Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Sunday, July 29, 2018

Mengumandangkan Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi yang Baru Lahir

Tatkala seorang bayi telah dilahirkan ibunya, disunnahkan untuk diperdengarkan padanya kumandang adzan di telinga sebelah kanan. Tentu saja hal itu dilakukan setelah sang bayi dibersihkan dari cairan dan kotoran lainnya. Amalan mulia ini pun tak luput dari vonis bid’ah, sekalipun sangat jelas ada dalil yang memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW mengamalkannya.

Dalil yang Membid’ahkan
Mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang telah lazim diamalkan oleh umat Islam dibid’ahkan dengan alasan bahwa adzan hanya dilakukan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dan iqamah adalah ajakan atau pemberitahuan bahwa shalat segera dilaksanakan. Jika adzan dan iqamah dikumandangkan selain untuk tujuan itu, maka masuk dalam kategori bid’ah dan terlarang untuk diamalkan. Vonis bid’ah itu semakin gencar disebarluaskan ketika Syaikh Albani mengeluarkan fatwa bahwa semua hadits tentang adzan dan iqamah selain untuk shalat adalah dhaif (lemah), termasuk di dalamnya hadits yang bersumber dari Abu Rafi’ ra yang menjadi landasan para ulama sejak dahulu menganjurkan setiap Muslim mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru lahir.

Jawabannya
Perbuatan ini sunnah, bukan bid’ah seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang. Kalau Anda mengumandangkan adzan di telinga bayi yang sebelah kanan setelah ia dilahirkan, maka perbuatan Anda itu sesuai dengan amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Dari Ubaidullah bin Abu Rafi’ dari bapaknya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan adzan seperti dalam shalat pada telinga Hasan bin Ali saat ia dilahirkan oleh Fatimah.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Berdasarkan hadits tersebut, pastinya Anda mengetahui bahwa melantunkan adzan pada telinga kanan sang bayi sesaat setelah ia dilahirkan adalah amalan yang memiliki landasan syariat, dan ia termasuk sesuatu yang disunnahkan.

Lalu, bagaimana pendapat yang menyatakan bahwa hadits itu dhaif (lemah)? Tentu saja pendapat itu layak untuk ditolak. Seperti yang dituliskan di atas, Imam Tirmidzi menilai hadits itu sebagai hadits hasan shahih. Imam Abu Dawud yang juga meriwayatkan hadits tersebut tidak memberikan komentar dan penilaian apa pun, dan menurut kaidah yang digunakan oleh Imam Nawawi dan para ahli hadits lainnya, bila Abu Dawud tidak memberikan penilaian hadits yang diriwayatkannya maka hadits tersebut layak dijadikan hujjah dan tidak dhaif. Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi juga menyetujui penilaian shahih hadits di atas.

Dalam al-Mustadrak, Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dengan lafal “adzan di telinga Husain”, dan beliau mengatakan sanadnya shahih. Di dalam Tuhfah al-Ahwadzi (5/90), al-Mubarakfuri menyatakan bahwa hadits yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Dalam al-Majmu’, VIII/443, disebutkan bahwa Ashhab al-Syafi’i juga mengutip hadits tentang adzan dan iqamah di telinga bayi dari Umar bin Abdul Aziz.

Selain itu, hal yang tak bisa untuk diabaikan adalah bahwa hadits di atas juga diamalkan oleh segenap ulama. Sedangkan menurut kaidah ilmu musthalah al-hadits, setiap hadits yang diterima dan diamalkan oleh para ulama tidak perlu diperhatikan lagi sanadnya.

Selain memperdengarkan lantunan adzan di telinga sebelah kanan, juga dianjurkan untuk memperdengarkan lantunan iqamah di telinga bayi yang sebelah kiri. Hal itu akan membuat indra pendengaran sang bayi menjadi terbentengi dan tertanami oleh suara kalimat tauhid, sehingga ia selamat dari bisikan iblis dan manusia yang akan merusak akidahnya.

Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Husain bin Ali ra, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barangsiapa dikaruniai anak, kemudian melantunkan adzan pada telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, maka selamatlah ia dari bisikan jin.” (HR al-Baihaqi, Ibnu Sunni dan Abu Ya’la).

Hadits ini memang memiliki sanad yang dhaif, seperti yang dikatakan oleh al-Hafzih al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir (no. 9085), al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ (no. 1541) dan al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi (IV/169). Namun demikian, hadits ini memiliki penguat sebuah hadits shahih, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi yang disebutkan sebelumnya, sehingga ia menjadi boleh untuk diamalkan. Bahkan, seandainya tidak ada penguat pun hadits itu masih bisa diamalkan karena ia hanya dalam masalah fadhail al-a’mal.

Dengan demikian, memfatwakan bid’ah mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir karena derajat haditsnya dhaif tentu saja sikap yang terlalu terburu-buru, dan kita wajib untuk menolaknya. Apalagi para imam ahli hadits seperti Imam Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim menilainya sebagai hadits shahih, setidaknya hasan shahih. Kalau hanya Syaikh Albani yang menilainya sebagai hadits dhaif tidak berarti bahwa hal itulah yang paling benar, karena kapabilitas dan kredibilitas Imam Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim dalam menilai hadits lebih diterima daripada Syaikh Albani. Selain itu, banyaknya para ulama yang memfatwakan sunnahnya mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir, menandakan bahwa hadits itu diterima dan amalan tersebut bukanlah bid’ah.

Hikmah Kumandang Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi yang Baru Lahir
Tentunya Anda memaklumi bahwa kalimat adzan adalah kalimat dakwah yang sempurna. Sebagian besar isinya adalah kalimat tauhid dan ajakan untuk menunaikan shalat dan meraih kejayaan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sebelum sang bayi berhadapan dengan berbagai suara dan ucapan yang kotor dan tidak mendidik, seyogyanya kepadanya diperdengarkan terlebih dahulu kalimat tauhid sebagai landasan kehidupannya.

Selain itu, kalimat tauhid juga berfungsi untuk mengingatkan janji yang pernah kita ucapkan di hadapan Allah sebelum kita diciptakan, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an:

 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS. al-A’raf [7]: 172).

