Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Friday, July 19, 2019

Manfaat Dzikir (Bagian Ketiga)

Berdzikir Akan Membuat Diri Dekat kepada Allah
Sebuah Hadits Qudsi dari Abu Hurairah ra, Allah Swt berfirman, "Aku adalah sebagaimana persangkaan hamba kepada-Ku. Aku selalu bersamanya, jika dia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku akan mengingatnya dalam Dzat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam persangkaan-Nya, maka Aku akan mengingatnya dalam persangkaan yang lebih baik dari persangkaan-persangkaannya itu. Jika ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Jika ia mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR Bukhari)

Banyak orang yang ingin mencari Tuhan. Mereka menempuh jalan pengembaraan, perenungan, dan serangkaian upaya ritual. Mereka ingin dekat, sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Namun sejatinya Tuhan bisa kita jumpai di mana pun. Allah Ta'ala sudah jelas mengisyaratkan bahwa Dia berada tidak jauh dalam diri kita. Dia sangat dekat dengan diri, bahkan sangat dekat, sebagaimana firman-Nya, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" (QS. Qaf [50]: 16). Padahal, urat leher adalah salah satu organ yang berada di dalam tubuh.

Ini sudah dapat menjadi gambaran, betapa dekatnya Allah Ta'ala bagi kita. Hadits Qudsi di atas merupakan satu metode, cara efektif untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Allah Swt telah mengajarkan kepada kita untuk selalu ber-husnuzhan atau berprasangka baik. Apa yang terjadi dan kita alami adalah paket yang sudah diatur oleh-Nya. Kita harus menerima dengan lapang dan yakin bahwa itu adalah yang terbaik dari Allah untuk kita. Kita berprasangka baik, Allah akan memberikan kepada kita sesuai dengan apa yang kita sangkakan itu.

Pertama-tama, kita memang dianjurkan untuk mengingat-Nya di dalam jiwa kita. Hati dan akal adalah instrumen jiwa. Kita dituntun untuk selalu ingat Allah Ta'ala dengan hati dan akal kita. Dia pun akan mengingat kita dalam Dzat-Nya. Padahal Dzat Allah tidak bisa tersentuh apapun. Betapa dahsyatnya!

Dengan hati dan akal itu kita mengingat Allah Ta'ala, dengan hati dan akal itu pula kita mempersangkakan setiap peristiwa dengan persangkaan yang baik. Semua dikembalikan kepada-Nya, diyakini bahwa Allah telah mengaturnya dengan adil. Semua demi kebaikan kita, hanya kita saja yang belum tahu hikmah di dalamnya.

Inilah metode pendekatan diri kepada Allah sebagaimana dituntunkan Allah melalui Nabi Muhammad Saw. Kedekatan kita kepada-Nya tergantung keyakinan kita dalam mempersangkakan-Nya. Semakin baik dan semakin yakin kita berprasangka kepada Allah Ta'ala, maka semakin dekat pyla kita kepada-Nya. Allah Ta'ala hadir dalam diri melalui prasangka dan rasa hati. Dia akan membuka pintu lebar-lebar, menyambut kedatangan kita jauh lebih cepat daripada perjalanan atau lari kita menuju kepada-Nya.

Wallahu a'lam
Share:

Wednesday, July 17, 2019

Manfaat Dzikir (Bagian Kedua)

Hati Tenteram dengan Dzikir
"...dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. al-Ra'd [13]: 27-28)

Salah satu manfaat berdzikir adalah hati menjadi tenteram. Saya tidak akan memberikan komentar panjang lebar, namun cukup dirasakan. Manakala hati sedang gelisah, cobalah ambil air wudhu. Kemudian shalat hajat dua rakaat. Selanjutnya, duduklah dengan tenang sambil melantunkan bacaan-bacaan dzikir. Resapilah maknanya dan hilangkan beban yang memberatkan diri. Terus ucapkan lafal-lafal dzikir itu. Insyaallah hati akan lunak, lembut, tenang, hingga akhirnya ketenteraman akan menghampiri.

Lebih terasa lagi manfaat ini ketika kita sedang marah atau kalut. Saat menghadapi situasi semacam itu, cobalah diam sesaat. Hilangkan pandangan kita kepada dunia. Hilangkan semuanya, termasuk diri kita. Rasakan kekosongan, lepaskan beban duniawi. Dalam kekosongan semacam itu, sebutlah nama Tuhan dalam hati. Cukup dalam hati sambil mengatur nafas.

Dzikir yang kita baca dalam hati itu akan mengisi diri yang telah kita kosongkan. Kekalutan atau emosi akan reda karena terisi kelembutan yang diberikan Allah Ta'ala. Kita telah menghadirkan Dia, kita pula yang meraskaan kenikmatan bersama-Nya.

Wallahu a'lam
Share:

Tuesday, July 16, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Kesebelas)

وَإِذَا قَرَّبَكَ السُّلْطَانُ فَكُنْ مِنْهُ عَلَى حَدِّ السِّنَانِ، وَإِيَّاكَ وَصَدِيْقَ الْعَافِيَةِ؛ فَإِنَّهُ أَعْدَى اْلأَعْدَاءِ، وَلاَ تَجْعَلْ مَالَكَ أَكْرَمَ مِنْ عِرْضِكَ
Waspadalah, apabila engkau didekati oleh seorang penguasa atau seseorang yang hanya mau menjadi temanmu di kala engkau sehat/makmur, hindari mereka seperti engkau menghindar dari mata pedang yang mengarah kepadamu. Sesungguhnya mereka adalah musuh yang paling nyata (yang dapat merusak agamamu). Dan janganlah engkau menjadikan hartamu lebih bernilai daripada kehormatan dirimu. 
 
