Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Wednesday, November 14, 2018

Meminta Tolong dan Menyampaikan Harapan Melalui Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya ada banyak hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah SAW meluluskan permohonan dan permintaan orang-orang yang memiliki hajat, serta bagaimana beliau membebaskan mereka dari kesulitan. Karena Rasulullah SAW adalah wasilah yang paling utama untuk memohon kepada Allah SWT, baik untuk menolak bencana maupun untuk tercapainya suatu hajat.
 
Tidak diragukan lagi bahwa Kiamat adalah suatu masa yang paling menakutkan dan mengerikan bagi seluruh manusia. Hari Kiamat adalah masa penantian yang seolah-olah tiada ujungnya. Pada masa itu panas yang memanggang di tengah kumpulan manusia bak pasir di lautan, sementara cucuran keringat menggenang melampaui leher. 
 
Dalam keadaan seperti itu, seluruh manusia akan mencari hamba yang paling disayang Allah untuk menjadi perantara dalam memohon keringanan penderitaan yang sedang mereka alami, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: “Ketika mereka mengalami penderitaan yang hebat itu, maka mereka pun memohon keselamatan kepada Allah dengan Nabi Adam (sebagai wasilah).” Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menggunakan kata “istaghatsu” yang berarti memohon keselamatan. (Demikian redaksi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari).
 
Para sahabat pun memohon pertolongan dan keselamatan kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah. Mereka juga meminta syafaat kepada beliau dan mengadukan banyak hal kepada beliau, seperti kemiskinan, penyakit, bencana, dililit hutang dan kelemahan fisik yang mereka alami. Bahkan mereka berlindung kepada beliau ketika menghadapi marabahaya dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya beliau itu tidak lebih dari seorang perantara (wasilah) dalam mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, sedangkan pelaku yang sesungguhnya adalah Allah SWT.
 
Kisah Abu Hurairah ra
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam yang lain dari Abu Hurairah ra, bahwa pada suatu hari beliau mengadu kepada Rasulullah SAW tentang banyaknya hadits Rasulullah yang terlupakan olehnya, sehingga Abu Hurairah ra meminta agar dibebaskan dari penyakit lupa yang dialaminya. 
 
Abu Hurairah ra berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mendengar sabda-sabdamu, tetapi aku sering lupa, maka aku ingin sekali untuk tidak lupa.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Bentangkanlah surbanmu!” Abu Hurairah pun membentangkan surbannya. Kemudian Rasulullah SAW meraup-raupkan tangannya ke udara di atas surban itu, kemudian bersabda, “Dekaplah!” Maka Abu Hurairah mendekap surban itu dan menempelkannya ke dadanya. Dan berkata Abu Hurairah, “Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa lagi.”
 
Jika kita perhatikan hadits di atas, sebenarnya Abu Hurairah ra telah meminta kepada Rasulullah SAW sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, yakni menghilangkan sifat lupa. Lalu, mengapa Rasulullah tidak menolak dan menghukuminya sebagai perbuatan syirik? Jawabnya adalah karena beliau tahu bahwa permintaan seseorang kepada orang-orang yang dianggap memiliki keutamaan di sisi Allah bukanlah permintaan untuk menciptakan sesuatu, dan si pemohon tidak pula berkeyakinan bahwa mereka itu mampu menciptakan dan berbuat seperti Allah SWT.
 
Ia hanya bermaksud menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah), karena mereka memiliki keutamaan dan kekuasaan yang telah Allah berikan kepada mereka, baik dalam bentuk doa maupun kelebihan yang lain yang dikehendaki Allah.
 
Sebagaimana yang kita baca dalam hadits di atas, Nabi SAW dalam memenuhi permintaan Abu Hurairah, tidak disebutkan bahwa beliau mendoakan Abu Hurairah. Beliau hanya meraup-raupkan tangannya di udara kemudian menumpahkannya ke hamparan surban Abu Hurairah, dan memintanya supaya mendekap surban tersebut. Abu Hurairah ra kemudian mendekap surban itu ke dadanya, dan atas karunia Allah, apa yang dilakukan Nabi SAW itu menjadi sebab terkabulnya permohonan Abu Hurairah ra.
 
Kisah Qatadah ra
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Qatadah ra terkena anak panah di bagian matanya, yang menyebabkan bola matanya keluar dan menggantung di atas pipinya. Waktu itu para sahabat yang lain bermaksud hendak menolongnya, namun ditolak oleh Qatadah karena belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.
 
Setelah Qatadah meminta izin kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak mengizinkan mereka membantu Qatadah. Justru Rasulullah SAW sendiri yang memegang bola mata Qatadah dan memasukkannya kembali ke tempat semula, sehingga sembuhlah mata Qatadah, bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
 
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baghawi, Abu Ya’la, al-Daruquthni, Ibnu Sahir dan al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail. Kisah ini juga dinukil oleh al-Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah, juz 3 halaman 225, al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 4 halaman 297, dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Qubra.
 