Suara kumandang adzan yang diperdengarkan kepada si bayi yang baru lahir juga bermakna memberikan pendidikan akidah yang benar kepadanya. Ini adalah pendidikan yang paling dasar dan paling dibutuhkan sebagai bekal untuk meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Selain adzan, kumandang iqamah juga diperdengarkan ke telinga bayi yang sebelah kiri, sehingga benteng pendengarannya akan semakin kokoh. Kalimat dalam iqamah tidak jauh berbeda dengan kalimat adzan. Hanya berbeda dalam jumlah pengucapan dan pada iqamah terdapat kalimat “qad qaamatish shalaah”, sebanyak dua kali. Kalimat itu adalah penekanan agar menegakkan shalat. Dan tahukah Anda apa hakikat shalat itu? Shalat adalah bentuk komunikasi dua arah antara manusia dengan Allah SWT dan wujud penghambaan diri seorang hamba kepada Khalik-nya.

Dengan memperdengarkan iqamah kepadanya, maka tersirat pesan agar kelak dia menjadi manusia yang menegakkan shalat dan tidak melalaikannya. Karena tanpa menegakkan shalat, mustahil seseorang akan menjadi manusia yang bertauhid, saleh dan bertakwa kepada-Nya.
Share:

Selamatan Haji

Setelah sampai ke rumah masing-masing, seorang jamaah haji disunnahkan mengadakan tasyakkuran, yakni dengan menyembelih sapi atau unta. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Fiqh al-Wadhih:

يُسْتَحَبُّ لِلْحَجِّ بَعْدَ رُجُوْعِهِ بَلَدَهُ أَنْ يَنْحَرَ جَمَلاً أَوْ بَقَرَةً أَوْ يَذْبَحَ شَاةً لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجِيْرَانِ وَاْلإِخْوَانِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (الفقه الواضح من الكتاب والسنة، ج١ ص٦٧٣)
"Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih unta, sapi, atau menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada para fakir miskin, tetangga, sanak kerabat, saudara, serta relasi. (Hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah Swt, sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi Saw." (Al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz 1, hal. 673)  

Kesunnahan ini berdasarkan hadits Nabi Saw:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا اَوْ بَقَرَةً. (صحيح البخاري، رقم ٢٨٥٩)
"Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah usai menunaika ibadah haji, beliau menyembelih kambing atau sapi." (Shahih al-Bukhari, 2859)

Namun di sebagian daerah, walimah haji itu tidak hanya dilakukan setelah mereka pulang dari tanah suci. Perayaan itu juga dilakukan oleh jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci, yakni setelah mereka melunasi ONH-nya. Kalau melihat isinya, maka walimah tersebut tujuannya tidak jauh berbeda dengan walimah setelah haji.

Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengadakan walimatul hajj merupakan suatu ibadah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. 
Share:

Saturday, July 28, 2018

Berkurban dengan Hewan Jantan atau Betina, Mana yang Lebih Baik?

Saat membeli hewan kurban, kita diharuskan untuk memilih dan memastikan sendiri bahwa hewan yang akan kita jadikan sebagai hewan kurban tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai hewan kurban, baik sapi, kambing maupun unta (jika ada).

Namun beberapa orang terkadang bingung untuk memilih jenis kelamin hewan yang akan dijadikan kurban, baik jantan maupun betina. Terlebih, semua orang pasti menginginkan untuk melaksanakan keutamaan beribadah kurban.

Lalu bagaimana dengan jenis kelamin hewan yang akan dijadikan sebagai hewan kurban, mana yang lebih baik, jantan atau betina?

Secara eksplisit tidak dijelaskan dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadits terkait pilihan dan keutamaan jenis kelamin tertentu untuk hewan kurban. Namun para ulama mengqiyaskan kasus jenis kelamin hewan kurban ini dengan hewan untuk aqiqah.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzzab juga pernah menjelaskan terkait hal ini. Menurut An-Nawawi, jenis kelamin hewan kurban ini dianalogikan dengan hadits yang menjelaskan kebolehan untuk memilih jenis kelamin jantan maupun betina untuk aqiqah.

ويجوز فيها الذكر والانثى لما روت أم كرز عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو أناثا 

Artinya: “Dan diperbolehkan dalam berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Sebagaimana mengacu pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kuraz dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda “(Aqiqah) untuk anak laki-laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing. Baik berjenis kelamin jantan atau betina, tidak masalah.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut: Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392)

Menurut An-Nawawi, jika jenis kelamin jantan maupun betina dalam hal aqiqah saja tidak dipermasalahkan maka dalam konteks kurban juga sama. Tidak ada masalah.

وإذا جاز ذلك في العقيقة بهذا الخبر دل على جوازه في الاضحية ولان لحم الذكر أطيب ولحم الانثى أرطب

Artinya: “Jika dalam hal aqiqah saja diperbolehkan dengan landasan hadits tersebut, maka hal ini menunjukkan kebolehan untuk menggunakan hewan berjenis kelamin jantan maupun betina dalam kurban. Karena daging jantan lebih enak dari daging betina, dan daging betina lebih lembab.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut, Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392)

Oleh karena itu, tidak ada keutamaan dalam memilih jenis kelamin untuk hewan kurban, baik jantan maupun betina, tidak ada yang lebih diutamakan. Karena yang paling penting adalah kesesuaian hewan-hewan yang akan digunakan untuk kurban dengan syarat-syarat sahnya hewan kurban.
Share:

Friday, July 27, 2018

Berziarah ke Makam Rasulullah Saw

Berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw adalah sunnah hukumnya. Lebih-lebih bagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:

مَنْ جَائَنِي زَائِرًا لَمْ تَدْعُهُ حَاجَةً إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ تَعَالَى أَنْ أَكُوْنَ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ - رواه الدارقطني
"Siapa saja yang datang kepadaku untuk berziarah, dan keperluannya hanya untuk berziarah kepadaku (tidak ada keperluan yang lain) maka Allah SWT memberikan jaminan agar aku menjadi orang yang memberi syafa'at (pertolongan) kepadanya di hari kiamat nanti." (HR Daruquthni)

Dalam hadits lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي - رواه الدارقطني
"Dari Ibn 'Umar ra sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji, lalu berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka ia seperti orang yang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup." (HR Daruquthni)

