkiri bahwa jasa mereka sangat besar dalam menuntun kita secara spiritual. Namun satu hal yang pasti, apa yang mereka ajarkan itu tidak dapat mereka lakukan tanpa kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini. Lebih-lebih apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW itu tidak hanya bermanfaat di kehidupan dunia ini, namun juga berfaedah di kehidupan akhirat berupa limpahan pahala, Surga dan keridhaan Allah SWT.”

Quraish Shihab melanjutkan, “Di sinilah kita bisa memahami dengan baik makna firman Allah:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasu-lNya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya....”  (QS. at-Taubah [9]: 24)

Demikian pula dengan makna hadits berikut:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anak-anaknya dan dari manusia seluruhnya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Anas ra)

Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:

عَبْدَ اللهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ، يَا رَسُولَ اللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ
Abdullah bin Hisyam menuturkan, “Kami pernah bersama Nabi SAW yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khaththab. Kemudian Umar berujar, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri.” Nabi SAW bersabda, “Tidak, demi Dzat yang jiwa berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar berujar, “Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” (HR Bukhari)

Ketika ditanyakan kepada Imam Fakhrurazi, mengapa kita mesti bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW padahal Allah dan para malaikatnya sudah bershalawat kepada beliau? Apakah Nabi SAW membutuhkan shalawat dari kita? Maka, untuk pertanyaan itu beliau menjawab, “Rasulullah SAW tidak membutuhkan shalawat dari kita. Kita membaca shalawat pun bukan karena Rasulullah SAW membutuhkannya. Kalau pemahamannya demikian, tentu Nabi SAW pun tidak membutuhkan shalawat dari para malaikat, karena Allah SWT telah bershalawat kepada beliau. Tujuan dari shalawat yang kita baca adalah untuk menampakkan keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya Allah SWT memerintahkan kita untuk berdzikir, tentu bukan karena Allah membutuhkan dzikir dari kita. Namun tujuannya tiada lain kecuali untuk menampakkan keagungan Allah dari kita sebagai ungkapan kasih sayang Allah untuk memberikan pahala kepada kita.”

Perhatikanlah! Nabi SAW sama sekali tidak membutuhkan shalawat dari kita. Namun ketika Allah SWT bershalawat kepada Nabi dan itu diikuti oleh para malaikat, tersirat makna perintah Allah agar kita memuliakan dan mengagungkan beliau SAW. Dengan kata lain, Allah dan para malaikat saja memuliakan Rasulullah SAW dengan bershalawat kepadanya, lalu pantaskah kita menahan bibir dan hati ini dari membaca shalawat?

Ketahuilah, Rasulullah SAW adalah cahaya yang menerangi kita sehingga mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Beliau adalah pijar keimanan yang menuntun kita menempuh jalan Tuhan. Berkat beliau keimanan yang menjadi modal kebahagiaan hidup dunia – akhirat menyelimuti hati kita. Kehadiran beliau menjadi jalan turunnya kasih sayang Allah terhadap semesta. Bukankah begitu besar jasa beliau terhadap kita? Tidak ada yang lebih berjasa kepada kita di antara makhluk Allah melebihi Rasulullah SAW.

Jika ada seseorang yang melakukan satu kebaikan pada kita, kita akan berterima kasih kepadanya dan tidak akan melupakan kebaikannya itu. Lalu, adakah orang yang lebih layak kita haturkan terima kasih kepadanya selain dari Nabi Muhammad SAW? Tidak…, sekali-kali tidak! Beliaulah orang yang paling berjasa dan beliaulah yang paling layak menerima ucapan terima kasih dari kita. Bershalawat selain sebagai ungkapan cinta, juga sebagai ungkapan terima kasih dan balas budi kita pada beliau. Dari sinilah dapat dipahami mengapa akhirnya kita diperintahkan bershalawat oleh Allah SWT sebagaimana yang tertulis di dalam QS. al-Ahzab [33]: 56. Perintah itu tidaklah berasal dari permintaan Nabi, melainkan atas inisiatif murni dari Allah SWT.

