Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Friday, September 28, 2018

Seandainya Penghuni Kubur Bisa Bicara

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah memasuki sebuah kompleks pemakaman, lalu ia berkata:

“Wahai penghuni kubur, wahai penghuni tempat yang penuh ujian, wahai penghuni tempat yang sunyi, berita apa yang kalian miliki? Sesungguhnya kabar yang kami punya adalah: tempat-tempat telah dihuni, harta-harta telah dibagi, istri-istri telah dinikahi. Inilah kabar dari kami. Lalu, apa kabar dari kalian?”

Kesunyian menyelinap saat itu, ia kemudian melanjutkan ucapannya:

 
“Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya! Andai mereka diizinkan untuk berbicara, niscaya mereka akan mengatakan bahwa sebaik-baik bekal adalah takwa.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Al-Bayan wat Tabyin, 3/155 dan Kanzul Ummal, 3/697.

Seandainya penghuni kubur dapat berbicara, tentu mereka akan beritakan kepada kita apa yang mereka alami di sana dan akan sampaikan kepada kita apa-apa yang harus kita lakukan di dunia sehingga saat masuk ke alam kubur kita tidak mengalami siksa dan kegelapannya. Namun sayang, mereka tidak bisa berbicara dan tidak diizinkan Allah memberikan berita dari alam barzah secara langsung kepada kita.

Sebaliknya, dari dunia ini kita dapat kabarkan kepada mereka apa yang terjadi dengan keluarga dan harta benda yang ditinggalkannya. Kabar yang disampaikan Sayidina Ali ra kepada para penghuni kubur pasti juga akan kita alami sendiri. Saat kematian telah menjumpai kita, maka rela ataupun terpaksa, kita akan meninggalkan seluruh yang kita cintai. Kita akan meninggalkan istri, suami, anak dan seluruh harta benda yang sepanjang hayat kita usahakan untuk mengumpulkannya. Tak sedikit pun di antara mereka yang akan menyertai kita. Yang begitu setia pada kita hingga kita berada di hadapan Allah Yang Maha Adil hanyalah amal, tiada yang lain.

Sayidina Ali ra menjelaskan, seandainya para penghuni kubur diberi kesempatan oleh Allah untuk menyampaikan kabar kepada kita, niscaya pesan singkat yang akan mereka sampaikan adalah bahwa sebaik-baik bekal adalah takwa. Maknanya, tak ada apa pun dari kehidupan dunia ini yang akan bermanfaat bagi seseorang yang telah berpindah ke alam kubur selain ketakwaan yang dipersembahkannya kepada Allah saat kehidupan di atas dunia. Ini merupakan suatu kepastian, karena Allah sendiri telah memberitakannya di dalam al-Qur’an. 

Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Kelak kita akan merasakan betapa besar manfaat yang kita peroleh karena ketakwaan itu, dan orang-orang yang mengabaikannya kelak akan menyesal dengan sikap yang telah mereka pilih itu. Semoga Allah menguatkan kita untuk selalu bertakwa kepada-Nya sepanjang sisa usia yang masih ada.
Share:

Tuesday, September 25, 2018

Salam Saat Melewati Makam

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra penah melewati sebuah kompleks pemakaman, lalu ia berkata:

“Assalamu’alaikum wahai penghuni tempat yang sunyi senyap, tempat yang tandus, dari golongan mukmin laki-laki dan perempuan, dan muslim laki-laki dan perempuan. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan menyusul kalian, serta sebentar lagi kami akan bertemu dengan kalian. Ya Allah… ampunilah dosa-dosa kami dan mereka. Dan hapuskanlah dosa kami dan mereka. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berkumpul, baik yang hidup maupun yang mati. Dan segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kalian, dan di atasnya kalian akan dikumpulkan, serta darinya kalian akan dikumpulkan kembali. Dan beruntunglah orang yang mengingat akhirat (tempat kembali), dan mempersiapkan diri untuk hari perhitungan, serta merasa cukup dengan rezki yang sedikit.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Al-Bayan wat Tabyin, 3/148.

Di sini Sayidina Ali bin Abu Thalib ra memberi nasihat kepada kita agar senantiasa mengucap salam saat melewati kompleks pemakaman. Hakikat salam yang kita sampaikan adalah doa terhadap para arwah saudara muslim yang telah mendahului kita menghadap Allah Ta’ala dengan membawa iman. 

