Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Friday, August 31, 2018

Terminal Pertama Menuju Akhirat

Diriwayatkan bahwa jika melewati kuburan, Sayidina Utsman bin Affan ra berhenti dan menangis hingga membasahi jenggotnya. Lalu, ada yang berkata kepadanya, “Saat engkau ingat surga dan neraka, engkau tidak menangis. Tapi mengapa saat melewati kuburan ini engkau justru menangis?”

Sayidina Utsman bin Affan ra pun menjawab, “Sesunggunya Rasul Saw pernah bersabda, ‘Kubur itu adalah terminal pertama menuju akhirat. Jika seseorang selamat dari siksanya, maka setelahnya akan menjadi lebih mudah baginya. Namun jika ia tidak bisa lolos dari siksanya, maka yang setelahnya akan menjadi lebih sulit untuknya.’”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Az-Zuhdu, halaman 160.

Melalui sikapnya itu, Sayidina Utsman bin Affan ra sebenarnya ingin mengingatkan kita agar tidak melupakan alam kubur. Ada banyak orang yang sangat takut terhadap siksa neraka namun melupakan keadaan alam kubur. Padahal alam kubur, sebagaimana yang dikutip Sayidina Utsman ra dari sabda Nabi Saw, merupakan terminal utama yang cukup berperan dalam menentukan keadaan macam apa yang akan kita alami di akhirat kelak.

Alam kubur bisa dikatakan sebagai miniatur akhirat. Apa yang kita alami di alam kubur merupakan gambaran keadaan yang akan kita alami di akhirat. Jika seseorang mendapati alam kuburnya sebagai taman-taman surga, maka ia layak berbahagia, karena di akhirat kelak ia benar-benar akan merasakan kenikmatan surga yang sesungguhnya. Namun, jika di alam kubur ia menerima keadaan parit-parit neraka, maka itu adalah kepedihan awal, karena di akhirat kelak ia benar-benar akan merasakan kepedihan siksa neraka yang sesungguhnya. 

Oleh karena merenungkan keadaan itulah Sayidina Utsman bin Affan ra selalu menangis jika melewati kompleks pemakaman. Ia takut jika tidak mampu meloloskan diri dari siksa alam kubur. Kalau Sayidina Utsman ra saja menangis saat melalui kompleks pemakaman, sementara ia telah dijamin Allah masuk surga, bukankah kita lebih layak untuk meratapinya karena tak seorang pun yang menjamin kita akan lolos dari siksa alam kubur? Lalu, mengapa kita belum juga menangis untuk itu? Mulai sekarang, menangislah!
Share:

Tuesday, August 28, 2018

Tiga Macam Urusan

Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata: 

“Urusan itu ada tiga macam. Pertama, urusan yang sudah jelas manfaatnya, maka ikutilah. Kedua, urusan yang sudah jelas bahayanya, maka jauhilah. Ketiga, urusan yang masih belum jelas bagi kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Al-Aqdul Farid, IV/405.

Melalui nasihat ini, Sayidina Umar bin Khaththab ra menjelaskan kepada kita bahwa tidak semua urusan itu bermanfaat bagi kita. Kita perlu mengetahui terlebih dahulu kedudukan urusan yang akan kita lakukan. 

Sayidina Umar ra menasihatkan, kalau urusan yang akan kita kerjakan itu sudah benar-benar jelas mengandung unsur manfaat, maka kerjakan atau ikutilah. Segala perkara yang mengandung manfaat bila dikerjakan akan bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Penegasan ini sebenarnya memberi motivasi kepada kita agar selalu mendahulukan urusan-urusan yang bermanfaat. Terhadap hal-hal yang bermanfaat ini hendaklah pelaksanaannya tidak ditunda-tunda. Segerakan! Karena dengan menyegerakannya kita pun segera memperoleh manfaatnya.

Sedangkan terhadap urusan-urusan yang sudah jelas-jelas mengandung bahaya dan mudharat, oleh Sayidina Umar ra kita dinasihatkan agar segera menghindar dan menjauh darinya. Tak perlu mengarahkan pandangan terhadap panggilan urusan yang sudah pasti berbahaya dan mengandung keburukan, karena yang kita dapatkan pun pasti tidak akan berbeda dengan jenis urusan itu. 

Sementara, di antara urusan yang mengandung manfaat dan bahaya terdapat urusan yang kedudukannya masih belum jelas. Jika Anda sedang berhadapan dengan urusan semacam itu, kata Sayidina Umar ra, kembalikan ia kepada Allah. Artinya, timbanglah ia dengan menggunakan takaran hukum-hukum Allah. Jika menurut hukum Tuhan, manfaatnya jauh lebih banyak daripada mudharatnya, segera kerjakan. Namun, jika menurut hukum Tuhan, mudharatnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya, segeralah menghindar dan menjauh darinya. Tentu saja, sikap yang demikian itu lebih menyelamatkan bagi kita daripada menimbangnya dengan takaran kehendak nafsu.
Share:

Monday, August 27, 2018

Mohonlah Ampunan Allah

Suatu saat Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra menaiki mimbar Rasulullah Saw untuk menyampaikan nasihatnya. Beberapa saat ia berbicara, suaranya tersendat sebanyak tiga kali karena tak mampu menahan tangisan yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Sayidina Abu Bakar ra berkata:

“Wahai manusia, minta ampunlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya, setelah seseorang mendapat ampunan Allah, ia tidak akan diberi karunia yang lebih utama dari keyakinan. Dan tidak ada sesuatu yang lebih parah daripada keraguan setelah kekufuran.

Hendaklah kalian berlaku jujur, karena ia akan menunjuki kalian kepada jalan kebaikan. Dan tempat bagi keduanya (kejujuran dan kebaikan) adalah surga. Dan janganlah kalian berdusta, karena ia akan menunjukimu kepada kejelekan. Dan tempat bagi keduanya (berdusta dan kejelekan) adalah di neraka.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Az-Zuhdu, halaman 135.

Ampunan Allah Swt adalah sebesar-besar karunia dari-Nya. Adakah lagi yang lebih kita harapkan selain ampunan Allah atas segala dosa dan kekhilafan yang pernah kita lakukan? Bagaimana tidak, ampunan Allah menjadi jalan bagi kita untuk memperoleh berbagai macam anugerah Allah lainnya. Ampunan Allah menyebabkan tumbuhnya keyakinan yang sangat kuat dalam diri kita terhadap-Nya. Siapa pun yang keyakinannya kuat terhadap Allah, maka ia takkan pernah kecewa, karena ia tahu apa pun yang digariskan Tuhan untuknya adalah yang terbaik baginya.