وَهَذَا الْقَدْرُ يَافَتَى يَكْفِيْكَ مِنْ بِدَايَةِ الْهِدَايَةِ، فَجَرِّبْ بِهَا نَفْسَكَ؛ فَإِنَّهَا ثَلاَثَةُ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ فِيْ آدَابِ الطَّاعَاتِ، وَقِسْمٌ فِيْ تَرْكِ الْمَعَاصِيْ، وَقِسْمٌ فِيْ مُخَالَطَةِ الْخَلْقِ
Wahai para pemuda! Semua yang telah kupaparkan ini sudah cukup bagimu untuk mencapai permulaan hidayah (bidayatul hidayah) dari Allah. Maka latihlah (dan paksalah) dirimu untuk mengamalkannya. Pembahasan dalam kitab ini terbagi ke dalam tiga bagian: bagian pertama membahas tentang adab-adab dalam menjalankan ketaatan kepada Allah; bagian kedua membahas tentang meninggalkan maksiat; dan bagian ketika membahas tentang adab-adab bergaul dengan makhluk (manusia).
 
وَهِيَ جَامِعَةٌ لِجُمَلِ مُعَامَلَةِ الْعَبْدِ مَعَ الْخَالِقِ وَالْخَلْقِ.  فَإِنْ رَأَيْتَهَا مُنَاسِبَةً لِنَفْسِكَ، وَرَأَيْتَ قَلْبَكَ مَائِلاً إِلَيْهَا رَاغِبًا فِي الْعَمَلِ بِهَا، فَاعْلَمْ: أَنَّكَ عَبْدٌ نَوَّرَ اللهُ تَعَالَى بِاْلإِيْمَانِ قَلْبَكَ، وَشَرَحَ بِهِ صَدْرَكَ
Kitab ini secara umum menjelaskan adab-adab muamalah antara seorang hamba dengan Khalik-nya maupun antara hamba dengan sesama makhluk. Maka apabila engkau melihatnya bersesuaian dengan jiwamu, hatimu pun condong kepadanya dan merasa senang mengamalkannya, maka ketahuilah, bahwa engkau adalah seorang hamba yang hatinya telah disinari Allah SWT dengan cahaya iman, dan dengannya dadamu pun menjadi lapang.
 
وَتَحَقَّقْ أَنَّ لِهَذِهِ الْبِدَايَةِ نِهَايَة، وَوَرَاءَهَا أَسْرَارًا وَأَغْوَارًا وَعُلُوْمًا وَمُكَاشَفَاتٍ، وَقَدْ أَوْدَعْنَاهَا فِيْ كِتَابِ إِحْيَاءِ عُلُوْمِ الدِّيْنِ؛ فَاشْتَغِلْ بِتَحْصِيْلِهِ
Yakinlah engkau bahwa permulaan hidayah ini memiliki puncak. Di baliknya terdapat berbagai rahasia yang tersembunyi, berbagai ilmu dan hakikat yang dapat dibuka tabirnya. Semua itu pembahasannya telah kami sampaikan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Maka berusahalah mempelajari dan mendapatkannya.
 
وَإِنْ رَأَيْتَ نَفْسَكَ تَسْتَثْقِلُ الْعَمَلَ بِهَذِهِ الْوَظَائِفِ، وَتَنكر هَذَا الْفَنَّ مِنَ الْعِلْمِ، وَتَقُوْلُ لَكَ نَفْسُكَ: أَنَّى يَنْفَعُكَ هَذَا الْعِلْم فِيْ مَحَافِلِ الْعُلَمَاءِ؟ وَمَتَى يُقَدِّمُكَ هَذَا عَلَى اْلأَقْرَانِ وَالنُّظَرَاءِ؟! وَكَيْفَ يُرْفَعُ مَنْصِبُكَ فِي مَجَالِسِ اْلأُمَرَاءِ وَالْوُزَرَاءِ؟ وَكَيْفَ يُوْصِلُكَ إِلَى الصِّلَةِ وَاْلأَرْزَاقِ وَوِلاَيَةِ اْلأَوْقَافِْ وَالْقَضَاءِ؟
Namun, apabila engkau mendapati dirimu merasa berat mengamalkan kandungan kitab ini,  atau mengingkari ilmu yang ada di dalamnya, atau nafsumu berbisik kepadamu: “Bagaimana mungkin ilmu ini bisa bermanfaat untuk mengangkat posisimu di kalangan para ulama? Bagaimana mungkin ilmu ini bisa membuatmu mengedepan dibanding para teman dan pesaingmu? Bagaimana mungkin ilmu ini bisa mengangkat kedudukanmu di tengah majelis para penguasa dan menteri? Bagaimana mungkin ilmu ini bisa menghasilkan bagimu upah, rezki, penguasaan atas asset-aset wakaf dan otoritas untuk mengambil keputusan?”
 
فَاعْلَمْ: أَنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَغْوَاكَ وَأَنْسَاكَ مُتَقَلَّبَكَ وَمَثْوَاكَ، فَاطْلُبْ لَكَ شَيْطَانًا مِثْلَكَ، لِيُعَلِّمَكَ مَا تَظُنُّ أَنَّهُ يَنْفَعُكَ وَيُوْصِلُكَ إِلَى بُغْيَتِكَ
Maka ketahuilah, sesungguhnya setan telah menyesatkanmu serta membuatmu lupa akan tempat kembali dan rumah abadimu (negeri akhirat). Oleh karena itu, carilah untukmu setan yang semisal denganmu yang akan mengajarkan kepadamu segala hal yang menurut dugaanmu akan bermanfaat bagimu dalam meraih segala tujuan duniamu.
 
