Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Wednesday, May 29, 2019

Adab-adab Seorang Alim (Guru)

آدَابُ الْعَالِمِ
Adab-adab Seorang Alim (Guru)
 
وَإِنْ كُنْتَ عَالِمًا، فَآدَابُ الْعَالِمِ: اْلاِحْتِمَالُ، وَلُزُوْمُ الْحِلْمِ، وَالْجُلُوْسُ بِالْهَيْبَةِ عَلَى سَمْتِ الْوَقَارِ مَعَ إِطْرَاقِ الرَّأْسِ، وَتَرْكُ التَّكَبُّرِ عَلَى جَمِيْعِ الْعِبَادِ إِلاَّ عَلَى الظَّلَمَةِ زَجْرًا لَهُمْ عَنِ الظُّلْمِ، وَإِيْثَارُ التَّوَاضُعِ فِي الْمَحَافِلِ وَالْمَجَالِسِ
Apabila engkau seorang alim (guru), maka berikut adalah adab-adab seorang alim yang harus engkau jaga: (1) Senantiasa bersabar (menerima keluhan dan masalah dari para murid), (2) senantiasa tenang (saat berhadapan dengan berbagai hal), (3) duduk dengan tenang dan berwibawa serta menundukkan kepala, (4) tidak bersikap sombong terhadap siapa pun kecuali kepada orang-orang yang berbuat zalim dengan tujuan mengingatkan mereka atas kezaliman yang mereka lakukan, (5) mengutamakan sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam berbagai acara dan majelis,     
 
وَتَرْكُ الْهَزْلِ وَالدُّعَابَةِ، وَالرِّفْقُ بِالْمُتَعَلِّمِ، وَالتَّأَنِّي بِالْمُتَعَجْرِفِ، وَإِصْلاَحُ الْبَلِيْدِ بِحُسْنِ اْلاِرشَادِ وَتَرْكُ الْحَرَدِ عَلَيْهِ، وَتَرْكُ اْلأَنَفَهِ مِنْ قَوْلِ: لاَ أَدْرِيْ، وَصَرْفُ الْهِمَّةِ إِلَى السَّائِلِ وَتَفَهُّمِ سُؤَالَهُ، وَقُبُوْلُ الْحُجَّةِ
(6) Meninggalkan sikap berkelakar dan bergurau, (7) berlemah-lembut kepada para murid, (8) bersikap halus dalam menghadapi murid yang nakal, (9) memperbaiki murid yang bodoh dengan memberikan petunjuk yang baik kepadanya dan tidak memarahinya, (10) Tidak sungkan (gengsi) untuk berkata: “Aku tidak tahu”, (11) Mencurahkan perhatian kepada seseorang yang bertanya dan berusaha memahami pertanyaannya, (12) Menerima hujjah/dalil (yang benar sekalipun dari murid, orang lain, bahkan lawan),
 
وَاْلاِنْقِيَادُ لِلْحَقِّ بِالرُّجُوْعِ إِلَيْهِ عِنْدَ الْهَفْوَةِ، وَمَنْعُ الْمُتَعَلِّمِ عَنْ كُلِّ عِلْمٍ يَضُرُّهُ، وَزَجْرُهُ عَنْ أَنْ يُرِيْدَ بِالْعِلْمِ النَّافِعِ غَيْرَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، وَصَدُّ الْمُتَعَلِّمِ عَنْ أَنْ يَشْتَغِلَ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ فَرْضِ الْعَيْنِ؛ وَفَرْضُ عَيْنِهِ: إِصْلاَحُ ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِالتَّقْوَى، وَمُؤَاخَذَةُ نَفْسِهِ أَوَّلاً بِالتَّقْوَى لِيَقْتَدِيَ الْمُتَعَلِّمُ أَوَّلاً بِأَعْمَالِهِ، وَيَسْتَفِيْدُ ثَانِيًا مِنْ أَقْوَالِهِ
(13) Tunduk kepada kebenaran dengan kembali kepadanya jika melakukan kesalahan, (14) mencegah murid dari setiap ilmu yang membawa mudharat, (15) melarang murid mencari ilmu yang bermanfaat namun niatnya tidak mencari keridhaan Allah, (16) menghalangi murid dari menyibukkan diri dengan hal-hal yang fardhu kifayah sebelum menyelesaikan hal-hal yang fardhu ‘ain; dan yang fardhu ‘ain baginya adalah memperbaiki zahir dan batinnya dengan ketakwaan kepada Allah, (17) hendaklah orang yang alim terlebih dahulu mengatur dirinya dengan takwa agar murid-muridnya dapat meneladani tingkah lakunya terlebih dahulu sebelum mengikuti tutur sapanya.
Share:

Sunday, May 26, 2019

Bagian Ketiga: Penjelasan tentang Beradab kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Adab Bergaul dengan Makhluk-Nya

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: الْقَوْلُ فِيْ آدَابِ الصُّحْبَةِ وَالْمُعَاشَرَةِ مَعَ الْخَالِقِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَعَ الْخَلْقِ
Bagian Ketiga: Penjelasan tentang Beradab kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Adab Bergaul dengan Makhluk-Nya
 
اِعْلَمْ: أَنَّ صَاحِبكَ الَّذِيْ لاَ يُفَارِقُكَ فِيْ حَضَرِكَ وَسَفَرِكَ وَنَوْمِكَ وَيَقَظَتِكَ، بَلْ فِيْ حَيَاتِكَ وَمَوْتِكَ، هُوَ رَبُّكَ وَسَيِّدُكَ وَمَوْلاَكَ وَخَالِقكَ، وَمَهْمَا ذَكَرْتَهُ فَهُوَ جَلِيْسُكَ؛ إِذْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِيْ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya temanmu yang tidak akan pernah berpisah denganmu, baik dalam keadaan hadirmu di tempatmu maupun dalam aktivitas perjalananmu, dalam tidur maupun bangunmu, bahkan dalam hidup maupun matimu, adalah Rabb-mu, Dzat Yang telah membimbing, memelihara dan menciptakanmu, Allah SWT. Kapan pun engkau mengingat-Nya, maka Dia hadir sebagai “teman dudukmu”. Karena Allah telah berfirman di dalam hadits Qudsiy: “Aku adalah ‘teman duduk’ orang yang sedang mengingat-Ku.”[1]
 
وَمَهْمَا انْكَسَرَ قَلْبُكَ حَزَنًا عَلَى تَقْصِيْرِكَ فِيْ حَقِّ دِيْنِكَ، فَهُوَ صَاحِبُكَ وَمُلاَزِمُكَ؛ إِذْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ الْمُنْكَسِرَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ أَجْلِيْ
Setiap kali perasaan hina dan sedih merasuk ke dalam hatimu karena memikirkan betapa sedikitnya kewajiban agama yang baru engkau penuhi, maka ketahuilah sungguh saat itu Dia sedang bersamamu dan sangat dekat denganmu. Karena Allah SWT telah berfirman di dalam hadits Qudsiy: “Aku bersama orang-orang yang sedih hatinya karena Aku.”
 