Hal yang lebih mengesankan lagi dari keistimewaan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah maslahat dan manfaat yang kita terima bukan hanya nanti di akhirat, namun di kehidupan dunia pun sudah bisa kita rasakan. Insya Allah akan ada pemaparan tersendiri di dalam buku perihal keajaiban-keajaiban yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang melazimkan dirinya berdzikir dengan shalawat.




[1] Silakan rujuk: Dalail an-Nubuwwah, Juz 6 halaman 118.
Share:

Cara Bergaul

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah berkata:

“Pergaulilah manusia dengan lisan dan tubuh kalian, dan jauhilah mereka dengan hati dan perbuatan kalian. Sesungguhnya seseorang itu akan mendapatkan ganjaran dari apa yang ia perbuat. Dan pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Az-Zuhdul Kabir, nomor 189.

Inilah cara bergaul dengan manusia yang dinasihatkan oleh Sayidina Ali bin Abu Thalib ra kepada kita. Mempergauli manusia dengan lisan dan tubuh. Artinya, bergaullah dengan manusia dengan mengucapkan kata-kata yang baik dan sikap yang baik pula. Tidak disebut sebuah pergaulan itu baik jika orang-orang yang bergaul itu saling mengucapkan kata-kata buruk dan menyakitkan antara satu dengan lainnya. Kata-kata buruk yang diucapkan dan sikap buruk yang diperlihatkan merupakan pertanda buruknya akhlak. 

Oleh karena itu, menurut Sayidina Ali ra, bergaullah dengan lisan dan sikap yang baik. Cara bergaul yang dilandasi kemuliaan akhlak akan menghadirkan jalinan batin yang baik.

Sebaliknya, kata Sayidina Ali ra, jika hendak menjauhi manusia, jauhilah dengan hati dan perbuatan. Ketahuilah, yang biasa dijauhi itu adalah hal-hal yang tidak baik. Kita tidak mungkin bisa menjauh dari sesuatu yang tidak baik bila hati kita tidak menjauh darinya. Tindakan hati yang menjauh itu maknanya membencinya. 

Jika Anda membenci suatu perilaku yang buruk, maka Anda akan cenderung menjauh darinya. Perbuatan Anda pun akan jauh dari hal-hal yang dibenci oleh hati Anda itu. Itulah sebabnya Sayidina Ali ra menasihati kita kalau menjauhi sesuatu (tentu maknanya karena sesuatu itu buruk), maka jauhilah dengan hati. 

Pada hari kiamat kelak, seseorang akan dikumpulkan bersama apa yang ia cintai. Jika demikian adanya, sejak dari dunia ini kita harus menentukan dengan tepat apa sebaiknya yang layak untuk kita cintai. Kalau kita mencintai sesuatu yang baik, maka di hari kiamat nanti kita akan dikumpulkan dengan kebaikan-kebaikan. Sebaliknya, jika yang kita cintai adalah sesuatu yang buruk, tentu saja di hari kiamat pun kita akan berkumpul bersama keburukan-keburukan. Nah, tentukan pilihan Anda mulai saat ini!
Share:

Saturday, October 27, 2018

Hukum Membaca Al-Qur'an dan Dzikir Tanpa Wudhu

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan dan menjelaskan keutamaan membaca Al-Qur’an dan berzikir. Ali Imran ayat 190 menyebut keutamaan orang yang berzikir dalam situasi apa pun, baik dalam duduk, berdiri, maupun berbaring.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Mereka adalah orang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 190)

Tidak berlebihan kalau kemudian para ulama memutuskan kebolehan membaca Al-Qur’an dan berzikir dalam keadaan berhadats sekalipun. Lafal zikir ini meliputi bacaan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat untuk Nabi Muhammad SAW, doa, dan lafal lainnya.

أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك
“Ulama bersepakat atas kebolehan zikir dengan hati dan lisan bagi orang yang berhadats, junub, haid, dan nifas. Zikir itu meliputi bacaan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat untuk Nabi Muhammad SAW, doa, dan selain itu. (Lihat: Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 8)

Keputusan ulama perihal kebolehan membaca Al-Qur’an dan berzikir dalam kondisi berhadats ini bukan berarti perintah untuk mengabaikan bersuci terlebih dahulu. Ulama tetap menganjurkan orang yang berhadats untuk bersuci terlebih dahulu sebagai bentuk keutamaan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Alan As-Shiddiqi dalam Syarah Al-Azkar, Al-Futuhatur Rabbaniyyah yang dikutip berikut ini.