Kalimat doa yang disampaikan oleh Sayidina Ali ra mengingatkan kita kepada satu tempat yang mau tidak mau, siap ataupun tidak, jika tiba saatnya pasti kita akan menempatinya. Ya, makam atau kuburan, itulah namanya. Makam merupakan tempat yang sunyi-senyap, tandus, dan gelap. Siapa pun yang hidup di atas bumi ini pasti akan tiba saat baginya untuk berpindah dan tinggal di tempat itu. Itulah yang sangat disadari oleh Sayidina Ali ra, sehingga beliau mengatakan dalam doanya bahwa sebentar lagi kami akan menyusul kalian dan berjumpa dengan kalian.

Ini adalah sebuah kepastian. Orang-orang yang saat ini telah mendahului kita menempati alam kubur segera akan kita susul dan bertemu dengan mereka. Maka sejak dari dunia ini adalah sikap yang paling baik untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk diri kita sendiri dan para arwah saudara kita yang telah berpulang keharibaan-Nya. Sikap baik semacam itu insyaallah akan mendapat balasan dari Allah, sehingga orang-orang yang kelak kita tinggalkan di dunia ini juga akan secara ikhlas mendoakan kita yang telah berpindah ke alam barzah.

Nasihat lainnya yang bisa dipetik dari kalimat Sayidina Ali bin Abu Thalib ra adalah agar kita selalu ingat akan kematian (dzikrul maut). Mengingat mati bukan hanya sekedar menyakini bahwa kita pasti akan mati. Namun, lebih jauh dari itu adalah dengan mempersiapkan diri menyongsong tibanya saat kematian itu yang menyebabkan kita harus dipindahkan dari atas bumi ini ke dalam perut bumi. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang selamat kelak di alam kubur. Aamiin.
Share:

Monday, September 24, 2018

Pasal Adab-adab Menjadi Imam dan Makmum

آدَابُ اْلإِمَامَةِ وَالْقُدْوَةِ

Adab-adab Menjadi Imam dan Makmum

يَنْبَغِيْ للإِمَامِ أَنْ يُخَفِّفَ الصَّلاَةَ، قَالَ أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ أَحَدٍ صَلاَةً أَخَفَّ وَلاَ أَتَمَّ مِنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Seyogyanya seorang imam dalam shalat berjamaah meringankan shalatnya. Anas ra berkata: “Aku belum pernah shalat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sempurna daripada shalat Rasulullah SAW.”[1]

وَلاَ يُكَبِّرُمَا لَمْ يَفْرَغِ الْمُؤَذِّنُ مِنَ اْلاِقَامَةِ، وَمَا لَمْ تُسَوَّ الصُّفُوْف، وَيَرْفَعُ اْلإِمَامُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرَاتِ، وَلاَ يَرْفَعُ الْمَأْمُوْمُ صَوْتَهُ إِلاَّ بِقَدْرِ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ
Hendaklah imam tidak memulai takbiratul ihram sebelum muadzin selesai mengumandang iqamah dan sebelum shaf para makmum tertata dengan rapi. Imam hendaknya juga meninggikan suaranya saat mengucapkan takbir-takbir di dalam shalat. Sebaliknya, makmum hendaknya tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas yang dapat didengar oleh dirinya sendiri. 

وَيَنْوِي اْلإِمَامُ اْلإِمَامَةَ لِيَنَالَ الْفَضْل، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ صَحَّتْ صَلاَةُ الْقَوْمِ إِذَا نَوَوْا اْلاِقْتِدَاءَ بِهِ، وَنَالُوْا فَضْلَ الْقُدْوَةِ
Imam hendaknya meniatkan dirinya sebagai imam agar memperoleh keutamaan shalat berjamaah. Apabila ia tidak berniat menjadi imam maka shalat para makmum yang meniatkan diri mengikutinya tetap sah dan memperoleh keutamaan shalat berjamaah, sementara ia (sang imam) hanya memperoleh shalat sendirian.