فَلَوْ عَرَفْتَهُ حَقَّ مَعْرِفَتِهِ، لاَتَّخَذْتَهُ صَاحِبًا وَتَرَكْتَ النَّاسَ جَانِبًا. فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ عَلَى ذَلِكَ فِيْ جَمِيْعِ أَوْقَاتِكَ، فَإِيَّاكَ أَنْ تُخَلِّي لَيْلَكَ وَنَهَارَكَ عَنْ وَقْتٍ تَخْلُوْ فِيْهِ لِمَوْلاَكَ، وَتَتَلَذَّذُ مَعَهُ بِمُنَاجَاتِكَ لَهُ، وَعِنْدَ ذَلِكَ فَعَلَيْكَ أَنْ تَتَعَلَّمَ آدَابَ الصُّحْبَةِ مَعَ اللهِ تَعَالَى
Seandainya engkau benar-benar mengenal Allah, niscaya engkau akan menjadikan-Nya sebagai teman sejatimu dan engkau akan tinggalkan manusia di belakangmu. Apabila engkau tidak mampu melakukan hal yang demikian itu dalam seluruh waktumu, maka janganlah engkau mengosongkan malam dan siangmu dari satu saat untuk menyendiri bersama Allah, yang dengannya engkau akan dapat menikmati kesyahduan bersama-Nya dengan berbagai munajat yang engkau sampaikan pada-Nya. Maka untuk itulah engkau harus mempelajari adab-adab ‘berteman dan bergaul’ dengan Allah SWT.
 
وَآدَابُهَا: إِطْرَاقُ الرَّأْسِ، وَغَضُّ الطَّرْفِ، وَجَمْعُ الْهَمِّ، وَدَوَامُ الصَّمْتِ، وَسُكُوْنُ الْجَوَارِحِ، وَمُبَادَرَةُ اْلأَمْرِ وَاجْتِنَابُ النَّهْيِ، وَقِلَّةُ اْلاِعْتِرَاضِ عَلَى الْقَدَرِ، وَدَوَامُ الذِّكْرِ، وَمُلاَزَمَةُ الْفِكْرِ، وَإِيْثَارُ الْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ، وَاْلإِيَاسُ عَنِ الْخَلْقِ، وَالْخُضُوْعُ تَحْتَ الْهَيْبَةِ وَاْلاِنْكِسَار تَحْتَ الْحَيَاءِ، وَالسُّكُوْنُ عَنْ حِيَلِ الْكَسْبِ ثِقَةٌ بِالضَّمَانِ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَى فَضْلِ اللهِ تَعَالَى مَعْرِفَةً بِحُسْنِ اْلاِخْتِيَارِ
Berikut ini adalah adab-adab ‘berteman dan bergaul’ dengan Allah SWT: (1) Menundukkah kepala, (2) memejamkan mata, (3) selalu diam (dari hal-hal yang tidak ada manfaatnya untuk agama dan akhirat), (4) menenangkan anggota badan, (5) bersegera melakukan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya, (6) tidak menolak/menentang segala takdir Allah, (7) selalu mengingat-Nya (dengan lisan maupun hati), (8) selalu merenungi ciptaan Allah, (9) mengutamakan yang haq atas yang batil, (10) tidak menggantungkan harapan kepada makhluk, (11) tunduk di bawah kemuliaan-Nya, merasa hina dan penuh rasa malu kepada-Nya, (12) bersikap tenang dalam berusaha karena percaya dengan jaminan-Nya, dan (13) bertawakkal atas anugerah-Nya dengan meyakini bahwa yang terbaik adalah pilihan dan kehendak-Nya. 
 
وَهَذَا كُلُّهُ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ شِعَارُكَ فِيْ جَمِيْعِ لَيْلِكَ وَنَهَارِكَ؛ فَإِنَّهَا آدَابُ الصُّحْبَةِ مَعَ صَاحِبٍ لاَ يُفَارِقُكَ، وَالْخَلْقُ كلهم يُفَارِقُوْنَكَ فِيْ بَعْضِ أَوْقَاتِكَ
Seluruh adab yang telah disebutkan ini hendaklah menjadi kebiasaan yang engkau lakukan di sepanjang malam dan siangmu. Karena semua itu merupakan adab-adab berteman dan bergaul dengan ‘teman sejati’ yang tak pernah berpisah dengamu. Sedangkan makhluk, mereka semua pasti akan berpisah denganmu di sebagian waktu yang engkau jalani.


[1] Lihat: Syu’abul Iman (680) karya Imam Baihaqi; ad-Dur al-Mantsur (24) karya Imam Suyuthi; dan al-Maqashid al-Hasanah (186) karya Imam Sakhawi.
Share:

Friday, May 24, 2019

Penjelasan tentang Kemaksiatan Hati (Bagian Akhir)

فَتَأَمَّلْ أَيُّهَا الرَّاغِبُ فِي الْعِلْمِ هَذِهِ الْخِصَالَ. وَاعْلَمْ: أَنَّ أَعْظَمَ اْلاَسْبَابِ فِيْ رُسُوْخِ هَذِهِ الْخَبَائِثِ فِي الْقَلْبِ: طَلَبُ الْعِلْمِ لِأَجْلْ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُنَافَسَةِ، فَالْعَامِيُّ بِمَعْزِلٍ عَنْ اَكْثَرِ هَذِهِ الْخِصَالِ،وَالْمُتَفَقِّهُ مُسْتَهْدَفٌ لَهَا، وَهُوَ مُتَعَرِّضٌ لِلْهَلاَكِ بِسَبَبِهَا
Wahai orang yang mencintai ilmu, renungkanlah segala hal yang disebutkan dalam hadits tersebut. Ketahuilah, bahwa penyebab terbesar tertanamnya berbagai macam penyakit kotor (yang telah diuraikan sebelumnya) di dalam hati adalah mencari ilmu namun tujuannya untuk berbangga-bangga diri dan persaingan (antara satu dengan yang lain). Maka kalangan awam biasanya justru terhindar dari hal-hal ini. Sedangkan kalangan ahli ilmu, biasanya merekalah yang banyak terjangkit penyakit-penyakit ini, dan akibatnya mereka menjadi golongan yang lebih dekat kepada kehancuran karena berbagai penyakit tersebut.
 