قال في المجموع إجماع المسلمين على جواز قراءة القرآن للمحدث والأفضل أن يتطهر لها قال إمام الحرمين والغزالي في البسيط ولا نقول قراءة المحدث مكروهة وقد صح أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ مع الحدث اهـ 
“[Imam An-Nawawi] berkata di dalam Al-Majmu perihal kesepakatan ulama mengenai kebolehan membaca Al-Quran bagi orang yang berhadats. Yang afdhal, orang yang berhadats sebaiknya bersuci terlebih dahulu untuk membacanya. Imam Al-Haramain dan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Basith mengatakan bahwa kami tidak mengatakan makruh atas bacaan Al-Quran oleh orang yang berhadats. Hadits shahih meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW membaca dalam keadaan hadats. (Lihat: Ibnu Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 137)

Setelah menetapkan kebolehan bahwa membaca Al-Qur’an dalam kondisi berhadats, ulama juga menarik simpulan bahwa berzikir dalam kondisi berhadats juga diperbolehkan. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya berikut ini:

ومن ثم سن الذكر للإنسان وإن كان محدثا ففي صحيح مسلم كان صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه ولا يعارضه خبر كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه إلا الجنابة وخبر كرهت أن أذكر الله إلا على طهر
“Dari sini kemudian seseorang dianjurkan berzikir sekali pun dalam keadaan berhadats. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berzikir setiap saat. Hadits lain yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berzikir setiap saat kecuali dalam keadaan junub dan hadits ‘Aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci’ tidak menafikan hadits sebelumnya. (Lihat: Ibnu Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 137)

Meskipun demikian, sebaiknya bagi mereka yang tidak memiliki uzur untuk bersuci terlebih dahulu sebelum membaca Al-Qur’an atau berzikir agar mendapatkan keutamaan dalam beribadah. Adapun mereka yang memiliki uzur sebaiknya tetap membaca Al-Qur’an atau berzikir tanpa perlu khawatir ketidaksahan atau penolakan atas ibadahnya.

Jangan sampai kondisi hadats kecil menghalangi seseorang untuk memenuhi perintah ibadah membaca Al-Qur’an atau berzikir sebagaimana keterangan Ibnu Alan dalam Al-Futuhatur Rabbaniyyah.
Share:

Bacalah Al-Qur’an

Dalam salah satu nasehatnya, Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata:

“Bacalah Al-Qur’an, pelajarilah dan amalkanlah, niscaya engkau akan menjadi pemiliknya. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk ditaati dalam maksiat kepada Allah. Menegakkan kebenaran dan mengingatkan kepadanya tidak akan mempercepat ajal dan mengurangi rezki.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Al-Bayan wat Tabyin,  II/70.

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya berisi firman-firman Allah Swt. Allah menurunkan al-Qur’an agar manusia mengerti dan memahami segala macam petunjuk-Nya. Pentingkah petunjuk itu? Ya, tidak sekedar penting, tapi sangat penting.

Allah adalah Pencipta sekaligus tempat kembali manusia. Allah Maha Tahu apa yang seharusnya dikerjakan oleh manusia agar ia selamat dalam menempuh kehidupannya, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat. Melalui al-Qur’an, Allah Swt menyampaikan kepada manusia apa saja yang harus dikerjakannya dan apa saja yang harus dihindarinya. Mengamalkan yang diperintahkan Allah memberikan keselamatan bagi kita, sedangkan mengerjakan yang dilarang Allah menjerumuskan kita pada jurang kecelakaan. 