ثُمَّ اعْلَمْ: أَنَّهُ قَطُّ لاَ يَصْفُوْ لَكَ الْمُلْكُ فِيْ مَحِلَّتِكَ، فَضْلاً عَنْ قَرْيَتِكَ وَبَلَدتِكَ، ثُمَّ يَفُوْتُكَ الْمُلْكُ الْمُقِيْمُ وَالنَّعِيْمُ الدَّائِمُ فِيْ جِوَارِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Namun ketahuilah, bahwasanya semua itu (kehormatan dan kesenangan dunia) takkan pernah engkau miliki secara tetap saat berada di tengah keluargamu, terlebih di desa dan negaramu. Bahkan kemudian engkau akan kehilangan kemuliaan dan kehormatan abadi di sisi Allah, Dzat Penguasa dan Pemelihara semesta alam. 
 
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَالْحَمْدُ ِللهِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَظَاهِرًا وَبَاطِنًا. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
Semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan dari Allah tercurah kepada kalian semua. Segala puji bagi Allah dengan pujian di awal dan di akhir, secara zhahir maupun batin. Tiada daya dan kekuatan kecuali yang berasal dari Allah, Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan dengan limpahan yang banyak kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan para sahabatnya. Amiin.
 
Selesai
Share:

Monday, July 15, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Kesepuluh)

وَكُنْ فِيْ جَمِيْعِ أُمُوْرِكَ فِيْ أَوْسَطِهَا، فَكِلاَ طَرْفَى اْلأُمُوْرِ ذَمِيْم، كَمَا قيْلَ:
Jadilah engkau orang yang selalu bersikap pertengahan dalam segala urusanmu, karena setiap sikap yang berlebihan (ekstrim) itu pasti tercela, sebagaimana yang diungkapkan dalam syair berikut:
 
عَلَيْكَ بِأَوْسَاطِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّهَا ... طَرِيْقٌ إِلَى نَهْجِ الصِّرَاطِ قَوِيْمُ
وَلاَ تَكُ فِيْهَا مُفْرِطًا أَوْ مُفَرِّطًا ... فَإِنَّ كِلاَ حَالِ اْلأُمُوْرِ ذَمِيْمُ
“Hendaklah engkau bersikap pertengahan dalam segala urusan, karena sesungguhnya ia adalah … jalan terang dan lurus menuju kebenaran
“Janganlah engkau bersikap kurang ataupun berlebihan … karena dalam urusan apa pun keduanya adalah tercela
 
وَلاَ تَنْظُرْ فِي عِطْفَيْكَ، وَلاَ تُكْثِرِ اْلاِلْتِفَاتَ إِلَى وَارَئِكَ، وَلاَ تَقِفْ عَلَى الْجَمَاعَاتِ، وَإِذَا جَلَسْتَ فَلاَ تَسْتَوْفِزْ، وَتَحَفَّظْ مِنْ تَشْبِيْكِ أَصَابِعِكَ، وَالْعَبَثِ بِلِحْيَتِكَ وَخَاتَمِكَ، وَتَخْلِيْلِ أَسْنَانِكَ، وَإِدْخَالِ أُصْبُعِكَ فِيْ أَنْفِكَ، وَكَثْرَةِ بِصَاقِكَ وَتَنَخُّمِكَ، وَطَرْدِ الذُّبَابِ عَنْ وَجْهِكَ، وَكَثْرَةِ التَّمَطِّى وَالتَّثَاؤُبِ فِيْ وُجُوْهِ النَّاسِ فِي الصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا
Jangan engkau melirik ke kanan kirimu (dengan lirikan sinis), jangan sering-sering melihat ke arah belakang, jangan berdiri di tengah kumpulan orang, dan apabila engkau duduk maka jangan sering-sering mengangkat/menggerakkan kaki. Jaga dirimu agar tidak biasa menyilangkan jari-jari tangan, mempermainkan jenggot maupun cincinmu, mencungkil gigi dan memasukkan jari ke dalam hidung. Jangan pula engkau sering-sering meludah dan membuang dahak serta menghalau lalat dari wajahmu. Jaga dirimu agar tidak banyak menggeliatkan badan ataupun menguap saat di hadapan orang, ketika shalat, maupun pada saat-saat lainnya.
 
وَلْيَكُنْ مَجْلِسُكَ هَادِئًا، وَحَدِيْثُكَ مَنْظُوْمًا مرْتبًا، وَاصْغِ إِلَى الْكَلاَمِ الْحَسَنِ مِمَّنْ حَدَّثَكَ مِنْ غَيْرِ إِظْهَارِ تَعَجُّبٍ مُفْرِطٍ، وَلاَ تَسْأَلْهُ إِعَادَتَهُ
Hendaklah dudukmu tenang, ucapanmu teratur dan runtut, dan berikan perhatian pada ucapan baik dari orang yang berbicara kepadamu tanpa memperlihatkan rasa heran yang berlebihan. Selain itu hendaknya engkau tidak memintanya untuk mengulangi pembicaraannya.
 