فَانْظُرْ آيَّ أُمُوْرِكَ أَهَمُّ؟ أَتَتَعَلَّمُ كَيْفِيَّةَ الْحَذَرِ مِنْ هَذِهِ الْمُهْلِكَاتِ، وَتَشْتَغِلُ بِإِصْلاَحِ قَلْبِكَ وَعِمَارَةِ آخِرَتِكَ؛ أَمْ الأَهَمُّ أَنْ تَخُوْضَ مَعَ الْخَائِضِيْنَ، فَتَطْلُبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا هُوَ سَبَبُ زِيَادَةِ الْكِبْرِ، وَالرِّيَاءِ وَالْحَسَدِ، وَالْعُجْبِ، حَتَّى تَهْلَكَ مَعَ الْهَالِكِيْنَ؟  
Perhatikanlah, mana urusan yang lebih penting untuk dirimu? Mempelajari ilmu yang menunjukkan kepadamu bagaimana cara menyelamatkan diri dari hal-hal yang menghancurkan ini dan menyibukkan diri memperbaiki hatimu serta menumbuhsuburkan amal akhiratmu ataukah engkau lebih memilih untuk tenggelam bersama orang-orang yang tenggelam dalam perbincangan yang tidak mengandung manfaat, yakni pembahasan di dalam ilmu-ilmu yang akan menyebabkan bertambahnya sifat sombong, riya’ hasad dan ujub di dalam dirimu, hingga kemudian engkau menjadi binasa bersama orang-orang yang binasa?
 
وَاعْلَمْ: أَنَّ هَذِهِ الْخِصَالَ الثَّلاَثَ مِنْ أُمَّهَاتِ خَبَائِثِ الْقَلْبِ، وَلَهَا مَغْرِسٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ حُبُّ الدُّنْيَا، وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Ketahuilah, bahwa ketiga sifat di atas (sombong, riya’ hasad, ujub) merupakan biang penyakit hati, dan ketiganya muncul dari satu akar, yakni penyakit cinta dunia. Itulah sebabnya Nabi SAW bersabda: “Cinta dunia adalah sumber segala keburukan.”[1]
 
وَمَعَ هَذَا فَالدُّنْيَا مَزْرَعَةٌ لِلآخِرَةِ، فَمَنْ أَخَذَ مِنَ الدُّنْيَا بِقَدَرِ الضَّرُوْرَةِ لِيَسْتَعِيْنَ بِهَا عَلَى اْلآخِرَةِ، فَالدُّنْيَا مَزْرَعَتُهُ؛ وَمَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا لِيَتَنَعَّمَ بِهَا، فَالدُّنْيَا مَهْلَكَتْهُ
Namun demikian, dunia tetaplah menjadi ladang bagi akhirat. Barangsiapa yang mengambil dunia sebatas yang ia butuhkan untuk menunjang tercapainya kebahagiaan akhirat, maka dunia menjadi ladang bagi kehidupan akhiratnya. Sebaliknya, barangsiapa yang mengharapkan dunia agar ia dapat menikmati dan bersenang-senang dengannya, maka dunia akan menjadi tempat yang membinasakan baginya. 
 
فَهَذِهِ نُبْذَةٌ يَسِيْرَةٌ مِنْ ظَاهِرِ عِلْمِ التَّقْوَى، وَهِيَ بِدَايَةُ الْهِدَايَةِ، فَإِنْ جَرَّبْتَ بِهَا نَفْسَكَ وَطَاوَعَتْكَ عَلَيْهَا، فَعَلَيْكَ بِكِتَابِ إِحْيَاءِ عُلُوْمِ الدِّيْنِ، لِتَعْرِفَ كَيْفِيَّةَ الْوُصُوْلِ إِلَى بَاطِنِ التَّقْوَى
Inilah sepercik penjelasan tentang ilmu takwa zhahir, dan ia merupakan permulaan lahirnya hidayah (bidayatul hidayah). Apabila engkau menguji nafsumu dengannya, kemudian ia patuh untuk mengamalkannya, maka hendaklah engkau merujuk dan mempelajari kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, agar engkau mengetahui cara-cara yang akan membuatmu sampai kepada takwa batin. 
 
فَإِذَا عَمَّرْتَ بِالتَّقْوَى بَاطِنَ قَلْبِكَ، فَعِنْدَ ذَلِكَ تَرْتَفِعُ الْحُجُبُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ، وَتَنْكَشِفُ لَكَ أَنْوَارُ الْمَعَارِفِ، وَتَتَفَجَّرُ مِنْ قَلْبِكَ يَنَابِيْعُ الْحِكَمِ، وَتَتَّضِحُ لَكَ أَسْرَارُ الْمُلْكِ وَالْمَلَكُوْتِ، وَيَتَيَسَّرُ لَكَ مِنَ الْعُلُوْمِ مَا تَسْتَحْقِرُ بِهِ هَذِهِ الْعُلُوْمَ الْمُحْدَثَةَ، الَّتِيْ لَمْ يَكُنْ لَهَا ذِكْرٌ فِيْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَالتَّابِعِيْنَ
Apabila (batin) hatimu telah dihuni oleh ketakwaan kepada Allah SWT, maka akan tersingkap semua hijab yang menghalangi antara dirimu dengan Tuhanmu, akan terpancar bagimu berbagai cahaya ma’rifat, akan mengalir dari hatimu berbagai mata air kebijaksanaan, akan tampak jelas bagimu segala rahasia yang ada di alam lahir dan alam batin, dan akan mudah bagimu memahami semua ilmu sehingga engkau tak membutuhkan lagi berbagai ilmu baru yang tidak pernah disebut-sebut pada zaman shabat dan tabi’ini radhiyallahu ‘anhum.
 