Atas dasar inilah, pengarang kitab I'anah al-Thalibin menyatakan: 

وَالْحَاصِلُ زِيَارَةُ قَبْرِ النَّبِيِّ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرْبَاتِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ وَلْيَحْذَرْ كُلَّ الْحَذْرِ مِنَ التَّخَلُّفِ عَنْهُ مَعَ الْقُدْرَةِ وَخُصُوْصًا بَعْدَ حَجَّةِ اْلإِ سْلاَمِ لِأَنَّ حَقَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمَّتِهِ عَظِيْمٌ وَلَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَجِيْءُ عَلَى رَأْسِهِ أَوْ عَلَى بَصَرِهِ مِنْ أَبْعَدِ مَوْضِعِ اْلأَرْضِ لِزِيَارَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقُمْ بِالْحَقِّ الَّذِيْ عَلَيْهِ لِنَبِيِّهِ جَزَاهُ اللهُ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ أَتَمَّ الْجَزَاءِ. (إعانة الطالبين، ج٢ ص٣١٣)
"Berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu qurbah (ibadah) yang paling mulia. Karena itu sudah selayaknya seluruh umat Islam memperhatikannya. Dan hendaklah wasapada, jangan sampai tidak berziarah padahal ia telah diberi kemampuan oleh Allah Swt, lebih-lebih bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji. Karena hak Nabi Muhammad Saw yang harus diberikan oleh umatnya sangat besar. Maka jika datang salah seorang di antara mereka dengan kepala dijadikan kaki dari ujung bumi yang terjauh, bersusah payah untuk berziarah ke Rasulullah Saw, maka itu tidak akan cukup untuk memenuhi hak yang harus diterima Nabi Saw dari umatnya. Semoga Allah Swt membalas kebaikan Rasulullah Saw kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan." (I'anah al-Thalibin, Juz 2, hal. 313)     

Lalu, bagaimana dengan kekhawatiran Rasulullah Saw yang melarang umat Islam menjadikan makam beliau sebagai tempat berpesta, atau sebagai berhala yang disembah? Sebagaimana riwayat berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي. (مسند احمد بن حنبل، رقم ٨٤٤٩)
"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan. Maka bacalah shalawat kepadaku. Karena shalawat yang kamu baca akan sampai kepadaku di ana saja kamu berada." (Musnad Ahmad bin Hanbal, 8449)

Menjawab makna kekhawatiran Nabi Saw ini, Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani menukil dari beberapa ulama, lalu berkomentar:

وَمِنْهُمْ مَنْ فَهِمَ أَنَّ مَعْنَاهُ اَلنَّهْيُ عَنْ سُوءِ اْلأَدَبِ عِنْدَ زِيَارَتِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ بِاللَّهْوِ وَاللَّعْبِ كَمَا يُفْعَلُ فِي اْلأَعْيَادِ وَإِنَّمَا يُزَارُ لِلسَّلاَمِ عَلَيْهِ وَالدُّعَاءِ عِنْدَهُ وَرَجَاءِ بَرَكَةِ نَظْرِهِ وَدُعَائِهِ وَرَدَّ سَلاَمِهِ مَعَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى اْلأَدَبِ اللاَّئِقِ بِهَذِهِ النَّظْرَةِ الشَّرِيْفَةِ النَّبَوِيَّةِ. (منهج السلف في فهم النصوص بين النظرية والتطبيق، ص١٠٣ ) 

"Sebagian ulama ada yang memahami bahwa yang dimaksud (oleh hadits itu adalah) larangan untuk berbuat tidak sopan ketika berziarah ke makam Rasulullah Saw. Yakni dengan memainkan alat musik atau permainan lainnya, sebagaimana yang biasa dilakukan ketika ada perayaan. (Yang seharusnya dilakukan adalah) umat Islam berziarah ke makam Rasul hanya untuk menyampaikan salam kepada Rasul, berdoa di sisinya, mengharap berkah melihat makam Rasul, mengharap berkah dan balasan salam Rasulullah Saw. (Itu semua dilakukan) dengan tetap menjaga sopan santun yang sesuai dengan maqam kenabiannya yang mulia." (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, 103)

Dari sinilah maka berziarah ke makam Rasulullah Saw tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan sangat dianjurkan karena akan mengingatkan kita akan jasa dan perjuangan Nabi Muhammad Saw, sekaligus menjadi salah satu bukti mengguratnya kecintaan kita kepada beliau Saw.

Share:

Thursday, July 26, 2018

Ilmu Tauhid dan Dasar-dasarnya

Pengertian Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah:

عِلْمُ التَّوْحِيْدِ عِلْمُ يُقْتَدَرُ بِهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ - تحفة المريد : ٣٨
Suatu ilmu yang karenanya ada kemampuan untuk mengokohkan aqidah-aqidah agama dengan dalil-dalilnya yang pasti. (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hlm. 38)

Ilmu ini disebut dengan Ilmu Tauhid karena di dalamnya membahas tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Kadangkala ilmu tauhid disebut juga Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya dijelaskan pokok-pokok keyakinan dalam agama Islam. Ilmu ini juga dinamakan Ilmu Kalam, karena di dalamnya menjelaskan dan membuktikan keesaan Tuhan itu memerlukan pembicaraan yang benar. 

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang sangat penting bagi setiap Muslim. Sebab ilmu ini menyangkut aqidah yang berkaitan dengan Islam. Sedangkan aqidah merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara aqidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.

Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar tentang dasar-dasar aqidah Islam dan masalah-masalah keimanan.

Prinsip-prinsip aqidah dalam Islam dan masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dahulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ - الأنبيا: ٢٥
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. al-Anbiya': 25)

Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal saleh yang dilakukan seseorang dengan penuh ketulusan hanya akan diterima Allah SWT apabila didasari dengan aqidah Islam yang benar yang menjadi bahasan Ilmu Tauhid ini. Karena penyimpangan dari aqidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah. Dan penyimpangan dari keimanan adalah bentuk kekufuran kepada Allah SWT. Sedangkan Allah SWT tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang yang tidak beriman, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal  ini Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ - البقرة: ٢١٧
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 217) 
Share:

Wednesday, July 25, 2018

Cara Sedekah Orang Tidak Mampu

Sedekah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selain pemberi sedekah mendapatkan pahala, barang yang disedekahkan pun akan bermanfaat bagi orang banyak.