وَيُسِرُّ بِدُعَاءِ اْلاِسْتِفْتَاحِ وَالتَّعَوُّذِ كَالْمُنْفَرِدِ، وَيَجْهَرُ بِالْفَاتِحَةِ وَالسُّوْرَةِ فِيْ جَمِيْعِ الصُّبْحِ، وَأَوْلَتَي الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَكَذَلِكَ الْمُنْفَرِدُ
Hendaklah imam memelankan suaranya saat membaca doa iftitah dan ta’awudz, sebagaimana yang dilakukan saat shalat sendirian, dan mengeraskan suaranya saat membaca al-Fatihah dan surat dalam shalat Subuh dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya. Yang demikian itu juga hendaklah dilakukan oleh orang yang shalat sendirian.

وَيَجْهَرُ بِقَوْلِهِ: (آمِيْنَ) فِي الْجَهْرِيَّةِ، وَكَذَلِكَ الْمَأْمُوْمُ، وَيَقْرُنَ الْمَأْمُوْمُ تَأْمِيْنَهُ بِتَأْمِيْنِ اْلإِمَامِ مَعًا، لاَ تَعْقِيْبًا لَهُ
Imam disunnahkan mengeraskan suaranya saat mengucapkan aamiin dalam shalat-shalat jahriyyah (shalat yang bacaannya dikeraskan). Hal yang sama juga disunnahkan bagi makmum. Bacaan aamiin-nya makmum dan imam hendaklah bersamaan, bukan bergantian.

وَيَسْكُتُ اْلإِمَامُ سَكْتَةً عَقِبَ الْفَاتِحَةِ لِيَثُوْبَ إِلَيْهِ نَفَسَهَ، وَيَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ الْفَاتِحَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ فِيْ هَذِهِ السَّكْتَةِ، لِيَتَمَكَّنَ مِنَ اْلاِسْتِمَاعِ عِنْدَ قِرَاءَةِ اْلإِمَامِ، وَلاَ يَقْرَأْ الْمَأْمُوْمُ السُّوْرَةَ فِي الْجَهْرِيَّةِ إِلاَّ إِذَا لَمْ يَسْمَعْ صَوْتَ اْلإِمَامِ
Setelah membaca al-Fatihah hendaklah imam berhenti sejenak untuk mengatur kembali nafasnya. Dalam shalat-shalat jahriyyah, saat imam diam inilah makmum membaca al-Fatihah agar setelah itu mereka dapat mendengar surat yang dibaca oleh sang imam. Makmum tidak perlu membaca surat dalam shalat-shalat jahriyyah kecuali bila ia tidak mendengar bacaan imam. 

وَلاَ يَزِيْدُ اْلإِمَامُ عَلَى الثَّلاَثَةِ فِيْ تَسْبِيْحَاتِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، وَلاَ يَزِيْدُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ بَعْدَ قَوْلِهِ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Hendaklah imam tidak menambahkan bacaan tasbih lebih dari tiga kali baik di dalam ruku’ maupun sujud. Imam pun tidak dianjurkan untuk untuk menambah bacaan apa pun dalam tasyahud awal setelah ucapan: Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad.

وَيَقْتَصِرُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اْلأَخِيْرَتَيْنِ عَلَى الْفَاتِحَةِ، وَلاَ يُطَوِّلُ عَلَى الْقَوْمِ، وَلاَ يَزِيْدُ دُعَاءَهُ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ عَلَى قَدْرِ تَشَهُّدِهِ وَصَلاَتِهِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam dua rakaat terakhir hendaklah imam membatasi diri hanya dengan membaca al-Fatihah, dan tidak memanjangkan bacaannya. Ia pun tidak dianjurkan untuk menambahkan doanya dalam tasyahud akhir melebihi batas bacaan tasyahud dan shalawatnya kepada Rasulullah SAW.

وَيَنْوِي اْلإِمَامُ عِنْدَ التَّسْلِيْمِ السَّلاَمَ عَلَى الْقَوْمِ، وَيَنْوِي الْقَوْمُ بِتَسْلِيْمِهِمْ جَوَابَهُ
Ketika membaca salam hendaklah imam meniatkannya sebagai ucapan salam kepada para makmum. Sementara makmum hendaklah meniatkan salam yang mereka ucapkan sebagai jawaban salam dari sang imam.