Kisah Melenyapkan Bisul
Dari hadits Muhammad Ibnu Uqbah dari Syurahbil dari kakeknya Abdurrahman, dari bapaknya yang berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW karena bisul yang ada di telapak tanganku.  Aku berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bisul ini telah menghalangiku dari bertempur di jalan Allah dan menyakitkanku ketika aku memegang kendali kuda.” Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Mendekatlah kepadaku.” Aku pun mendekat. Kemudian beliau membuka dan meniup telapak tanganku. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas bisul itu sambil menepuk-nepuknya. Maka pada saat itu juga bisulku lenyap tanpa bekas.”
 
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan dinukil oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, juz 8 halaman 298.
 
Kisah Muadz ra
Di tengah berkecamuknya perang Badar, Muadz bin Amr bin al-Jamuh ra mendapatkan tebasan pedang di pundaknya dari Ikrimah bin Abu Jahal. Kemudian Muadz bercerita, “Tebasan pedang itu memutuskan lenganku, namun masih tergantung di badanku karena ada sedikit kulit yang tidak putus. Maka kuselipkan lenganku itu di balik punggungku dan aku terus berperang di sepanjang hari itu. Akan tetapi lama kelamaan gerakanku menjadi terganggu karena keadaan lenganku itu. Maka kuhentakkan lengan itu hingga menjadi lepas dari tempatnya.” Setelah itu, sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Qadhi Iyadh dari Ibnu Wahab dalam kitab al-Mawahib, Muadz membawa lengannya yang lepas itu kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian meletakkan tangan yang sudah lepas itu ke tempatnya semula dan meludahinya. Seketika itu juga lengan Muadz kembali tersambung seperti sedia kala.
 
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Zarqani dan disandarkan kepada Ibnu Ishaq, dan di antaranya sanadnya terdapat al-Hakim.
 
Meminta Tolong kepada Nabi SAW untuk Menolak Bencana
Ada banyak hadits yang menerangkan tawassul pada sahabat dengan Nabi SAW ketika mereka mengalam musim kemarau yang berkepanjangan. Dan di antaranya adalah sebagai berikut:
 
Suatu ketika, seorang Arab Badui memanggil-manggil Nabi SAW sewaktu beliau menyampaikan khutbah Jumat. “Wahai Rasulullah, telah musnah harta benda kami karena kami tidak berdaya untuk mencegahnya. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami, agar Dia menurunkan hujan,” kata Arab Badui itu. Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan turun dari langit. Pada hari Jumat berikutnya, Arab Badui itu datang lagi dan berkata, “Harta benda kami porak poranda, rumah kami roboh, hewan ternak kami mati disebabkan oleh derasnya air hujan, sedangkan kami tidak dapat berbuat apa-apa.” Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan hanya turun di sekitar kota Madinah.
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Istisqa’, pada Bab “Permintaan Rakyat kepada Imam untuk Melaksanakan Shalat Istisqa’ ketika Terjadi Bencana Kekeringan.” Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Aisyah ra. Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dengan rangkaian sanad yang bersumber dari Anas ra, yang di dalamnya disebutkan bahwa Arab Badui setelah menyampaikan keluh kesahnya kemudian berkata, “Maka tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah. Dan hendak ke mana lagi manusia bergantung kecuali kepada Rasulullah?” Riwayat mengenai hadits ini juga dapat dilihat dalam kitab Fath al-Bari, jilid 2 halaman 495.
 
Perhatikanlah bagaimana para sahabat secara majazi telah menisbatkan pertolongan dan manfaat kepada Rasulullah SAW. Demikian pula dengan orang Badui itu sewaktu ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah.” Namun Rasulullah SAW tidak memusyrikkannya, karena penisbatan kepada Nabi di sini tidaklah bersifat hakiki, melainkan idhafi (relatif).
 
Mungkin Anda bertanya, “Apakah tindakan Nabi SAW itu disebabkan beliau tidak mengerti firman Allah yang memerintahkan agar manusia hanya bergantung kepada Allah SWT?”
 
Jawabnya, tentu saja beliau mengerti akan ayat tersebut karena ia diturunkan kepada beliau. Namun ketahuilah bahwa makna hakiki dari tempat bergantung yang diharapkan dapat menolong dan memberi manfaat, hanyalah Allah SWT dan para Rasul-Nya, bukan yang lain selain Allah dan para Rasul-Nya itu.
 
Mengapa para Rasul itu dikatakan termasuk sebagai tempat bergantung? Karena mereka adalah kelompok pertama yang dapat dijadikan sebagai perantara (wasilah) kepada Allah SWT. Mereka juga merupakan kelompok yang doanya paling didengar oleh Allah dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan hajat umatnya.
 
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW begitu terkesan dengan ucapan si Arab Badui dalam kisah di atas, hingga beliau bersegera memenuhi harapannya dengan berdoa kepada Allah SWT. Beliau tidak lagi menunda harapan Arab Badui itu hingga Allah mengabulkannya.
 
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online