وَاسْكُتْ عَنِ الْمَضَاحِكِ وَالْحِكَايَاتِ، وَلاَ تُحَدِّثْ عَنْ إِعْجَابِكَ بِوَلَدِكَ وَشِعْرِكَ وَكَلاَمِكَ وَتَصْنِيْفِكَ وَسَائِرِ مَا يَخُصُّكَ
Tahan dirimu dari sesuatu yang membuat orang tertawa dan hindari menyampaikan kisah-kisah yang lucu. Hendaknya engkau tidak menyampaikan kepada orang lain hal-hal yang berkaitan dengan kebanggaan/kekagumanmu terhadap anak-anakmu, syair-syairmu, ceramah-ceramahmu, karya-karyamu, dan segala sesuatu yang membuatmu merasa istimewa.
 
وَلاَ تَتَصَنَّعْ تَصَنُّعَ الْمَرْأَةِ فِي التَّزَيُّنِ، وَلاَ تَتَبَذَّلْ تَبَذُّلَ الْعَبْدِ، وَتَوَقَّ كَثْرَةَ الْكِحْلِ وَاْلإِسْرَافِ فِي الدُّهْنِ، وَلاَ تُلِحَّ فِي الْحَاجَاتِ، وَلاَ تُشَجِّعْ أَحَداً عَلَى الظُّلْمِ
Jangan berbuat seperti seorang perempuan dalam hal berhias dan jangan pula berpenampilan seperti tampilan seorang hamba sahaya. Jangan berlebihan dalam menggunakan celak dan minyak wangi. Jangan sekali-kali mendesak orang lain agar memenuhi kebutuhanmu dan jangan pula menganjurkan pada orang lain untuk berbuat kezaliman. 
 
وَلاَ تُعْلِمْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِكَ وَوَلَدِكَ --فَضْلاً عَنْ غَيْرِهِمْ-- مِقْدَارَ مَالِكَ؛ فَإِنَّهُمْ إِنْ رَأَوْهُ قَلِيْلاً هِنْتَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ رَأَوْهُ كَثِيْرًا لَمْ تَبْلُغْ رِضَاهُمْ قَطُّ، وَاجْفُهُمْ مِنْ غَيْرِ عُنْفٍ، وَلنْ لَهُمْ مِنْ غَيْرِ ضَعْفٍ، وَلاَ تُهَازِلْ أَمَتَكَ وَلاَ عَبْدَكَ فَيَسْقُطَ وَقَارُكَ مِنْ قُلُوْبِهِمْ
Hendaklah engkau tidak memberitahukan kepada seorang pun di antara istri dan anakmu tentang –kelebihan yang engkau miliki dibanding orang lain— dalam hal yang berhubungan dengan jumlah harta; karena jika ternyata mereka melihatnya sedikit maka engkau akan merasa rendah di hadapan mereka. Namun sebaliknya, jika ternyata mereka melihatnya banyak, tetap saja jumlah itu takkan mencukupi untuk memuaskan (kebutuhan) mereka. Tegaslah pada mereka, bukan bersikap kejam dan kasar. Berlemah-lembutlah pada mereka, bukan bersikap lemah. Jangan bergurau dengan dengan sahayamu, baik yang laki-laki maupun perempuan, karena hal itu akan meruntuhkan kewibawaanmu dalam pandangan mereka.
 
وَإِذَا خَاصَمْتَ فَتَوَقَّرْ، وَتَحَفَّظْ مِنْ جَهْلِكَ وَعَجَلَتِكَ، وَتَفَكَّرْ فِيْ حُجَّتِكَ، وَلاَ تُكْثِرِ اْلاِشَارَةَ بِيَدِكَ، وَلاَ تُكْثَرْ اْلاِلْتِفَاتَ إِلَى وَرَائِكَ، وَلاَ تَجْثُ عَلَى رُكْبَتَيْكَ، وَإِذَا هَدَأَ غَضَبُكَ فَتَكَلَّمْ
Apabila engkau berdebat/berdiskusi (dalam masalah ilmu), hendaklah engkau bersikap tenang dan berwibawa. Kendalikan dirimu jangan sampai bersikap bodoh dan tergesa-gesa. Pikirkan dengan baik hujjah (argumentasi) yang akan engkau sampaikan. Jangan terlalu sering berisyarat dengan tanganmu, jangan banyak menoleh kepada orang-orang yang ada di belakangmu dan jangan pula duduk setengah berdiri di atas lututmu. Apabila amarahmu telah mereda, barulah engkau berbicara.
 
Bersambung...
Share:

Sunday, July 14, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Kesembilan)

Semua itu adalah sikap-sikap yang harus engkau perlihatkan kepada orang yang jelas-jelas ingin bersahabat denganmu. Lalu, bagaimana mestinya engkau bersikap terhadap orang yang memperlihatkan permusuhan kepadamu?
 
قَالَ الْقَاضِي ابْنُ مَعْرُوْفٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى:
Berkata al-Qadhi Ibnu Ma’ruf rahimahullah:
 
فَاحْذَرْ عَدُوَّكَ مَرَّةً ... وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ أَلْفَ مَرَّةٍ
فَلَرُبَّمَا انْقَلَبَ الصَّدِيْقُ ... فَكَانَ اَعْرَفُ بِالْمَضَرَّةِ
“Berhati-hatilah terhadap musuhmu satu kali … namun berhati-hatilah terhadap temanmu seribu kali
“Karena tatkala  temanmu itu berbalik memusuhimu … maka ia akan tahu bagaimana menimpakan mudharat bagimu
 
وَكَذَلِكَ قَالَ ابْنُ تَمَّامٍ:
 Demikian pula Ibnu Tammam, ia berkata:
 
عَدُوُّكَ مِنْ صَدِيْقِكَ مُسْتَفَادٌ ... فَلاَ تَسْتَكْثِرَنَّ مِنَ الصِّحَابِ
فَإِنَّ الدَّاءَ أَكْثَرَ مَا تَرَاهُ ...  يَكُوْنُ مِنَ الطَّعَامِ أَوِ الشَّرَابِ
“Musuhmu kadang-kadang memanfaatkan temanmu …Maka hendaklah engkau tidak memperbanyak teman
“Karena sebagaimana yang engkau lihat kebanyakan penyakit itu …muncul melalui makanan atau minuman
 
وَكُنْ كَمَا قَالَ هِلاَلُ بْنُ الْعَلاَءِ الرَّقِّى:
Jadilah engkau sebagaiman yang dikatakan oleh Hilal bin al-‘Ala’ ar-Raqiy:
 
لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أََحْقِدْ عَلَى أَحَدٍ ... أَرَحْتُ نَفْسِى مِنْ هَمِّ الْعَدَاوَاتِ
إِنِّيْ أُحَيِّى عَدُوِّى عِنْدَ رُؤْيَتِهِ ... لِأَدْفَعَ الشَّرَّ عَنىِّ بِالتَّحِيَّاتِ
وَأُظْهِرُ الْبِشْرَ لِلْإِنْسَانِ أَبْغَضُهُ ... كَأَنَّهُ قَدْ مَلاَ قَلْبِى مَسَرَّاتِ
وَلَسْتُ أَسْلَمُ مِمَّنْ لَسْتَ أَعْرِفُهُ ... فَكَيْفَ أَسْلَمُ مِنْ أَهْلِ الْمَوَدَّاتِ
اَلنَّاسُ دَاءٌ دَوَاءُ النَّاسِ تَرْكُهُمُ ... وَفِي الْجَفَاءِ لَهُمْ قَطْعُ اْلأُخُوَّاتِ
فَسَالِمِ النَّاسِ تَسْلَمْ مِنْ غَوَائِلِهِمْ ... وَكُنْ حَرِيْصاً عَلَى كَسْبِ الْتَقِيَّاتِ
وَخَالِقِ النَّاسَ وَاصْبِرْ مَا بُلِيْتَ بِهِمْ ... اَصَمَّ اَبْكَمَ اَعْمَى ذَا تَقِيَّاتِ
“Setiap kali aku memaafkan dan tidak menyimpan dendam pada seseorang … maka jiwaku lega dan terbebas dari bahaya permusuhan
“Sungguh kuberikan penghormatan pada musuhku saat bertemu dengannya … agar dengan penghormatan aku dapat menolak keburukannya terhadapku
“Kuperlihatkan raut wajah gembira saat bertemu dengan orang yang kubenci … seakan-akan hatiku telah dipenuhinya dengan kebahagiaan
“Seringkali aku tidak selamat dari bahaya orang yang tidak kukenal … lalu bagaimana mungkin aku bisa selamat dari keburukan orang-orang yang terlihat mencintaiku
“Manusia adalah penyakit dan obatnya adalah meninggalkan mereka … namun dengan menjauhi mereka akan terputus persaudaraan
“Oleh karena itu, berdamailah dengan manusia, niscaya engkau akan selamat dari keburukan mereka … jadilah engkau orang yang selalu bersemangat mencari suasana damai
 “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik dan bersabarlah atas segala ujian yang berasal dari sikap-sikap mereka … bersikaplah laksana seorang yang tuli, bisu dan buta terhadap keburukan mereka dan lazimkan sifat takwa
 
وَكُنْ أَيْضًا كَمَا قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: اِلْقَ صَدِيْقَكَ وَعَدُوَّكَ بِوَجْهِ الرِّضَا، مِنْ غَيْرِ مَذَلَّةٍ لَهُمَا، وَلاَ هَيْبَةٍ مِنْهُمَا، وَتَوَقَّرْ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ، وَتَوَاضَعْ مِنْ غَيْرِ مَذَلَّةٍ
Dan jadilah engkau seperti yang pernah dikatakan oleh sebagian ahli hikmah: “Temuilah temanmu maupun musuhmu dengan wajah yang penuh ridha, namun bukan karena merasa hina di hadapan mereka dan bukan pula karena takut pada mereka. Tampakkan kewibawaan tanpa adanya rasa sombong, dan rendahkan hati tanpa memunculkan kesan hina.”
 
Bersambung...
Share:

Manfaat Dzikir (Bagian Pertama)

Saat kita belum pernah merasakan lezatnya berdzikir, maka dzikir akan menjadi suatu aktivitas yang sulit dan melelahkan. Namun bagi yang sudah pernah merasakan nikmat saat melakukannya, dzikir akan menjadi suatu kebutuhan. Dzikir menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup. Baginya, tak ada yang dapat melebihi kebahagiaan selain berdzikir.

Allah telah memerintahkan kita untuk berdzikir. Betapa pentingnya dzikir ini bagi manusia sampai-sampai ada ungkapan dari Ibn Arabi, seorang tokoh sufi, "Tingkatan tertinggi dalam ibadah adalah dzikir." Dzikir merupakan wahana paling praktis dan efektif untuk mengenal Tuhan.

Mari kita lihat ke diri kita, apakah perintah dzikir bagi kita merupakan suatu beban atau kebutuhan? Beruntunglah Anda dan saya, kalau kita menjadikan dzikir sebagai kebutuhan, sebagai makanan pokok ruhani. Manfaat dzikir akan datang dengan sendirinya. Tanpa kita harapkan pun, kita pasti dihampirinya. Apakah sajakah manfaat dzikir itu? 