وَيَلْبَثُ اْلإِمَامُ سَاعَةً بَعْدَ مَا يَفْرَغُ مِنَ السَّلاَمِ وَيُقْبِلُ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، وَلاَ يَلْتَفِتُ إِنْ كَانَ خَلْفَهُ نِسَاءٌ  لِيَنْصَرِفْنَ أَوَّلاً
Hendaklah sang imam berdiam sejenak setelah selesai mengucapkan salam, lalu menghadapkan wajahnya ke arah makmum. Namun seyogyanya ia tidak berbalik jika di belakangnya terdapat jamaah kaum wanita hingga mereka bubar terlebih dahulu. 

وَلاَ يَقُوْمُ أَحَدٌ مِنَ الْقَوْمِ حَتَّى يَقُوْمَ اْلإِمَامُ، وَيَنْصَرِفَ اْلإِمَامُ حَيْثُ شَاءَ عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ شِمَالِهِ، وَالْيَمِيْنُ أَحَبُّ إِلَيْهِ
Bagi para makmum, hendaklah tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdiri (meninggalkan tempat shalatnya) sebelum imam berdiri. Sang imam diperbolehkan meninggalkan tempat shalatnya ke arah mana saja yang dikehendakinya. Ia boleh bergeser ke kiri atau ke kanan. Namun tentunya arah kanan lebih disukai. 

وَلاَ يَخُصُّ اْلإِمَامُ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ فِيْ قُنُوْتِ الصُّبْحِ، بَلْ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اهْدِنَا، وَيَجْهَرُ بِهِ، وَيُؤَمِّنُ الْقَوْمُ، وَلاَ يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ، إِذْ لَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ فِي اْلاَخْبَارِ، وَيَقْرَأُ الْمَأْمُوْمُ بَقِيَّةَ الْقُنُوْتِ مِنْ قَوْلِهِ: إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
Sang imam hendaknya tidak mengkhususkan dirinya dalam doa qunut Subuh. Namun hendaklah ia mengucapkan: [Allaahummahdinaa] –Ya Allah, berilah kami petunjuk.[2] Dan hendaklah ia mengeraskan suaranya saat membaca doa qunut, sedangkan makmum mengaminkannya tanpa disertai mengangkat tangan mereka,[3] karena yang demikian itu tidak dijelaskan dalam hadits Nabi SAW. Makmum hendaklah membaca doa qunut yang masih tersisa mulai dari bacaan: [Innaka taqdhii wa laa yuqdhaa ‘alaik] –Sesungguhnya Engkau dapat memastikan segala sesuatu, dan tak ada sesuatu pun yang dapat memastikan sesuatu atas-Mu.

وَلاَ يَقِفُ الْمَأْمُوْمُ وَحْدَهُ، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ، أَوْ يَجُرُّ إِلَى نَفْسِهِ غَيْرَهُ
Janganlah makmum berdiri seorang diri, tapi hendaklah ia masuk ke dalam shaf atau menarik seseorang untuk berdiri bersamanya. 

وَلاَ يَنْبَغِي لِلْمَأْمُوْمِ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَى اْلإِمَامِ فِيْ أَفْعَالِهِ أَوْ يُسَاوِيْهِ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْهُ، وَلاَ يَهْوِي لِلرُّكُوْعِ إِلاَّ إِذَا انْتَهَى اْلإِمَامُ إِلَى حَدِّ الرُّكُوْعِ، وَلاَ يَهْوِى لِلسُّجُوْدِ مَا لَمْ تَصِلْ جَبْهَةُ اْلاِمَامِ إِلَى اْلاَرْضِ
Tidak selayaknya bagi makmum untuk membarengi (apalagi mendahului) imam dalam berbagai gerakan shalat yang dikerjakannya. Namun hendaklah makmum mengakhirkan gerakannya dari gerakan imam. Makmum tidak boleh menurunkan badannya untuk rukuk kecuali bila imam telah berada pada posisi rukuk yang sempurna. Demikian pula makmum tidak boleh menurunkan badannya untuk sujud sebelum kening imam sampai ke tanah (tempat sujud).


[1] Riwayat Bukhari dan Muslim.
[2] Lafazh yang bermakna tunggal diganti dengan yang bermakna jamak.
[3] Dalam madzhab Syafi’i, pendapat yang paling kuat dan populer adalah mengangkat tangan saat membaca qunut dalam shalat Subuh. Ada banyak riwayat yang menjelaskan tentang hal itu.
Share:

Hal yang Paling Menakutkan

Diriwayatkan bahwa Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata:

Hal yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah bakhil yang dipelihara, hawa nafsu yang dituruti, dan ‘ujub (bangga) terhadap diri sendiri.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, I/173.