 وَإِنْ كُنْتَ تَطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْقِيْلِ وَالْقَالِ، وَالْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ، فَمَا أَعْظَمَ مُصِيْبَتَكَ، وَمَا أَطْوَلَ تَعَبَكَ، وَمَا أَعْظَمَ حِرْمَانَكَ وَخُسْرَانَكَ
Jika engkau mencari ilmu dengan cerita bualan, atau dengan berdebat dan berbantahan, maka sungguh besar musibah yang menimpa dirimu, betapa sangat lama kelelahan yang menghampirimu, sungguh besar keterhalanganmu dari kebaikan, dan betapa berat kerugian yang akan menimpa dirimu.
 
فَاعْمَلْ مَا شِئْتَ! فَإِنَّ الدُّيْنَا الَّتِيْ تَطْلُبُهَا بِالدِّيْنِ لاَ تَسْلَمُ لَكَ، وَاْلآخِرَةُ تُسْلَبُ مِنْكَ؛ فَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا بِالدِّيْنِ خَسِرَهُمَا جَمِيْعًا، وَمَنْ تَرَكَ الدُّنْيَا لِلدِّيْنِ رَبِحَهُمَا جَمِيْعًا
Berbuatlah sekehendak hatimu! Namun ingatlah bahwa sikapmu yang mencari kenikmatan dunia dengan memperalat agama tidak akan memberi keselamatan bagi dirimu, bahkan akhirat akan dicabut darimu. Karena, barangsiapa yang mencari dunia dengan menggadaikan agama, maka ia akan mengalami dua kerugiaan sekaligus, dunia – akhirat. Sedangkan siapa pun yang meninggalkan dunia demi agama (kebahagiaan akhirat), maka ia akan memperoleh dua keberuntungan sekaligus, dunia – akhirat.
 
فَهَذِهِ جُمَلُ الْهِدَايَةِ إِلَى بِدَايَةِ الطَّرِيْقِ فِيْ مُعَامَلَتِكَ مَعَ اللهِ تَعَالَى بِأَدَاءِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ
Semua hal yang telah dijelaskan di sini adalah gambaran umum hidayah untuk merintis jalan menuju mu’amalah-mu dengan Allah Ta’ala, dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.    
 
وَأُشِيْرُ عَلَيْكَ اْلآنَ بِجُمَلٍ مِنَ اْلآدَابِ لِتُؤَاخِذَ نَفْسَكَ بِهَا فِيْ مُخَالَطَتِكَ مَعَ عِبَاد اللهِ تَعَالَى وَصُحْبَتِكَ مَعَهُمْ فِي الدُّنْيَا
Berikut akan kujelaskan padamu berbagai adab yang harus engkau terapkan saat bergaul dan berteman dengan para hamba Allah di kehidupan dunia ini.


[1] HR Baihaqi dari al-Hasan ra.
Share:

Monday, May 20, 2019

Penjelasan tentang Kemaksiatan Hati (Bagian Kedelapan)

ثُمَّ بَكَى مُعَاذُ وَانْتَحَبَ اِنْتِحَابًا شَدِيْدًا، وَقَالَ مُعَاذٌ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَا مُعَاذٌ، فَكَيْفَ لِيْ بِالنَّجَاةِ وَالْخَلاَصِ مِنْ ذَلِكَ؟
Kemudian menangislah Muadz sekeras-kerasnya setelah menyimak penuturan yang disampaikan Nabi SAW itu. Muadz melanjutkan: “Aku berkata: “Ya Rasulullah, engkau adalah utusan Allah, sementara aku hanyalah seorang Muadz, manusia biasa. Lalu, bagaimana aku dapat selamat dan terhindari dari semua itu?”
 
قَالَ: اِقْتَدِ بِيْ، وَإِنْ كَانَ فِيْ عَمَلِكَ نَقْصٌ. يَا مُعَاذُ: حَافِظُ عَلَى لِسَانِكَ مِنَ الْوَقِيْعَةِ فِيْ إِخْوَانِكَ مِنْ حَمَلَةِ الْقُرْآنِ خَاصَّةً، وَاحْمِلْ ذُنُوْبَكَ عَلَيْكَ، وَلاَ تَحْمِلْهَا عَلَيْهِمْ، وَلاَ تُزَكِّ نَفْسَكَ بِذَمِّهِمْ، وَلاَ تَرْفَعْ نَفْسَكَ عَلَيْهِمْ، وَلاَ تُدْخِلْ عَمَلَ الدُّنْيَا فِيْ عَمَلِ اْلآخِرَةِ، وَلاَ تُرَاءِ بِعَمَلِكَ، وَلاَ تَتَكَبَّرْ فِيْ مَجْلِسِكَ، لِكَيْ يَحْذَرَ النَّاسُ مِنْ سُوْءِ خُلُقِكَ، وَلاَ تُنَاجِ رَجُلاً وَعِنْدَكَ آخَرُ، وَلاَ تَتَعَظَّمْ عَلَى النَّاسِ فَتَنْقَطِعَ عَنْكَ خَيْرَاتُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَلاَ تُمَزِّقِ النَّاسَ بِلِسَانِكَ فَتُمَزِّقَكَ كِلاَبُ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي النَّارِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا
“Rasulullah SAW bersabda: “Ikutilah aku, meskipun di dalam amalmu ada kekurangan. Wahai Muadz, peliharalah lisanmu dari mengumpat dan menjelek-jelekkan saudaramu sesama Muslim, lebih-lebih terhadap orang-orang yang hafal al-Qur’an. Pikullah olehmu apa yang menjadi dosa-dosamu dan jangan engkau membebankannya pada mereka. Jangan engkau memuji dirimu sendiri dengan mencela mereka. Dan jangan pula engkau meninggikan dirimu dengan merendahkan mereka. Jangan engkau masukkan amal dunia ke dalam amal akhirat. Jangan pula riya’ dengan amal yang engkau lakukan, dan jangan bersikap sombong di dalam majelismu supaya manusia terpelihara dari keburukan akhlakmu. Janganlah engkau berbisik hanya kepada seorang temanmu saja, sementara di dekatmu ada temanmu yang lain. Janganlah engkau mengagungkan dirimu di hadapan manusia karena hal itu akan menyebabkan terputusnya bagimu kebaikan dunia dan akhirat. Janganlah engkau mencabik-cabik manusia dengan lisanmu karena anjing-anjing neraka akan mencabik-cabikmu kelak di hari kiamat. Allah SWT berfirman: Wannaa syithaati nasythaa[1] [Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut].
 