Dengan ungkapan di atas, Sayidina Umar ra mengajak kita mempelajari dan mengamalkan isi al-Qur’an, karena hanya dengan dua hal itulah kita akan selamat. Al-Qur’an selalu mengajak kita untuk taat kepada Allah. Segala ajakan yang bertentangan dengan ajakan al-Qur’an adalah menuju kemaksiatan, dan kita tidak wajib untuk mengikutinya, bahkan wajib untuk menolaknya. Mengamalkan isi al-Qur’an sama artinya dengan menegakkan kebenaran. Tegakkanlah kebenaran minimal dengan cara mengingatkan manusia agar selalu mengarah padanya dan tidak menyimpang darinya. Orang yang selalu memperjuangkan kebenaran, dengan mengikuti cara-cara yang dituntunkan oleh al-Qur’an, menurut Sayidina Umar ra, tidak akan mempercepat ajal dan tidak akan mengurangi rezki. Dengan kata lain, memperjuang kebenaran akan memperpanjang umur dan memperluas rezki. Maka, lakukanlah!
Share:

Tuesday, October 23, 2018

Tunaikanlah Sedekah Kalian

Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah menyampaikan sebuah khutbah yang di dalamnya ia berkata:

“Aku wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, karena kebutuhan dan ketergantungan kalian kepada-Nya. Dan hendaklah kalian memuji-Nya, karena Dia adalah pemilik segala pujian. Serta hendaklah kalian memohon ampun pada-Nya, karena sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Pengampun. Ketahuilah, sesungguhnya selama kalian ikhlas (beribadah) untuk Allah Ta’ala, maka engkau akan taat kepada Allah dan menjaga hak-hak-Nya atasmu. Tunaikanlah sedekah kalian pada saat kalian diberi kemampuan untuk itu. Dan jadikanlah ia sebagai keutamaan bagi kalian, maka kalian akan memperoleh gantinya yang setimpal pada saat kalian fakir dan membutuhkan.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Tahdzibu Hilyatil Auliya’, I/58.

Di sini Sayidina Abu Bakar ra menyeru kita untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt atas dasar kebutuhan dan ketergantungan kita kepada-Nya. Bahasa sederhananya, bertakwalah kepada Allah sesuai dengan tingkat kebutuhan dan ketergantungan Anda pada-Nya. Bila Anda merasa sangat membutuhkan Allah dan sangat bergantung pada Allah, maka bertakwalah kepada-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kebergantungan Anda itu. Sebaliknya, jika Anda merasa sudah tak membutuhkan pertolongan Allah lagi, ya…, berbuatlah sesuka hati. Namun, mungkinkah ada di antara kita yang mampu menjalani hidup tanpa bergantung pada Allah dan tanpa bantuan dari-Nya?

Kalau kita menyadari tak mungkin hidup tanpa pertolongan-Nya, maka dekatilah Dia. Caranya, perbanyak memuji Allah dan memohon ampun atas kekhilafan yang telah kita lakukan pada-Nya. Bagaimana mungkin kita tak mau memuji Allah, padahal Dia-lah yang telah mencukupi kebutuhan kita dan nikmatnya selalu bersama kita dalam setiap hembusan dan tarikan nafas. Bagaimana mungkin kita berat untuk memohon ampun pada-Nya, padahal hanya Dia yang berhak mengampuni dosa dan kekhilafan setiap makhluk. Tak mungkin bagi kita mencari sosok lain yang bisa memberikan ampunan pada kita selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Jika kita sudah menyadari semua itu, maka ikhlaskanlah diri untuk beribadah hanya untuk-Nya. Lakukanlah setiap kebajikan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Bila Anda mampu melakukan yang demikian, maka kabar gembira bagi Anda, karena Anda termasuk ke dalam golongan orang-orang yang taat kepada Allah dan menunaikan hak-hak-Nya atas diri Anda. 

Salah satu hak Allah adalah memerintahkan kepada kita agar membelanjakan di jalan-Nya sebagian rezki yang dianugerahkan-Nya pada kita. Ketahuilah, hal itu Dia perintahkan bukan karena Dia memperoleh manfaat darinya. Amalan itu akan kembali manfaatnya kepada kita yang melaksanakannya. Oleh karena itu Sayidina Abu Bakar ra menyatakan bahwa jika kita menunaikan sedekah saat Allah memberikan kemampuan bagi kita untuk melaksanakannya, dan kita menjadikan sedekah sebagai bentuk keutamaan amal kita, maka Allah akan memberi ganti yang setimpal bagi kita, bahkan berlipat ganda, saat kita berada dalam kefakiran dan sangat membutuhkan. 