Melalui ungkapan ini Sayidina Umar bin Khaththab ra mengingatkan kita bahwa ada tiga hal yang biasa dipandang remeh oleh kebanyakan orang, padahal sesungguhnya sangatlah berbahaya. Ketiga hal itu adalah:

  •  Bakhil yang dipelihara 
  • Hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan 
  • ‘Ujub atau merasa bangga terhadap diri sendiri.

Ketiga hal ini sesungguhnya merupakan penyakit yang menggerogoti kehidupan manusia, namun banyak yang tidak menyadari bila penyakit ini sudah kronis akan bisa menyengsarakan kehidupan orang yang terjangkiti olehnya di dunia dan akhirat. Kok bisa? Ya, memang demikian. 

Perhatikanlah, bakhil merupakan virus awal yang akan menyebabkan seseorang terserang penyakit tamak. Bakhil memiliki pengertian yang sama dengan pelit. Pelit merupakan sifat yang menyebabkan manusia tak pernah bisa siap untuk berbagi dengan orang lain. Pelit merupakan hasil kebiasaan seseorang yang selalu mementingkan diri sendiri. Akibat dari kebiasaan itu yang ada dalam pemahamannya adalah apa pun yang dimiliki haruslah dipergunakan sebesar-besar untuk kepentingan pribadi. Kalau ada orang lain yang membutuhkan maka ia akan memilih mengutamakan pemenuhan kebutuhannya sendiri. 

Orang yang pelit/bakhil selalu merasa khawatir terjadi pengurangan jumlah dari sesuatu yang ia miliki, dan ia memandang berkurangnya jumlah sesuatu yang dimilikinya itu pasti akan menimbulkan kerugian padanya. Itulah sebabnya mengapa ia selalu tidak mau berbagi dengan yang lain. Namun, dampak sifat bakhil yang dipelihara tidak hanya sampai di situ. Seorang yang bakhil takkan pernah merasa cukup dengan sesuatu yang diberikan Tuhan padanya. Ia akan selalu merasa kurang, kurang, dan kurang. 

Akibatnya, ia akan menggunakan segala cara untuk memenuhi apa yang ia anggap masih kurang dalam kehidupannya. Prinsip menghalalkan segala cara niscaya tak mungkin dihindarinya. Keadaan yang demikian sesungguhnya bentuk penderitaan. Lahir-batin ia akan menderita karena selalu merasa tak pernah cukup dan tak pernah mampu memenuhi segala macam kehendak nafsunya. Nah, bukankah ini berbahaya?

Demikian halnya dengan nafsu yang selalu diperturutkan dan merasa bangga terhadap diri sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bakhil/pelit yang kemudian berlanjut menjadi sifat tamak, merupakan salah satu hasil dari sikap selalu memperturutkan hawa nafsu. Itu hanya satu bagian saja. Lalu, bagaimana kalau kita memperturutkan semua kehendak nafsu? Jawabnya tentu akan jauh lebih menyengsarakan hidup di dunia dan di akhirat. 

Di sisi lain, merasa bangga terhadap diri sendiri akan memunculkan penyakit lebih lanjut, yakni takabur atau sombong. Penyakit ini akan membuat seseorang selalu merasa lebih dalam segala hal dibanding orang lain. Ia selalu merasa sebagai yang terbaik dalam bidang apa pun sehingga selalu meremehkan orang lain. Sayangnya, terkadang yang demikian itu hanya ada dalam perasaannya, sementara kenyataannya tidaklah demikian. Ia merasa yang paling kaya, padahal kenyataannya tidak; ia merasa paling dermawan, padahal kenyataannya tidak; dan seterusnya. 