Dzikir akan Menghidupkan Hati
Berdasarkan dalil agama, ternyata jauh sekali bedanya antara orang yang ingat kepada Allah dengan yang tidak. Nabi Saw bersabda, "Perumpamaan orang yang ingat kepada Tuhannya dan orang yang tidak ingat kepada Tuhannya, bagaikan orang yang hidup dan orang yang mati." (HR Bukhari)

Orang yang sedang ingat kepada Allah Swt adalah orang yang hidup, karena dia sedang bersama Yang Maha Hidup. Hatinya hidup. Dia dapat memilah-milah dengan refleks mana yang patut dan mana yang tidak patut. Agama baginya bukan sekedar teori. Kitab suci baginya bukan sekedar bacaan, namun hati yang hidup dan selalu berkata benar.

Terkadang saya bingung, mungkin juga Anda. Banyak orang yang pandai dalam teori beragama. Mereka lebih suka berdebat untuk menentukan halal dan haram, padahal di sampingnya berjejer umat yang menjerit kelaparan namun mereka hanya diam. Banyak yang mengaku muslim sejati, mereka sibuk mencari alasan hukum untuk diri dan kelompoknya. Mereka mengumpulkan dalil-dalil pembenaran, terkadang sambil disertai ejekan dan merendahkan kelompok lainnya. Inikah perilaku beragama? Inikah perilaku muslim sejati? Apakah agama hanya menjadi milik mereka sendiri?

Di sini lain, tak sedikit orang yang minim pengetahuan agamanya namun memiliki hati yang tulus. Mereka kurang memahami hukum-hukum agama tertulis, namun hukum itu justru teraplikasi dalam aktivitas kesehariannya. Mereka suka menolong, hatinya peka terhadap penderitaan tetangga. Dia ramah dan sopan. Tanpa disadarinya bahwa dia telah mengamalkan ajaran agama.

Kita tak perlu berkecil hati karena masih awam dalam teori agama. Sambil meningkatkan pengetahui syar'i, mari kita bersama menghidupkan hati, menajamkan nurani. Inilah pengetahuan sejati, pengetahuan yang tidak dipelajari namun diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang bertakwa. Takwa dalam pengertian takut dan tunduk kepada Allah Ta'ala. 

Saya pernah ditanya seseorang yang saya anggap sebagai guru. 
Beliau bertanya, "Apakah kamu sekarang sedang hidup?"
"Ya!" dengan mantap saya menjawab demikian. 
Beliau bertanya lagi, "Kalau kamu merasa sedang hidup, coba jawab, apa hidup ini?"

Sampai sekarang pun, saya masih mencari jawaban itu. Satu jawaban dangkal yang bisa saya berikan, "Hidup adalah keadaan hati yang berdzikir. Hati yang sedang ingat kepada Tuhan. Hati yang merasa lenyap dan diisi Kehidupan. Hati yang hidup selamanya, abadi."

Barangkali beliau, guru saya itu, akan tertawa geli mendengar jawaban ini. Jawaban yang bersifat teoritis dangkal, yang bukan dari hasil pengalaman.

Wallahu a'lam
Share:

Saturday, July 13, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Kedelapan)

وَاحْذَرْ مُخَالَطَةَ مُتَفَقِّهَةِ الزَّمَانِ، لاَ سِيَمَا الْمُشْتَغِلِيْنَ بِالْخِلاَفِ وَالْجِدَالْ. وَاحْذَرْ مِنْهُمْ؛ فَإِنَّهُمْ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكَ لِحَسَدِهِمْ رَيْبَ الْمَنُوْنِ
Berhati-hatilah! Hindarilah bergaul dengan para ahli fiqh pada zaman ini, yakni mereka yang gemar dalam perbedaan pendapat dan perdebatan. Waspadalah terhadap mereka; karena mereka memandang ke arahmu dengan pandangan hasad; bahkan mereka senantiasa menunggu saat-saat kejatuhanmu.
 
وَيَقْطَعُوْنَ عَلَيْكَ بِالظُّنُوْنِ، وَيَتَغَامَزُوْنَ وَرَاءَكَ بِالْعُيُوْنِ، وَيُحْصُوْنَ عَلَيْكَ عَثَرَاتِكَ فِيْ عِشْرَتِهِمْ حَتَّى يُجْبِهُوْكَ بِهَا فِيْ حَالِ غَيْظِهِمْ وَمُنَاظَرَتِهِمْ، لاَ يُقِيْلُوْنَ لَكَ عَثْرَةً، وَلاَ يَغْفِرُوْنَ لَكَ زَلَّةً، وَلاَ يَسْتُرُوْنَ لَكَ عَوْرَةً
Mereka akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan dirimu berdasarkan pada prasangka-prasangka mereka. Mereka pun akan saling memberi isyarat dengan mata mereka saat berada di belakangmu dengan maksud merendahkanmu. Mereka akan menghitung semua kesalahanmu saat berkumpul dengan mereka, kemudian berbagai kesalahan itu akan mereka hantamkan kepadamu ketika mereka marah atau saat berdebat denganmu. Mereka tidak akan melupakan satu pun kesalahanmu dan tidak pula memaafkanmu atas kesalahan itu, dan mereka tidak akan mau menutupi kekuranganmu.
 