هَلْ تَدْرِيْ مَا هُنَّ يَا مُعَاذُ؟ قُلْتُ: مَا هِيَ - بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّيْ - يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: كِلاَبٌ فِي النَّارِ تَنْشُطُ اللَّحْمَ مِنَ الْعَظَمِ، قُلْتُ: بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ يَطِيْقُ هَذِهِ الْخِصَالَ وَمَنْ يَنْجُوْ مِنْهَا؟ قَالَ: يَا مُعَاذُ، إِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ، إِنَّمَا يَكْفِيْكَ مِنْ ذَلِكَ أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَتَكْرَهُ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ، فَإِذَنْ أَنْتَ يَا مُعَاذُ قَدْ سَلِمْتَ
“Tahukah engkau apa maksud Naasyithaat itu wahai Muadz?” Aku (Muadz) menjawab: “Demi ayah dan ibuku, aku tidak tahu, apa itu ya Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Maksudnya adalah anjing-anjing neraka yang mencabik-cabik daging dari tulang.” Aku (Muadz) berkata: “Demi ayah dan ibuku, duhai Rasulullah, siapakah yang mampu mengamalkan semua itu dan siapa pula yang bisa selamat dari anjing-anjing neraka itu?” Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Muadz, sesungguhnya semua itu mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah. Untuk semua itu cukuplah bagimu suatu amalan, yakni engkau mencintai manusia (orang lain) sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan engkau benci untuk mereka sesuatu yang engkau benci untuk dirimu sendiri. Jika engkau mampu berbuat demikian, ya Muadz, maka engkau akan selamat.”
 
قَالَ خَالِدُ بْنُ مَعْدَانٍ: فَمَا رَأَيْتَ أَحَدًا أَكْثَرُ تِلاَوَةً لِلْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ مِنْ مُعَاذٍ لِهَذَا الْحَدِيْثِ الْعَظِيْمِ
Khalid bin Ma’dan berkata: “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih banyak membaca al-Qur’an daripada Muadz karena rasa takut yang hadir dalam dirinya setelah mengetahui hadits yang agung ini.”

Bersambung...
 

[1] QS. an-Nazi’at [79]: 2.
Share:

Sunday, May 19, 2019

Qunut Witir di Pertengahan Ramadhan Hukumnya Sunnah

Ketika memasuki malam pertengahan akhir di bulan Ramadhan, sudah menjadi kemakluman bagi makmum jamaah shalat Tarawih bahwa imam akan melaksanakan qunut di rakaat terakhir shalat Witir.
 
Membaca doa qunut setelah ruku’ menurut madzhab Syafi’i adalah termasuk sunnah ab’adh-nya shalat. Yakni salah satu hal yang disunnahkan di dalam shalat, dan jika lupa atau sengaja ditinggalkan maka shalatnya tetap sah tetapi ia disunnahkan menggantinya dengan melakukan sujud sahwi setelah tasyahud akhir dan sebelum salam.
 
Membaca doa qunut ini sunnah dilakukan setiap melaksanakan shalat Subuh. Sebagaimana hadits shahih riwayat Anas bin Malik ia berkata:
 
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا. رواه الحاكم
Bahwasannya Rasulullah Saw selalu melaksanakan qunut di dalam shalat Subuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. al-Hakim)
 
Selain di dalam shalat Subuh, di dalam madzhab Syafi’i doa qunut juga disunnahkan di dalam shalat Witir di malam pertengahan akhir bulan Ramadhan, yakni mulai malam tanggal 16 hingga akhir Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits dari al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw, ia berkata:
 
علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم كلمات أقولهن في الوتر: أللهم اهدني فيمن هديت، وعافني فيمن عافيت، وتولني فيمن توليت، وبارك لي فيما أعطيت، وقني شرماقضيت، إنك تقضي ولايقضى عليك، وإنه لايذل من واليت، ولايعزمن عاديت، تباركت ربنا وتعاليت
Rasulullah Saw telah mengajariku kata-kata (doa) yang harus aku ucapkan ketika shalat Witir: “Allahummahdini fiman hadait, wa ‘afini fiman ‘afait, wa tawallani fiman tawallait, wa barikli fima a’thaith, waqini syarrama qadhait, innaka taqdhi wa la yuqdha alaik, wainnahu la yadzillu man walait, wa la ya’izzu man ‘adait, tabarakta rabbana wa ta’aalait. (Ya Allah berilah petunjuk kepadaku sebagaimana orang-orang yang telah engkau beri petunjuk, dan berilah keselamatan kepadaku sebagaimana orang-orang yang telah engkau beri keselamatan, dan jagalah aku sebagaimana orang-orang yang telah engkau jaga, berkalilah bagiku terhadap apa yang telah engkau berikan, dan periharalah aku dari kejelekan yang telah engkau tetapkan. Sungguh engkaulah yang menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagimu. Tidak ada orang yang dapat merendahkan orang yang telah engkau beri kuasa, dan tidak ada yang memuliakan orang yang telah engkau hinakan. Maka suci engkau Tuhan kami dan Engkau Maha Agung)”. (HR. Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal)
 
Imam al-Tirmidzi berkata: hadits hasan, dan kami tidak mengetahui doa dari Nabi Saw di dalam qunut shalat Witir yang lebih bagus dari doa ini.” 
 
Selain hadits tersebut, terdapat juga hadits di dalam Sunan Abi Daud yang meriwayatkan tentang praktik sahabat Nabi Saw yang melaksanakan qunut di dalam pertengahan akhir dari bulan Ramadhan.
 
أن أبي بن كعب رضي الله عنه أمهم –يعني في رمضان- وكان يقنت في نصف الأخير من رمضان
“Bahwasannya Ubay bin Ka’ab ra mengimami para shahabat yang lain, dan beliau qunut di setengah yang akhir dari bulan Ramadhan.”
 
Menurut madzhab Syafi’i sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkar dikatakan bahwa tidak ada ketentuan doa tertentu di dalam qunut, jadi doa apapun boleh dipanjatkan di dalam qunut, meskipun dengan satu ayat al-Quran atau ayat-ayat al-Quran yang mengandung doa, tetapi doa qunut yang paling afdhal adalah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw di dalam hadits.
 