Ampunan Allah membuat kita sadar dengan kesadaran mendalam bahwa Dia selalu bersama kita dan menatap apa saja yang kita lakukan. Kesadaran ini akan membawa kita pada sikap berhati-hati, berlaku jujur, dan menghindar dari segala perkara yang mengundang kemurkaan Allah. Dengan demikian, mohonlah ampun kepada-Nya, karena ampunan itu akan menyebabkan kita selamat menjalani kehidupan ini, di dunia hingga akhirat kelak.
Share:

Sunday, August 26, 2018

Pasal tentang Adab-adab Tayammum

آدَابُ التَّيَمُّمِ


Adab-adab Tayammum

فَإِنْ عَجَزْتَ عَنِ اسْتِعْمَلاِ الْمَاءِ: لِفَقْدِهِ بَعْدَ الطَّلَبِ، أَوْ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ، أَوْ لِمَانِعٍ مِنَ الْوُصُوْلِ إِلَيْهِ مِنْ سَبُعٍ أَوْ حَبْسٍ، أَوْ كَانَ الْمَاءُ الْحَاضِرُ تَحْتَاجُ إِلَيْهِ لِعَطَشِكَ أَوْ عَطَشِ رَفِيْقِكَ، أَوْ كَانَ مُلْكَاً لِغَيْرِكَ وَلَمْ يُبَع إِلاَّ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ، أَوْ كَانَ بِكَ جِرَاحَةٌ أَوْ مَرَضٌ تَخَافُ مِنْهُ عَلَى نَفْسِكَ؛ فَاصْبِرْ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الْفَرِيْضَةِ
Apabila engkau terhalang dari mempergunakan air untuk bersuci karena ketiadaan air setelah engkau mencarinya, atau karena adanya udzur seperti sakit, atau adanya sesuatu yang menghalangimu untuk mendapatkan air seperti adanya binatang buas atau engkau dalam keadaan terpenjara, atau karena air yang ada itu lebih engkau butuhkan untuk menghilangkan dahagamu atau dahaga temanmu, atau karena air itu adalah milik orang lain yang tidak dijual kecuali dengan harga yang sangat mahal, atau karena engkau memiliki luka atau penyakit yang bila terkena air akan menyebabkan engkau khawatir akan keadaan dirimu; maka sabarlah engkau menunggu hingga waku shalat fardhu tiba. 

ثُمَّ اقْصَدْ صَعِيْدًا طَيِّبًا عَلَيْهِ تُرَابٌ خَالِصٌ طَاهِرٌ لين، فَاضْرِبْ عَلَيْهِ بِكَفَّيْكَ ضَامًّا بَيْنَ أَصَابِعِكَ، وَانْوِ اسْتِبَاحَةَ فَرْضِ الصَّلاَةِ، وَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ كله مَرَّةً وَاحِدَةً، وَلاَ تَتَكَلَّفْ إِيْصَالَ الْغُبَارِ إِلَى مَنَابِتِ الشَّعْرِ خَفَّ أَوْ كَثُفَ، ثُمَّ انْزَعْ خَاتِمَكَ، وَاضْرِبْ ضَرْبَةً ثَانِيَةً مُفَرِّجًا بَيْنَ أَصَابِعِكَ، وَامْسَحْ بِهِمَا يَدَيْكَ مَعَ مِرْفَقَيْكَ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَوْعِبْهُمَا فَاضْرِبْ ضَرْبَةً أُخْرَى إِلَى أَنْ تَسْتَوْعِبَهُمَا، ثُمَّ امْسَحْ إِحْدَى كَفَّيْكَ بِاْلأُخْرَى، وَامْسَحْ مَا بَيْنَ أَصَابِعِكَ بِالتَّخْلِيْلِ
Setelah waktu shalat fardhu tiba, ambillah tanah yang berdebu bagus, murni, suci dan halus. Tempelkan kedua telapak tanganmu di atasnya dengan merapatkan jari-jari tanganmu seraya berniat agar dengannya engkau diperbolehkan shalat. Kemudian usapkanlah kedua telapak tanganmu itu ke seluruh wajahmu sekali saja. Jangan memaksakan untuk menyampaikan debu kepada bagian-bagian yang menjadi tempat tumbuhnya rambut, baik yang tipis maupun yang tebal. Kemudian jika engkau mengenakan cincin lepaslah cincinmu itu. Lalu tempelkan telapak tanganmu untuk kedua kalinya ke permukaan tanah dengan merenggangkan jari-jarinya, kemudian usapkan ke kedua tanganmu hingga siku. Jika debu di kedua tanganmu itu belum merata, tempelkan sekali lagi ke permukaan tanah hingga merata, lalu usapkan telapak tanganmu ke tanganmu yang lain secara menyilang. Dan usaplah sela-sela jarimu dengan cara menyela-nyelainya. 

وَصَلِّ بِهِ فَرْضًا وَاحِدًا، وَمَا شِئْتَ مِنَ النَّوَافِلِ، فَإِنْ أَرَدْتَ فَرْضًا ثَانِيًا، فَاسْتَأْنِفْ لَهُ تَيَمُّمًا آخَرَ
Setelah itu, shalat fardhulah engkau dengan tayammum itu satu kali saja, sedangkan untuk shalat sunnah boleh engkau lakukan sesukamu. Jika engkau ingin melakukan shalat fardhu yang lain maka engkau harus kembali melakukan tayammum.
Share:

Jangan Membebani Diri

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah diundang seseorang untuk menghadiri sebuah jamuan makan di rumahnya, lalu beliau berkata:

“Aku akan menghadiri undanganmu dengan syarat engkau tidak terbebani untuk mengadakan sesuatu yang tidak engkau miliki, dan tidak menyembunyikan dariku apa yang engkau miliki.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Al-Bayan wat Tabyin, 2/197.

Ucapan ini sesungguhnya memperlihatkan kepada kita kerendahan hati Sayidina Ali bin Abu Thalib ra. Beliau adalah seorang Amirul Mukminin yang dimuliakan Allah dan orang-orang yang beriman. Semua orang mendambakan kehadirannya di rumah mereka. Namun keadaan yang demikian itu tidak membuat Sayidina Ali ra lupa diri dan menuntut pelayanan terbaik dan pemuliaan berlebihan dari rakyatnya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan pemimpin di dunia ini.

Melalui ucapannya ini, Sayidina Ali ra pun mengajari kita untuk tidak menuntut kepada orang lain apa yang tidak ada padanya. Kalau saat ini Anda mendapat kedudukan mulia dalam pandangan manusia, lalu mereka sangat menginginkan kehadiran Anda di kediaman mereka, berusahalah memenuhi harapan mereka dan janganlah menuntut mereka untuk menghadirkan di hadapan Anda sesuatu yang tidak mereka miliki. Contohlah perilaku Sayidina Ali bin Abu Thalib ra yang sangat rendah hati. 