Sebenarnya, anjuran sedekah ditujukan bagi seluruh orang, baik yang miskin maupun kaya, yang susah maupun senang. Namun  dalam realitasnya, sebagian orang yang tidak mampu secara ekonomi agak susah mengeluarkan sedekah, apalagi dalam jumlah banyak.

Kondisi ini juga pernah dialami sahabat Rasul. Mereka mengeluh kepada Rasulullah, betapa enaknya menjadi orang kaya. Ladang amalnya terbuka luas. Sedekah misalnya, bisa dilakukan terus-menerus bila orang tersebut memiliki uang banyak. Kemudian bagaimana dengan orang yang miskin?

Keluhan sahabat itu direspon oleh Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim. Hadits ini juga dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Arba’in An-Nawawiyyah. Berikut bunyi haditsnya:



أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى  الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا  : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Artinya, “Sebagian sahabat Rasul pernah bertanya kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan pahala yang banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka juga puasa sebagaimana kami puasa, mereka juga bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak bisa melakukannya).’ Rasulullah berkata, ‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesunggunya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setiap amar makruf nahi munkar juga sedekah, bahkan kemaluan kalian sedekah.’ Sahabat bertanya, ‘Apakah berpahala bila kami menyalurkan syahwat?’ Rasulullah menjawab, ‘Bagaimana pendapat kalian bila hal itu disalurkan pada jalan yang haram, bukankah berdosa? Demikian pula bila disalurkan pada jalan halal, maka akan mendapatkan pahala,’” (HR Muslim).


 
Dalam hadits ini Rasulullah menjelaskan ada banyak jalan untuk bersedekah. Sedekah tidak hanya dengan uang atau materi. Bagi orang miskin atau orang yang tidak mampu bersedekah seperti halnya orang kaya, rekomendasi Rasul di atas dapat diikuti. Berzikir dengan melafalkan tasbih (subhânallâh), tahmid (alhamdulillâh), takbir (allâhu akbar), dan tahlil (lâ ilâha illallâh) juga termasuk bagian dari sedekah. Sebab itu, kalau tidak mampu bersedekah dengan uang perbanyak membaca kalimat tersebut.

Tidak hanya itu, berhubungan badan dengan istri juga dianggap sebagai sedekah asalkan diniatkan untuk ibadah. Terkait hal ini, Ibnu Daqiqil ‘Id dalam Syarah Arba’in An-Nawawiyyah menjelaskan:



فالجماع يكون عبادة إذا نوى به الإنسان قضاء حق الزوجة  ومعاشرتها بالمعروف أو طلب ولد صالح أو اعفاف نفسه أو زوجته أو غير ذلك من المقاصد الصالحة

Artinya, “Hubungan badan suami istri termasuk ibadah bila diniatkan memenuhi hak pasangan, bergaul dengan cara baik, melahirkan keturunan saleh, menjaga diri sendiri dan pasangan dari perbuatan yang tidak baik, dan tujuan baik lainnya.”

Dengan demikian, orang yang belum mampu secara finansial tidak perlu sedih bila tidak mampu bersedekah. Kalau mau bersedekah dengan uang atau materi yang dimiliki tentu lebih baik. Tetapi kalau pun tidak mampu, tidak usah dipaksakan karena jalan sedekah sangatlah banyak, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas.
Sumber: NU Online
Share:

Tradisi Mitoni

Seperti halnya ngapati (ngupati), mitoni (tingkepan) juga merupakan tradisi baik yang hidup di tengah masyarakan Islam di tanah Jawa. Mitoni (tingkepan) biasanya diadakan setelah kehamilan memasuki usia 7 (tujuh) bulan, yakni ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban. Amalan yang diadakan di dalamnya, di samping bersedekah, juga berdoa memohon kepada Allah agar si bayi yang ada di dalam kandungan diberi keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan di kehidupan dunia dan akhiratnya.
 
Dalil yang Membid’ahkan
Menurut kelompok yang membid’ahkan, tradisi mitoni (tingkepan) juga berasal dari tradisi Hindu. Amalan ini tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan umat Islam untuk mengadakan mitoni (tingkepan). Tradisi ini adalah perkara baru yang diada-adakan. Ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Orang yang mengamalkannya akan disiksa di dalam neraka.
 
Jawabannya
Mungkin Anda bertanya, “Apakah ada dalil yang menjadi landasannya atau yang mengilhami sehingga umat Islam di tanah Jawa melaksanakan mitoni (tingkepan) ketika usia kandungan seseorang telah memasuki bulan ke tujuh?”
Ya, tentu saja ada. Para ulama pada masa lalu mengizinkan pelaksanaan tradisi mitoni (tingkepan) dan tidak mengharamkannya karena mengetahui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Cobalah Anda simak ayat berikut ini.
 
Allah SWT berfirman:
 
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
 “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berbobot berat, maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. al-A’raf [7]: 189).
 
Jika Anda menyimak ayat tersebut dengan seksama, tentu Anda akan temukan alasan mengapa tradisi mitoni (tingkepan) itu hidup di tengah umat Islam di tanah Jawa. Pada ayat itu dikatakan, “Tatkala dia (Hawa) merasa (kandungannya) berbobot berat”, berbobot berat itu mulai terasa pada saat usia kandungan memasuki bulan ke tujuh dan hal itu dapat dibuktikan secara ilmiah di dunia kedokteran. Pada kalimat berikutnya dikatakan, “maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah…”, artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kandungan Hawa memasuki usia bulan ke tujuh, yaitu ketika dia merasakan kandungannya telah berbobot berat. 
 
Nah, amalan Adam dan Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam yang melakukan tradisi mitoni (tingkepan). Sebagaimana yang dilakukan keduanya, dalam acara mitoni (tingkepan) juga dipanjatkan doa kepada Allah SWT, dan biasanya diiringi dengan pemberian sedekah. Jadi, mitoni (tingkepan) bukanlah perbuatan bid’ah yang akan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka, karena amalan yang dilakukan di dalamnya memiliki landasan syariat, yakni berdoa dan bersedekah. 
 