Dan doa qunut yang paling bagus adalah sebagaimana doa dalam riwayat hadits dari al-Hasan bin Ali di atas. Karena selain al-Hasan, Muhammad bin al-Hanifiyyah putra Ali lainnya pun sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Baihaqi pernah mengatakan bahwa: “Doa ini (hadits al-Hasan) adalah doa yang selalu ayahku panjatkan di dalam qunut shalat Subuh.”
 
Dan disunnahkan setelah memanjatkan doa qunut membaca: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ala ali Muhaammad wa Sallam”. Sementara di dalam riwayat Imam an-Nasa’i disebutkan: “Washallallahu ‘alan Nabi.. Artinya, setelah qunut disunnahkan membaca shalawat kepada Nabi Saw.
 
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan juga adalah bagi imam disunnahkan ketika membaca doa qunut dengan menggunakan lafadz jama’, yakni allahummahdina (Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi kami) dan seterusnya. Dan seandainya imam tetap menggunakan dhamir mutakkallim, yakni allahummahdini (Ya Allah berikanlah kepadaku pentunjuk), maka hal ini dimakruhkan, karena makruh bagi imam yang berdoa atas nama dirinya sendiri. Sementara itu, ada hadits riwayat Imam Abu Daud dan al-Tirmidzi dari Tsauban ra ia berkata:
 
لا يؤم عبد قوما فيخص نفسه بدعوة دونهم، فإن فعل فقد خانهم
“Tidaklah seorang hamba menjadi imam suatu kaum yang mengkhususkan dirinya di dalam doanya tanpa menyebutkan mereka, maka jika ia melakukannya, sungguh ia telah mengkhianati mereka.”
 
Dibaca Keras atau Pelan?
Adapun terkait qunut dibaca keras atau tidak maka jika ia shalat sendirian, dibaca dengan pelan dan menggunakan dhamir mutakallim (untuk diri sendiri). Adapun jika berjamaah di dalam salat Subuh atau Witir di pertengahan akhir Ramadhan, maka bagi imam membaca dengan suara keras, sementara makmum hanya mengamini saja, tetapi jika imamnya tidak membaca dengan keras, maka bagi makmum membaca dengan pelan sendiri. 
 
Pendapat yang kuat di kalangan madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa di dalam qunut disunnahkan mengangkat kedua tangan, dan tidak perlu mengusap wajah setelah qunut. 
 
Wallahu a’lam
Share:

Syahwat Mewariskan Kesedihan

KEBENARAN itu BERAT, tapi
MENYENANGKAN pada akhirnya.

Sedangkan KEBATILAN itu RINGAN, tapi
MENYUSAHKAN di bagian ujungnya.

Sudah tak terhitung SYAHWAT yang
diperturutkan, akhirnya mewariskan
KESEDIHAN yang berkepanjangan.
Share:

Penjelasan tentang Kemaksiatan Hati (Bagian Ketujuh)

قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ حَتَّى يُجَاوِزُوْا بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ، كَأَنَّهُ الْعَرُوْسُ الْمَزْفُوْفَةُ إِلَى بَعْلِهَا، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ، وَاحْمِلُوْهُ عَلَى عَاتِقِهِ، أَنَا مَلَكُ الْحَسَدِ، إِنَّهُ كَانَ يَحْسُدُ مَنْ يَتَعَلَّمُ وَيَعْمَلُ بِمِثْلِ عَمَلِهِ، وَكُلُّ مَنْ كَانَ يَأْخُذُ فَضْلاً مِنَ الْعِبَادَةِ كَانَ يَحْسُدُهُمْ، وَيَقَعُ فِيْهِمْ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ
“Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian naiklah malaikat pencatat amal dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai langit ke lima. Amal itu tampak begitu indah laksana indahnya seorang pengantin perempuan yang dihias untuk suaminya. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu langit kelimat: “Berhenti! Lemparlah dengan amal ini wajah si pemilik amal, dan kembalikan saja amal itu padanya. Aku adalah malaikat yang mengurusi sifat hasad. Sesungguhnya ia (si pemilik amal) adalah orang yang selalu hasad terhadap orang yang belajar dan beramal seperti dia. Ia juga hasad terhadap orang-orang yang memperoleh kelebihan (keutamaan) dari ibadah yang mereka lakukan, lalu menjelek-jelekkan mereka. Allah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. 
 
قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ لَهُ ضَوْءٌ كَضَوْءِ الشَّمْسِ، مِنْ صَلاَةٍ وَزَكَاةٍ وَحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَجِهَادٍ وَصِيَامٍ، فَيُجَاوِزُوْنَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ؛ إِنَّهُ كَانَ لاَ يَرْحَمُ إِنْسَانًا قَطُّ مِنْ عِبَادِ اللهِ أَصَابَهُ بَلاَءٌ أَوْ مَرَضٌ، بَلْ كَانَ يَشْمَتُ بِهِمْ، أَنَا مَلَكُ الرَّحْمَةِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ
“Rasulullah SAW bersabda: “Selanjutnya malaikat pencatat amal naik dengan membawa amal seorang hamba yang bercahaya laksana cahaya matahari. Amal itu terdiri dari amal shalat, zakat, haji, umrah, jihad serta puasa dan dibawa hingga langit ke enam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu langit ke enam: “Berhenti! Lemparlah dengan amal itu wajah si pemilik amal. Karena sesungguhnya dia adalah orang yang sama sekali tak memiliki perasaan kasih terhadap sesama manusia dari kalangan hamba-hamba Allah yang sedang tertimpa musibah atau menderita sakit. Bahkan ia merasa gembira dengan musibah yang menimpa itu. Aku adalah malaikat rahmah. Allah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. 
 
 قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ مِنْ صَوْمٍ وَصَلاَةٍ وَنَفَقَةٍ وَجِهَادٍ وَوَرَعٍ، لَهُ دَوِيٌّ كَدَوِىِّ النَّحْلِ، وَضَوْءٌ كَضَوْءِ الشَّمْسِ، وَمَعَهُ ثَلاَثَةُ آلاَفِ مَلَكٍ، فَيُجَاوِزُوْنَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ، وَاضْرِبُوْا جَوَارِحَهُ وَاقْفِلُوْا بِهِ عَلَى قَلْبِهِ، أَنَا صَاحِبُ الذِّكْرِ، فَإِنِّيْ أَحْجُبُ عَنْ رَبِّيْ كُلَّ عَمَلٍ لَمْ يُرِدْ بِهِ وَجْهَ رَبِّيْ؛ إِنَّهُ إِنَّمَا أَرَادَ بِعَمَلِهِ غَيْرَ اللهِ تَعَالَى، إِنَّهُ أَرَادَ بِهِ رِفْعَةً عِنْدَ الْفُقَهَاءِ، وَذِكْرًا عِنْدَ الْعُلَمَاءِ، وَصِيْتًا فِي الْمَدَائِنِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ، وَكُلُّ عَمَلٍ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ تَعَالَى خَالِصًا فَهُوَ رِيَاءٌ، وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ عَمَلَ الْمُرَائِيْ
“Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian malaikat pencatat amal naik dengan membawa amal seorang hamba dari amalan puasa, shalat, nafkah, jihad, dan wara’. Amalan-amalan itu berdengung laksana dengungan lebah dan bercahaya laksana cahaya matahari. Bersamanya ada tiga ribu malaikat yang membawanya melintas hingga langit ke tujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu langit ke tujuh: “Berhenti! Lemparlah dengan amal ini wajah si pemilik amal. Hantam seluruh anggota tubuhya dan kunci hatinya dengan amal itu. Aku adalah malaikat yang bertugas mengurus persoalan dzikir. Sungguh aku akan menjadi penghalang sampainya kepada Allah amal yang tidak diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya dia adalah orang yang dengan amalnya mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah Ta’ala. Dengan amalnya ia berharap memperoleh kedudukan terhormat di hadapan para fuqaha, populer di tengah-tengah para ulama, dan terkenal di berbagai kota. Allah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. Setiap amal yang tidak ditujukan semata-mata demi menggapai ridha Allah pasti merupakan amal yang didasarkan pada sifat riya’. Sedangkan Allah tidak akan menerima amal dari seorang yang riya’.
 
 قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ مِنْ صَلاَةٍ وَزَكَاةٍ وَصِيَامٍ وَحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَخُلُقٍ حَسَنٍ وَصَمْتٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى، فَتُشَيِّعُهُ مَلاَئِكَةُ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ حَتَّى يَقْطَعُوْا بِهِ الْحُجُبَ كُلَّهَا إِلَى اللهِ تَعَالَى، فَيَقِفُوْنَ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَيَشْهَدُوْنَ لَهُ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ الْمُخْلِصِ لِلَّهِ تَعَالَى، فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنْتُمُ الْحَفَظَةُ عَلَى عَمَلِ عَبْدِيْ، وَأَنَا الرَّقِيْبُ عَلَى مَا فِيْ قَلْبِهِ؛ إِنَّهُ لَمْ يُرِدْنِيْ بِهَذَا الْعَمَلِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ غَيْرِيْ، فَعَلَيْهِ لَعْنَتِيْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ كُلُّهَا: عَلَيْهِ لَعْنَتُكَ وَلَعْنَتُنَا، فَتَلَعْنَهُ السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَمَنْ فِيْهِنَّ
“Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian naik lagi malaikat pencatat amal dengan membawa amal seorang hamba berupa amal shalat, zakat, puasa, haji, umrah, akhlak terpuji, sikap diam dan dzikir karena Allah. Malaikat penjaga tujuh pintu langit kemudian ikut bergabung mengiringi amal itu hingga menerobos hijab-hijab sehingga sampai di hadapan Allah SWT. Mereka kemudian berdiri di hadapan Allah seraya bersaksi bahwa amal shalih yang mereka bawa itu benar-benar murni ditujukan pelakunya demi menggapai ridha Allah. Maka Allah SWT pun berfirman: “Kalian semua hanyalah malaikat-malaikat yang bertugas mencatat dan membawa amal hamba-Ku. Sedangkan Aku adalah Pengawas yang mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Sesungguhnya dia tidaklah mengharapkan-Ku dengan amalnya itu, namun lebih mengharapkan selain Aku. Oleh karena itu, Aku melaknatnya.” Maka seluruh malaikat kemudian berkata: “Baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan akan melaknatnya pula tujuh langit dengan seluruh penghuninya.”
 
Bersambung...
Share:

Saturday, May 18, 2019

Ada Saatnya

AKAN ada saatnya bagi HATI
dipenuhi dengan KEIMANAN
hingga tak menyisakan celah walau hanya sebesar lubang jarum untuk KEMUNAFIKAN.

Dan ADA pula saatnya HATI itu
penuh sesak dengan KEMUNAFIKAN, hingga tak menyisakan celah sebesar lubang jarum pun
untuk KEIMANAN.

يا مصرف القلوب، صرف قلوبنا على طاعتك
 
Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan pada-Mu.

Share:

Jangan Iri

JANGAN pernah iri
terhadap orang yang KAU lihat saat ini dilimpahi ALLAH berbagai kenikmatan.

SEBAB kau tak pernah tahu seberapa berat ujian ALLAH
yang telah dijalaninya dengan penuhi KESABARAN hingga kini ia memetik HASILNYA.
Share:

Penjelasan tentang Kemaksiatan Hati (Bagian Keenam)

وَاْلأَخْبَارُ فِي الْحَسَدِ وَالْكِبْرِ وَالرِّيَاءِ وَالْعُجْبِ كَثِيْرَةٌ، وَيَكْفِيْكَ فِيْهَا حَدِيْثٌ وَاحِدٌ جَامِعٌ
Hadits-hadits Nabi SAW yang menjelaskan perihal hasad, sombong, riya’ dan ‘ujub sangatlah banyak. Namun cukuplah bagimu untuk mencermati satu hadits lengkap berikut ini:
 
فَقَدْ رَوَى اِبْنُ الْمُبَارَكِ بِإِسْنَادِهِ عَنْ رَجُلٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُعَاذٍ: يَا مُعَاذُ حَدِّثْنِيْ حَدِيْثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَبَكَى مُعَاذٌ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ لاَ يَسْكُتُ، ثُمَّ سَكَتَ، ثُمَّ قَالَ: وَاَشَوْقَاهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى لِقَائِهِ
Ibnu al-Mubarak telah meriwayatkan dengan sanadnya dari seorang laki-laki[1] yang berkata kepada Mu’adz: “Ya Mu’adz, sampaikan padaku satu hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah SAW.” Laki-laki itu berkata: “Maka menangislah Mu’adz lama sekali hingga aku mengira bahwa ia tidak akan menghentikan tangisannya itu. Namun ternyata ia kemudian diam, lalu berkata: “Wahai…, betapa rindunya aku kepada Rasulullah SAW sehingga aku merasa sangat ingin bertemu dengan beliau.”
 
ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لِيْ: يَا مُعَاذُ، إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ بِحَدِيْثٍ إِنْ أَنْتَ حَفِظْتَهُ نَفَعَكَ عِنْدَاللهِ، وَإِنْ أَنْتَ ضَيَّعْتَهُ وَلَمْ تَحْفَظْهُ اِنْقَطَعَتْ حُجَّتُكَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Kemudian Mu’adz berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Ya Mu’adz, sesungguhnya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang apabila engkau menghapal dan menjaganya, maka ia akan bermanfaat bagimu kelak di hadapan Allah. Namun jika engkau mengabaikannya dan tidak menjaganya, maka terputuslah hujjahmu kelak di hadapan Allah pada hari Kiamat.
 
يَا مُعَاذُ، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى خَلَقَ سَبْعَةَ أَمْلاَكٍ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ، فَجَعَلَ لِكُلِّ سَمَاءِ مِنَ السَّبْعِ مَلَكًا بَوَّابًا عَلَيْهَا، فَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ مِنْ حِيْنِ يُصْبِحْ إِلَى حِيْنِ يُمْسِيْ، لَهُ نُوْرٌ كَنُوْرِ الشَّمْسِ، حَتَّى إِذَا صَعِدَتْ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا زَكَّتْهُ وَكَثَرَّتْهُ، فَيَقُوْلُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا لِلْحَفَظَةِ: اِضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ، أَنَا صَاحِبُ الْغِيْبَةِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَلاَّ أَدَعَ عَمَلَ مَنِ اغْتَابَ النَّاسَ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ
“Wahai Mu’adz, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan tujuh malaikat sebelum menciptakan langit dan bumi. Lalu, Allah menjadikan pada masing-masing langit yang tujuh lapis itu seorang malaikat penjaga pintu. Apabila malaikat pencatat amal naik dengan membawa amal seorang hamba pada pagi hingga sore hari, amal itu bersinar laksana sinar matahari. Tatkala sampai di langit dunia, ia pun akan menyebut-nyebutnya berulang kali. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu langit dunia: “Lemparlah wajah si pemilik amal dengan amal ini. Aku adalah malaikat yang mengurusi persoalan ghibah. Allah telah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amal orang yang menggunjing (melakukan ghibah terhadap) orang lain melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain.
 
قَالَ: ثُمَّ تَأْتِي الْحَفَظَةُ بِعَمَلٍ صَالِحٍ مِنْ أَعْمَالِ الْعَبْدِ لَهُ نُوْرٌ فَتُزَكِّيَهُ وَتُكَثِّرَهُ حَتَّى تَبْلُغَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ، إِنَّهُ أَرَادَ بِعَمَلِهِ عَرَضَ الدُّنْيَا، أَنَا مَلَكُ الْفَخْرِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ، إِنَّهُ كَانَ يَفْتَخِرُ عَلَى النَّاسِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ
“Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian datang malaikat pencatat amal dengan membawa amal shalih dari seorang hamba, yang amal itu bercahaya terang. Ia pun berulang kali memuji-mujinya hingga sampai di langit ke dua. Malaikat penjaga pintu langit kedua kemudian berkata: “Berhenti! Lemparlah wajah si pemilik amal dengan amal itu, karena sesungguhnya dengan amal itu yang ia harapkan hanyalah kenikmatan dunia. Aku adalah malaikat yang mengurusi persoalan kesombongan. Allah telah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. Karena sesungguhnya ia sering menyombongkan dirinya di hadapan manusia ketika berada di berbagai majelis.
 
قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ يَبْتَهِجُ نُوْرًا، مِنْ صَدَقَةٍ وَصَلاَةٍ وَصِيَامٍ، قَدْ أُعْجِبَ الْحَفَظَةَ، فَيُجَاوِزُوْنَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ، أَنَا مَلَكُ الْكِبْرِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يُجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ؛ إِنَّهُ كَانَ يَتَكَبَّرُ عَلَى النَّاسِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ
“Rasulullah SAW bersabda: “Malaikat pencatat amal kemudian naik dengan membawa amal seorang hamba berupa shadaqah, shalat dan puasa yang dihiasi oleh pancaran cahaya. Hal itu benar-benar membuat takjub malaikat pencatat amal. Amal itu dibawa hingga ke langit ke tiga. Kemudian malaikat penjaga pintu langit ke tiga berkata: “Berhenti! Lemparlah wajah si pemilik amal dengan amal itu. Aku adalah malaikat yang mengurusi sifat angkuh. Allah telah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. Karena sesungguhnya ia sering bersifat angkuh kepada manusia di berbagai majelis yang ia ikuti.
 
قَالَ: وَتَصْعَدُ الْحَفَظَةُ بِعَمَلِ الْعَبْدِ يَزْهُوْ كَمَا يَزْهُو الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ وَلَهُ دَوِيٌّ مِنْ تَسْبِيْحٍ وَصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، حَتَّى يُجَاوِزُوْا بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ، فَيَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهَا: قِفُوْا، وَاضْرِبُوْا بِهَذَا الْعَمَلِ وَجْهَ صَاحِبِهِ وَظَهْرِهِ وَبَطْنِهِ، أَنَا صَاحِبُ الْعُجْبِ، أَمَرَنِيْ رَبِّيْ أَنْ لاَ أَدَعَ عَمَلَهُ يِجَاوِزُنِيْ إِلَى غَيْرِيْ؛ إِنَّهُ كَانَ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً أَدْخَلَ الْعُجْبَ فِيْهِ
“Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian naiklah malaikat pencatat amal dengan membawa amal seorang hamba yang berkilauan laksana kilauan bintang dan padanya ada desiran dari desiran tasbih, shalat, puasa, haji dan umrah. Amal itu dibawa hingga ke langit ke empat. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu langit ke empat: “Berhenti! Lemparlah wajah, punggung dan perut si pemilik amal dengan amal itu. Aku adalah malaikat yang mengurusi sifat ‘ujub. Allah telah memerintahkan padaku agar tidak membiarkan amalnya melewatiku menuju pintu-pintu langit yang lain. Karena sesungguhnya ia apabila melakukan suatu amal, maka masuklah sifat ‘ujub ke dalam dirinya. 
 
Bersambung...


[1] Yakni: Khalid bin Ma’dan.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online