Namun, jika Anda adalah orang biasa yang tidak memiliki sesuatu yang luar biasa, janganlah membebani diri untuk menghadirkan sesuatu yang tidak bisa Anda miliki di hadapan orang-orang yang Anda muliakan. Suguhkanlah di hadapannya apa yang Anda miliki dan berikan layanan serta penghormatan terbaik yang bisa Anda berikan, karena sungguh Anda tidak dibebani dengan apa yang tidak ada.
Share:

Monday, August 20, 2018

Andai Hati Itu Bersih

Sayidina Utsman bin Affan ra pernah berkata:

“Seandainya hati kalian itu bersih, maka kalian tidak akan pernah puas dengan firman Allah. Dan aku tidak suka melalui satu hari pun kecuali aku bisa melihat firman Allah Ta’ala.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya’, 7/300.

Tentunya kita pernah menemukan seseorang yang selalu bersama al-Qur’an. Ke mana pun ia pergi senantiasa bersamanya ada al-Qur’an. Orang seperti ini biasanya menjadikan al-Qur’an sebagai ‘teman’ yang kepadanya ia selalu berbicara. Saat-saat senggang yang oleh kebanyakan orang dipergunakan untuk istirahat dan bersantai, namun ia lebih memilih untuk mengisinya dengan membaca al-Qur’an. 

Menyaksikan keadaan itu, kita sering bertanya, mengapa kita tak mampu melakukan seperti yang ia lakukan? Kita sepertinya tidak bisa menikmati kebersamaan dengan al-Qur’an, sedangkan ia bisa menghabiskan waktunya berjam-jam bersama firman-firman Allah itu tanpa sedikit pun tampak merasa lelah. Mengapa ia mampu dan kita tidak?

Sayidina Utsman bin Affan ra memberikan jawabannya pada kita. Kata beliau itu terjadi karena kita memiliki hati yang belum bersih. Seandainya kita memiliki hati yang bersih, maka kita takkan pernah puas dengan firman-firman Allah yang sedikit. Orang yang bersih hatinya saat membaca firman Allah akan terasa nikmat. Ia tidak akan puas hanya dengan membaca satu atau dua ayat. Ia mampu menikmati firman-firman Allah itu dan selalu merasa kurang dan kurang, sehingga kalau ia sedang bersama al-Quran, bisa saja yang ia baca mencapai satu atau dua juz, bahkan boleh jadi lebih dari itu. 

Mengapa hanya orang yang hatinya bersih yang bisa melakukan itu? Ketahuilah, hati yang yang bersih adalah hati yang sehat. Sementara al-Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Allah menjadi ‘makanan’ yang menyehatkan bagi hati. Hati yang bersih saat ‘bersentuhan’ dengan al-Qur’an mampu menikmatinya dan merasakan betapa ‘lezat’nya ayat-ayat al-Qur’an itu. Itulah sebabnya si pemilik hati yang bersih akan selalu merasa tidak puas dengan hanya satu atau dua ayat dari al-Qur’an. Laksana seseorang yang sedang menyantap menu yang sangat disukainya, ia takkan pernah puas memakannya hanya dengan satu atau dua suap. Ia ingin menikmati menu itu sebanyak mungkin. 

Nah, sekarang Anda sudah mengetahui betapa pentingnya kebersihan hati untuk bisa menikmati ‘menu istimewa’ hati, yakni al-Qur’an. Maka berusahalah semaksimal mungkin membersihkannya dengan cara menjauhi segala macam bentuk dosa. Kalau itu sudah Anda lakukan, maka Anda akan temukan keadaan Anda seperti yang diucapkan Sayidina Utsman bin Affan ra, “Dan aku tidak suka melalui satu hari pun kecuali aku bisa melihat firman Allah Ta’ala.”
Share:

Ijazah Dzikir Hari Arafah dari Al-Habib Salim Asy-Syathiri

Al-Habib Salim Asy-Syathiri berkata:

Pada hari Arafah hendaklah engkau membaca surat Al-Ikhlas 1000 kali, Ayat Kursi 360 kali, dan bershalawat kepada Nabi SAW sebanyak 1000 kali dengan shalawat Ibrahimiyyah.

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: "Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang berdiam diri pada sore hari Arafah, lalu ia membaca Ayat Kursi 360 kali, surat Al-Ikhlas 1000 kali dan shalawat Ibrahimiyyah 1000 kali, maka Allah akan membanggakannya di depan malaikat-Nya dan berfirman: "Saksikanlah wahai para malaikat! Hamba-Ku bertasbih dan mengagungkan-Ku, maka Aku ampuni dosa-dosanya dan jika ia meminta izin untuk memberi syafaat kepada orang lain, maka Aku akan mengizinkannya."

Maka hendaklah kalian melakukannya, jangan melalaikannya kecuali dengan perbuatan ibadah dan ketaatan, baik berupa perkataan ataupun perbuatan.

Hari Arafah adalah hari paling utama, karenanya Nabi SAW bersabda: "Hari paling utama adalah hari Arafah dan ucapan paling baik yang aku dan Nabi-nabi sebelumku ucapkan pada hari Arafah adalah:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍِ قَدِيْر

Ini juga hendaknya dibaca 1000 kali.

Maka dzikir hari Arafah ada empat :

1. Ayat Kursi 360 kali.
2. Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍِ قَدِيْر 1000 kali.
3. Surat Al-Ikhlas 1000 kali.
4. Shalawat Ibrahimiyyah 1000 kali.

Begitulah yang paling baik. Jika tidak mampu, maka baca setengahnya, dan paling sedikit 100 kali pada tiap-tiap dzikir tersebut.

Share:

Sejarah Disyariatkannya Puasa Arafah dan Haji

Menurut sebuah hadits dari Anas ra:
 
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ" – رواه أبوداود والنسائى والحاكم
Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya. Beliau bertanya: “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Di dua hari ini kami biasa bermain-main pada masa jahiliyah”. Maka beliau bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri.” (Sunan Abu Daud, 1:295, Sunan an-Nasa-i, 3:179, Al-Mustadrak Ala ash-Shahihain Li al-Hakim, 1:434. Redaksi di atas versi Abu Daud.)
 
Sehubungan dengan hadits di atas para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah.
(Shubhu al-A’sya, 2:444; Bulughu al-Amani, juz 6:119; Subulu as-Salam, I:60)

Dalam hal ini para ulama menerangkan: “Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)”. (Hasyiah al-Jumal, 6:203, Hasyiah al-Bajirumi ‘ala al-Manhaj, 4:235)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai disyariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 Hijriyah. Keduanya disyariatkan setelah disyariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.

Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriyah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama. (Fathu al-Bari, 3:442) Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah. (Zaadu al-Ma’ad, 2:101, Manaru al-Qari, 3:64) Kedua pendapat ini seolah bertentangan, namun bila dilihat dari segi waktu disyariatkan dengan waktu pelaksanaannya yang memiliki rentang waktu panjang dapat mementahkan dugaan tersebut. Memang tahun ke-6 adalah tahun disyariatkannya ibadah haji sebagaimana pendapat Jumhur Ulama, namun pada kenyataannya Rasulullah saw. tidak bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut bahkan tahun-tahun sesudahnya karena senantiasa dihalang-halangi kaum Kafir Quraisy. Beliau baru bisa melaksanakan ibadah haji tersebut pada tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim di atas, yaitu setelah penaklukkan kota Mekah oleh kaum Muslimin dan inilah ibadah haji yang dilaksanakan Rasulullah saw. yang pertama dan terakhir kalinya pasca disyariatkannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Qatadah ra. berikut ini:

عَنْ قَتَادَةَ، سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَمُ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: " أَرْبَعٌ: عُمْرَةُ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ المُشْرِكُونَ، وَعُمْرَةٌ مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ، وَعُمْرَةُ الجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ - أُرَاهُ - حُنَيْنٍ " قُلْتُ: كَمْ حَجَّ؟ قَالَ: «وَاحِدَةً» – رواه البخارى و أحمد و إبن حبّان و أبو نعيم
Dari Qatadah ra, aku bertanya kepada Anas ra: “Berapa kali umrahnya Rasulullah saw?” Dia menjawab: “empat kali; umrah Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah ketika orang musyrik menolak beliau (untuk melakukan ibadah haji), umrah pada tahun depannya ketika beliau berdamai (dengan orang kafir), umrah Ji’ranah ketika beliau membagi ghanimah -aku kira- (ghanimah perang) Hunain”. Aku bertanya: “Berapa kali hajinya Rasul saw?” Anas menjawab: “Satu kali”. (Shahih Bukhari 3:3, Musnad Ahmad 40:89, Shahih Ibnu Hibban [Muhaqqaq] 9:80, Al-Musnad al-Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim Li Abi Nu’aim 3:348. Redaksi di atas versi Imam Bukhari.)

Dalam hadits lain disebutkan:

حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ غَزْوَةً، وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً، لَمْ يَحُجَّ بَعْدَهَا حَجَّةَ الوَدَاعِ» ، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: «وَبِمَكَّةَ أُخْرَى»– رواه البخارى و مسلم و أحمد و الطبراني و البيهقي
Zaid bin Arqam ra. telah bercerita kepadaku: “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah berperang sebanyak 19 kali dan sesungguhnya beliau melaksanakan haji setelah hijrahnya (ke Madinah) satu kali haji, beliau tidak pernah melaksanakan haji setelahnya, yakni haji wada’.” Abu Ishaq berkata: “Dan (ketika) di Mekah pernah melakukannya”.[1] (Shahih Bukhari, 5:177, Shahih Muslim, 2:916, Musnad Ahmad, 32:52, Al-Mu’jamul Kabir Li ath-Thabrani, 5:189, As-Sunan al-Kubra Li al-Baihaqi, 4:558. Redaksi di atas versi Imam Bukhari.)

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa aktifitas wukuf di arafah bukan penyebab adanya shaum arafah karena Rasulullah saw. puasa arafah tahun ke-2 sampai tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah belum ada pelaksanaan wukuf di Arafah, atau sekitar 8 atau 9 kali puasa arafahnya beliau tidak berbarengan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.


[1] Menurut hadits di atas, Rasulullah saw sebelum hijrah ke Madinah pernah melakukan ibadah haji, berarti haji yang dilakukan Rasul saw adalah dalam rangka mengikuti millah Ibrahim as, karena saat itu ibadah haji belum disyariatkan. Berkenaan dengan hadits di atas, telah dilakukan penelitian di beberapa kitab syarahnya untuk mengetahui apakah setelah disyariatkan puasa Arafah di Madinah, Rasul saw mencari tahu waktu pelaksanaan wukuf yang dilakukan orang jahiliyah untuk dijadikan pedoman pelaksanaan puasa Arafah beliau. Ternyata informasi tersebut tidak ditemukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puasa Arafahnya Rasul saw saat itu tidak berpatokan kepada waktu pelaksanaan wukuf di Arafah.
Share:

Sunday, August 19, 2018

Pasal tentang Adab-adab Mandi

آدَابُ الْغُسْلِ

Adab-adab Mandi

 
فَإِذَا أَصَابَتْكَ جَنَابَةٌ، مِنَ احْتِلاَمٍ أَوْ وِقَاعٍ، فَخُذُ اْلإِنَاءَ إِلَى الْمُغْتَسَلِ، وَاغْسِلْ يَدَيْكَ أَوَّلاً ثَلاَثًا، وَأَزِلْ مَا عَلَى بَدَنِكَ مِنْ قَذَرٍ، وَتَوَضَّأْ كَمَا سَبَقَ فِيْ وُضُوْئِكَ لِلصَّلاَةِ مَعَ جَمِيْعِ الدَّعَوَاتِ، وَأَخِّرْ غَسْلَ قَدَمَيْكَ، كَيْلاَ يَضِيْعَ الْمَاءُ
Apabila engkau janabah (berhadas besar), baik yang disebabkan oleh mimpi ataupun persetubuhan, maka hendaklah engkau segera melakukan mandi janabah. Hal pertama yang engkau lakukan adalah membasuh kedua tanganmu sebanyak tiga kali. Hilangkan kotoran yang ada di badanmu. Kemudian berwudhulah sebagaimana wudhu yang engkau lakukan ketika hendak shalat beserta doa-doanya. Dan akhirkanlah membasuh kedua telapak kakimu, agar tidak membuang-buang air. 

فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْوُضُوْءِ فَصُبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِكَ ثَلاَثًا وَأَنْتَ نَاوٍ رَفْعَ الْحَدَثِ مِنَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ عَلَى اْلأَيْسَرِ ثَلاَثًا، وَادْلُكْ مَا أَقْبَلَ مِنْ بَدَنِكَ وَمَا أَدْبَرَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا، وَخَلِّلْ شَعْرَ رَأْسِكَ وَلِحْيَتِكَ، وَأَوْصِلِ الْمَاءَ إِلَى مَعَاطِفِ الْبَدَنِ وَمَنَابِتِ الشَّعْرِ مَا خَفَّ مِنْهُ وَمَا كَثُفَ، وَاحْذَرْ أَنْ تَمَسَّ ذَكَرَكَ بَعْدَ الْوُضُوْءِ، فَإِنْ أَصَابَتْهُ يَدُكَ فَأَعِدِ الْوُضُوْءَ
Apabila engkau telah selesai berwudhu tuangkanlah air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali seraya engkau berniat menghilangkan hadas disebabkan oleh janabah. Kemudian siramkan air ke bagian tubuhmu yang sebelah kanan sebanyak tiga kali, lalu ke bagian tubuhmu yang kiri juga sebanyak tiga kali. Gosoklah bagian depan tubuhmu sebanyak tiga kali dan  bagian belakang tubuhmu sebanyak tiga kali. Selanjutnya, sela-selailah rambut yang ada di kepalamu dan juga jenggotmu dengan air. Sampaikan air hingga ke lipatan-lipatan tubuhmu dan juga ke tempat tumbuhnya rambut, baik yang tipis maupun yang tebal. Waspadalah, jangan sampai engkau menyentuh kemaluanmu setelah berwudhu. Apabila ia tersentuh oleh tanganmu, maka hendaklah engkau kembali berwudhu. 

وَالْفَرِيْضَةُ مِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ كُلِّهِ: النِّيَّةُ، وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ، وَاسْتِيْعَابُ الْبَدَنِ بِالْغُسْلِ
Ada pun yang fardhu dari seluruh rangkaian adab-adab mandi yang telah dijelaskan di atas adalah niat, menghilangkan najis, dan meratakan air ke seluruh bagian tubuh.

وَفَرْضُ الْوُضُوْءِ: غَسْلُ الْوَجْهِ، وَالْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ، وَمَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ، وَغَسْلُ الرِّجْلَيْنِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ مَرَّةً مَرَّةً مَعَ النِّيَّةِ، وَالتَّرْتِيْبِ
Sedangkan yang termasuk ke dalam fardhu wudhu adalah membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki hingga mata kaki satu persatu disertai niat, dan yang terakhir tertib.

وَمَا عَدَاهَا سُنَنٌ مُؤَكَّدَةٌ فَضْلُهَا كَثِيْرٌ وَثَوَابُهَا جَزِيْلٌ، وَالْمُتَهَاوِنُ بِهَا خَاسِرٌ، بَلْ هُوَ بِأَصْلِ فَرَائِضِهِ مُخَاطِرٌ، فَإِنَّ النَّوَافِلَ جَوَابِرُ لِلْفَرَائِضِ
Selain dari semua itu adalah sunnah muakkadah yang memiliki banyak keutamaan dan pahala yang bsar. Siapa saja yang  meremehkannya, maka ia akan merugi. Bahkan, dikhawatirkan ia akan meremehkan hal-hal yang difardhukan. Karena sesungguhnya hal-hal yang sunnah itu menjadi pelengkap (penyempurna) bagi yang fardhu.
Share:

Saturday, August 18, 2018

Mendatangi Penguasa

Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata:
 
“Barangsiapa yang mendatangi penguasa, maka ia akan kembali darinya dalam keadaan murka kepada Allah.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Al-Aqdul Farid, III/159.

Nasihat Sayidina Umar ra ini sekaligus memperlihatkan kepada kita sikap kehati-hatian beliau terhadap dunia. Dunia selalu menampilkan dirinya di hadapan manusia sebagai sosok yang sangat menyenangkan. Siapa pun yang memandangnya akan jatuh hati padanya dan ingin memilikinya, kecuali orang-orang yang telah mengenal hakikat dunia.

Orang yang datang menemui penguasa akan melihat segala macam perhiasan dunia yang belum pernah dimilikinya. Akibatnya, kesadaran yang muncul dalam dirinya adalah bahwa Allah telah memberikan nikmat yang jauh lebih berlimpah kepada sang penguasa daripada kepada dirinya. Bagi mereka yang lebih kagum terhadap dunia daripada Sang Pencipta dunia akan merasa Tuhan telah belaku tidak adil padanya. Inilah awal prasangka buruk kepada Allah. 

Sesungguhnya Allah telah berlaku adil dalam kehidupan ini. Perbedaan keadaan hidup antara yang satu dengan lainnya merupakan gambaran keadilan Tuhan. Dalam kekayaan dan kemewahan yang Dia berikan pada seseorang, terdapat ujian dan pertanggungjawaban yang sangat berat. Sementara, dalam kehidupan yang serba sederhana, terdapat pula ujian dan pertanggungjawaban yang juga sederhana. Allah Maha Adil dan Dia akan memperhitungkan setiap nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Kalau sudah begitu, masihkah kita iri pada manusia lain?
Share:

Friday, August 17, 2018

Pasal tentang Adab-adab Berwudhu


آدَابُ الْوُضُوْء

Adab-adab Berwudhu

فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ اْلاِسْتِنْجَاءِ، فَلاَ تَتْرُكِ السِّوَاكَ؛ فَإِنَّهُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ، وَمَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ، وَمَسْخَطَةٌ لِلشَّيْطَانِ، وَ صَلاَةٌ بِسِّوَاكِ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِيْنَ صَلاَةً بِلاَ سِوَاكٍ
Apabila engkau telah selesai beristinjak, hendaklah engkau tidak lupa untuk bersiwak. Karena bersiwak itu dapat menyucikan mulut, merupakan perbuatan yang diridhai Allah dan dibenci oleh setan. Dan satu rakaat shalat yang dikerjakan dengan bersiwak terlebih dahulu lebih utama daripada tujuh puluh rakaat shalat tanpa bersiwak. 

وَرُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ فِيْ كُلِّ صَلاَةٍ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka bersiwak di setiap hendak shalat.”[1]

وَعَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ بِالسِّوَاكِ حَتَّى خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيَّ
Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk bersiwak hingga aku khawatir jika hal itu akan diwajibkan bagiku.”[2]

ثُمَّ اجْلُسْ لِلْوُضُوْءِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ عَلَى مَوْضِعٍ مُرْتَفِعٍ كَيْ لاَ يُصِيْبَكَ الرَّشَاشُ، وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنَ
Setelah engkau selesai bersiwak, duduklah untuk memulai wudhu dengan menghadap kiblat di tempat yang tinggi agar tidak terkena percikan air, kemudian ucapkan: [Bismillaahirrahmaanirrahiim, rabbi a-‘uudzu bika min hamazaatisy syayaathiini wa a-‘uudzubika rabbi an yahdhuruun] –Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.[3] Ya Tuhanku, aku memohon perlindungan-Mu dari bisikan-bisikan setan, dan aku memohon perlindungan-Mu dari kehadiran mereka.”[4]

ثُمَّ اغْسَلْ يَدَيْكَ ثَلاَثًا قَبْلَ أَنْ تُدْخِلَهُمَا اْلإِنَاءَ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْيُمْنَ وَالْبَرَكَةَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشُّؤْمِ وَالْهَلَكَةِ
Kemudian basuhlah kedua tanganmu tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, dan ucapkanlah doa ini: [Allaahumma innii as-alukal yumna wal barakah, wa a-‘uudzu bika minas su’mi wal halakah] –Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kekuatan untuk taat kepada-Mu dan keberkahan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan dan kerusakan.”