يُحَاسُبُوْنَكَ عَلَى النَّقِيْرِ وَالْقَطْمِيْرِ، وَيَحْسُدُوْنَكَ عَلَى الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ، وَيُحَرِّضُوْنَ عَلَيْكَ اْلإِخْوَانَ بِالنَّمِيْمَةِ، وَالْبَلاَغَاتِ وَالْبُهْتَانِ؛ إِنْ رَضَوْا فَظَاهِرُهُمُ الْمَلَقُ، وَإِنْ سَخَطُوْا فَبَاطِنُهُمُ الْحَنَقُ، ظَاهِرُهُمْ ثِيَابٌ، وَبَاطِنُهُمْ ذِئَابٌ
Mereka akan selalu membuat perhitungan denganmu sekalipun terhadap hal-hal yang sepele. Mereka juga iri kepadamu baik terhadap perkara yang sedikit maupun banyak. Mereka mendorong para teman untuk mempergunjingkan dirimu, mengadu-adu dan menebar kebohongan tentang pribadimu. Tatkala mereka ridha terhadapmu, maka mereka akan memperlihatkan sikap lembut penuh persahabatan. Namun saat mereka membencimu, maka mereka akan berubah menjadi kasar dan kaku. Zhahir mereka indah laksana pakaian yang mereka kenakan, namun batin mereka sangat liar dan kejam.
 
هَذَا حُكْمُ مَا قَطَعَتْ بِهِ الْمُشَاهَدَةُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ، إِلاَّ مِنْ عِصْمَةِ اللهِ تَعَالَى؛ فَصُحْبَتُهُمْ خُسْرَانٌ، وَمُعَاشَرَتُهُمْ خُذْلاَنٌ
Semua yang disebutkan ini merupakan kenyataan yang dapat disaksikan pada kebanyakan mereka, kecuali para ahli fiqh yang dilindungi Allah Ta’ala dari sifat-sifat buruk tersebut. Berteman dengan mereka adalah suatu kerugian dan berkumpul dengan mereka adalah pangkal kehinaan.
 
Bersambung...
Share:

Dzikir Akal

Mengingat Allah dengan hati erat kaitannya dengan mengingat-Nya dengan akal. Akal akan menganalisa objek-objek yang terlihat dan terdengar. Lalu hati akan merasakan dan mengembalikannya pada sumber muasalnya, yakni Allah Ta'ala.

Simaklah firman Allah Ta'ala berikut, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab, (yakni) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi." (QS. Ali Imran [3]: 190-191).

Sehari-hari kita disibukkan dengan urusan duniawi. Kita sering lupa kepada Allah Swt, tak sempat lagi berpikir tentang kebesaran-Nya. Mungkin kita hanya ingat Allah ketika shalat. Bahkan saat shalat pun kita masih lupa kepada-Nya. Kita shalat namun hati dan pikiran kita melayang entah ke mana. Padahal shalat yang kita lakukan bertujuan untuk ingat kepada-Nya.

Tentu kita ingin menjadi bagian dari ulul albab, orang yang gemar mengamati dan menganalisa tentang kebesaran Tuhan. Ulul albab artinya pemilik lubb, yakni akal tertinggi. Lubb adalah alat (instrumen) penganalisa tertinggi yang hanya bisa dioperasikan oleh para nabi, para rasul, dan kekasih-kekasih Allah Ta'ala. Dalam khasanah tawasuf, lubb merupakan nama lain dari 'aql (akal) dan fikr (pikiran). Ketiganya sama namun berada dalam berbeda dalam fungsi. Dia adalah inti kesadaran yang akan mengantarkan manusia pada pengetahuan ketuhanan.

Mari melihat diri sendiri, sudah mampukah kita memaksimalkan fungsi lubb. Lihatlah fenomena semesta. Amati dengan seksama, matahari yang terbit dan tenggelam, silih bergantinya siang dan malam, serta adanya pria dan wanita. Apa yang ada dalam benak kita? Orang yang menggunakan 'aql (akal) akan mengomentarinya sebagai peristiwa alamiah dan menyelidikinya dari sisi ilmu Fisika, Geografi, dan ilmu-ilmu fisik lainnya. Yang menggunakan fikr (pikiran) akan mengatakan itu sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Ta'ala. Ya, hanya sebatas sebagai tanda kebesaran-Nya. Dia akan mengakui dan mengagungkan Tuhan sesaat, setelah itu akan disibukkan lagi dengan urusa duniawinya.

Tapi tidak bagi orang yang menggunakan lubb. Dia akan mengamati, menyelidiki, menganalisa, dan merenungkannya secara mendalam. Setiap fenomena alam akan membawanya pada dzikir, ingat kepada Allah. Ilmu-ilmu suci akan senantiasa mengalir, ilham akan selalu turun dalam relung kesadarannya yang bersih. Tidak ada sesuatu yang tidak berguna baginya. Semuanya adalah tanda, ayat yang membawanya pada kesadaran ketuhanan. Seperti firman-Nya, "(Mereka berkata), "Ya Tuhan kami, Engkau menciptakan ini tidak sia-sia, Maha Suci Engkau..." (QS. Ali Imran [3]: 191).

Para ulul albab akan selalu mengingat Allah Swt, baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Mereka senantiasa berdzikir ketika berdiri, yakni pada setiap aktivitas hidupnya. Dia dapat berdzikir dalam lingkungan kerjanya. Semua yang ada di hadapannya adalah ayat, tanda yang mengandung pesan dan hikmah. Tak terlewat dari pandangannya selain penampakan Tuhan. Bahkan dirinya pun serasa lenyap, Tuhan hadir sepenuhnya dalam rasa. Setiap idenya adalah ilham. Setiap tindakannya adalah amal.

