آدَابُ مَا بَعْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ
إِلَى الزَّوَالِ
Adab-adab
Mengisi Waktu Sejak Terbit Hingga Tergelincirnya Matahari
فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ
وَارْتَفَعَتْ قَدْرَ رُمْحٍ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَذَلِكَ عِنْدَ زَوَالِ
وَقْتِ الْكَرَاهَةِ لِلصَّلاَةِ؛ فَإِنَّهَا مَكْرُوْهَةٌ مِنْ بَعْدِ فَرِيْضَةِ
الصُّبْحِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ
Apabila matahari telah terbit dan telah naik kira-kira
setinggi satu tombak, maka shalatlah dua rakaat,[1]
dan saat itu adalah saat hilangnya waktu yang dimakruhkan di dalamnya
menunaikan shalat sunnah. Waktu dimakruhkannya untuk melakukan shalat sunnah
itu mulai sejak selesainya shalat subuh hingga meningginya matahari setinggi
satu tombak.
فَإِذَا أَضْحَى النَّهَارُ، وَمَضَى
مِنْهُ قَرِيْبٌ مِنْ رُبْعِهِ، فَصَلِّ صَلاَةَ الضُّحَى أَرْبَعًا أَوْ سِتًّا
أَوْ ثَمَانِيًا، مَثْنَى، مَثْنَى؛ فَقَدْ نُقِلَتْ هَذِهِ اْلاَعْدَادُ كُلُّهَا
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَالصَّلاَةُ خَيْرٌ كُلُّهَا، فَمَنْ شَاءَ
فَلْيَسْتَكْثِرْ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَلَيْسَ بَيْنَ طُلُوْعِ
الشَّمْسِ وَالزَّوَالِ رَاتِبةٌ إِلاَّ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ
Apabila hari semakin siang atau kira-kira telah berlalu
darinya seperempat jam kemudian, laksanakanlah shalat dhuha empat rakaat, atau
enam rakaat, atau delapan rakaat dengan dua rakaat salam dua rakaat salam. Cara
yang demikian itu seluruhnya dinukil dari Rasulullah SAW. Shalat pada
hakikatnya seluruhnya baik. Barangsiapa yang mau memperbanyak melakukannya, ia
boleh melakukannya. Demikian pula jika ia hanya ingin melakukannya sedikit, itu
pun diizinkan. Tidak ada shalat sunnah antara terbit hingga tergelincirnya
matahari yang rutin dilakukan selain kedua shalat tersebut, yakni shalat sunnah
isyraq dan dhuha.
فَمَا فَضَلَ مِنْهَا مِنْ أَوْقَاتِكَ
فَلَكَ فِيْهِ أَرْبَعُ حَالاَتٍ
Apabila setelah melakukan shalat dhuha engkau masih
memiliki waktu yang tersisa, maka hendaklah engkau isi dengan empat hal
berikut:
الْحَالَةُ اْلأُوْلَى: وَهِيَ
اْلاَفْضَلُ، أَنْ تَصْرِفَهُ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ النَّافِعِ فِي الدِّيْنِ،
دُوْنَ الْفُضُوْلِ الَّذِيْ أَكَبَّ النَّاسُ عَلَيْهِ وَسَمَّوْهُ عِلْمًا
Pertama: Ini
yang paling utama, yakni hendaklah engkau pergunakan waktumu untuk mencari ilmu
yang bermanfaat dalam urusan agama, bukan menyibukkan diri dengan ilmu dunia
yang tidak bermanfaat bagi agamamu, sekalipun banyak ditekuni manusia, bahkan
mereka menamakannya sebagai ilmu.
