Beliau adalah
seorang mujtahid mutlaq sekaligus pendiri mazhab Syafi’i, yang diikuti
oleh mayoritas kaum Ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau berkata tentang
bid’ah:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ:
مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ
الضَّلاَلَةِ وَمَا اُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍِ
Artinya: “Perkara yang baru
terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara
mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru
yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu
yang baru yang tidak tercela.” [1]
Dalam riwayat lain,
yakni yang berasal dari al-Imam Abu Nu’aim rahimahullah, juga disebutkan
bahwa al-Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ:
مَحْمُوْدَةٌُ وَمَذْمُوْمَةٌُ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ،
وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Artinya: “Bid’ah
itu terbagi dua: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang
sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, sedangkan bid’ah
tercela adalah yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam.” [2]
Kalau kita
perhatikan ungkapan al-Imam al-Syafi’i rahimahullah di atas terlihat
dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah
dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah
terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan
mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang
baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia
tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan
hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah
ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Bahkan al-Imam
al-Syafi’i rahimahullah menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang
memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.
Simaklah perkataan
beliau berikut ini:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ
مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ
تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ
أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ
عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
Artinya: “Segala
sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah
meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang
meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu,
atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu
belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
Ketika al-Imam
al-Syafi’i rahimahullah berkata demikian tentunya pembaca tidak akan
berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Beliau adalah seorang ulama yang
pendapatnya paling banyak dianut oleh umat Islam. Namun rasanya kurang tepat
bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat
al-Imam al-Syafi’i rahimahullah saat beliau membagi bid’ah menjadi dua
bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalil Pertama:
Hadits yang
bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barang siapa yang
berbuat sesuatu yang baru dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka
ia tertolak.” [3]
Dalil Kedua:
Hadits yang
bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu yang
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya: “Barang siapa
merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala
dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang
siapa merintis dalam Islam sunnah
(perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa
dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang
dosa-dosa mereka sedikitpun.” [4]
Coba perhatikan
hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar
setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan
baik). Ada janji Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di dalam hadits
tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di
dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh
dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan
pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya
itu.
Sebaliknya, yang
dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam mengancam orang-orang yang melakukan hal
ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa
karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu. Perlu diingat bahwa sunnah
hasanah dan sunnah sayyiah yang disebutkan dalam hadist tersebut
tidaklah terikat hanya pada masa kehidupan Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam saja, namun maknanya melingkupi kedua
jenis perbuatan tersebut sejak ditetapkannya syari’at itu hingga saat ini dan
masa yang akan datang.
Dalil Ketiga:
Hadits yang
bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari radhiyallahu ‘anhu yang
berkata:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ
مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إِلَى
اْلمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ اََوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍٍ
وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍِ
ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ
قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
Artinya: “Abdurrahman bin Abd
al-Qari berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata
orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat
sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam,
tentu akan lebih baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu ‘anhu. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada
seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” [5]
Hadits ini
menjelaskan tentang ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
mengatakan bahwa shalat Tarawih secara berjamaah terus menerus selama bulan
Ramadhan adalah bid’ah, namun tentunya bid’ah yang baik.
Berdasarkan pada
tiga hadits di atas muncullah pendapat al-Imam al-Syafi’i rahimahullah yang
menegaskan bahwa bid’ah itu terbagi dua: bid’ah dhalalah dan bid’ah
hasanah. Sebenarnya
terdapat banyak dalil yang menudukung fatwa ini, namun bagi orang yang berakal,
tiga dalil pun sudah cukup untuknya guna mengakui kebenaran fatwa tentang
bid’ah yang disampaikan oleh al-Imam al-Syafi’i rahimahullah ini.
[1]
Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam Manaqib al-Syafi’i, 1/469.
[2]
Lihat: Fath al-Bari, Juz 17, hal. 10.
[3] HR
Imam Muslim.
[4] HR
Imam Muslim.
[5] HR
Imam Bukhari dan Imam Malik.
0 comments:
Post a Comment