ثُمَّ انْوِ رَفْعَ الْحَدَثِ أَوِاسْتِبَاحَةَ الصَّلاَةِ، وَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ تَعْزُبَ نِيَّتُكَ قَبْلَ غَسْلِ الْوَجْهِ، فَلاَ يَصِحُّ وُضُؤْوُكَ
Lalu, berniatlah engkau untuk menghilangkan hadas atau berniatlah untuk memenuhi syarat diperbolehkannya menunaikan shalat, dan hendaklah niatmu itu tidak hilang dan tetap berlangsung hingga engkau membasuh wajah. Karena jika niatmu hilang sebelum membasuh wajah maka wudhumu menjadi tidak sah. 

ثُمَّ خُذْ غَرْفَةً لِفِيْكَ وَتَمَضْمَضْ بِهَا ثَلاَثًا، وَبَالِغِ فِيْ رَدِّ الْمَاءِ إِلَى الْغَلْصَمَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا فَتَرَفَّقْ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى تِلاَوَةِ كِتَابِكَ وَكَثْرَةِ الذِكْرِ لَكَ، وَثَبِّتْنِيْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ
Selanjutnya, ambillah sesauh air untuk berkumur sebanyak tiga kali, dan berupayalah agar kumur-kumur yang kau lakukan itu sampai kepada pangkal tenggorokanmu. Namun bila engkau dalam keadaan berpuasa, maka ringankanlah kumurmu itu. Kemudian ucapkan doa: [Allaahuma a-‘innii ‘alaa tilaawati kitaabika wa katsratidz dzikri laka, wa tsabbitnii bil qaulits tsaabiti fil hayaatid dun-ya wa fil aakhirah] –Ya Allah, anugerahkan padaku pertolongan agar aku dapat membaca kitab-Mu dan banyak berdzikir kepada-Mu serta teguhkanlah aku dengan kalimat (tauhid) di dunia dan di akhirat.”

ثُمَّ خُذْ غَرْفَةً لِأَنْفِكَ وَاسْتَنْشَقْ بِهَا ثَلاَثًا، وَاسْتَنْثِرْ مَا فِي اْلأَنْفِ مِنْ رُطُوْبَةِ، وَقُلْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ: اللَّهُمَّ أَرِحْنِيْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَأَنْتَ عَنِّيْ رَاضٍ، وَفِي اْلاِسْتِنْثَارِ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ رَوَائِحِ النَّارِ وَسُوْءِ الدَّارِ
Kemudian ambillah sesauh air untuk hidungmu, hirup dan keluarkan ia sebanyak tiga kali, serta hembuskan bebasahan itu dari hidungmu. Ketika menghirup air ke dalam hidung, bacalah doa ini: [Allaahumma arihnii raa-ihatal jannati wa anta ‘annii raadhin] –Ya Allah, tiupkan kepadaku wewangian surga sedangkan Engkau senantiasa dalam keadaan ridha terhadapku. Sedangkan ketika mengeluarkannya, bacalah doa ini: [Allaahumma innii a-‘uudzu bika min rawaa-ihin naari wa suu-id daari] –Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari mencium aroma neraka dari dari tempat yang buruk di akhirat.

ثُمَّ خُذْ غُرْفَةً لِوَجْهِكَ، فَاغْسِلْ بِهَا مِنْ مُبْتَدَأ تَسْطِيْحِ الْجَبْهَةِ إِلَى مُنْتَهَى مَا يُقْبِلُ مِنَ الذَّقْنِ فِي الطُّوْلِ، وَمِنَ اْلأُذُنِ اِلَى اْلأُذُنِ فِي الْعَرْضِ، وَأَوْصِلِ الْمَاءَ إِلَى مَوْضِعِ التَّجْذِيْفِ، وَهُوَ مَا يَعْتَاُد النِّسَاءُ تَنْحِيَةَ الشَّعْرِ عَنْهُ، وَهُوَ مَا بَيْنَ رَأْسِ اْلأُذُنِ إِلَى زَاوِيَةِ الْجَبِيْنِ، أَعْنِيْ مَا يَقَعُ مِنْهُ فِيْ جَبْهَةِ الْوَجْهِ، وَأَوْصِلِ الْمَاءَ إِلَى مَنَابِتِ الشُّعُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ: الْحَاجِبَيْنِ، وَالشَّارِبَيْنِ، وَاْلأَهْدَابِ، وَالْعِذَارَيْنِ، وَهُمَا: مَا يُوَازِي اْلأُذُنَيْنِ مِنْ مُبْتَدَأ اللِّحْيَةِ، وَيَجِبُ إِيْصَالُ الْمَاءِ إِلَى مَنَابِتِ الشَّعْرِ مِنَ اللِّحْيَةِ الْخَفِيْفَةِ، دُوْنَ الْكَثِيْفَةِ
Lalu ambillah sesauh air untuk wajahmu. Basuhlah wajahmu dengannya sepanjang bagian atas dahi hingga ujung dagu, dan meluas dari telinga yang satu ke telinga yang lain. Hendaklah air itu sampai ke tempat tumbuhnya rambut yang seorang wanita biasa menyibakkannya, yakni tempat yang posisinya berada di antara telinga bagian atas hingga sudut dahi. Yang kumaksudkan adalah seluruh bagian wajah. Dan hendaklah air itu juga sampai kepada tempat tumbuhnya rambut yang empat: dua alis, kumis, bulu mata, dan dua cambang. Wajib pula menyampaikan air ke tempat tumbuhnya jenggot yang jarang (tipis), bukan jenggot yang tebal. 

وَقُلْ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ: اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ بِنُوْرِكَ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَوْلِيَائِكَ، وَلاَ تُسَوِّدْ وَجْهِيْ بِظُلُمَاتِكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَعْدَائِكَ
Dan ketika membasuh wajah, ucapkanlah doa ini: [Allaahumma bayyidh wajhii binuurika yauma tabyadhdhu wujuuhu auliyaa-ika, wa laa tusawwid wajhii bizhulumaatika yauma taswaddu wujuuhu a’daa-ika] –Ya Allah, putihkanlah wajahku dengan cahaya-Mu pada hari di mana wajah para kekasih-Mu menjadi putih bercahaya. Dan janganlah Engkau hitamkan wajahku pada hari di mana wajah musuh-musuh-Mu menjadi hitam kelam.

وَلاَ تَتْرُكْ تَخْلِيْلَ اللِّحْيَةِ الْكَثِيْفَةِ
Selain itu, hendaklah engkau tidak lupa untuk menyela-nyelai jenggotmu yang tebal dengan jari-jari tanganmu.

ثُمَّ اغْسِلْ يَدَكَ الْيُمْنَى، ثُمَّ الْيُسْرَى مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ إِلَى أَنْصَافِ الْعَضُدَيْنِ، فَإِنَّ الْحِلْيَةَ فِي الْجَنَّةِ تَبْلُغُ مَوَاضِعَ الْوُضُوْءِ، وَقُلْ عِنْدَ غَسْلِ الْيُمْنَى: اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ، وَحَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا، وَعِنْدَ غَسْلِ الشِّمَالِ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ تُعْطِيَنِيْ كِتَابِيْ بِشِمَالِيْ أَوْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
Selanjutnya basuhlah tanganmu yang kanan, kemudian yang kiri beserta kedua siku hingga pertengahan lengan. Karena sesungguhnya perhiasan surga itu nanti akan sampai kepada bagian-bagian anggota tubuh yang terkena wudhu. Ketika membasuh tangan kanan, hendaklah engkau mengucapkan doa: [Allaahumma a’thinii kitaabii biyamiinii, wa haasibnii hisaaban yasiiraa] –Ya Allah, berikanlah kepadaku kitab catatan amalku pada tangan kananku, dan hisablah aku dengan hisab yang mudah. Sedangkan tatkala membasuh tangan kiri, ucapkanlah: [Allaahumma innii a-‘uudzu bika an thu’thiyanii kitaabii bisyimaalii au min waraa-i zhahrii] –Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari Engkau memberikan kitab amalku pada tangan kiriku atau dari arah belakang punggungku.

ثُمَّ اسْتَوْعِبْ رَأْسَكَ بِالْمَسْحِ بِأَنْ تَبَلَّ يَدَيْكَ، وَتُلْصِقَ رُؤُوْسَ أَصَابِعِ يَدَكَ الْيُمْنَى بِالْيُسْرَى، وَتَضَعَهُمَا عَلَى مُقَدَّمَةِ الرَّأْسِ، وَتَمُرَّهُمَا إِلَى الْقَفَا، ثُمَّ تَرُدَّهُمَا إِلَى الْمُقَدَّمَةِ، فَهَذِهِ مَرَّة، تَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَكَذَلِكَ فِيْ سَاِئِر اْلأَعْضَاءِ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ غَشِّنِيْ بِرَحْمَتِكَ، وَأَنْزِلْ عَلَيَّ مِنْ بَرَكَاتِكَ، وَأَظِلَّنِيْ تَحْتَ ظِلَّ عَرْشِكَ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّكَ، اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ
Kemudian usaplah kepalamu secara merata dengan kedua tanganmu yang telah dibasahi air. Caranya adalah dengan merapatkan ujung-ujung jari tanganmu yang kanan dan yang kiri, kemudian meletakkannya pada bagian depan kepala dan menariknya ke belakang hingga tengkuk, lalu menariknya kembali ke bagian depan kepala. Yang demikian itu dihitung satu kali. Lakukanlah ia hingga tiga kali, sebagaimana yang dilakukan pada anggota-anggota wudhu yang lain. Lalu ucapkan doa berikut: [Allaahumma ghasy-syinii birahmatik, wa anzil ‘alayya min barakaatik, wa azhillanii tahta zhilla ‘arsyika yauma laa zhilla illaa zhilluk; Allaahumma harrim sya’rii wa basyarii ‘alannaar] –Ya Allah, curahi aku dengan rahmat-Mu, turunkan padaku berbagai berkah-Mu, dan naungi aku di bawah naungan ‘Arsy-Mu pada hari di mana tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Mu. Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari sentuhan api neraka.

ثُمَّ امْسَحْ أُذُنَيْكَ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا بِمَاءٍ جَدِيْدٍ، وَأَدْخِلْ مُسَبِّحَتَيْكَ فِيْ صِمَاخَى أُذُنَيْكَ، وَامْسَحْ ظَاهِرَ أُذُنَيْكَ بِبَاطِنِ إِبْهَامَيْكَ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ، اللَّهُمَّ أَسْمِعْنِيْ مُنَادِيَ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ مَعَ اْلأَبْرَارِ
Kemudian usaplah kedua telingamu bagian luar maupun bagian dalam dengan air yang baru. Caranya adalah dengan memasukkan kedua jari telunjukmu ke dalam kedua lobang telingamu, kemudian usaplah bagian luar telingamu dengan bagian dalam ibu jarimu, dan ucapkanlah doa ini: [Allaahummaj ‘alnii minal ladziina yastami’uunal qaula fayattabi’uuna ahsanah; Allaahuma asmi’nii munaadiyal jannati fil jannati ma’al abraar] –Ya Allah, jadikan aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendengar perkataan (yang benar), lalu mengikuti yang paling baik. Ya Allah, perdengarkan padaku seruan penyeru surga di surga nanti bersama orang-orang yang baik.

ثُمَّ امْسَحْ رَقَبَتَكَ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ فُكَّ رَقَبَتِيْ مِنَ النَّارِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ السَّلاَسِلِ وَاْلأَغْلاَلِ
Kemudian usaplah lehermu seraya membaca doa: [Allaahumma fukka raqabatii minan naar, wa a-‘uudzu bika minas salaasili wal aghlaal] –Ya Allah, bebaskanlah leherku dari api nereka, dan daku memohon perlindungan kepada-Mu dari berbagai rantai dan belenggu (neraka).”

ثُمَّ اغْسِلْ رِجْلِكَ الْيُمْنَى ثُمَّ الْيُسْرَى مَعَ الْكَعْبَيْنِ، وَخَلِّلْ بِخِنْصَرِ الْيُسْرَى أَصَابِعَ رِجْلِكَ الْيُمْنَى مُبْتَدِئًا بِخِنْصَرِالْيُمْنَى حَتَّى تَخْتِمَ بِخِنْصَرِ اْليُسْرَى، وَتُدْخِلُ اْلأَصَابِعَ مِنْ أَسْفَلِ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ مَعَ أَقْدَامِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
Setelah itu basuhlah kakimu yang kanan, kemudian yang kiri hingga ke mata kaki. Sela-selailah dengan jari kelingkingmu yang kiri jari-jari kakimu yang kanan, mulai dari jari kelingking kaki yang kanan hingga jari kelingking kaki yang kiri. Dan masukilah sela-sela jari kakimu itu dari bagian bawah. Kemudian ucapkan doa: [Allaahumma tsabbit qadamii ‘alash shiraatil mustaqiim, ma’a aqdaami ‘ibaadakash shaalihiin] –Ya Allah, kukuhkan kedua telapak kakiku ini di atas shirathal mustaqim bersama telapak kaki hamba-hamba-Mu yang shalih.