وَالْعِلْمُ النَّافِعُ مَا يَزِيْدُ
فِيْ خَوْفِكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَيَزِيْدُ فِيْ بَصِيْرَتِكَ بِعُيُوْبِ
نَفْسِكَ، وَيَزِيْدُ فِيْ مَعْرِفَتِكَ بِعِبَادَةِ رَبِّكَ، وَيُقَلِّلُ مِنْ
رَغْبَتِكَ فِي الدُّنْيَا، وَيَزِيْدُ فِيْ رَغْبَتِكَ فِي اْلآخِرَةِ،
وَيَفْتَحُ بَصِيْرَتَكَ بِآفَاتِ أَعْمَالِكَ حَتَّى تَحْتَرِزَ مِنْهَا،
وَيُطْلِعَكَ عَلَى مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ وَغُرُوْرِهِ، وَكَيْفِيَّةِ
تَلْبِيْسِهِ عَلَى عُلَمَاءِ السُّوْءِ، حَتَّى عَرَّضَهُمْ لِمَقْتِ اللهِ
تَعَالَى وَسُخْطِهِ؛ حَيْثُ أَكْلَوا الدُّنْيَا بِالدِّيْنِ، وَاتَّخَذُوا
الْعِلْمَ ذَرِيْعَةً وَوَسِيْلَةً اِلَى أَخْذِ اَمْوَالِ السَّلاَطِيْنِ،
وَأَكْلِ أَمْوَالِ اْلاَوْقَافِ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ، وَصَرَفُوا
هِمَّتَهُمْ طوْلَ نَهَارِهِمْ إِلَى طَلَبِ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ فِيْ
قُلُوْبِ الْخَلْقِ، وَاضْطَّرَّهُمْ ذَلِكَ إِلَى الْمُرَاءَاةِ وَالْمُمَارَاةِ،
وَالْمُنَاقَشَةِ فِي اْلكَلاَمِ وَالْمُبَاهَاةِ
Yang dinamakan ilmu bermanfaat adalah ilmu yang menambah
rasa takutmu kepada Allah Ta’ala, menambah ketajaman penglihatan batinmu
terhadap berbagai aib dirimu sendiri, menambah pengetahuanmu tentang ibadah
kepada Allah, mengurangi rasa cinta dan pengharapanmu terhadap dunia dan
menambah rasa cinta dan pengharapanmu terhadap akhirat. Ilmu yang bermanfaat
adalah ilmu yang dapat membuka mata batinmu terhadap akibat dari berbagai
amalmu sehingga engkau berhati-hati terhadapnya. Juga merupakan ilmu yang
menyingkapkan kepadamu berbagai perangkap dan tipu daya setan dan cara-cara
yang ia pergunakan dalam menyesatkan para ulama suu’, sehingga mereka
tergiring kepada kebencian dan kemurkaan Allah Ta’ala. Mereka memakan dan
meraih dunia dengan memanfaatkan agama. Mereka menjadikan ilmu sebagai sarana
dan perantara untuk mendapatkan harta para penguasa. Mereka menggunakan ilmu
agar dapat memakan harta-harta wakaf, harta-harta yang menjadi hak anak-anak
yatim dan orang-orang miskin. Sepanjang hari yang menjadi perhatian mereka
hanyalah bagaiamana cara mencari dan meraih kedudukan dan pangkat di hadapan
manusia. Akibatnya, mereka selalu terdorong untuk memamerkan dan menyombongkan
ibadah, suka berdebat, bersilat lidah, dan membangga-banggakan diri.
وَهَذَا الْفَنُّ مِنَ الْعِلْمِ
النَّافِعِ، قَدْ جَمَعْنَاهُ فِيْ كِتَابِ إِحْيَاءِ عُلُوْمِ الدِّيْنِ، فَإِنْ
كُنْتَ مِنْ أَهْلِهِ فَحَصِّلْهُ وَاعْمَلْ بِهِ، ثُمَّ عَلِّمْهُ وَادْعُ
إِلَيْهِ؛ فَمَنْ عَلِمَ ذَلِكَ وَعَمِلَ بِهِ، ثُمَّ عَلِّمْهُ وَدَعَا إِلَيْهِ،
فَذَلِكَ يُدْعَى عَظِيْمًا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمَوَاتِ بِشَهَادَةِ عِيْسَى
عَلَيْهِ السَّلاَمَ
Penjelasan tentang ilmu yang bermanfaat ini telah aku
sampaikan di dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin. Apabila engkau ingin menjadi
pemilik ilmu yang bermanfaat hendaklah engkau mempelajarinya dan
mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain dan menyeru mereka
kepadanya. Barangsiapa yang mengetahui ilmu yang demikian itu dan
mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain dan menyeru mereka
kepadanya, maka dialah yang disebut sebagai “orang yang agung” di kerajaan
langit kelak dengan kesaksian Nabi Isa AS.
فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ،
وَفَرَغْتَ مِنْ إِصْلاَحِ نَفْسِكَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَفَضَلَ شَيْءٌ مِنْ
أَوْقَاتِكَ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ تَشْتَغِلَ بِعِلْمِ الْمَذْهَبِ فِي الْفِقْهِ
لِتَعْرِفَ بِهِ الْفُرُوْعَ النَّادِرَةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَطَرِيْقَ
التَّوَسُّطِ بَيْنَ الْخَلْقِ فِي الْخُصُوْمَاتِ عِنْدَ انْكِبَابِهِمْ عَلَى
الشَّهَوَاتِ، فَذَلِكَ أَيْضًا بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ هَذِهِ الْمُهِمَّاتِ مِنْ
جُمْلَةِ فُرُوْضِ الْكِفَايَاتِ
Apabila engkau telah selesai dari semua ilmu yang sangat
bermanfaat itu, dan telah selesai pula memperbaiki dirimu, baik lahir maupun
batin, dan masih tersisa bagimu waktu luang, maka tidaklah mengapa bila engkau
menyibukkan diri dengan ilmu dari berbagai madzhab fiqh, yang dengannya engkau
akan mengetahui berbagai persoalan cabang yang langka dalam ibadah. Dengan
mempelajarinya engkau pun akan tahu bagaimana bersikap tengah-tengah di antara
manusia dalam pertentangan yang mungkin timbul karena pengaruh syahwat yang
telah menguasai mereka. Namun demikian perlu diingat bahwa yang demikian itu
boleh engkau lakukan setelah engkau selesai mempelajari dan memahami hal-hal
yang terkait dengan fardhu kifayah.
فَإِنْ دَعَتْكَ نَفْسُكَ إِلَى تَرْكِ
مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ اْلأَوْرَادِ وَاْلأَذْكَارِ اسْتِثْقَالاً لِذَلِكَ،
فَاعْلَمْ أَنَّ الشَّيْطَانَ اللَّعِيْنَ قَدْ دَسَّ فِيْ قَلْبِكَ الدَّاءَ
الدَّفِيْنَ، وَهُوَ حُبّ الْمَالِ وَالْجَاهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَغْتَرَّ بِهِ،
فَتَكُوْنَ ضُحْكَةً لَهُ، فَيُهْلِكَكَ، ثُمَّ يَسْخَرُ مِنْكَ
Jika nafsumu menyerumu untuk meninggalkan berbagai wirid
dan dzikir yang telah kami sebutkan di atas sehingga engkau merasa berat
melaksanakannya, maka ketahuilah bahwa setan terlaknat telah memasukkan ke
dalam hatimu suatu penyakit yang sangat parah, yakni kecintaan terhadap harta
dan kedudukan. Oleh karena itu, berhati-hatilah engkau dari tipudaya setan.
Jika tidak maka engkau akan ditertawakan dan dicemoohkan olehnya, kemudian ia
akan membinasakanmu.
فَإِنْ جَرَّبْتَ نَفْسَكَ مُدَّةً فِي
اْلاَوْرَادِ وَالْعِبَادَاتِ، فَكَانَتْ لاَ تَسْتثِقَلَهَا كَسَلاً عَنْهَا،
لَكِنْ ظَهَرَتْ رَغْبَتُكَ فِيْ تَحْصِيْلِ الْعِلْمِ النَّافِعِ، وَلَمْ تُرِدْ
بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ، فَذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ
نَوَافِلِ الْعِبَادَاتِ، مَهْمَا صَحَّتِ النِّيَّةُ. وَلَكِنَّ الشَّأْنَ فِيْ
صِحَّةِ النِّيَّةِ، فَإِنْ لَمْ تَصِحَّ النِّيَّةُ، فَهُوَ مَعْدَنُ غُرُوْرِ
الْجُهَّالِ وَمَزَلَّةُ أَقْدَامِ الرِّجَالِ
Namun jika engkau melatih dirimu agar tetap tekun
menjalankan berbagai wirid dan ibadah tersebut, maka engkau tidak akan pernah
merasa berat dan malas mengerjakannya. Ketika hadir harapan di dalam dirimu
untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, dan niat di dalam dirimu tidak ada lain
kecuali demi menggapai ridha Allah dan kebahagiaan akhirat, maka yang demikian
itu lebih utama dari berbagai ibadah nawafil yang telah disebutkan