Sudahkah Anda bersedekah hari ini?
Share:

Tentang Bendera Nabi, Jangan Mau Dibohongi HTI dan ISIS

Perihal bendera Nabi Saw, setidaknya ada enam riwayat yang diperbincangkan. Silakan disimak:
 
Riwayat Pertama
 
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْقُوبَ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: بَعَثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ إِلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ يَسْأَلُهُ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهِىَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ.
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa ar-Razi, … Yunus bin Ubaid diutus Muhamad bin al-Qasim untuk bertanya kepada Bara bin Azib tentang bendera Nabi Saw, Bara menjawab, “Bendera Nabi Saw berwarna hitam, berbentuk segi empat (bujur sangkar), terbuat dari kain wol.” (HR Abu Daud).
 
Sanad hadis: hasan gharib, menurut at-Tirmizi (at-Tirmizi, 1996, vol. 3, hlm. 306, hadis no. 1680); hasan, menurut al-Bukhari (al-Manawi, Faidhul Qadir 1972, hlm. 171); dhaif, menurut ulama yang lain (Ahmad bin Hanbal, 1999, vol. 30., hlm. 589, hadis no. 18627).
 
Riwayat Kedua:
 
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَرْوَزِيُّ وَهُوَ ابْنُ رَاهَوَيْهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ.
Telah menceritakan kepada kami Ishak bin Ibrahim al-Marwazi, … dari Jabir, bahwasanya panji Nabi Saw saat memasuki Makkah berwarna putih. (HR Abu Daud).
 
Sanad hadis: gharib, menurut al-Bukhari (al-Mizi, Tuhfatul Asyraf, 1999, vol. 2, hlm. 441, hadis no. 2889); gharib oleh at-Tirmizi (Abu Daud, 1999, hlm. 293, hadis no. 2592).; sahih menurut Muslim (al-Hakim, al-Mustadrak, 1998, vol. 2, hlm. 126, hadis no. 2560).
 
Riwayat Ketiga:
 
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِيُّ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ، عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ: رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَفْرَاءَ.
Telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Mukram, … dari sahabat yang tidak diketahui namanya, ia berkata, “Aku melihat bahwasanya bendera Nabi Saw berwarna kuning.” (HR Abu Daud).
 
Sanad hadis: tidak jelas ( جَهالة ) dan/atau tidak diketahui ( مجهول ). (Ibnu al-Mulaqin, al-Badru al-Munir, 2004, vol. 9, hlm. 63-64; ar-Rubai, Fathul Ghafar, 1427, vol. 4, hlm. 1761, hadis no. 5177).
 
Riwayat Keempat:
 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ وَهُوَ السَّالِحَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ، قَال: سَمِعْتُ أَبَا مِجْلَزٍ لَاحِقَ بْنَ حُمَيْدٍ يُحَدِّثُ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin Rafik, … dari Ibnu Abas, ia berkata, Bendera Rasulullah Saw berwarna hitam, sedang panjinya berwarna putih.” (HR at-Tirmizi,).
 
Sanad hadis: gharib, menurut a-Tirmizi (al-Mubarakfuri, Tuhaftul Ahwazi, tt., vol. 5, hlm. 328, hadis no. 1732); dhaif, menurut al-Iraqi (al-Iraqi, Turhut Tasrib, tt., vol. 7, hlm. 220).
 
Riwayat Kelima:
 
أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، قال: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ (محمد بن يعقوب)، قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ، قال: حدثنا يونس بن بُكَيْرٍ، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ قِطْعَةَ مِرْطٍ مُرَجَّلٍ ، وَكَانَتْ الرَّايَةُ تُسَمَّى الْعُقَابَ.
Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafiz, … dari Aisyah ra, ia berkata, Panji Rasulullah saat memasuki kota Makkah berwarna putih, sedang benderanya berwarna hitam berbahan potongan kain wol yang bergambar laki-laki, dan bendera itu dinamai Uqab.” (HR al-Baihaqi, Dalailun Nubuwah, 1988, vol. 5, hlm. 68).
 