وَكَذَلِكَ تَقُوْلُ عِنْدَ غَسْلِ الْيُسْرَى: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ تَزِلَّ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ فِي النَّارِ يَوْمَ تَزِلُّ أَقْدَامُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ
Dan tatkala membasuh kaki kirimu, ucapkanlah doa: [Allaahumma innii a-‘uudzu bika antazilla qadamii ‘alash shiraati fin naari yauma tazillu aqdaamul munaafiqiina wal musyrikiin] –Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan-Mu dari tergelincirnya telapak kakimu dari jembatan yang ada di neraka pada hari tergelincirnya telapak kaki orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.

وَارْفَعِ الْمَاءَ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ، وَرَاعِ التَّكْرَارَ ثَلاَثًا فِيْ جَمِيْعِ أَفْعَالِكَ
Saat membasuh kaki hendaklah engkau menaikkan basuhanmu itu hingga ke pertengahan betis, dan seluruh perbuatan wudhu itu hendaklah engkau lakukan sebanyak tiga kali.

فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْوُضُوْءِ فَارْفَعْ بَصَرَكَ إِلَى السَّمَاءِ، وَقُلْ: اَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، عَمِلْتُ سُوْءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِيْ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ، فَاغْفِرْلِيْ وَتُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ؛ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ صَبُوْرًا شَكُوْرًا، وَاجْعَلْنِيْ أَذْكُرُكَ ذِكْرًا كَثِيْرًا، وَأُسَبِّحُكَ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
Apabila engkau telah selesai dari berwudhu, maka angkatlah pandanganmu ke langit seraya mengucapkan doa: [Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh, subhaanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaaha ilaa anta, ‘amiltu suu-an wa zhalamtu nafsii, astaghfiruka wa atuubu ilaik, faghfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwaabur rahiim; Allaahummaj’alnii minat tawwaabiin, waj ‘alnii minal mutathahhiriin, waj ‘alnii min ‘ibaadikash shaalihiin, waj ‘alnii shabuuran syakuuraa, waj ‘alnii adzkuruka dzikran katsiiraa, wa usabbihuka bukratan wa ashiilaa] –Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.[5] Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu[6] aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Sungguh aku telah berbuat keburukan dan menzalimi diri sendiri. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu. Maka ampunilah aku dan terimalah taubatku, karena sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa menyucikan diri,[7] dan jadikanlah aku termmasuk dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih. Dan jadikanlah aku orang yang banyak bersabar dan bersyukur, serta jadikan aku orang yang banyak berdzikir dan bertasbih kepada-Mu, di pagi hari maupun di sore hari.

فَمَنْ قَرَأَ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ فِيْ وُضُوْئِهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَمِيْعِ أَعْضَائِهِ، وَخُتِمَ عَلَى وُضُوْئِهِ بِخَاتَمٍ، وَرُفِعَ لَهُ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَلَمْ يَزَلْ يُسَبِّحُ اللهَ تَعَالَى وَيُقَدِّسُهُ، وَيُكْتَبُ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang membaca doa ini pada setiap saat selesai berwudhu akan keluar kesalahan-kesalahannya dari seluruh anggota tubuhnya, dan wudhunya itu akan diberi tanda khusus dan diangkat ke bawah ‘Arsy. Wudhunya itu akan senantiasa bertasbih dan mengagungkan Allah Ta’ala, dan dicatat baginya pahala dari yang demikian itu hingga hari kiamat. 

وَاجْتَنِبْ فِيْ وُضُوْئِكَ سَبْعًا: لاَتَنْفُض يَدَيْكَ فَتَرُشَّ الْمَاءَ، وَلاَ تَلْطُمْ وَجَهَكَ وَلاَرَأْسَكَ بِالْمَاءِ لَطْمًا، وَلاَ تَتَكَلَّمْ فِيْ أَثْنَاءِ الْوُضُوْءِ، وَلاَ تَزِدْ فِيْ الْغُسْلِ عَلَى ثَلاَثِ مَرَّاتٍ، وَلاَ تُكْثِرْ صَبَّ الْمَاءِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ بِمُجَرَّدِ الْوَسْوَسَةِ، فَلِلْمُوَسْوِسِيْنَ شَيْطَانٌ يَضْحَكُ بِهِمْ يُقَالُ لَهُ الْوَلْهَانُ، وَلاَ تَتَوَضَّأْ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ،  وَلاَ مِنَ اْلأَوَانِي الصَّفَرِيَّةِ، فَهَذِهِ السَّبْعَةُ مَكْرُوْهَةٌ فِي الْوُضُوْءِ
Ketika berwduhu, hendaklah engkau menjauhi tujuh hal berikut: 1. Janganlah engkau mengibaskan tanganmu karena hal itu akan menyebabkan air menjadi berserakan. 2. Janganlah engkau menamparkan air wudhu itu ke wajah dan kepalamu. 3. Jangan berbicara saat berwudhu. 4. Janganlah engkau membasuh anggota wudhumu lebih dari tiga kali. 5. Janganlah berlebihan dalam menggunakan air melampaui yang engkau perlukan hanya karena persoalan was-was. Terhadap orang yang selalu was-was ada setan yang menertawakan mereka. Namanya wal-han. 6. Janganlah engkau berwudhu dengan air musyammas (air yang panas karena sengatan sinar matahari). 7. Janganlah berwudhu dengan air yang di tempatkan dalam wadah kuningan (emas maupun perak). Ketujuh hal tersebut dimakruhkan dalam berwudhu. 

وَفِي الْخَبَرِ أَنَّ: مَنْ ذَكَرَ اللهَ عِنْدَ وُضُوْئِهِ طَهَّرَ اللهُ جَسَدَهُ كُلَّهُ، وَمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اللهَ لَمْ يُطَهِّرْ مِنْهُ إِلاَّ مَا أَصَابَهُ الْمَاءُ
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengingat Allah saat berwudhu, maka Allah akan menyucikan seluruh tubuhnya. Dan barangsiapa yang tidak mengingat Allah saat berwudhu, maka tidak suci dari tubuhnya kecuali hanya yang terkena air wudhu saja.”[8]


[1] HR Bukhari dan Muslim.
[2] HR Ahmad dan Thabrani.
[3] HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.
[4] QS. al-Mukminun [23]: 97-98.
[5] HR Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Sunni dari Umar bin Khaththab ra.
[6] HR Ibnu Sunni, Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah dan al-Hakim.
[7] HR Tirmidzi dari Umar ra.
[8] HR Daruquthni dari Abu Hurairah ra.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online