Penyakit ‘ujub ini tak kalah bahayanya dengan penyakit bakhil. Orang yang terjangkiti ‘ujub selalu mengharap penghargaan dari orang lain. Namun, tentu tidak selamanya penghargaan itu akan ia dapatkan. Apabila yang diharapkan tak diperoleh, sudah pasti yang timbul adalah perasaan kecewa. Kekecewaan demi kekecewaan yang menghimpit perasaan akan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia orang yang banyak kecewa akan disiksa oleh perasaannya sendiri, sedangkan di akhirat ia akan disiksa Allah karena sikapnya yang tak pernah menghargai dan mensyukuri nikmat Allah. Maka, berhatil-hatilah!
Share:

Sunday, September 23, 2018

Dalil Kesunnahan Berdoa Setelah Shalat

1. Hadis Abu Umamah ra:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ
Dari Abu Umamah ia berkata, Rasulullah Saw ditanya, wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar? Beliau bersabda, Doa di bagian malam terakhir, dan setelah shalat-shalat maktubah. (HR Tirmidzi, dan beliau menyatakannya sebagai hadits hasan)

Makna: “dubur shalawaat al-maktuubaat” dalam hadis ini adalah bisa bermakna di akhir shalat sebelum salam –sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Taimiyah-, dan bisa bermakna setelah salam dan setelah berdzikir –sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak ulama-. Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (9/331) menyatakan bahwa makna “dubur shalawaat al-maktuubaat” dalam hadis ini adalah setelah shalat. Hal ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (11/134) dengan dalil hadis Shahihain tentang dzikir setelah shalat, bahwa di antara sabda Rasulullah Saw:

تُسَبِّحُونَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ
“Kalian membaca tasbih setiap selesai shalat”.

Makna “dubura kulli shalaatin” di sini tidak mungkin dimaknai sebelum salam, tapi dimaknai selepas shalat karena dzikir tasbih, tahmid, dan takbir disunatkan dibaca setelah shalat. Dari sini dapat dipahami bahwa makna hadis Abu Umamah di atas adalah anjuran untuk berdoa setiap kali selesai shalat, bukan sebelum salam.

2. Hadis Mua’dz bin Jabal ra:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah Saw menggandeng tangannya dan berkata, "Wahai Mu'adz, demi Allah, aku mencintaimu." Kemudian beliau berkata, "Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, janganlah engkau tinggalkan setiap selesai shalat untuk mengucapkan, "ALLAAHUMMA A'INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIK" - Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir dan bersyukur kepadaMu serta beribadah kepadaMu dengan baik.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

3. Adanya banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw membaca doa-doa setelah shalat. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah Saw bila selesai shalat beliau berdoa dengan doa:

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي جَعَلْتَهُ لِي عِصْمَةَ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي جَعَلْتَ فِيهَا مَعَاشِي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِعَفْوِكَ مِنْ نِقْمَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Ya Allah perbaikilah bagiku agamaku yang Engkau telah menjadikannya bagiku sebagai pelindung, dan perbaikilah duniaku yang Engkau telah menjadikannya sebagai tempat hidupku. Ya Allah aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, aku berlindung kepada-Mu dari (siksa) -Mu. Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan dan tiada yang bisa memberi apa yang Engkau halangi. Tidaklah bermanfaat kekayaan dan harta benda bagi pemiliknya, dari-Mu lah segala kekayaan.”

Imam Ibnu Hibban meletakkan hadis ini pada bab: “Penyebutan Hadis Sunnahnya bagi Seseorang untuk Memohon kepada Allah Ta’ala Kebaikan Agama dan Dunianya Selepas Shalat”. Hadis ini dinilai shahih oleh Imam Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (745), dan dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Nataaij Al-Afkar (136).

4. Bahwa doa merupakan amalan mutlak, yaitu bisa dilakukan kapan dan di mana saja, tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Sehingga melaksanakannya selepas shalat tidaklah terlarang, apalagi bila telah didukung oleh dalil-dalil yang disebutkan di atas.

5. Imam Bukhari meletakkan dalam Shahih-nya salah satu bab berjudul: “Bab Doa Setelah Shalat”. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari hal ini dengan berkata: “Pada judul bab ini, merupakan bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa doa setelah shalat tidaklah masyru'”. (Fath Al-Bari: 11/134). Bahkan Imam Nawawi menyatakan: “Telah disebutkan –sebelumnya- sunnahnya dzikir dan doa bagi imam, makmum atau yang shalat munfarid, dan ini hukumnya sunnah di setiap selesai shalat tanpa ada perselisihan dalam masalah ini”. (Al-Majmu’: 3/488).