sebelumnya,[2]
dengan catatan niatnya benar. Dalam hal ini, yang paling penting adalah
benarnya niat. Jika niat tidak benar, maka ia hanya akan menjadi sumber
kehancuran yang membuat orang-orang bodoh menjadi tertipu dan menyebabkan
banyak orang tergelincir ke jurang dosa.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لاَ
تَقْدِرَ عَلَى تَحْصِيْلِ الْعِلْمِ النَّافِعِ فِي الدِّيْنِ، وَلَكِنْ
تَشْتَغِلْ بِوَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ، مِنَ الذِّكْرِ، وَالتَّسْبِيْحِ،
وَالْقِرَاءَةِ، وَالصَّلاَةِ؛ فَذَلِكَ مِنْ دَرَجَاتِ الْعَابِدِيْنَ، وَسَيْرِ
الصَّالِحِيْنَ، وَتَكُوْنَ أَيْضًا بِذَلِكَ مِنَ الْفَائِزِيْنَ
Kedua: Jika
engkau tidak memiliki kemampuan untuk menggapai ilmu yang bermanfaat dalam hal
agama, maka hendaklah engkau menyibukkan dirimu dengan berbagai macam rangkaian
ibadah, mulai dari dzikir, tasbih, membaca al-Qur’an dan memperbanyak shalat
sunnah. Yang demikian itu akan membawamu masuk ke dalam derajat para ‘abidin,[3]
mengikuti jejak langkah orang-orang shalih, dan dengannya pula engkau akan
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.
الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ
تَشْتَغِلَ بِمَا يَصِلُ مِنْهُ خَيْرٌ إِلَى الْمُسْلِمِيْنَ، وَيَدْخِلُ بِهِ
سُرُوْرٌ عَلَى قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ، أَوْ يَتَيَسَّرُ بِهِ اْلأَعْمَالُ
الصَّالِحَةُ لِلصَّالِحِيْنَ، كَخِدْمَةِ الْفُقَهَاءِ وَالصُّوْفِيَّةِ وَأَهْلِ
الدِّيْنِ، وَالتَّرَدُّدِ فِيْ أَشْغَالِهِمْ، وَالسَّعْيِ فِيْ إِطْعَامِ
الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ، وَالتَّرَدُّدِ مَثَلاً عَلَى الْمَرْضَى
بِالْعِيَادَةِ، وَعَلَى الْجَنَائِزِ بِالتَّشْيِيْعِ، فَكُلُّ ذَلِكَ أَفْضَلُ
مِنَ النَّوَافِلِ؛ فَإِنْ هَذِهِ عِبَادَات، وَفِيْهَا رِفْقٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ
Ketiga: Hendaklah
engkau menyibukkan diri dengan hal-hal yang membawa kebaikan bagi kaum
Muslimin, menyibukkan diri dengan hal-hal yang dapat memasukkan rasa bahagia ke
dalam hati orang-orang Mukmin, atau melakukan hal-hal yang membuat orang-orang
shalih menjadi mudah melaksanakan berbagai amal shalih, seperti berkhitmat
kepada orang-orang faqih, kaum sufi, dan para ahli agama yang lainnya. Engkau
pun bisa memberi makan kepada kaum fakir dan miskin, menjenguk orang sakit,
mengurus, mengiringi dan mengantarkan jenazah. Semua amal itu lebih utama daripada
berbagai amal sunnah,[4]
karena amal-amal tersebut merupakan ibadah yang di dalamnya terkandung ungkapan
cinta dan kasih sayang terhadap kaum Muslimin.
الْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ لاَ
تَقْوَى عَلَى ذَلِكَ، فَاشْتَغِلْ بِحَاجَاتِكَ اكْتِسَابًا عَلَى نَفْسِكَ أَوْ
عَلَى عِيَالِكَ، وَقَدْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْكَ وَآمِنُوْا مِنْ لِسَانِكَ
وَيَدِكَ، وَسَلِمَ لَكَ دِيْنُكَ، إِذَا لَمْ تَرْتَكِبْ مَعْصِيَةً؛ فَتَنَالَ
بِهِ دَرَجَةَ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ، إِنْ لَمْ تَكُنْ مِنْ أَهْلِ التَّرَقِّيْ
إِلَى مَقَامَاتِ السَّابِقِيْنَ
Keempat: Sibukkan
dirimu dengan bekerja dan berusaha memenuhi kebutuhan dirimu dan keluargamu.
