Istilah dzikir memiliki banyak pengertian. Dalam tulisan ini rasanya tidak terlalu penting memaparkan berbagai pendapat yang berbeda seputar pengertian dzikir. Cukuplah pengertian dzikir itu diambil dari satu makna saja, yakni dari sisi bahasa asalnya.
Kata dzikir berarti 'menyebut' atau 'mengingat'. Dzikrullah berarti menyebut nama Allah atau mengingat Allah. Keduanya --menyebut nama Allah dan mengingat Allah-- saling terkait satu sama lain.
Anda tentu pernah mengikuti dzikir berjamaah, yakni berdzikir secara bersama-sama dengan banyak orang. Saat itu Anda sedang menyebut nama Allah. Apakah saat itu juga Anda mengingat Allah? Tentunya Anda sendiri yang paling tahu. Padahal bagi Allah, perbuatan batin itu lebih dihargai daripada perbuatan lahir.
Saya tegaskan lagi, kedua makna dzikir ini --menyebut nama Allah dan mengingat Allah-- adalah satu rangkaian tak terpisahkan. Menyebut nama-Nya dengan bibir berulang-ulang, akan mengantarkan pada ingat kepada Allah. Percuma saja kita meneriakkan nama Allah namun hati kita berpaling dari-Nya. Inilah makna dzikir, menyebut dengan lisan dan mengingat dengan hati.
Pengertian dzikir di atas barangkali sudah sering kita dengar. Saya akan coba menambahkan makna dzikir dalam dimensi lain, yakni dari sudut pandang para ahli tasawuf.
Pertama, dzikir sebagai bentuk ingat kepada Tuhan, yakni ingat setiap saat, tidak terbatasi tempat dan waktu, dan lepas dari segala bentuk ritual peribadatan. Dzikir dapat dilakukan kapan saja, seiring dangan tarikan dan hembusan nafas. Maka dzikir menempati peringkat paling vital dalam mengembangkan kualitas ruhani.
Dalam konteks ini, dzikir bukan hanya ucapan lisan yang biasanya mengikuti aturan-aturan tertentu, seperti berwudhu terlebih dahulu, dilakukan pada waktu-waktu tertentu, dan dilakukan pada tempat-tempat tertentu pula. Ingat Tuhan yang dimaksud adalah ingat sebanyak-banyaknya, sebagaimana firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah, dzikir sebanyak-banyaknya." (QS. al-Ahzab [33]: 41-42)
Kedua, dzikir sebagai bentuk penyebutan, yakni menyebut 'yang memiliki nama'. Segala sesuatu pasti memiliki nama, bahkan Tuhan pun memiliki nama. Ketika menyebut nama sesuatu misalnya, tentu kita membayangkan atau melihat bentuk, perbuatan, dan sifat sesuatu itu. Lalu apa hubungannya antara suatu benda dengan menyebut nama Allah? Hubungannya jelas sekali. Menyebut nama suatu benda sama saja kita menyebut nama Allah Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya:
"Ke mana saja kau hadapkan wajahmu di situ ada Wajah Allah." (QS. al-Baqarah [2]: 115)
Semua nama benda atau nama apa saja, bersumber dari satu Nama, Allah. Ini berlaku dengan satu syarat, saat menyebut nama benda itu kita mengi'tiqadkan sedang menyebut nama-Nya. Demikian salah satu paham tauhid para sufi.
Mungkin dua makna terakhir ini cukup sulit dicerna. Namun itulah inti dzikir, dan ini hanya bisa dihayati dengan perenungan, dengan tafakkur.
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment