Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Friday, November 30, 2018

Dua Golongan Manusia

Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata:

“Manusia itu terbagi menjadi dua golongan: Pertama, golongan yang mencari dunia, maka menghindarlah darinya. Sesungguhnya boleh jadi ia memperoleh apa yang ia cari, namun justru ia hancur karena yang ia dapatkan itu. Dan bisa jadi ia kehilangan apa yang ia cari, lalu ia hancur karena kehilangan itu.

Kedua, golongan yang mencari akhirat. Jika engkau menemui salah satu dari mereka, maka berlomba-lombalah dengannya.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Al-Bayan wat Tabyin, III/138.

Tidak semua manusia di dunia ini layak dipergauli. Di antara mereka ada orang-orang yang hanya menunjukkan kepada kita jalan-jalan kehancuran, namun ada pula yang memperlihatkan kepada kita jalan-jalan kebahagiaan.

Sayidina Umar bin Khaththab ra membagi manusia yang ada di dunia ini ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah kumpulan orang-orang yang hanya mencari dunia, mendambanya, dan pada akhirnya menjadi budaknya. Sedangkan golongan kedua adalah kumpulan orang-orang yang lebih memilih untuk meraih kebahagiaan akhirat. Mereka tidak tergoda oleh gemerlap dunia karena telah mengetahui hakikatnya yang bersifat sementara.

Kepada kita Sayidina Umar ra memberi nasihat agar menghindar dari golongan pertama, jika kita bertemu dengan mereka. Mengapa harus menghindar? Ketahuilah, orang-orang yang mencari dunia apabila bertemu dengan Anda, maka yang akan dibicarakannya pastilah hal-hal yang bersifat keduniawian. Setiap sudut hatinya telah terisi oleh kehendak untuk memiliki dunia dengan segala yang ada di dalamnya. Ia akan menceritakan kepada Anda apa saja yang telah ia raih dan apa saja yang masih menjadi impiannya. Kalau ia telah mampu meraih isi dunia dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada yang Anda raih, maka ia akan merendahkan Anda. Akibatnya, Anda pun akan terdorong untuk melakukan segala macam cara agar bisa menyamainya, bahkan melebihnya. Bila itu yang terjadi, Anda akan masuk ke dalam lingkaran mereka, dan takkan pernah meraih kepuasan di dalamnya.

Sayidina Umar ra menjelaskan, orang-orang yang mencari dunia seringkali mengira dunia akan mampu membahagiakannya. Padahal boleh jadi yang diraihnya dari dunia itu justru menjadi sumber malapetaka yang akan menghancurkannya. Saat ini pun kita bisa saksikan, popularitas dan gelimangan harta telah memasukkan banyak orang ke jurang kehancuran. Jalannya bisa melalui penggunaan narkoba, pergaulan bebas, perjudian, dan sebagainya.

Di sisi lain, kehancuran pun akan dialami oleh para pencari dunia saat ia mengalami kehilangan atas apa yang telah diperolehnya. Meraih dunia tidaklah memberi kepuasaan. Sebaliknya, akan memuncul perasaan kurang, kurang, dan kurang. Rasanya, apa yang telah diraih itu selalu tidak mampu memenuhi tuntutan kehendak, bahkan sering kali memunculkan kehendak-kehendak baru. Saat seseorang sangat menghendaki dunia, maka ia tak ingin sedikit pun berkurang segala sesuatu yang telah diperolehnya dari dunia. Nah, inilah awal malapetaka. Bila kenyataan hidup pada akhirnya membawanya pada kehilangan sebagian atau seluruh kekayaan yang telah diraihnya, maka ia akan hancur karena kehilangan itu. Itulah sebabnya Sayidina Umar ra mengatakan pada kita agar menghindar dari mereka.

Namun, bila kita bertemu dengan golongan kedua, segeralah mendekat padanya. Mereka akan mengajak Anda berlomba untuk meraih kebahagiaan akhirat. Caranya adalah dengan perlombaan saling memperbanyak kebajikan di kehidupan dunia ini.
Share:

Thursday, November 29, 2018

Akal dan Kebodohan

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah berkata:

“Tidak ada kekayaan yang lebih berguna daripada akal, dan tidak ada kemiskinan yang lebih berbahaya daripada kebodohan.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Al-Aqdul Farid, 2/106.

Di zaman yang serba mengandalkan kepemilikan materi ini, menyebabkan sebagian besar orang memandang kekayaan itu adalah kepemilikan harta dalam jumlah yang banyak. Sedangkan kemiskinan dimengerti sebagai keadaan hidup dengan kepemilikan harta yang sangat sedikit. Betulkah demikian hakikat kekayaan dan kemiskinan?

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra melalui nasihatnya ini memberikan jawaban pada kita tentang persoalan ini. Menurut beliau, bukanlah kekayaan itu terletak pada kepemilikan harta dalam jumlah yang banyak. Kekayaan itu adalah akal yang sehat dan sempurna. Akal jauh lebih berharga daripada harta. Dengan akal yang sehat dan dapat berpikir dengan baik, harta bisa diperoleh. Namun harta yang banyak takkan mungkin bisa mengembalikan akal yang tidak sehat pada keadaan normal seperti sedia kala.

Harta yang banyak sering kali membuat manusia lupa memfungsikan akal sehatnya. Akibatnya ia lupa diri dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal sehatnya. Tatkala seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehatnya, maka ia terjerumus pada keadaan yang boleh jadi akan menempatkan dirinya pada posisi yang lebih hina daripada seekor hewan.

Tidak demikian dengan orang yang memiliki akal dan mampu memfungsikannya dengan baik. Sekali pun ia tidak memiliki harta dalam jumlah yang banyak, namun dengan akalnya ia bisa meraih hal-hal yang tidak bisa digapai oleh orang-orang yang hanya mengandalkan hartanya. Dengan akal ia bisa membedakan mana yang benar dan yang salah, sehingga ia tidak terjerumus pada kasus-kasus yang bisa menyulitkan dirinya sendiri.

Dengan akal ia tahu bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan baik, sehingga ia pun diperlakukan orang dengan baik pula. Bahkan, dengan akal ia bisa meraih jumlah harta yang lebih banyak. Itulah sebabnya Sayidina Ali ra mengatakan bahwa akal merupakan kekayaan yang lebih berguna dibandingkan kekayaan dalam bentuk apa pun (harta).

Di sisi lain, kemiskinan yang sesungguhnya bukanlah karena sedikitnya jumlah harta yang dimiliki. Kemiskinan hakiki adalah kebodohan, dan Sayidina Ali ra mengatakan, bahwa kemiskinan dalam wujud kebodohan ini jauh lebih berbahaya daripada kemiskinan harta. Kebodohan menyebabkan hidup seseorang menjadi terombang-ambing. Seorang yang bodoh takkan mampu menentukan pilihan hidupnya sendiri. Ia akan mengarah ke mana pun ‘angin bertiup’. Kebodohan menyebabkannya tak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Akibatnya, ia akan melakukan apa pun demi memenuhi kebutuhan itu, bahkan sekali pun harus mengorbankan imannya.

Tentu saja ini sangat berbahaya karena ia bisa menyebabkan tercabutnya iman dari kalbu seorang manusia. Kebodohan hakikatnya adalah kemiskinan terhadap ilmu. Ilmu jauh lebih menyelamatkan daripada harta. Dengan kata lain, miskin ilmu jauh lebih berbahaya daripada miskin harta. Oleh karena itu, seseorang hakikatnya adalah kaya tatkala ia mampu mengoptimalkan penggunaan akalnya berdasarkan ilmu. Dan, seseorang hakikatnya adalah miskin tatkala akal yang dianugerahkan Allah padanya tak pernah disentuhkannya dengan ilmu.
Share:

Wednesday, November 28, 2018

Kalau Bukan Karena Tiga Hal

Disebutkan bahwa Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah berkata:

“Kalau bukan karena tiga hal, maka aku lebih suka bertemu dengan Allah (mati). Kalau bukan karena berjalan di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, kalau bukan demi meletakkan dahiku karena Allah (sujud dan shalat), atau kalau bukan karena bermajelis bersama kaum yang hanya memiliki obrolan yang terbaik, sebagaimana memilih kurma yang terbaik (niscaya aku lebih memilih untuk mati).”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Tahdzib Hilyatil Auliya’, I/71.

Tahukah Anda apa yang ingin dinasihatkan Sayidina Umar ra kepada kita lewat ucapannya ini? Beliau ingin katakan kepada kita bahwa kita harus memiliki dasar yang kuat mengapa kita bersedia menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan kata lain, Anda harus tahu mengapa Anda bersedia untuk terus bertahan menjalani hidup ini?

Bagi Sayidina Umar bin Khaththab ra ada tiga alasan yang membuatnya lebih memilih hidup daripada mati:

1. Karena ingin tetap berjalan di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Karena ingin tetap shalat dan bersujud di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.
3. Karena ingin tetap bisa duduk di dalam majelis yang tidak ada sesuatu apa pun yang diperbincangkan di dalamnya selain hal-hal yang membuat manusia semakin dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Setiap orang berhak mengajukan alasannya sendiri-sendiri. Di antara manusia ada yang bertahan hidup demi anak-istrinya, demi harta dan kekayaannya, demi jabatannya, dan sebagainya. Namun, Sayidina Umar ra memberitahukan kepada kita tiga alasan yang jauh lebih mulia daripada alasan-alasan tersebut; yang dengannya layak bagi kita untuk tetap bertahan hidup di dunia ini.

Makna lain yang bisa dipetik dari ungkapan Sayidina Umar ra di atas adalah jika di dunia ini kita tidak mampu untuk tetap berjalan di atas jalan yang diridhai Allah, tidak bersedia untuk sujud di hadapan-Nya, dan tidak pernah hadir di majelis yang di dalamnya diperbincangkan hal-hal yang bisa mendekatkan diri manusia kepada Allah, maka itu artinya kematian jauh lebih baik bagi kita daripada kehidupan. Mengapa demikian? Karena keadaan itu telah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa kita jauh dari hal-hal yang diridhai Allah, dan jika kematian tidak segera menghampiri, maka keadaan itu hanya akan semakin menambah catatan dosa kita di sisi Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, jika Anda ingin tetap hidup, hiduplah dengan melaksanakan segala sesuatu yang membuat Tuhan ‘tersenyum’ pada Anda. Hanya dengan cara itulah hidup Anda akan menjadi mulia, baik dalam pandangan manusia maupun Tuhan. Kalau Anda mampu melakukannya, maka Anda memang layak untuk hidup.
Share:

Tuesday, November 27, 2018

Keutamaan Berusaha Sendiri

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah berkata:

“Sesungguhnya orang yang hidup dari usaha orang lain, seperti orang yang menanam pohon di tanah orang lain.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya’, 1/71.

Ini merupakan sebuah nasihat yang menggugah kita untuk berbuat. Manusia memang makhluk yang tak mungkin bisa hidup tanpa bantuan yang lain. Namun hal itu bukan berarti manusia harus menggantungkan hidupnya dari usaha orang lain. Seseorang harus berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan tak boleh menjadi beban bagi yang lain.

Saat ini, ada banyak orang yang membanggakan sesuatu yang sebetulnya bukanlah hasil usahanya sendiri. Misalnya, seorang pemuda yang mengendari mobil mewah dan bergaya hidup mewah. Padahal semua yang dimilikinya itu tidak lebih dari usaha orangtuanya. Ia hanya menikmatinya tanpa pernah tahu bagaimana berusaha untuk memperolehnya. Generasi seperti itu bukanlah generasi yang baik. Tak ada apa pun yang bisa dibanggakan dari sosok manusia dengan tabiat seperti itu.

Orang yang berusaha dengan cucuran keringat meskipun hanya memperoleh hasil sedikit jauh lebih mulia di mata Allah daripada orang yang hidup berkecukupan namun bukan hasil usahanya sendiri. Sayidina Ali ra mengibaratkan orang yang hidup dengan bergantung pada usaha orang lain seperti seseorang yang menanam pohon di atas tanah milik orang lain. Apa yang Anda simpulkan dari perumpamaan itu? Ya, yang pasti ia tak memiliki hak apa pun atasnya, karena ia hanya memanfaatkan apa yang telah dihasilkan oleh orang lain.

Oleh karena itu, bergerak dan berbuatlah. Jangan menjadi manusia pemalas. Yang diwajibkan bagi kita adalah berusaha. Sedangkan hasilnya serahkan kepada Sang Pemegang Keputusan, yakni Allah Swt.
Share:

Sunday, November 25, 2018

Membaca Shalawat Tanpa Salam dan Salam Tanpa Shalawat

Al-Imam Ibnu Shalah dalam kitabnya yang terkenal dengan sebutan Muqaddimah Ibnu Shalah menjelaskan:

وروي عن حمزة الكناني رحمه الله تعالى أنه كان يقول : (كنت أكتب الحديث وكنت أكتب عند ذكر النبي صلى الله عليه وسلم ولا أكتب "وسلم" فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في المنام فقل لي: ما لك لا تتم الصلاة علي؟ قال: فما كتبت بعد ذلك صلى الله عليه إلا كتبت "وسلم") ... إلى أن قال ابن الصلاح: (قلت ويكره أيضا الا قتصار على قوله: "عليه السلام". والله أعلم)

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinaniy rahimahullahu ta'ala, beliau berkata: "Aku adalah penulis hadits dan ketika menyebut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, aku TIDAK MENULIS "WA SALLAM". Kemudian aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi bersabda kepadaku: "Apa yang menyebabkan kamu tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?"

Beliau (Hamzah) berkata: "Setelah peristiwa tersebut aku tidak pernah lagi menulis "SHALLALLAHU 'ALAIHI" kecuali aku tulis juga "WA SALLAM".

Kemudian Imam Ibnu Shalah berkata: "Menurutku dimakruhkan pula memendekkan dengan ucapan "ALAIHIS SALAM" (saja)."

Wallahu a'lam...

Perlu diingat bahwa perintah di dalam Al-Qur'an adalah membaca SHALAWAT DAN SALAM (bukan hanya salah satu darinya) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! BERSHALAWATLAH kamu untuk Nabi dan UCAPKANLAH SALAM dengan penuh penghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzab: 56)

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
 


Share:

Friday, November 16, 2018

Penyebab Matinya Hati

Sayidina Umar bin Khaththab ra diriwayatkan pernah berkata:

“Barangsiapa yang banyak tertawanya, akan sedikit kewibawaannya. Barangsiapa yang bergurau, ia akan dilecehkan. Barangsiapa yang banyak dalam suatu hal, maka ia akan dikenal dengannya. Dan barangsiapa yang banyak bicaranya, banyak pula kesalahannya. Barangsiapa yang banyak kesalahannya, maka sedikitlah rasa malunya. Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, maka sedikit pula sikap wara’nya (kehati-hatiannya). Dan barangsiapa yang sedikit sikap wara’nya, maka matilah hatinya.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Shifatush Shafwah, I/149.

Melalui nasihatnya ini, Sayidina Umar ra menjelaskan kepada kita hal-hal yang bisa membawa hati seseorang sampai kepada keadaan mati. Menurut Sayidina Umar ra, sikap awal yang beresiko menyebabkan matinya hati seseorang adalah banyak tertawa.

“Ah…, mana mungkin tertawa bisa menyebabkan hati menjadi mati?” Mungkin Anda akan berkata seperti itu. Ya, tak bisa dipungkiri bahwa kita memang butuh untuk tertawa. Tertawa bisa meminimalkan dampak stress terhadap kesehatan. Namun, yang dimaksud oleh Sayidina Umar ra di sini adalah banyak tertawa atau tertawa secara berlebihan. Tentunya kita sepakat bahwa apa pun yang berlebihan akan menimbulkan akibat yang tidak baik.

Banyak tertawa akan mengurangi, bahkan menghilangkan, kewibawaan. Perhatikanlah orang-orang yang berprofesi sebagai komedian. Di mana letak kewibawaan mereka? Senda gurau dan canda tawa yang selalu mereka mainkan membuat kewibawaan lenyap dari kehidupan mereka. Rasa saling menghormati dan menghargai menjadi pudar. Bagi mereka yang penting bisa membuat orang lain tertawa. Hilangnya kewibawaan dari diri seseorang menyebabkannya mudah dilecehkan orang lain.

Saat seseorang bergurau dan bercanda dengan teman-temannya, simaklah apa yang mereka ucapkan. Sering kali yang kita dengar adalah ucapan-ucapan yang mengandung kebohongan dan tanpa makna. Ucapan-ucapan seperti itu, bila dibandingkan manfaatnya cenderung lebih banyak mudharatnya. Orang yang banyak berucap tanpa memperhatikan kualitas ucapannya, hanya akan memperbanyak kesalahannya. Menurut Sayidina Umar ra, orang yang banyak melakukan kesalahan merupakan gambaran menipisnya rasa malu yang ada pada dirinya. Kalau rasa malu telah hilang, maka sikap kehati-hatian pun akan lenyap, dan itulah tahap akhir yang mengantarkan seseorang pada kondisi hidup dengan keadaan hati yang mati.

Kalau hati sudah mati, maka nilai manusia pasti akan jatuh, bahkan lebih rendah daripada seekor hewan. Kok bisa? Ya, karena hati yang mati takkan pernah lagi memperoleh aliran petunjuk dari Allah Ta’ala. Orang yang hidup tanpa petunjuk Allah akan dituntun oleh dorongan nafsunya. Sehingga setiap perbuatannya adalah cerminan dari kehendak nafsu yang telah menguasainya. Padahal, nafsu selalu menuntun manusia kepada perbuatan maksiat terhadap Allah Swt.

Oleh karena itu, bila ingin hati kita tidak menjadi mati, yang harus kita lakukan adalah:

  • Bergurau dan tertawalah secara sederhana. 
  • Perbanyak melakukan kebaikan, maka Anda akan dikenal karena kebaikan itu. 
  • Berhati-hati dalam berucap dan jangan sampai mengucapkan kata-kata yang hanya akan menambah catatan kesalahan Anda di sisi Allah. 
  • Tanamkan dalam diri rasa malu, terutama kepada Allah. 
  • Bersikap hati-hati (wara’) dalam menjalani hidup ini.
Share:

Wednesday, November 14, 2018

Meminta Tolong dan Menyampaikan Harapan Melalui Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya ada banyak hadits yang menerangkan bagaimana Rasulullah SAW meluluskan permohonan dan permintaan orang-orang yang memiliki hajat, serta bagaimana beliau membebaskan mereka dari kesulitan. Karena Rasulullah SAW adalah wasilah yang paling utama untuk memohon kepada Allah SWT, baik untuk menolak bencana maupun untuk tercapainya suatu hajat.
 
Tidak diragukan lagi bahwa Kiamat adalah suatu masa yang paling menakutkan dan mengerikan bagi seluruh manusia. Hari Kiamat adalah masa penantian yang seolah-olah tiada ujungnya. Pada masa itu panas yang memanggang di tengah kumpulan manusia bak pasir di lautan, sementara cucuran keringat menggenang melampaui leher. 
 
Dalam keadaan seperti itu, seluruh manusia akan mencari hamba yang paling disayang Allah untuk menjadi perantara dalam memohon keringanan penderitaan yang sedang mereka alami, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: “Ketika mereka mengalami penderitaan yang hebat itu, maka mereka pun memohon keselamatan kepada Allah dengan Nabi Adam (sebagai wasilah).” Dalam hadits di atas Rasulullah SAW menggunakan kata “istaghatsu” yang berarti memohon keselamatan. (Demikian redaksi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari).
 
Para sahabat pun memohon pertolongan dan keselamatan kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah. Mereka juga meminta syafaat kepada beliau dan mengadukan banyak hal kepada beliau, seperti kemiskinan, penyakit, bencana, dililit hutang dan kelemahan fisik yang mereka alami. Bahkan mereka berlindung kepada beliau ketika menghadapi marabahaya dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya beliau itu tidak lebih dari seorang perantara (wasilah) dalam mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, sedangkan pelaku yang sesungguhnya adalah Allah SWT.
 
Kisah Abu Hurairah ra
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam yang lain dari Abu Hurairah ra, bahwa pada suatu hari beliau mengadu kepada Rasulullah SAW tentang banyaknya hadits Rasulullah yang terlupakan olehnya, sehingga Abu Hurairah ra meminta agar dibebaskan dari penyakit lupa yang dialaminya. 
 
Abu Hurairah ra berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mendengar sabda-sabdamu, tetapi aku sering lupa, maka aku ingin sekali untuk tidak lupa.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Bentangkanlah surbanmu!” Abu Hurairah pun membentangkan surbannya. Kemudian Rasulullah SAW meraup-raupkan tangannya ke udara di atas surban itu, kemudian bersabda, “Dekaplah!” Maka Abu Hurairah mendekap surban itu dan menempelkannya ke dadanya. Dan berkata Abu Hurairah, “Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa lagi.”
 
Jika kita perhatikan hadits di atas, sebenarnya Abu Hurairah ra telah meminta kepada Rasulullah SAW sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, yakni menghilangkan sifat lupa. Lalu, mengapa Rasulullah tidak menolak dan menghukuminya sebagai perbuatan syirik? Jawabnya adalah karena beliau tahu bahwa permintaan seseorang kepada orang-orang yang dianggap memiliki keutamaan di sisi Allah bukanlah permintaan untuk menciptakan sesuatu, dan si pemohon tidak pula berkeyakinan bahwa mereka itu mampu menciptakan dan berbuat seperti Allah SWT.
 
Ia hanya bermaksud menjadikan mereka sebagai perantara (wasilah), karena mereka memiliki keutamaan dan kekuasaan yang telah Allah berikan kepada mereka, baik dalam bentuk doa maupun kelebihan yang lain yang dikehendaki Allah.
 
Sebagaimana yang kita baca dalam hadits di atas, Nabi SAW dalam memenuhi permintaan Abu Hurairah, tidak disebutkan bahwa beliau mendoakan Abu Hurairah. Beliau hanya meraup-raupkan tangannya di udara kemudian menumpahkannya ke hamparan surban Abu Hurairah, dan memintanya supaya mendekap surban tersebut. Abu Hurairah ra kemudian mendekap surban itu ke dadanya, dan atas karunia Allah, apa yang dilakukan Nabi SAW itu menjadi sebab terkabulnya permohonan Abu Hurairah ra.
 
Kisah Qatadah ra
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari Qatadah ra terkena anak panah di bagian matanya, yang menyebabkan bola matanya keluar dan menggantung di atas pipinya. Waktu itu para sahabat yang lain bermaksud hendak menolongnya, namun ditolak oleh Qatadah karena belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.
 
Setelah Qatadah meminta izin kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak mengizinkan mereka membantu Qatadah. Justru Rasulullah SAW sendiri yang memegang bola mata Qatadah dan memasukkannya kembali ke tempat semula, sehingga sembuhlah mata Qatadah, bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
 
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baghawi, Abu Ya’la, al-Daruquthni, Ibnu Sahir dan al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail. Kisah ini juga dinukil oleh al-Imam Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah, juz 3 halaman 225, al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Majma’ al-Zawaid, juz 4 halaman 297, dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Khashais al-Qubra.
 
Kisah Melenyapkan Bisul
Dari hadits Muhammad Ibnu Uqbah dari Syurahbil dari kakeknya Abdurrahman, dari bapaknya yang berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW karena bisul yang ada di telapak tanganku.  Aku berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bisul ini telah menghalangiku dari bertempur di jalan Allah dan menyakitkanku ketika aku memegang kendali kuda.” Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Mendekatlah kepadaku.” Aku pun mendekat. Kemudian beliau membuka dan meniup telapak tanganku. Setelah itu beliau meletakkan tangannya di atas bisul itu sambil menepuk-nepuknya. Maka pada saat itu juga bisulku lenyap tanpa bekas.”
 
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan dinukil oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, juz 8 halaman 298.
 
Kisah Muadz ra
Di tengah berkecamuknya perang Badar, Muadz bin Amr bin al-Jamuh ra mendapatkan tebasan pedang di pundaknya dari Ikrimah bin Abu Jahal. Kemudian Muadz bercerita, “Tebasan pedang itu memutuskan lenganku, namun masih tergantung di badanku karena ada sedikit kulit yang tidak putus. Maka kuselipkan lenganku itu di balik punggungku dan aku terus berperang di sepanjang hari itu. Akan tetapi lama kelamaan gerakanku menjadi terganggu karena keadaan lenganku itu. Maka kuhentakkan lengan itu hingga menjadi lepas dari tempatnya.” Setelah itu, sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Qadhi Iyadh dari Ibnu Wahab dalam kitab al-Mawahib, Muadz membawa lengannya yang lepas itu kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian meletakkan tangan yang sudah lepas itu ke tempatnya semula dan meludahinya. Seketika itu juga lengan Muadz kembali tersambung seperti sedia kala.
 
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Zarqani dan disandarkan kepada Ibnu Ishaq, dan di antaranya sanadnya terdapat al-Hakim.
 
Meminta Tolong kepada Nabi SAW untuk Menolak Bencana
Ada banyak hadits yang menerangkan tawassul pada sahabat dengan Nabi SAW ketika mereka mengalam musim kemarau yang berkepanjangan. Dan di antaranya adalah sebagai berikut:
 
Suatu ketika, seorang Arab Badui memanggil-manggil Nabi SAW sewaktu beliau menyampaikan khutbah Jumat. “Wahai Rasulullah, telah musnah harta benda kami karena kami tidak berdaya untuk mencegahnya. Maka berdoalah kepada Allah untuk kami, agar Dia menurunkan hujan,” kata Arab Badui itu. Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan turun dari langit. Pada hari Jumat berikutnya, Arab Badui itu datang lagi dan berkata, “Harta benda kami porak poranda, rumah kami roboh, hewan ternak kami mati disebabkan oleh derasnya air hujan, sedangkan kami tidak dapat berbuat apa-apa.” Maka Rasulullah SAW pun berdoa sehingga hujan hanya turun di sekitar kota Madinah.
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Istisqa’, pada Bab “Permintaan Rakyat kepada Imam untuk Melaksanakan Shalat Istisqa’ ketika Terjadi Bencana Kekeringan.” Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Aisyah ra. Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dengan rangkaian sanad yang bersumber dari Anas ra, yang di dalamnya disebutkan bahwa Arab Badui setelah menyampaikan keluh kesahnya kemudian berkata, “Maka tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah. Dan hendak ke mana lagi manusia bergantung kecuali kepada Rasulullah?” Riwayat mengenai hadits ini juga dapat dilihat dalam kitab Fath al-Bari, jilid 2 halaman 495.
 
Perhatikanlah bagaimana para sahabat secara majazi telah menisbatkan pertolongan dan manfaat kepada Rasulullah SAW. Demikian pula dengan orang Badui itu sewaktu ia mengatakan, “Tidak ada lagi tempat kami bergantung kecuali kepadamu, duhai Rasulullah.” Namun Rasulullah SAW tidak memusyrikkannya, karena penisbatan kepada Nabi di sini tidaklah bersifat hakiki, melainkan idhafi (relatif).
 
Mungkin Anda bertanya, “Apakah tindakan Nabi SAW itu disebabkan beliau tidak mengerti firman Allah yang memerintahkan agar manusia hanya bergantung kepada Allah SWT?”
 
Jawabnya, tentu saja beliau mengerti akan ayat tersebut karena ia diturunkan kepada beliau. Namun ketahuilah bahwa makna hakiki dari tempat bergantung yang diharapkan dapat menolong dan memberi manfaat, hanyalah Allah SWT dan para Rasul-Nya, bukan yang lain selain Allah dan para Rasul-Nya itu.
 
Mengapa para Rasul itu dikatakan termasuk sebagai tempat bergantung? Karena mereka adalah kelompok pertama yang dapat dijadikan sebagai perantara (wasilah) kepada Allah SWT. Mereka juga merupakan kelompok yang doanya paling didengar oleh Allah dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan hajat umatnya.
 
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW begitu terkesan dengan ucapan si Arab Badui dalam kisah di atas, hingga beliau bersegera memenuhi harapannya dengan berdoa kepada Allah SWT. Beliau tidak lagi menunda harapan Arab Badui itu hingga Allah mengabulkannya.
 
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Share:

Lubab al-Hadits Bab I Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama (Bagian ke-3)

الباب الأول في فضيلة العلم والعلماء
 
Bab I Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama

Hadits No. 4
 
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ انْتَقَلَ لِيَتَعَلَّم عِلْمًا غُفِرَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَخْطُوَ
Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa berpindah (pergi) untuk mencari ilmu, maka (dosanya) diampuni sebelum dia melangkah."
 
Hadits No. 5
 
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَكْرِمُوا الْعُلَمَاءَ فَإِنَّهُمْ عِنْدَ اللهِ كُرَمَاءُ مُكْرَمُوْنَ
Nabi Saw bersabda, "Hendaklah kalian memuliakan ulama, karena mereka itu adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan di sisi Allah ." 
 
Bersambung...
 
لباب الحديث للإمام جلال الدين السيوطي
Share:

Talfiq

Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar'i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak soirang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut.

Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:

الْخَامِسُ - عَدَمُ التَّلْفِيْقِ بِأَنْ لاَ يُلَفِّقَ فِي قَضِيَّةٍ وَاحِدَةٍ إِبْتِدَاءً وَلاَ دَوَامًا بَيْنَ قَوْلَيْنِ يَتَوَلَّدُ مِنْهُمَا حَقِيْقَةً لاَ يَقُوْلُ بِهَا صَاحِبَاهُمَا (تنوير القلوب، ٣٩٧)
"(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliah yang tidak pernah dikatakan oleh orang-orang yang berpendapat tersebut." (Tanwir al-Qulub, 397)
 
Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
 
a. Seseorang berwudhu menurut madzab Imam Syafi'i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi'i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, ImamSyafi'i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.
 
b. Seseorang berwudhu  dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam Syafi'i. Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi'i menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi'i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua Imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan.
 
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana disebutkan dalam kitab I'anah al-Thalibin:
 
وَيُمْتَنَعُ التَّلْفِيْقُ فِي مَسْئَلَةٍ كَأَنْ قَلَّدَ مَالِكًا فِي طَهَارَةِ الْكَلْبِ وَالشَّافِعِيَّ فِي بَعْضِ الرَّأْسِ فِي صَلاَةٍ وَاحِدَةٍ (إعانة الطالبين، ج١ ص١٧)
"Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut kepada Imam Syafi'i dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat." (I'anah al-Thalibin, Juz I, hal. 17)
 
Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu' al-rukhash (mencari yang mudah-mudah), tidak 'memanjakan' umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala'ub (main-main) di dalam hukum agama. 
 
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahibul arba'ah yang relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi'i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemaslahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan begitu, insyaallah hukum akan ditaati oleh pemeluknya. Tidak hanya tertera di atas tumpukan tulisan semata.
Share:

Hakikat Kebaikan

Sayidina Ali bin Abu Thalib ra pernah berkata:

“Bukanlah suatu kebaikan banyaknya hartamu dan anakmu. Tapi kebaikan itu adalah bertambahnya amalanmu, bertambah besar kasih sayangmu, dan engkau bersegera dalam beribadah kepada Tuhanmu.

Jika engkau melakukan suatu kebaikan, maka bertahmidlah. Sedangkan jika engkau melakukan perbuatan buruk, maka beristighfarlah.

Sungguh tidak ada kebaikan di dunia kecuali bagi salah satu dari dua orang: orang yang melakukan suatu dosa, lalu ia menebusnya dengan bertaubat; atau orang yang bersegera melakukan kebaikan.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam kitab Az-Zuhdul Kabir, nomor 708 dan Al-Hilyah, 1/75.

Melalui nasihatnya ini, Sayidina Ali bin Abu Thalib ra menjelaskan kepada kita tentang hakikat kebaikan. Menurut beliau, kebaikan itu tidaklah terletak pada banyaknya harta dan anak yang kita miliki. Sebagian besar manusia berpandangan bahwa harta dan anak-anak yang banyak merupakan pertanda kebaikan hidup yang telah diraihnya. Ya, pendapat yang demikian itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan, namun juga bukanlah pendapat yang paling benar. 

Kebaikan yang sesungguhnya itu adalah ketika kita mampu meningkatkan amal kebaikan, rasa kasih sayang, dan ketekunan untuk selalu beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika Anda ingin mengetahui apakah hidup yang Anda jalani saat ini berada dalam kebaikan atau tidak, maka ketiga hal tersebut dapat dijadikan sebagai indikasinya. Jika hari-hari yang Anda lalui selalu terisi dengan peningkatan amal kebaikan, kasih sayang dan ketaatan kepada Allah, maka bersyukurlah pada-Nya, karena itu pertanda Anda berada dalam kebaikan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, maka segeralah untuk menyadarinya, karena itu pertanda Anda sedang menempuh jalur yang menyimpang dari kebaikan.

Sayidina Ali ra menasihati kita agar bertahmid jika melakukan kebaikan dan beristighfar jika melakukan keburukan. Ketahuilah, sungguh manusia takkan mampu melakukan kebaikan sekecil apa pun kecuali atas pertolongan Allah Ta’ala. Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk memuji Tuhan dengan bertahmid kepada-Nya jika kita melaksanakan suatu kebaikan. Di sisi lain, tidaklah seseorang itu melakukan suatu keburukan kecuali setan telah menggelincirkannya. Oleh karena itu, siapa saja yang mendapati dirinya berbuat keburukan hendaklah segera beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Tidaklah suatu perbuatan buruk itu kecuali selalu bertentangan dengan apa yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla.

Kebaikan di dunia ini, kata Sayidina Ali ra, selalu ada dalam diri dua orang manusia: orang yang bertaubat dari perbuatan dosanya dan orang yang menyegerakan dirinya untuk melakukan kebaikan. Sekarang mari kita bercermin pada diri sendiri, adakah kita termasuk dalam dua golongan manusia itu?
Share:

Lubab al-Hadits Bab I Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama (Bagian Ke-2)

الباب الأول في فضيلة العلم والعلماء
 
Bab I Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama
 
Hadits No. 2
 
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَقِيْهٌ وَاحِدٌ مُتَوَرِعٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ مُجْتَهِدٍ جَاهِلٍ وَرِعٍ
Nabi Saw bersabda, "Seorang alim yang faqih lagi wira'i adalah lebih berat bagi setan daripada seribu orang ahli ibadah yang tekun, bodoh dan wira'i."


Hadits No. 3
 
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
Nabi Saw bersabda, "Keutamaan seorang alim atas orang ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan di malam purnama atas seluruh bintang." 


Bersambung...

لباب الحديث للإمام جلال الدين السيوطي
Share:

Tuesday, November 13, 2018

Memohon Syafaat kepada Nabi Muhammad Saw

Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW di dunia ini. Bahkan sebagian yang lain menyatakan perbuatan seperti itu termasuk ke dalam perbuatan syirik dan sesat. Untuk memberikan pemahaman yang baik dan benar perihal memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW, berikut akan penulis sampaikan penjelasan yang diberikan oleh Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam bukunya Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan dengan sedikit penyederhanaan redaksi.

Sekelompok orang yang melarang umat Islam untuk memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia ini dan bahkan memvonisnya sebagai perbuatan syirik biasanya berdalil dengan ayat berikut:

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, kemudian kepada- Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. az-Zumar [39]: 44)

Padahal pengambilan ayat ini sebagai dalil tidaklah tepat. Kesalahan mereka dapat dilihat dari dua segi: Pertama, tidak ada satupun nash dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang kita memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia ini. Kedua, makna ayat di atas sesungguhnya tidaklah seperti yang mereka kemukakan. Bahkan keadaan ayat tersebut sama dengan beberapa ayat yang lain yang menerangkan kekhususan Allah dalam hal-hal di mana Dia adalah penguasa dan pemilik yang mutlak, namun kemudian tidak menafikan kemungkinan diberikannya kekhususan itu kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Simaklah ayat berikut:

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun [64]: 1)

Dalam ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa semua kerajaan itu adalah milik-Nya. Namun coba bandingkan dengan ayat berikut:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia memberikan kerajaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.[1]

Demikian pula halnya dengan syafaat. Surat Az-Zumar ayat 44 di atas memang menegaskan bahwa hanya Allah SWT secara mutlak Dzat Pemilik Syafaat. Namun coba bandingkan dengan ayat-ayat berikut:
 
لَا يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَٰنِ عَهْدًا
“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam [19]: 87)

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat, akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. az-Zukhruf [43]: 86)

Dengan demikian jelaslah bahwa Allah memberi kepada orang yang dikehendaki-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya. Sehingga memberikan kemuliaan yang menjadi milik-Nya itu kepada Rasul dan orang-orang yang beriman. Maka demikian pula halnya dengan syafaat.

Semua syafaat adalah milik Allah semata, namun Dia telah berkenan memberikan syafaat itu kepada para nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Bahkan, kalangan awam dari umat Islam pun diberi-Nya pula. Di mana hal ini telah dijelaskan melalui berbagai hadits shahih dan mutawatir secara maknawi.

Dosa apakah gerangan yang terdapat pada perbuatan orang yang meminta sesuatu kepada pemiliknya, terutama jika si pemilik itu orang yang pemurah, sementara si peminta sungguh berhajat pada pemberian itu?

Syafaat tak lain adalah doa. Sedangkan setiap doa diperkenankan, ditetapkan dan diterima –terutama jika si pendoa itu adalah para nabi dan orang-orang saleh– baik di dunia ini maupun setelah kematian di alam kubur dan atau pada hari Kiamat nanti.

Syafaat itu memang telah diberikan kepada orang yang telah mengambil janji di sisi-Nya, dan Allah berkenan menerimanya dari dan atau untuk orang yang mati dalam tauhid.

Dalam hubungan ini tak dapat diragukan lagi bahwa ada banyak riwayat yang menerangkan bahwa sebagian sahabat meminta syafaat kepada Nabi SAW, dan beliau sama sekali tidak pernah mengatakan kepada mereka bahwa: “Memohon syafaat kepadaku berarti syirik!!” Karena itu, mintalah kepada Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan siapa pun juga!”

Simaklah, Anas bin Malik ra pernah berkata, “Ya Rasulullah, berilah aku syafaat nanti di hari Kiamat.”
Nabi SAW menjawab, “Aku akan perbuat, insya Allah.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, pada Bab “Keterangan tentang Shirat”. Ia menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Selain Anas, banyak pula sahabat lain yang memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW.

Sawad bin Qarib, misalnya, dia berkata di hadapan Nabi SAW, “Aku bersaksi bahwa Allah itu tidak ada Tuhan selain Dia, dan engkau terpercaya atas segala berita gaib, dan engkaulah wasilah terdekat di antara para rasul, yaitu wasilah menuju Allah, wahai anak orang mulia dan baik-baik.”
Kemudian ucapannya itu diakhiri dengan, “Maka mohonlah kiranya engkau berkenan mensyafaatiku pada hari yang tidak bisa memberi syafaat seorang pun selain engkau, walaupun engkau tidak pernah membutuhkan Sawad bin Qarib.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalail al-Nubuwwah. Sementara Abdul Barr meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya al-Isti’ab.

Selain itu, satu hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa Rasulullah SAW, sebagaimana yang terlihat dalam riwayat di atas, ternyata membenarkan dan tidak melarang sedikit pun para sahabat yang memohon syafaat kepadanya.

Sementara Mazin Ibn al-‘Adhub juga memohon syafaat kepada Nabi SAW ketika ia baru saja masuk Islam, di mana ia bersenandung dengan syairnya:

“Ya Rasulullah, kepadamu telah kulangkahkan tungganganku, melintasi daerah Fayati dari Oman dan al-Araj, agar engkau berkenan mensyafaatiku.

“Wahai orang yang terbaik di antara orang yang menginjak kerikil, semoga Tuhanku mengampuni daku, agar aku dapat pulang dengan hati nan lapang.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Dalail al-Nubuwwah, halaman 77)

Ukasyah Ibnu Mahshan juga pernah memohon syafaat, yakni ketika Nabi SAW menyebutkan bahwa di antara umatnya ada sebanyak 70.000 orang masuk Surga tanpa hisab. Maka berkatalah Ukasyah Ibn Mahshan, “Doakanlah aku ya Rasulullah, semoga aku masuk ke dalam golongan tersebut.” Nabi SAW dengan serta merta menjawab, “Ya, engkau termasuk dalam golongan itu.”

