Seperti
halnya ngapati (ngupati), mitoni (tingkepan) juga merupakan
tradisi baik yang hidup di tengah masyarakan Islam di tanah Jawa. Mitoni
(tingkepan) biasanya diadakan setelah kehamilan memasuki usia 7 (tujuh)
bulan, yakni ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban. Amalan
yang diadakan di dalamnya, di samping bersedekah, juga berdoa memohon kepada
Allah agar si bayi yang ada di dalam kandungan diberi keselamatan serta
ditakdirkan selalu dalam kebaikan di kehidupan dunia dan akhiratnya.
Dalil yang
Membid’ahkan
Menurut
kelompok yang membid’ahkan, tradisi mitoni (tingkepan) juga berasal dari
tradisi Hindu. Amalan ini tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat. Tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan umat
Islam untuk mengadakan mitoni (tingkepan). Tradisi ini adalah perkara
baru yang diada-adakan. Ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Orang
yang mengamalkannya akan disiksa di dalam neraka.
Jawabannya
Mungkin Anda bertanya, “Apakah ada dalil yang menjadi landasannya atau yang
mengilhami sehingga umat Islam di tanah Jawa melaksanakan mitoni (tingkepan)
ketika usia kandungan seseorang telah memasuki bulan ke tujuh?”
Ya, tentu
saja ada. Para ulama pada masa lalu mengizinkan pelaksanaan tradisi mitoni
(tingkepan) dan tidak mengharamkannya karena mengetahui bahwa hal itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Cobalah Anda simak ayat berikut ini.
Allah SWT
berfirman:
هُوَ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا
حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ
فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang
satu (Adam), dan dari padanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa
senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan
yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala
dia merasa berbobot berat, maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah,
Tuhan mereka, seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang
saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS.
al-A’raf [7]: 189).
Jika Anda
menyimak ayat tersebut dengan seksama, tentu Anda akan temukan alasan mengapa
tradisi mitoni (tingkepan) itu hidup di tengah umat Islam di tanah Jawa.
Pada ayat itu dikatakan, “Tatkala dia (Hawa) merasa (kandungannya) berbobot
berat”, berbobot berat itu mulai terasa pada saat usia kandungan memasuki
bulan ke tujuh dan hal itu dapat dibuktikan secara ilmiah di dunia kedokteran.
Pada kalimat berikutnya dikatakan, “maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon
kepada Allah…”, artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah
SWT agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kandungan Hawa memasuki usia bulan
ke tujuh, yaitu ketika dia merasakan kandungannya telah berbobot berat.
Nah, amalan
Adam dan Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam yang melakukan tradisi mitoni
(tingkepan). Sebagaimana yang dilakukan keduanya, dalam acara mitoni
(tingkepan) juga dipanjatkan doa kepada Allah SWT, dan biasanya diiringi
dengan pemberian sedekah. Jadi, mitoni (tingkepan) bukanlah perbuatan
bid’ah yang akan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka, karena amalan
yang dilakukan di dalamnya memiliki landasan syariat, yakni berdoa dan bersedekah.
Namun
seperti halnya ngapati (ngupati), tradisi mitoni (tingkepan) juga
bukanlah sebuah kewajiban syariat. Bagi yang mau melaksanakannya, silakan laksanakan,
karena ia tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sedangkan bagi yang tidak
mau, tidaklah mengapa. Yang penting tidak memvonis orang-orang yang
melakukannya sebagai pelaku bid’ah yang layak mendapat siksa di dalam neraka.
0 comments:
Post a Comment