Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Wednesday, July 25, 2018

Tradisi Mitoni

Seperti halnya ngapati (ngupati), mitoni (tingkepan) juga merupakan tradisi baik yang hidup di tengah masyarakan Islam di tanah Jawa. Mitoni (tingkepan) biasanya diadakan setelah kehamilan memasuki usia 7 (tujuh) bulan, yakni ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban. Amalan yang diadakan di dalamnya, di samping bersedekah, juga berdoa memohon kepada Allah agar si bayi yang ada di dalam kandungan diberi keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan di kehidupan dunia dan akhiratnya.
 
Dalil yang Membid’ahkan
Menurut kelompok yang membid’ahkan, tradisi mitoni (tingkepan) juga berasal dari tradisi Hindu. Amalan ini tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan umat Islam untuk mengadakan mitoni (tingkepan). Tradisi ini adalah perkara baru yang diada-adakan. Ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Orang yang mengamalkannya akan disiksa di dalam neraka.
 
Jawabannya
Mungkin Anda bertanya, “Apakah ada dalil yang menjadi landasannya atau yang mengilhami sehingga umat Islam di tanah Jawa melaksanakan mitoni (tingkepan) ketika usia kandungan seseorang telah memasuki bulan ke tujuh?”
Ya, tentu saja ada. Para ulama pada masa lalu mengizinkan pelaksanaan tradisi mitoni (tingkepan) dan tidak mengharamkannya karena mengetahui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Cobalah Anda simak ayat berikut ini.
 
Allah SWT berfirman:
 
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
 “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berbobot berat, maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. al-A’raf [7]: 189).
 
Jika Anda menyimak ayat tersebut dengan seksama, tentu Anda akan temukan alasan mengapa tradisi mitoni (tingkepan) itu hidup di tengah umat Islam di tanah Jawa. Pada ayat itu dikatakan, “Tatkala dia (Hawa) merasa (kandungannya) berbobot berat”, berbobot berat itu mulai terasa pada saat usia kandungan memasuki bulan ke tujuh dan hal itu dapat dibuktikan secara ilmiah di dunia kedokteran. Pada kalimat berikutnya dikatakan, “maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah…”, artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kandungan Hawa memasuki usia bulan ke tujuh, yaitu ketika dia merasakan kandungannya telah berbobot berat. 
 
Nah, amalan Adam dan Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam yang melakukan tradisi mitoni (tingkepan). Sebagaimana yang dilakukan keduanya, dalam acara mitoni (tingkepan) juga dipanjatkan doa kepada Allah SWT, dan biasanya diiringi dengan pemberian sedekah. Jadi, mitoni (tingkepan) bukanlah perbuatan bid’ah yang akan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka, karena amalan yang dilakukan di dalamnya memiliki landasan syariat, yakni berdoa dan bersedekah. 
 
Namun seperti halnya ngapati (ngupati), tradisi mitoni (tingkepan) juga bukanlah sebuah kewajiban syariat. Bagi yang mau melaksanakannya, silakan laksanakan, karena ia tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sedangkan bagi yang tidak mau, tidaklah mengapa. Yang penting tidak memvonis orang-orang yang melakukannya sebagai pelaku bid’ah yang layak mendapat siksa di dalam neraka.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Blog Archive

Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online