Catatan :
Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah menyatakan tidak masyru’nya berdoa setelah shalat dengan dalil: Bahwa makna hadis Abu Umamah adalah doa di akhir shalat, sebelum salam, bukan setelah salam. Namun dalil ini telah dibantah dengan ucapan Ibnu Hajar dan Al-Mubarakfuri di awal jawaban ini.

Bahwa orang yang shalat sangat dekat dengan Rabb-nya, sehingga seharusnya ia berdoa di dalam shalat sebelum salam, bukan setelahnya. Namun ini juga terbantahkan bahwa doa itu waktunya mutlak, tidak hanya disyariatkan dalam shalat, tetapi juga di luar shalat, apalagi bagi orang yang sangat memerlukan doa.
Share:

Tuesday, September 18, 2018

Soal Jawab Seputar Amalan Hari 'Asyura (10 Muharram)

SOAL:
Setiap hari 'Asyura atau tanggal sepuluh Muharram, umat Islam banyak melakukan tradisi Islami yang baik. Apakah hal tersebut ada keterangannya dalam kitab para ulama yang mu’tabar dan diakui?

JAWAB:
Ya jelas banyak, antara lain dalam kitab I’anah al-Thalibin karya Sayyid Bakri Syatha al-Dimyathi, dan penjelasan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus al-Makki, ulama Syafi’iyah terkemuka dan pengajar di Masjid al-Haram, dalam kitabnya Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah al-Ma’tsurah allati Tasyrah al-Shudur, halaman 82, sebagai berikut:

فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ # بِهَا اثْنَتَانِ وَلَهَا فَضْلُ نُقِلْ
صُمْ صَلِّ صِلْ زُرْ عَالِمًا عُدْ وَاكْتَحِلْ # رَأْسَ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ
وَسِّعْ عَلىَ الْعِيَالِ قَلِّمْ ظَفَرَا # وَسُوْرَةَ اْلإِخْلاَصِ قُلْ أَلْفًا تَصِلْ

Pada hari 'Asyura terdapat dua belas amalan yang memiliki keutamaan:

1) Puasa
2) Memperbanyak ibadah shalat
3) Shilaturrahmi dengan keluarga dan famili
4) Berziarah kepada ulama
5) Menjenguk orang sakit
6) Memakai celak mata
7) Mengusap kepala anak yatim
8) Bersedekah kepada fakir miskin
9) Mandi
10) Membuat menu makanan keluarga yang istimewa
11) Memotong kuku
12) Membaca surah al-Ikhlash 1000 kali.

SOAL:
Maaf, itu kan keterangan dari ulama muta’akhkhirin, bukan ulama ahli hadits terdahulu. Kami ingin keterangan dari ulama ahli hadits masa lalu? Karena kami khawatir itu justru tradisi Syiah, bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.

JAWAB:
Justru menurut ulama ahli hadits terdahulu, tradisi 'Asyura lebih banyak daripada keterangan di atas. Misalnya seperti yang telah dijelaskan oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, (508-597 H/1114-1201 M), seorang ulama ahli hadits terkemuka bermadzhab Hanbali, yang menjelaskan dalam kitabnya al-Majalis sebagai berikut:

اَلْفَائِدَةُ اْلأُوْلَى: يَنْبَغِيْ أَنْ تَغْسِلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ زَمْزَمَ إِلىَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، فَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَئِذٍ أَمِنَ مِنَ الْمَرَضِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِحَدِيْثٍ، بَلْ يُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. اْلفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ. اْلفَائِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ رَأْسَ الْيَتِيْمِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُفَطِّرَ صَائِمَا. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ يُسْقِيَ الْمَاءَ. اَلْفَائِدَةُ السَّادِسَةُ أَنْ يَزُوْرَ اْلإِخْوَانَ. اَلْفَائِدَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَعُوْدَ الْمَرِيْضَ. اَلْفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ أَنْ يُكْرِمَ وَالِدَيْهِ وَيَبُرَّهُمَا. الْفَائِدَةُ التَّاسِعَةُ أَنْ يَكْظِمَ غَيْظَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْعَاشِرَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْحَادِيَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّانِيَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّالِثَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُمِيْطَ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُصَافِحَ إِخْوَانَهُ إِذَا لَقِيَهُمْ. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ وَمَنْ نَظَرَ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا.