Dalam melakukan hal itu hendaklah engkau mampu memberikan keselamatan bagi kaum
Muslim dari kejahatan dirimu. Mereka harus aman dari kejahatan lisan dan
tanganmu. Keselamatan agamamu pun akan kau dapatkan selama engkau tidak
melakukan kemaksiatan. Dengan cara demikian, engkau akan memperoleh derajat Ashhabul
Yamiin,[5]
sekalipun belum membuatmu sampai kepada derajat as-saabiqiin (orang-orang
yang unggul dan utama).
فَهَذا أَقَلُّ الدَّرَجَاتِ فِيْ
مَقَامَاتِ الدِّيْنِ، وَمَا بَعْدَ هَذَا فَهُوَ مِنْ مَرَاتِعِ الشَّيَاطِيْنِ؛
وَذَلِكَ بِأَنْ تَشْتَغِلَ - وَالْعِيَاذُ باِللهِ - بِمَا يَهْدِمُ دِيْنَكَ،
أَوْ تُؤْذِيْ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى؛ فَهَذِهِ رُتْبَةُ
الْهَالِكِيْنَ؛ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ فِيْ هَذِهِ الطَّبَقَةِ
Di antara berbagai derajat agama, Ashhabul Yamiin adalah
derajat yang terendah. Di bawah derajat tersebut adalah tingkatan tempat
kesenangan setan. Jika engkau jatuh ke dalamnya, semoga Allah melindungi kita
darinya, maka engkau akan melakukan apa-apa yang bisa menghancurkan agamamu,
tindakanmu akan selalu berakibat menyakiti dan merugikan hamba-hamba Allah yang
lain. Oleh karena itu, hendaklah engkau berhati-hati, jangan sampai terperosok
ke dalam tingkatan ini.
وَاعْلَمْ : أَنَّ الْعَبْدَ فِيْ
حَقِّ دِيْنِهِ عَلَى ثَلاَثِ دَرَجَاتٍ
Ketahuilah bahwa keadaan seseorang dalam menetapi
kewajiban agamanya terbagi ke dalam tiga kelompok:
إِمَّاسَالِمٌ: وَهُوَ الْمُقْتَصِرُ
عَلَى أَدَاءِ الْفَرَائِضِ وَتَرْكِ الْمَعَاصِيْ
Pertama: Kelompok
salim (orang yang selamat): mereka adalah orang-orang yang mencukupkan
diri dengan hal-hal yang difardhukan (diwajibkan), dan meninggalkan seluruh
kemaksiatan.
أَوْ رَابِحٌ: وَهُوَ الْمُتَطَوِّعُ
بِالْقُرُبَاتِ وَالنَّوَافِلِ
Kedua: Kelompok
raabih (orang yang beruntung): mereka adalah orang-orang yang selain
mengerjakan hal-hal yang difardhukan, juga menghiasi dirinya dengan
amalan-amalan sunnah yang dapat membuat mereka lebih dekat kepada Allah.
أَوْخَاسِرٌ: وَهُوَ الْمُقَصِّرُ عَنِ
اللَّوَازِمِ
Ketiga: Kelompok
khaasir (orang yang merugi): mereka adalah orang-orang yang tidak
menunaikan hal-hal yang difardhukan.
فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ أَنْ تَكُوْنَ
رَابِحًا، فَاجْتَهِدْ أَنْ تَكُوْنَ سَالِمًا، وَإِيَّاكَ ثُمَّ إِيَّاكَ أَنْ
تَكُوْنَ خَاسِرًا
Apabila engkau tidak mampu sampai pada tingkat raabih
(orang yang beruntung), maka berusahalah semaksimal mungkin agar engkau bisa
masuk ke dalam kelompok salim (orang yang selamat). Berhati-hatilah,
jangan sampai engkau terjerumus ke dalam kelompok orang yang merugi.
وَالْعَبْدُ فِيْ حَقِّ سَائِرِ
الْعِبَادِ لَهُ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ
Sementara itu, keadaan seseorang dalam memenuhi hak
sesama manusia terbagi ke dalam tiga kelompok:
اْلأُوْلَى: أَنْ يَنْزِلَ فِيْ
حَقِّهِمْ مَنْزِلَةَ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ، وَهُوَ أَنْ
يَسْعَى فِيْ أَغْرَاضِهِمْ؛ رِفْقًا بِهمْ، وَإِدْخَالاً لِلسُّرُوْرِ عَلَى
قُلُوْبِهِمْ
Pertama: orang
yang dalam memenuhi hak sesama manusia menjalani perannya seperti peran kiraamil
bararah[6]
dari kalangan malaikat. Orang yang berada pada tingkat ini berusaha membantu
kebutuhan manusia atas dasar kasih sayang terhadap mereka dan keinginan untuk
memasukkan perasaan bahagia ke dalam hati mereka.
الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْزِلَ فِيْ
حَقِّهِمْ مَنْزِلَة الْبَهَائِمِ وَالْجَمَادَاتِ؛ فَلاَ يَنَالُهُمْ خَيْرُهُ،
وَلَكِنْ يَكُفُّ عَنْهُمْ شَرَّهُ
Kedua: orang
yang dalam memenuhi hak sesama manusia menjalani perannya seperti hewan-hewan
ternak dan benda-benda mati. Manusia tidak memperoleh kebaikan darinya dan
tidak pula mendapat keburukan darinya.[7]
الثَّالِثَةُ: أَنْ يَنْزِلَ فِيْ
حَقِّهِمْ مَنْزِلَةَ الْعَقَارِبِ وَالْحَيَّاتِ وَالسِّبَاعِ الضَّارِيَاتِ، لاَ
يُرْجَى خَيْرُهُ، وَيُتَّقَى شَرِّهِ
Ketiga: orang
yang dalam memenuhi hak manusia menjalani perannya seperti kalajengking, ular,
dan binatang buas yang berbahaya. Darinya tidak ada kebaikan yang bisa
diharapkan, justru keburukan-keburukannya yang sangat ditakuti.
فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ عَلَى أَنْ
تَلْتَحِقَ بِأُفْقِ الْمَلاَئِكَةِ، فَاحْذَرْ أَنْ تَنْزِلَ عَنْ دَرَجَةِ
الْبَهَائِمِ وَالْجَمَادَاتِ إِلَى مَرَاتِبِ الْعَقَارِبِ وَالْحَيَّاتِ
وَالسِّبَاعِ الضَّارِيَاتِ، فَإِنْ رَضِيْتَ لِنَفْسِكَ النُّزُوْلَ مِنْ أَعْلَى
عِلِّيِّيْنَ، فَلاَ تَرْضَ لَهَا بِالْهُوِىِّ إِلَى أَسْفَلِ سَافِلِيْنَ،
فَلَعَلَّكَ تَنْجُوْ كَفَافًا، لاَ لَكَ وَلاَ عَلَيْكَ
Apabila engkau tidak mampu menggapai posisi malaikat kiramil
bararah dan menjalani peran seperti mereka, maka berhati-hatilah engkau,
jangan sampai engkau turun dari derajat hewan-hewan ternak dan benda-benda mati
kepada derajat kalajengking, ular dan binatang buas yang berbahaya.[8]
Jika engkau mengharapkan dirimu bisa tinggal di surga ‘Illiyyin, hendaklah
engkau tidak memperturutkan kehendak nafsu yang justru akan menempatkanmu
kepada posisi yang paling rendah (asfal safiliin). Dengan menjalani
peran seperti itu,[9]
semoga engkau akan selamat sekalipun dalam keadaan pas-pasan. Tidak ada
keberuntungan bagimu dan tidak ada pula kerugian atas dirimu.
فَعَلَيْكَ فِيْ بَيَاضِ نَهَارِكَ
اَنْ لاَ تَشْتَغِلَ إِلاَّ بِمَا يَنْفَعُكَ فِيْ مَعَادِكَ، أَوْ مَعَاشِكَ
الَّذِيْ لاَ تَسْتَغْنِىْ عَنِ اْلاِسْتِعَانَةِ بِهِ عَلَى مَعَادِكَ
Sepanjang waktu siangmu hendaklah engkau tidak
menyibukkan diri kecuali dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu di kehidupan
akhirat nanti, atau engkau menyibukkan
diri dengan matapencaharian yang bisa engkau manfaatkan untuk kehidupan
akhiratmu.
