Dzikir
secara bahasa memiliki arti mengingat atau menyebut. Kata ini kemudian
dijadikan istilah bagi setiap bacaan-bacaan dan doa-doa yang diulang-ulang.
Cara berdzikir secara umum terbagi menjadi tiga. Pertama, dzikir dengan
lisan dan hati. Kedua, dzikir dengan hati. Ketiga, dzikir dengan
lisan.
Dipandang
dari segi keutamaan, dzikir yang paling utama adalah dzikir yang diucapkan
dengan perantara lisan sekaligus dihayati oleh hati. Dengan sama-sama
menyinergikan antara lisan dan hati, seseorang akan lebih merasakan nikmatnya
melantunkan dzikir yang ia bacakan, serta dzikir itu akan lebih membekas dalam
hati, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“Ingatlah,
hanya dengan berdzikir pada Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d:
28)
Berdzikir
bisa dilakukan kapan pun selama tidak dilakukan di tempat atau waktu yang tidak
layak untuk dibuat dzikir, seperti saat berada di kamar mandi, saat sedang
melakukan kemaksiatan dan dalam keadaan-keadaan lain yang terkesan merendahkan
terhadap nilai dzikir. Namun ada juga dzikir-dzikir yang memang berasal dari
ijazah atau wejangan khusus dari seorang kiai atau guru yang diberikan pada
seseorang agar diamalkan pada waktu-waktu tertentu, seperti dzikir yang dibaca
hanya pada waktu setelah selesai shalat maghrib, setelah terbitnya matahari,
dan waktu-waktu lain yang telah ditentukan oleh seorang mujiz (orang yang
mengijazahkan). Dzikir seperti ini harus diamalkan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan, tidak diperkenankan baginya untuk mengamalkan dzikir tersebut
pada waktu yang lain, sebab akan berpengaruh pada fadhilah (keutamaan) yang
terkandung dalam dzikir tersebut.
Seiring
dengan padatnya aktivitas yang dijalani seseorang, seringkali ia bersikukuh
untuk istiqamah mengamalkan dzikir sesuai dengan waktu yang telah ditentukan,
namun terkadang ia terganggu dengan aktivitas yang bersifat mendadak yang
menuntutnya untuk tidak melakukan dzikir pada waktu itu. Seperti saat tengah
mengamalkan dzikir, tiba-tiba rumahnya dikunjungi oleh tamu yang mencarinya.
Dalam keadaan seperti ini, manakah yang didahulukan? Melanjutkan dzikir yang ia
baca sampai selesai, atau berhenti saat itu juga dan bergegas menemui tamu yang
mencarinya?
Dalam
permasalahan demikian, hendaknya yang dilakukan adalah menyudahi dzikir yang ia
baca dan bergegas menemui tamu yang mencarinya dengan niat ia akan melanjutkan
bacaan dzikirnya setelah tamu tersebut bergegas pulang. Hal ini dikarenakan
bacaan-bacaan dzikir dapat di-qadha untuk dilakukan di waktu yang lain,
sedangkan menemui tamu hanya terjadi pada momen-momen tertentu yang seringkali
tidak bisa terulang. Sikap seperti ini merupakan sikap yang juga dilakukan oleh
para ulama pada zaman dahulu, seperti yang dijelaskan dalam kitab Tadzkir
an-Nas:
وقال سيدي رضي الله عنه لبعض زائريه
من السادة العلويين إذا جاءني أحد ممّن أحبّه أترك أورادي وأجلس معه. وكان بعض
السلف وهو السيد علوي بن عبد الله العيدروس صاحب ثبي يقول: الأوراد تقضى ومجالسة الإخوان
لا تقضى
“Junjunganku
berkata pada sebagian orang yang mengunjunginya dari golongan Alawiyyin: “Ketika datang padaku salah satu dari
orang yang aku cintai, maka aku tinggalkan wiridanku dan aku akan menemani
duduk bersamanya”. Sebagian Salafus Shalih yaitu Sayyid Alawi bin Abdullah
Al-‘Idrus berkata: “Wiridan (dzikir) dapat di-qadha, sedangkan duduk
bercengkrama dengan teman-teman tidak dapat di-qadha.” (Sayyid Ahmad bin
Hasan bin Abdullah Al-‘Attas, Tadzkir an-Nas, hal. 117)
Begitu
juga bisa disamakan dengan permasalahan menemui tamu ini, setiap perbuatan yang
faidah dan maslahatnya dipandang lebih besar jika dibandingkan dengan
melanjutkan dzikir yang sedang dilakukan. Seperti melakukan amar makruf nahi
munkar, menolong orang lain yang butuh pertolongan dan permasalahan lain yang
sama. Maka dalam keadaan seperti ini, dianjurkan bagi orang yang dzikir untuk
sejenak berhenti dari dzikir yang ia baca untuk melakukan aktivitas yang
dipandang lebih besar manfaatnya (Muhammad bin ‘Alan, Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah,
hal. 154-155).
Sisi
kemaslahatan dan kemanfaatan yang ada pada menemui tamu, amar makruf nahi
Munkar di atas dipandang lebih besar jika dibandingkan dengan melanjutkan
dzikir dikarenakan dalam dzikir manfaatnya hanya terbatas pada pribadi orang
yang berdzikir saja (al-qâshir) sedangkan dalam melakukan
aktivitas-aktivitas seperti di atas kemanfaatannya tidak terbatas pada dirinya
sendiri namun juga pada orang lain (al-muta’addi). Dalam kaidah fiqih,
hal yang manfaatannya berkaitan dengan orang lain, secara umum lebih
didahulukan daripada sesuatu yang manfaatnya hanya kembali pada dirinya sendiri
(al-muta‘addî afdlalu minal qâshir).
Demikian
penjelasan menyikapi hal-hal yang meenuntut memutus dzikir, dari sini dapat
kita tarik kesimpulan bahwa nilai ibadah yang bersifat sosial tidak kalah
penting dibandingkan ibadah yang bersifat ritual. Oleh sebab itu kadang kala
hal kecil yang bermanfaat bagi orang lain lebih besar nilainya di sisi Allah dibandingkan
dengan ibadah yang bersifat individu.
Wallahu
a’lam.
Sumber: di sini
0 comments:
Post a Comment