Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Friday, July 12, 2019

Hukum Mengaqiqahi Diri Sendiri

Umumnya para ulama menegaskan bahwa yang disembelihkan aqiqah adalah bayi yang baru lahir, dengan maksimal usia hingga baligh. Sedangkan menyembelih aqiqah untuk orang yang sudah baligh, apalagi yang sudah mencapai usia dewasa, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada dua pendapat dalam hal ini
 
1. Masyru'
Sebagian ulama memandang bahwa mengaqiqahi diri sendiri adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Ar-Rafi’i, Imam Al-Qaffal, Imam Muhammad bin Sirin, Imam Atha’ dan Imam Al-Hasan Al-Bashri.
 
Imam Ar-Rafi'i, ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, mengatakan apabila seseorang mengakhirkan menyembelih aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu. Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, maka tidak mengapa.
 
Pendapat Imam Ar-Rafi’i ini juga dikuatkan oleh pendapat Imam Al-Qaffal, yang juga merupakan salah seorang dari fuqaha madzhab Syafi’i. Beliau ikut membenarkan hal itu meski tidak mewajibkan. (Lihat: Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari, jilid 9, hal. 594-595)
 
Diriwayatkan dari Imam Al-Hasan Al-Bashri bahwa beliau berfatwa: “Apabila seorang ayah belum menyembelihkan hewan aqiqah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti anaknya itu dewasa dan punya rezeki, dipersilahkan bila ingin menyembelih hewan aqiqah yang diniatkan untuk dirinya sendiri.” Fatwa ini bisa kita temukan tertulis di dalam kitab Al-Muhalla. (Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 6, hal. 240)
 
Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani diriwayatkan bahwa Imam Muhammad Ibnu Sirin pernah berfatwa: “Seandainya aku tahu bahwa aku belum disembelihkan aqiqah, maka aku akan melakukannya sendiri.” (Lihat: Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9, hal. 489) 
 
Imam 'Atha' berkata bahwa tidak mengapa bila seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
 
Di antara dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini:
 
أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ بِنَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
Bahwa Nabi Saw menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. (HR. Al-Bazzar)
 
2. Tidak Masyru'
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orangtuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. 
 
Alasannya, karena syariat dan perintah untuk menyembelih hewan aqiqah itu berada di pundak orangtuanya, bukan berada di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakannya meski dirinya mampu ketika sudah dewasa.
 
Salah satu ulama pengikut madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orangtua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr.” (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8, hal. 646) 
 
Di antara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak pernah menyembelih aqiqah untuk diri beliau sendiri, meski sejak kecil tidak pernah disembelihkan aqiqah. Begitu juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan aqiqah agar masing-masing menyembelih aqiqah untuk diri mereka.
 
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para ahli hadits dianggap sebagai hadits yang lemah (dhaif). Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar.
 
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini matruk. Imam As-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri, asalkan hadits itu shahih. Masalahnya, menurut beliau, hadits itu sendiri bermasalah. Imam Asy-Syaukani menyebut hadits itu mungkar.
 
Imam An-Nawawi
Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa hadits ini batil:
 
وأما الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل قال البيهقي هو حديث منكر
Namun mereka yang membela pendapat dibolehkannya menyembelih hewan aqiqah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka menyebutkan bahwa hadits yang dipermasalahkan tetap shahih, karena ada periwayatan lewat jalur lain yang dishahihkan oleh para ulama.
 
Dalam hal ini, Imam Al-Haitsami menyebutkan di dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, bahwa hadits ini memang punya dua jalur periwayatan. Pertama adalah jalur yang banyak didhaifkan oleh para ulama, yaitu lewat jalur Abdullah bin Al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang diriwayatkan secara marfu. Kedua, adalah jalur yang shahih dan tersambung kepada Anas, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdillah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dan Anas. (Lihat: Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawaid, jilid 4, hal. 59)
 
Wallahu a’lam
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online