Penjelasan perihal sanad hadis yang bersumber dari Aisyah ini belum ditemukan. Adapun, yang ada penjelasannya bersumber dari al-Hasan:
 
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ ثنا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الْفَضْلِ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ.
“Telah menceritakan kepada kami Waki’, … dari al-Hasan, ia berkata, Bahwasanya bendera Nabi Saw berwarna hitam dan dinamai Uqab”. (HR Ibnu Abi Syaibah).
 
Sanad hadis: mursal (Ibnu Abi Syaibah, 2008, vol. 11, hlm. 220; al-Iraqi, al-Mughni, 1995, vol. 1, hlm. 672).
 
Riwayat Keenam:
 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَنْجُوَيْهِ الْمُخَرِّمِيُّ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ، نَا عَبَّاسُ بْنُ طَالِبٍ، عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوبٌ فِيْهِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zanjuwaih al-Mukharimi, … dari Ibnu Abas ra, ia berkata, Bendera Rasulullah Saw berwarna hitam, sedang panjinya berwarna putih dan ada tulisan kalimat tauhid.” (HR Abu asy-Syekh).
 
Sanad hadis: daif, menurut mayoritas ulama (Abu asy-Syekh, 1998, vol. 2, hlm. 416); sangat daif, menurut ibnu Hajar al-Asqalani. (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).
 
Poin penting dari sejumlah riwayat di atas: 
 
1. Pemakaian bendera sebagai simbol identitas kelompok masyarakat sudah ada jauh sebelum Nabi Saw menggunakannya. Dengan kata lain, penggunaan bendera adalah murni produk budaya yang dikembangkan sesuai selera masing-masing komunitas masyarakat—meliputi bentuk dan warna bendera, bukan produk syariat agama. 
 
 
2. Merujuk pada sejumlah riwayat di atas, dijelaskan bahwa bentuk bendera Nabi Saw adalah segi empat ‘bujur sangkar’ ( مُرَبَّعٌ ), bukan persegi panjang ( مُسْتَطِيْلٌ). Bila informasi ini dianggap sebagai hukum syariat agama, maka penggunaan bendera persegi panjang, yang kemudian dinisbatkan sebagai bendera Nabi Saw tentu saja berdosa, karena menyalahi dan mengingkari ketentuan asalnya.
 
3. Terkait warna bendera Nabi Saw terjadi perbedaan, yakni warna hitam, kuning, merah, dan putih. Seandainya beragam informasi di atas dapat dipakai semua ( الجمع بين الأحاديث ), maka penjelasan yang bisa dikatakan, bahwa warna bendera Nabi Saw itu berubah-ubah sesuai kondisi dan kebutuhan. (as-Sahrazuri, Muqadimah ibnu Shalah, 2006, hlm. 296).
 
4. Terkait tulisan kalimat tauhid, mayoritas informasi yang ada menjelaskan, bahwa yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bendera Nabi SAW, semisal yang dikeluarkan ibnu Hajar al-Asqalani:
 
كان مكتوبا على رايته: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
“Bendera Nabi Saw bertuliskan kalimat tauhid.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).
 
Namun, bagi penulis, hal tersebut menjadi aneh, karena term راية masuk kategori lafal muannas, sementara kata ganti (dhamir) yang dipakai dalam informasi keenam merujuk pada lafal muzakkar, yakni term لواء . Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa yang bertuliskan kalimat tauhid bukanlah bendera Nabi Saw, melainkan panji Nabi Saw, itu saja kalau informasi keenam dapat digunakan. Namun sayangnya, informasi keenam yang menjelaskan tulisan kalimat tauhid tidak bisa dijadikan dasar hukum, kecuali bagi mereka yang tetap memaksakannya sebagai dasar hukum.
 
Selain itu, yang perlu diperhatikan bahwa penggunaan bendera tidak ada sangkut pautnya dengan syariat agama, begitu pula terkait bentuk ukuran dan warnanya. Bukankah warna bendera para raja paska-khalifah pengganti Nabi Saw juga berbeda-beda?
 
1. Dinasti Abasiah, mereka menggunakan bendera warna hitam. Namun, pemilihan warna hitam bukan karena mengikuti informasi yang menjelaskan bila bendera Nabi SAW berwarna hitam, melainkan sebagai tanda kesedihan atas gugurnya para syuhada dari Bani Hasyim ( حزنا على شهدائهم من بني هاشم ), disamping sebagai celaan pada Bani Umayah yang telah membunuh mereka ( نعيا على بني أمية في قتلهم ). Oleh karenya, bendera tersebut dinamai al-musawwidah ( المسوِّدة ).
 
2. Dinasti Fatimiah ( العُبَيْدِيُّون ), mereka memakai bendera berwarna putih, yang dinamai al-mubaiyidhah ( المُبَيِّضَة ).
 
3. Khalifah al-Makmun, ia tidak menggunakan bendera warna hitam maupun putih, melainkan menggunakan bendera warna hijau ( الْخَضْرَاء ). (Ibnu Khaldun, al-Muqadimah, 2006, hlm. 202).
 
4. Bahkan hingga sekarang, mayoritas negara-negara di Arab maupun Timur Tengah menggunakan bendera yang berwarna-warni, ada yang hijau, merah, atau kombinasi antara hijau-putih-hitam, dan lain sebagainya.
 
Bendera ISIS dan HTI sama dengan Bendera Rasulullah? (Disarikan dari penjelasan Gus Nadir)
 
ISIS dan HTI sama-sama mengklaim bendera dan panji yang mereka miliki adalah sesuai dengan Liwa dan Rayah-nya Rasulullah. Benarkah? Tentu saja tidak! Kalau klaim mereka benar, kenapa bendera ISIS dan HTI berbeda design dan khat tulisan arabnya? 
 
Konteks bendera dan panji yang dipakai Rasul sewaktu perang adalah untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah, apakah mereka mau perang terus? Kemana-mana kok mengibarkan bendera perang?
 
Bendera ISIS dan HTI tidak memliki landasan yang kuat. Tidak ada perintah dari Rasulullah Saw untuk kita mengangkat bendera semacam itu. Tidak ada kesepakatan mengenai warnanya, apakah ada tulisan atau kosong saja, dan tidak pula ada kesepakatan dalam praktik khilafah pada masa lalu, dan lebih lagi para ahli hadits, seperti Ibn Hajar, menganggap riwayatnya tidak sahih.
 
Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat zaman Rasul dulu berbeda dengan yang ada di bendera ISIS dan HTI. Zaman Rasul, tulisan Al-Qur’an belum ada titik, dan khatnya masih khat pra-Islam, yaitu khat kufi. Itulah sebabnya meski mirip, namun bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kenapa? Itu karena tulisan khat-nya rekaan mereka saja. Tidak ada contoh yang otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits-hadits yang tidak sahih.
 
Oleh karena itu jangan mau dibohongi oleh HTI dan ISIS. Perkara ini bukan masuk kategori syari’ah yang harus ditaati. Tidak usah ragu menurunkan bendera HTI dan ISIS. Itu bukan bendera Islam, bukan bendera Tauhid.
 
Tapi ada tulisan tauhidnya? Masak kita alergi dengan kalimat tauhid? Itu hanya akal-akalan mereka saja. Untuk mengujinya gampang saja, kenapa HTI tidak mau mengangkat bendera ISIS dan kenapa orang ISIS tidak mau mengibarkan bendera HTI, padahal sama-sama ada kalimat Tauhid-nya? Itu karena sifat sebuah bendera di masa modern ini sudah merupakan ciri khas perangkat dan simbol negara. Misalnya warga Indonesia tidak mau mengangkat bendera Belanda atau lainnya. Bukan karena benci dengan pilihan warna bendera mereka, tapi karena itu bukan bendera negara kita.
 
Bendera itu merupakan ciri khas sebuah negara. Apa HTI dan ISIS mau mengangkat bendera berisikan kalimat Tauhid yang khat dan layout-nya berbeda dengan ciri khas milik mereka? Atau angkat saja deh bendera Arab Saudi yang juga ada kalimat Tauhidnya. Gimana? Gak bakalan mau kan. Karena bendera sudah menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI.
 
Itu sebabnya Habib Luthfi bin Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal bendera ini.
 
Wallahu a’lam
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online