فَإِنْ عَجَزْتَ عَنِ الْقِيَامِ
بِحَقِّ دِيْنِكَ مَعَ مُخَالَطَةِ النَّاسِ، وَكُنْتَ لاَ تَسْلَمُ،
فَالْعُزْلَةُ أَوْلَى لَكَ، فَعَلَيْكَ بِهَا؛ فَفِيْهَا النَّجَاةُ
وَالسَّلاَمَةُ، فَإِنْ كَانَتْ الْوَسَاوِسُ فِي الْعُزْلَةِ تُجَاذِبُكَ إِلَى
مَالاَ يُرْضِى اللهَ تَعَالَى، وَلَمْ تَقْدِرْ عَلَى قَمْعِهَا بِوَظَائِفِ
الْعِبَادَاتِ، فَعَلَيْكَ بِالنَّوْمِ، فَهُوَ أَحْسَنُ أَحْوَالِكَ
وَأَحْوَالِنَا، إِذَا عَجَزْنَا عَنِ الْغَنِيْمَةِ رَضِيْنَا بِالسَّلاَمَةِ فِي
الْهَزِيْمَةِ. فَأَخِسَّ بِحَالِ مَنْ سَلاَمَةُ دِيْنِهِ فِيْ تَعْطِيْلِ
حَيَاتِهِ، إِذِ النَّوْمُ أَخُو الْمَوْتِ، وَهُوَ تَعْطِيْلُ الْحَيَاةِ،
وَالتِّحَاقٌ بِالْجَمَادَاتِ
Apabila engkau merasa tidak mampu menegakkan berbagai
kewajiban agamamu karena pergaulanmu dengan manusia, dan engkau merasa tidak
akan selamat karenanya, lalu engkau merasa ber-‘uzlah (mengasingkan
diri/menyendiri) lebih baik bagimu, maka lakukanlah; karena dengan ‘uzlah engkau
akan memperoleh keselamatan. Namun jika dalam ‘uzlah-mu itu hadir
perasaan was-was[10]
yang hendak menggiringmu kepada hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT, dan
engkau tidak mampu mengatasinya dengan melaksanakan berbagai macam ibadah, maka
hendaklah engkau tidur. Pada saat itu tidur menjadi pilihan terbaik bagimu dan
bagi kita semua.[11]
Apabila kita tidak mampu memperoleh keberuntungan, maka cukuplah bagi kita
keselamatan dalam kekalahan itu.[12]
Namun demikian, orang yang menyelamatkan agamanya dengan cara tidur berarti
memilih cara yang paling rendah karena mengosongkan hidupnya dari kegiatan.
Tidur adalah saudara kematian dan kosongnya hidup dari kegiatan. Orang yang
berbuat demikian tidak banyak berbeda dengan benda-benda mati.
[1] Yakni,
shalat sunnah isyraq.
[2] Yakni,
berbagai dzikir dan wirid yang telah disebutkan sebelumnya.
[3] Yakni,
orang-orang yang ahli ibadah.
[4]
Yang dimaksud adalah ritual-ritual yang bersifat sunnah, seperti shalat sunnah,
puasa sunnah, membaca berbagai kalimat dzikir, dan sebagainya.
[5] Yakni,
derajat orang-orang yang memperoleh kebaikan yang sedang.
[6] Malaikat
Allah mulia, berbakti dan suci.
[7]
Dengan kata lain, orang yang demikian itu tidak memberikan manfaat pada manusia
dan tidak pula mendatangkan mudarat.
[8]
Artinya, jika engkau tidak mampu berperan seperti malaikat, berperanlah seperti
hewan-hewan ternak dan benda-benda mati, yang tidak memberikan manfaat namun
juga tidak menimbulkan mudharat bagi manusia. Jangan sampai engkau berbuat
seperti kalajengking, ular dan binatang-binatang buas yang tidak memberikan
manfaat, tapi justru sangat ditakuti mudharat yang ditimbulkannya.
[9]
Yakni, sekedar berperan seperti hewan-hewan ternak dan benda-benda mati, yang
tidak memberikan manfaat namun juga tidak menimbulkan mudharat bagi manusia.
[10]
Perasaan was-was akibat berbagai godaan setan.
[11]
Artinya, setelah berbagai usaha menghindari dosa dengan banyak melakukan ibadah
engkau lakukan, dan ternyata hal itu tidak cukup mampu menghilangkan was-was
dari dalam dirimu, maka tidur menjadi pilihan terakhir bagimu dan bagi kita
semua agar terhindar dari perbuatan yang tidak diridhai Allah SWT.
[12]
Artinya, daripada kita terjerumus pada perilaku maksiat kepada Allah, maka
lebih baik kita tidur.
0 comments:
Post a Comment