Namun seperti halnya ngapati (ngupati), tradisi mitoni (tingkepan) juga bukanlah sebuah kewajiban syariat. Bagi yang mau melaksanakannya, silakan laksanakan, karena ia tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sedangkan bagi yang tidak mau, tidaklah mengapa. Yang penting tidak memvonis orang-orang yang melakukannya sebagai pelaku bid’ah yang layak mendapat siksa di dalam neraka.
Share:

Tradisi Ngapati

Tradisi ngapati (ngupati) yang biasanya dilaksanakan pada bulan keempat dari kehamilan seseorang pada hakikatnya adalah acara berdoa yang dilaksanakan secara bersama-sama untuk memohonkan kepada Allah SWT agar kelak anak yang akan dilahirkan menjadi manusia yang utuh, sempurna, sehat, memperoleh anugerah rezki yang berkah dan luas, berumur panjang penuh dengan nilai-nilai ibadah, dan memperoleh keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat. Dan di dalamnya juga terdapat unsur sedekah. Amalan yang baik ini kemudian oleh kaum Salafi-Wahabi divonis sebagai perbuatan bid’ah yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.


Dalil yang Membid’ahkan

Menurut kelompok yang membid’ahkan, tradisi ngapati (ngupati) adalah tradisi Hindu yang masih melekat di kehidupan umat Islam di tanah Jawa. Amalan yang demikian itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan tidak mempunyai landasan di dalam syariat Islam. Tradisi ini adalah perkara baru yang diada-adakan. Oleh karena itu, tradisi ngapati (ngupati) termasuk bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Orang yang mengamalkannya adalah pelaku kesesatan yang kelak akan disiksa di dalam neraka. 


Jawabannya

Saat janin berusia empat bulan (120 hari) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat itulah ditentukan bagaimana ia menjalani kehidupan selanjutnya, sejak di dunia hingga akhirat. Di usia ke-120 hari itu ditetapkan oleh Allah rezkinya, ajalnya, langkah-langkah perilakunya, dan sebagai orang yang celaka atau beruntung. 


Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ إِلَيْهِ مَلَكًا بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ فَيُكْتَبُ عَمَلُهُ وَأَجَلُهُ وَرِزْقُهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ
“Setiap orang dari kalian telah dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi ‘alaqah (zigot) selama itu pula, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan dengan empat ketetapan (dan dikatakan kepadanya), tulislah amalnya, rezkinya, ajalnya dan sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan ruh kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Hadits inilah sesungguhnya yang mengilhami umat Islam di tanah Jawa untuk mengadakan upacara ngapati (ngupati). Menyongsong penentuan itu, maka diadakan upacara ngapati (ngupati), yang pada intinya adalah berdoa dan mengajukan permohonan kepada Allah SWT agar kelak anak yang akan dilahirkan menjadi manusia yang utuh, sempurna, sehat, memperoleh anugerah rezki yang berkah dan luas, berumur panjang penuh dengan nilai-nilai ibadah, dan memperoleh keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat. Selain berdoa, biasanya juga diiringi dengan pemberian sedekah; dan Anda tentunya tahu bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang kedahsyatannya mampu menembus takdir. 

Dalam praktiknya, tradisi ngapati (ngupati) yang dilaksanakan pada bulan keempat itu adalah dengan meminta kepada sejumlah orang untuk berdoa dan mendoakan, serta di dalamnya juga terdapat sedekah. Namun tentu saja menjadi langkah yang tidak bijak bila memaksakan diri untuk bersedekah, sementara keadaan sedang tidak berkemampuan. Ini hanyalah sebuah tradisi yang baik. Tidak ada kewajiban syariat di dalamnya, namun ia pun tidak bertentangan dengan syariat. Dengan kata lain, jika Anda berkemampuan, silakan Anda melakukannya. Karena tradisi ngapati (ngupati) bukanlah bid’ah. Terbukti ada dalil yang mengilhami pelaksanaan amalan di dalamnya. Namun jika Anda tidak berkemampuan, maka tidak mengapa bila Anda tidak melaksanakannya. Cukup bagi Anda untuk berdoa kepada Allah, memohon agar anak yang akan dilahirkan dilimpahi rahmat dan keberkahan dalam kehidupannya, sejak di dunia hingga akhirat.
Share:

Nilai Seseorang Terletak pada Hartanya

Suatu ketika Sayidina Umar bin Khaththab ra pernah mengucapkan kata:

“Nilai seseorang itu terletak pada hartanya, kemuliaannya terletak pada agamanya, dan harga dirinya terletak pada akhlaknya.”

Tegukan Hikmah:
Nasihat ini termaktub dalam Kitab Al-Aqdul Farid, II/326.

Perkataan Sayidina Umar bin Khaththab ra ini singkat, namun mengandung makna yang sangat dalam. Kita perlu memahaminya dengan baik, karena jika tidak, kita akan menyimpulkan bahwa harta yang banyak akan menyebabkan seseorang menjadi sosok yang paling bernilai.

Sayidina Umar ra mengatakan bahwa nilai seseorang itu terletak pada hartanya. Yang dimaksud bukanlah jumlah (kuantitas) harta yang dimiliki, melainkan kualitasnya. Bila dikaitkan dengan kepemilikan harta, seseorang akan dinilai baik atau buruk dengan memperhatikan bagaimana cara yang ditempuhnya dalam memperoleh harta dan ke mana ia belanjakan harta itu. Masyarakat akan cenderung menilai seseorang itu baik apabila dalam memperoleh harta dan kekayaan ia lakukan cara-cara yang baik dan menghindar sejauh mungkin dari cara-cara yang diharamkan oleh Allah penggunaannya. 

Penilaian akan jauh semakin baik bila harta yang telah terkumpul itu kemudian ia belanjakan pada hal-hal yang orang banyak bisa merasakan manfaatnya. Kalau harta yang dimilikinya itu hanya ia nikmati sendiri bersama keluarganya, tanpa sedikit pun peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan uluran tangan saudaranya, maka nilainya tidaklah baik, meskipun hidupnya bergelimang harta.

Melalui ungkapan ini, Sayidina Umar ra sebenarnya mengingatkan kepada orang-orang yang diberikan Allah kelapangan rezki agar tidak lupa diri dengannya, lalu menganggap keadaan hidup yang berkecukupan itu secara otomatis telah mengangkatnya pada posisi nilai tertinggi dari kebaikan. Ketahuilah, bahwa itu tidak akan kita peroleh, kecuali jika kita mengumpulkan harta dengan cara-cara yang baik dan membelanjakannya di berbagai jalan kebajikan.

Sayidina Umar ra pun berkata bahwa kemuliaan seseorang terletak pada agamanya. Ya, kemuliaan yang dimaksud adalah kemuliaan di dunia dan di akhirat. Kita tidak akan menjadi seorang yang mulia di kedua kehidupan itu jika mengabaikan agama dan menyepelekan nilai-nilai yang terkandung padanya. Agama merupakan kumpulan pedoman hidup yang digariskan oleh Tuhan dan utusan-Nya. Jika Anda mengamalkannya dalam kehidupan Anda, maka Tuhan akan memuliakan Anda, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, jika yang Anda lakukan bertentangan dengan pedoman hidup itu, maka Anda akan mendapatkan keadaan sebaliknya, di dunia maupun di akhirat. 

Kemuliaan hakiki adalah kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak menentukan siapa di antara kita yang mulia hidupnya. Dan, Tuhan menentukan kemuliaan seseorang berdasarkan pada tingkat pengamalannya terhadap pedoman hidup yang telah ditetapkan-Nya, yakni agama.

“Harga diri seseorang terletak pada akhlaknya,” kata Sayidina Umar ra. Akhlak yang diperlihatkan seseorang mencerminkan harga dirinya. Perhatikanlah, masihkah memiliki harga diri seseorang yang tanpa rasa malu mengambil harta saudaranya dengan cara-cara yang batil? Masihkah memiliki harga diri para koruptor yang tega mengambil uang rakyat demi memuaskan tuntutan nafsunya? Semua orang akan berkata bahwa orang seperti itu telah kehilangan harga dirinya. Satu sifat harga diri yang harus kita perhatikan adalah sekali ia hilang dari kehidupan kita, selamanya kita takkan pernah lagi meraihnya. 

Seseorang dipandang memiliki harga diri jika dalam hidupnya ia memperlihatkan akhlak yang mulia. Akhlak mulia menjauhkan seseorang dari sikap-sikap rendah hasil dorongan hawa nafsu. Tak sulit untuk mengetahui mana akhlak mulia dan mana yang hina. Allah telah anugerahkan pada kita qalbu yang selalu membisikkan kebaikan pada kita. Lakukan segala macam yang bernilai baik, maka akhlak Anda akan baik. Namun jika yang Anda lakukan segala macam keburukan, maka itulah pertanda akhlak buruk telah merasuki Anda. Sekarang tinggal pilih. Keputusan ada di tangan Anda!
Share:

Tuesday, July 24, 2018

Jenis-jenis Wajib dalam Hukum Islam

Hukum wajib ialah perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan siksa. Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam Ushulul Fiqhil Islamy menjelaskan bahwa hukum wajib bisa dibagi dari empat sudut pandang:
للواجب تقسيمات أربعة: أولا من حيث زمن الأداء. ثانيا من حيث تقديره. ثالثا من حيث الملزم بفعله. رابعا من حيث تعيين المطلوب به

Artinya, “Wajib terbagi menurut empat sudut pandang: Pertama dari sudut pandang waktu pengerjaannya, Kedua dari sudut pandang takarannya, Ketiga dari sudut pandang subyek pelaku, Keempat dari sudut pandang penentuan obyeknya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005 M], juz I, halaman 56).

Dari sudut pandnag waktu pengerjaan, wajib dibagi menjadi wajib mutlak dan wajib mu'aqqat.

Wajib mutlak ialah kewajiban yang tidak memiliki batas waktu tertentu. Sifat pengerjaannya mutlak, kapanpun mau dikerjakan, boleh saja. Contohnya adalah seseorang yang telah bersumpah kemudian ia melanggarnya. Ia wajib melaksanakan denda (kafarah) sumpah yang waktunya tidak ditentukan, kapanpun ia hendak melaksanakan, boleh saja.

Wajib mu'aqqat ialah wajib yang memiliki waktu tertentu, seperti shalat lima waktu yang telah ditentukan waktunya, di mana pengerjaan shalat tidak akan sah jika dilakukan sebelum masuknya waktu. Wajib mu'aqqat ini terbagi menjadi dua, yakni: muwassa’, dan mudhayyaq.

Wajib muwassa’ ialah kewajiban yang waktu pelaksanaannya boleh dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut dan lainnya. Contohnya shalat zhuhur, di mana pada saat waktu zhuhur, kita diperbolehkan melaksanakan shalat zhuhur atau shalat lainnya.

Wajib mudhayyaq ialah kewajiban yang waktu pelaksanaannya hanya boleh dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Contohnya ketika waktu zhuhur hanya tersisa beberapa menit yang cuma cukup untuk mengerjakan shalat zhuhur, maka pada sisa waktu tersebut ia hanya boleh melaksanakan shalat zhuhur. Contoh lain ialah bulan Ramadhan, di mana puasa yang boleh dilakukan pada saat itu adalah puasa Ramadhan, bukan yang lain.

Adapun dari sudut pandang takarannya, wajib terbagi menjadi dua yakni wajib muhaddad dan ghairu muhaddad. Wajib muhaddad ialah kewajiban yang hanya boleh dilaksanakan dengan takaran yang telah ditentukan oleh syariat, seperti shalat wajib sehari semalam lima waktu, tidak kurang tidak lebih. Shalat zhuhur empat rakaat, tidak kurang tidak lebih.

Wajib ghairu muhaddad ialah kewajiban yang tidak ada takarannya pasti menurut syariat, contohnya seperti seseorang yang nadzar mau bersedekah kepada orang fakir. Tidak ada batas seberapa banyak nilai sedekah tersebut sekaligus kepada berapa orang fakir.

Dari sudut pandang subyek pelaku, wajib terbagi menjadi wajib ‘ain dan wajib kifayah. Wajib ‘ain atau biasa disebut fardlu ‘ain ialah kewajiban yang dituntut oleh syariat untuk dilaksanakan oleh orang per orang, seperti shalat lima waktu, yang wajib bagi tiap-tiap Muslim.

Wajib kifayah atau biasa disebut fardhu kifayah ialah kewajiban yang dituntut untuk dilakukan tanpa memandang siapa yang melakukannya. Contohnya ialah tuntutan menjadi dokter. Sebuah komunitas masyarakat pasti membutuhkan dokter, namun tidak semua dituntut untuk menjadi dokter. Ketika sudah ada yang menjadi dokter, maka tuntutan tersebut hilang bagi yang lainnya. Wajib kifayah ini bisa menjadi ‘ain apabila dalam sebuah kondisi, tidak ada lagi yang sanggup melaksanakan hal tersebut kecuali seorang individu.

Dari sudut pandang penentuan obyeknya, wajib terbagi menjadi mu’ayyan dan mukhayyar atau mubham. Wajib muayyan ialah kewajiban yang sudah ditentukan kualitas dan kuantitasnya oleh syariat, seperti zakat yang sudah ditentukan nishab, haul, dan prosentase zakatnya.

Wajib mukhayyar atau mubham ialah kewajiban yang mana syariat memberikan pilihan kepada kita untuk melakukan pilihan mana yang akan kita lakukan. Contohnya ialah denda (kafarah) berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Syariat memberikan pilihan apakah kita akan membayarnya dengan membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
 
Sumber: NU Online
Share:

Puasa Wajib Bukan Hanya Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan bukan hanya diwajibkan secara khusus kepada umat Nabi Muhammad SAW saat ini, melainkan juga yang diwajibkan kepada umat terdahulu. Tata cara puasanya sebagaimana yang kita lakukan adalah spesial bagi umat beliau saja.

Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun kedua setelah Nabi berhijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau hanya sempat menjalani ibadah puasa Ramadlan sembilan kali saja, satu kali dengan jumlah hari sempurna 30 hari dan delapan kali dengan 29 hari. Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid Juz 1 halaman 207 menjelaskan sesungguhnya ulama sepakat bahwa jumlah hari dalam bulan Arab itu 29 hari atau 30 hari.

Bulan Ramadhan berada dalam urutan bulan kesembilan dalam urutan bulan-bulan Arab. Bulan ini adalah bulan yang paling utama setelah bulan Muharram, lalu Rajab, Dzulhijjah, Dzulqa'dah, kemudian Sya'ban dan selanjutnya bulan-bulan berikutnya. Disebut Ramadhan dari kata al-ramdla' yang berarti panas yang sangat, dan ada pendapat lain menyatakan bahwa disebut Ramadhan karena yarmidlu al-dzunub yang berarti membakar dosa-dosa.

Umat Islam yang setiap bulan Ramadhan berpuasa banyak yang menyangka bahwa puasa yang hukumnya wajib hanyalah puasa Ramadlan.

Menurut referensi fikih terdahulu, seperti dalam kitab al-Taqrirat al-Sadidah fil-Masail al-Mufidah Juz 1 halaman 434-435, dijelaskan bahwa ada 6 (enam) puasa yang hukumnya wajib,  harus dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan, yaitu:

1. Puasa Ramadhan;
2. Puasa al-Qadla', yakni puasa untuk mengganti sejumlah puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit parah, karena bepergian jauh (safar), atau karena menstruasi di bulan Ramadhan;
3. Puasa Kafarat seperti kafarat dzihar atau kafarat pembunuhan atau puasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat jimak pada siang hari Ramadlan;
4. Puasa dalam haji dan umrah sebagai ganti dari penyembelihan hewan untuk fidyah;
5. Puasa untuk al-istisqa' (shalat minta hujan) apabila diperintahkan oleh pemerintah;
6. Puasa Nadzar.

Sumber: NU Online
Share:

Hukum Jual Beli Ulat, Cacing, Semut untuk Makanan Burung

Pernah kita mendapati seseorang melakukan jual beli ulat, cacing, atau semut untuk makanan burung? Fenomena ini jamak dijumpai di masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab atas kelangsungan hidup binatang piaraannya. Demi efisiensi, mereka yang malas atau kesulitan berburu sendiri ulat, cacing, atau semut itu lebih memilih untuk membelinya.

Kita tahu ketiga binatang itu haram dikonsumsi. Semut diharamkan karena terdapat hadits Nabi yang melarang membunuh serangga kelas insekta ini. Sementara cacing dan ulat dalam fiqih syafi’iyah haram pula dikonsumsi menjijikkan. Tidak ada persoalan hukum alias boleh ketika transaksi antara penjual dan pembeli adalah transaksi jual beli jasa. Artinya, orang yang butuh makanan burung sedang memberi upah berburu/menangkap kepada si pemilik cacing, ulat, atau semut.

Namun fakta umum keseharian masyarakat tidak demikian. Si pembeli lazimnya dengan sadar berniat membeli, bukan sekadar mengganti ongkos (jasa) menangkap/berburu binatang-binatang tersebut. Begitu pun si penjual biasanya sedari awal memang tak bermaksud menjual jasa, melainkan cacing, ulat, atau semut sebagai mata pencaharian. Lalu bagaimana hukumnya ketika seseorang secara sengaja melakukan jual beli tiga binatang haram itu?

Persoalan ini pernah disinggung dalam Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama pada tahun 1999. Saat itu muktamirin menyajikan jawaban bahwa terjadi khilafiyah (beda pendapat) di antara ulama. Pertama, mengharamkan karena dianggap hina. Kedua, sebagian ulama membolehkan karena dinilai ada unsur manfaatnya.

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengungkapkan bahwa para ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan barang yang dijualbelikan harus suci (bukan najis atau bukan terkena najis). Mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual belikannya, seperti minuman keras, daging babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jual beli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan. Ia menambahkan:

وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ

Artinya: “Dan parameternya menurut ulama Hanafiyah adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1989], Jilid IV, 181-182)

Dasar lain yang menjadi acuan adalah keterangan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Dalam kitab ini Abdurrahman al-Juzairi mengatakan:
 
وَكَذلِكَ يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا. وَالضَّابِطُ في ذلِكَ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ 

Artinya: “Dan begitu pula sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kelajengking ketika bermanfaat. Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) dalam hal itu adalah semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjualbelikannya. Sebab, semua benda itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, [Beirut: Dar al-Fikr, 1996], Jilid I, h. 382)

Keputusan muktamar tersebut tidak memberikan penjelasan lebih rinci tentang mana pendapat yang lebih kuat, seolah membuka kelonggaran kepada tiap orang untuk memilih pendapat yang diyakininya. Jika memilih pendapat yang kedua maka asas manfaat harus benar-benar ada, bukan untuk hal sia-sia atau merugikan. Wallahu a’lam.
 
Sumber: NU Online
Share:

Amalan yang Pahalanya Terus Mengalir

Ketika mengadakan majelis tahlilan yang di dalamnya biasanya diawali dengan pembacaan surat Yasin, kemudian dilanjutkan dengan serangkaian bacaan dzikir seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dari semua itu akan dimohonkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar pahalanya atau manfaatnya disampaikan kepada orang yang telah meninggal dunia. Ritual semacam ini sering disebut juga di tengah masyarakat sebagai kirim doa atau hadiah pahala.

Mayoritas ulama sejak dahulu berpendapat bahwa amaliah orang yang masih hidup dapat bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia apabila ia secara ikhlas menghadiahkan kepadanya. Namun sayangnya, saat ini demikian gencar sekelompok orang yang menyelisihi pendapat jumhur al-ulama ini mendengungkan di tengah masyarakat bahwa amaliah orang yang masih hidup tidak akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia. Mereka juga mengatakan bahwa hadiah pahala tidak akan sampai kepada si mayit dengan sejumlah dalil yang sering kali mereka pahami secara tekstual, bahkan didasarkan pada kehendak nafsunya semata.[1]

Pendapat mereka itu tentu saja tidak benar, karena ada banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa amaliah orang yang masih hidup bisa memberi manfaat kepada orang yang telah meninggal dunia. Insya Allah hadits-hadits tersebut akan penulis paparkan. Namun sebelum sampai ke sana, terlebih dahulu akan disampaikan amal-amal apa saja yang bermanfaat bagi seseorang setelah kematiannya dan pahalanya terus mengalir padanya, yang itu merupakan hasil usahanya semasa ia menjalani kehidupan di dunia ini.

Imam Muslim meriwayatkan hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍِ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR Imam Muslim)[2]

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa ada tiga perkara yang apabila diamalkan seseorang semasa kehidupannya di dunia ini maka ia akan terus memperoleh pahala amaliahnya itu sekalipun ia telah meninggal dunia. Pertama, apabila semasa hidupnya ia selalu memberi sedekah jariyah, misalnya ia menjadi donatur pembangunan masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya, maka pahala atas amalnya akan terus diberikan Allah padanya sekalipun ia telah meninggalkan dunia ini. Kedua, apabila dalam hidupnya ia selalu mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi banyak orang, maka pahala dari amaliahnya itu akan terus mengalir padanya sekalipun ia telah wafat. Ketiga, apabila ia diamanahi oleh Allah anak, lalu ia mendidiknya dengan baik sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya sehingga si anak menjadi seorang yang shalih, maka doa-doa si anak itu untuknya akan bermanfaat baginya sekalipun ia telah meninggal dunia.

Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا ِلابْنِ السَّبِيْلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِيْ صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang Mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan al-Qur’an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya di masa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal.” (HR Imam Ibnu Majah)

Pada hadits ini dijelaskan lebih banyak lagi amaliah yang dilakukan seseorang semasa hidupnya yang kemudian akan memberikan pahala baginya dan terus mengalir sekalipun ia telah meninggal dunia. Amaliah itu adalah ilmu bermanfaat yang ia ajarkan, anak shalih hasil bimbingannya yang selalu mendoakannya, al-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah yang ia dirikan untuk ibnu sabil, sungai yang ia gali dan ia alirkan untuk kepentingan orang banyak serta sedekah jariyah yang ia keluarkan dari hartanya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits sebagai berikut:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya: “Dari Jarir bin Abdullah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengadakan kebiasaan yang baik dalam Islam, lalu kebiasaan baik tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa mengadakan kebiasaan yang buruk dalam Islam, lalu kebiasaan buruk tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikit pun.” (HR Imam Muslim).[3]

Kalau saat ini Anda memiliki kebiasaan baik yang selalu Anda lakukan dalam kehidupan Anda, kemudian diikuti oleh orang lain, maka Anda akan memperoleh pahala selain dari kebiasaan baik Anda juga dari perilaku baik dari orang-orang yang mencontoh kebiasaan baik Anda itu. Pahala yang Anda dapatkan bukan hanya saat Anda menjalani hidup di dunia ini, tapi juga saat Anda telah berpulang menghadap ke haribaan Allah subhanahu wa ta’ala. Hal sebaliknya pun berlaku demikian. Itulah pesan yang terkandung dalam hadits di atas.

Semua hadits di atas menjelaskan kepada kita bentuk-bentuk amaliah yang dilakukan seseorang semasa hidupnya, lalu memberi manfaat baginya setelah kematiannya tanpa pernah terputus. Nah, itu semua berasal dari amalnya sendiri. Namun ada juga amal-amal lainnya yang bukan amalnya namun bisa memberi manfaat untuk dirinya setelah kematiannya. Amal-amal tersebut adalah amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup namun karena keikhlasan mereka memohonkan kepada Allah agar manfaatnya disampaikan kepada orang yang sudah meninggal dunia itu, maka ia bisa menerima manfaat darinya, meskipun bukan amalnya sendiri.





[1] Insyaallah akan dipaparkan sejumlah dalil yang mereka jadikan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa amaliah orang yang masih hidup tidak bermanfaat  bagi orang yang telah meninggal dunia, dan akan penulis sampaikan jawaban terhadap dalil-dalil mereka itu.
[2] Hadits ini sering dijadikan dalil bagi orang-orang yang mengatakan bahwa hadiah pahala itu tidak sampai dan orang yang telah meninggal dunia tidak bisa menerima manfaat dari amaliah orang yang masih hidup, namun Insyaallah jawabannya akan kami paparkan.

[3] Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hudzaifah ra.
Share:

Waktu Saat Ini


Blog Archive

Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online