Dalam hal ini kita sudah menyadari sepenuhnya bahwa seseorang tidak akan pernah masuk golongan “peringkat pertama” orang-orang yang masuk Surga tanpa dihisab, kecuali setelah memperoleh syafaat qubra dari para nabi di padang Mahsyar, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits yang mutawatir. Oleh sebab itu, ucapan Ukasyah itu artinya sama dengan meminta syafaat kepada Nabi SAW.

Cukup banyak riwayat yang arti dan maknanya senada dengan apa yang sudah dibahas di atas, yang termuat di dalam berbagai kitab hadits yang shahih. Yang pada intinya, semua memperlihatkan kebolehan memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan di antara mereka ada yang memintanya dengan ta’yin melalui ucapan mereka, seperti: “Berilah aku syafaat”, atau memohon supaya masuk Surga, meminta supaya termasuk ke dalam golongan yang terdahulu masuk Surga, memohon agar dapat meminum air dari telaga al-Kautsar di Surga, atau memohon agar dapat menemani atau bersama Nabi SAW di dalam Surga.

Yang disebut terakhir ini adalah permintaan Rabi’ah al-Aslami yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku mohon kepadamu agar aku dapat menemanimu di dalam Surga.” Lantas Nabi SAW menjawab, “Ya, tapi bantulah aku mengenai dirimu dengan jalan banyak bersujud.”

Dalam hal ini tampak jelas bahwa Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan kepada Rabi’ah: “Ini haram!! Tidak boleh diminta dari sekarang, waktunya belum tiba, tunggulah sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau sampai kita masuk ke dalam Surga.” Nabi SAW sama sekali tidak mengatakan hal yang demikian, baik kepada Rabi’ah al-Asalmi maupun kepada orang lain yang meminta masuk Surga, meminta berteman di Surga, meminta menjadi ahli telaga al-Kautsar di Surga, meminta diampuni, dan sebagainya.

Padahal kita yakin, semuanya itu tidak akan pernah terjadi di dunia ini, melainkan kelak di kemudian hari, setelah al-Syafa’at al-‘Uzhma.

Maka dapat disimpulkan di sini, bahwa semua itu merupakan permintaan syafaat, dan peran Nabi SAW adalah pemberi kabar gembira yang menjanjikan banyak hal yang membuat hati umatnya menjadi tenteram.

Maka tak mungkin hal itu terlarang. Karena Nabi SAW juga tidak pernah menerangkan hukum yang sekedar basa-basi, atau tindakan mengambil hati, misalnya. Di sisi lain, Nabi SAW juga tidak peduli akan caci maki dalam menyampaikan kebenaran syariat Islam. Oleh sebab itu, beliau pastilah akan menenangkan hati dan menenteramkan jiwa seluruh umatnya dengan apa saja yang masih berjalan di atas rel kebenaran, yang terbit dari mata air agama Islam, dan yang jauh dari kebatilan dan kemunafikan.

Kalau sudah sah memohon syafaat di dunia sebelum datang waktu akhirat, maka hal itu bermakna akan diterima nanti secara hakiki pada tempat dan waktunya, setelah ada izin Allah SWT. Jadi, bukan berarti diterima sebelum tiba waktunya.

Hal yang demikian ini pada hakikatnya sama seperti kabar gembira mengenai orang Mukmin yang kelak akan masuk Surga, yang bermakna bahwa pada waktu yang telah ditentukan dan setelah ada izin dari Allah SWT mereka akan masuk Surga.

Jadi, bukan berarti mereka memasukinya di dunia dan atau di alam barzakh. Saya tidak percaya seorang Muslim yang berakal, bahkan yang awam sekalipun, akan memiliki pandangan lain dari keyakinan ini.

Jika memohon syafaat kepada Nabi Muhammad SAW semasa beliau hidup sudah dinyatakan sah dan benar di dunia ini, maka menurut hemat kami, tidak salah pula memohon syafaat kepada Nabi setelah beliau wafat, berdasarkan pada keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang menyatakan bahwa para nabi hidup di alam barzakh. Di mana Nabi kita Muhammad SAW adalah Nabi yang paling agung dan mulia dalam kehidupan tersebut.

Beliau mendengar percakapan umatnya, kepada beliau diperlihatkan amal-amal umatnya. Beliau selalu memohonkan ampunan dan memuji Allah. Beliau menerima shalawat dari orang yang membaca shalawat untuknya, sekalipun bershalawat itu dari ujung dunia.

Hal ini telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits yang dishahihkan oleh banyak pakar hadits, yang di antaranya adalah hadist berikut ini:

“Hidupku baik untuk kalian, hidupku itu berbicara bagimu (lisanul hal) dan kamu pun berbicara pula (padaku). Matiku baik pula untuk kalian. Diperlihatkan kepadaku amal perbutanmu. Jika kulihat perbuatanmu baik, maka aku memuji Allah, dan jika kudapati amal kalian buruk, maka aku mohonkan ampunan bagi kalian.”

Hadits ini dinilai shahih oleh banyak pakar hadits, seperi al-Iraqi, al-Haitsami, al-Qasthalani, al-Suyuthi dan Ismail al-Qadhi.

Oleh sebab itu, memohon syafaat kepada Rasulullah SAW setelah beliau wafat pun sama bermanfaatnya dengan memohon syafaat ketika beliau masih hidup, karena beliau sanggup mendoakan dan memintakannya kepada Allah SWT, sebagaimana yang beliau lakukan di masa hidupnya.



[1] Ayat-ayat senada lainnya bisa Anda rujuk, misalnya, QS. Fathir [35]: 10, kemudian bandingkan dengan QS.al-Munafiqun [63]: 8. Dan sebagainya.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online