Beberapa faedah amalan soleh pada hari 'Asyura:

1) Mandi pada hari 'Asyura. Telah disebutkan bahwa Allah SWT membedah komunikasi air Zamzam dengan seluruh air pada malam 'Asyura. Karena itu, siapa yang mandi pada hari tersebut, maka akan aman dari penyakit selama setahun. Ini bukan hadits, akan tetapi diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra.
2) Bersedekah kepada fakir miskin.
3) Mengusap kepala anak yatim.
4) Memberi buka orang yang berpuasa.
5) Memberi minuman kepada orang lain.
6) Mengunjungi saudara seagama.
7) Menjenguk orang sakit.
8) Memuliakan dan berbakti kepada kedua orangtua.
9) Menahan amarah dan emosi.
10) Memaafkan orang yang telah berbuat aniaya.
11) Memperbanyak ibadah shalat, doa dan istighfar.
12) Memperbanyak dzikir kepada Allah.
13) Menyingkirkan apa saja yang mengganggu orang di jalan.
14) Berjabat tangan dengan orang yang dijumpainya.
15) Memperbanyak membaca surat al-Ikhlash sampai seribu kali. Karena atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, barangsiapa yang membaca 1000 kali surah al-Ikhlash pada hada hari 'Asyura, maka Allah akan memandang-Nya. Siapa yang dipandang oleh Allah, maka Dia tidak akan mengazabnya selamanya. (Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, kitab al-Majalis halaman 73-74, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Jadi tradisi-tradisi tersebut bukan tradisi Syiah. Tetapi murni Islami dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits.

SOAL:
Sebagian masyarakat Nusantara berbagi-bagi bubur pada hari 'Asyura. Apakah hal tersebut ada dalilnya?

JAWAB:
Ya, berbagi bubur kepada tetangga itu kan bagian dari sedekah. Jelas ada dalilnya. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan "Bubur Syuro" pada hari 'Asyura ini, ada hadits shahih yang mendasarinya.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا. (حديث صحيح، رواه الطبرانى، والبيهقى).
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari 'Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun tersebut.” (Hadits shahih riwayat Imam  al-Thabarani dan al-Baihaqi).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-Imam al-Hafizh Ahmad al-Ghumari menulis kitab khusus tentang keshahihannya berjudul, Hidayah al-Shaghra’ bi-Tashhih Hadits al-Tausi’ah ‘ala al-‘Iyal Yauma ‘Asyura’. Bahkan al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, sebagai berikut:

وَقَالَ ابْنُ مَنْصُوْرٍ: قُلْتُ لأَحْمَدَ: هَلْ سَمِعْتَ فِي الْحَدِيْثِ: ( مَنْ وَسَّعَ عَلىَ أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ) فَقَالَ: نَعَمْ رَوَاهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرٍ اْلأَحْمَرِ عَنْ إِبْرَاهِيْمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمُنْتَشِرِ وَ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ فقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: جَرَّبْنَاهُ مُنْذُ خَمْسِيْنَ سَنَةً أَوْ سِتِّيْنَ سَنَةً فَمَا رَأَيْنَا إِلاَّ خَيْرًا. (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص ١٣٧-١٣٨).
“Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari 'Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir –orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh”. Sufyan bin Uyainah berkata, “Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).

Perhatikanlah, ternyata tradisi sedekah 'Asyura telah berlangsung sejak generasi salaf.

SOAL: Apa tujuan mengusap kepala anak yatim pada hari 'Asyura?

JAWAB:
Pertanyaan Anda dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. (رواه أحمد. قال الحافظ الدمياطي ورجاله رجال الصحيح).
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki mengeluhkan hatinya yang keras kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau bersabda: “Usaplah kepala anak yatim, dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad [9018]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: “Para perawinya adalah para perasi hadits shahih.” Lihat, al-Hafizh al-Dimyathi, al-Matjar al-Rabih fi Tsawab al-‘Amal al-Shalih, hlm 259 [1507]).

Simaklah, dalam hadits di atas, mengusap kepala anak yatim dan bersedekah makanan kepada kaum miskin dapat menjadi obat bagi hati yang keras. 

Wallahu a’lam.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online