Ulul albab juga senantiasa ingat Allah ketika duduk, yakni ketika sedang santai menikmati waktu luang. Tak ada waktu yang sia-sia baginya. Bahkan bercanda dan bermain pun akan menjadi ibadah baginya, karena Tuhan bersamanya.

Ulul albab juga senantiasa berdzikir kepada Allah Swt ketika berbaring, yakni pada saat istirahat dari aktivitas fisik. Desah nafas dan detak jantungnya teratur, mengumandangkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Mimpinya adalah ilham yang mengandung isyarat. Insyaallah, inilah dzikir sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw, yakni dzikir setiap saat dan di setiap tempat.

Wallahu a'lam. 

 
Share:

Friday, July 12, 2019

Hukum Mengaqiqahi Diri Sendiri

Umumnya para ulama menegaskan bahwa yang disembelihkan aqiqah adalah bayi yang baru lahir, dengan maksimal usia hingga baligh. Sedangkan menyembelih aqiqah untuk orang yang sudah baligh, apalagi yang sudah mencapai usia dewasa, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada dua pendapat dalam hal ini
 
1. Masyru'
Sebagian ulama memandang bahwa mengaqiqahi diri sendiri adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Ar-Rafi’i, Imam Al-Qaffal, Imam Muhammad bin Sirin, Imam Atha’ dan Imam Al-Hasan Al-Bashri.
 
Imam Ar-Rafi'i, ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, mengatakan apabila seseorang mengakhirkan menyembelih aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu. Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, maka tidak mengapa.
 
Pendapat Imam Ar-Rafi’i ini juga dikuatkan oleh pendapat Imam Al-Qaffal, yang juga merupakan salah seorang dari fuqaha madzhab Syafi’i. Beliau ikut membenarkan hal itu meski tidak mewajibkan. (Lihat: Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari, jilid 9, hal. 594-595)
 
Diriwayatkan dari Imam Al-Hasan Al-Bashri bahwa beliau berfatwa: “Apabila seorang ayah belum menyembelihkan hewan aqiqah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti anaknya itu dewasa dan punya rezeki, dipersilahkan bila ingin menyembelih hewan aqiqah yang diniatkan untuk dirinya sendiri.” Fatwa ini bisa kita temukan tertulis di dalam kitab Al-Muhalla. (Lihat: Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 6, hal. 240)
 
Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani diriwayatkan bahwa Imam Muhammad Ibnu Sirin pernah berfatwa: “Seandainya aku tahu bahwa aku belum disembelihkan aqiqah, maka aku akan melakukannya sendiri.” (Lihat: Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9, hal. 489) 
 
Imam 'Atha' berkata bahwa tidak mengapa bila seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
 
Di antara dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini:
 
أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ بِنَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
Bahwa Nabi Saw menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. (HR. Al-Bazzar)
 
2. Tidak Masyru'
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orangtuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. 
 
Alasannya, karena syariat dan perintah untuk menyembelih hewan aqiqah itu berada di pundak orangtuanya, bukan berada di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakannya meski dirinya mampu ketika sudah dewasa.
 
Salah satu ulama pengikut madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah berkata, “Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orangtua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr.” (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8, hal. 646) 
 
Di antara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak pernah menyembelih aqiqah untuk diri beliau sendiri, meski sejak kecil tidak pernah disembelihkan aqiqah. Begitu juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan aqiqah agar masing-masing menyembelih aqiqah untuk diri mereka.
 
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para ahli hadits dianggap sebagai hadits yang lemah (dhaif). Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar.
 
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini matruk. Imam As-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri, asalkan hadits itu shahih. Masalahnya, menurut beliau, hadits itu sendiri bermasalah. Imam Asy-Syaukani menyebut hadits itu mungkar.
 
Imam An-Nawawi
Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa hadits ini batil:
 
وأما الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل قال البيهقي هو حديث منكر
Namun mereka yang membela pendapat dibolehkannya menyembelih hewan aqiqah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka menyebutkan bahwa hadits yang dipermasalahkan tetap shahih, karena ada periwayatan lewat jalur lain yang dishahihkan oleh para ulama.
 
Dalam hal ini, Imam Al-Haitsami menyebutkan di dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, bahwa hadits ini memang punya dua jalur periwayatan. Pertama adalah jalur yang banyak didhaifkan oleh para ulama, yaitu lewat jalur Abdullah bin Al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang diriwayatkan secara marfu. Kedua, adalah jalur yang shahih dan tersambung kepada Anas, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdillah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dan Anas. (Lihat: Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawaid, jilid 4, hal. 59)
 
Wallahu a’lam
Share:

Thursday, July 11, 2019

Dzikir Hati

Dzikir lisan hampir tak ada manfaatnya jika tidak dirasakan dalam hati. Menyebut nama Allah dengan bibir hanyalah sarana, perantara untuk mengingat Allah dengan hati. 

Sebuah Hadits Qudsi dari Abu Hurairah ra, Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung berfirman, "Aku akan selalu menyertai hamba-Ku selama ia ingat kepada-Ku. Dan Aku jualah yang telah menggerakkan kedua bibirnya." (HR Ahmad)

Hadits di atas sekilas terdengar ringan, namun mengandung pesan sangat dalam. Allah Ta'ala akan selalu menyertai seorang hamba selama ia masih menggerakkan bibir menyebut nama-Nya dengan disertai ingat. Allah Swt lebih memberi penekanan untuk diingat, dan akan lebih baik jika disertai dzikir dengan bibir. Dzikir lisan akan hampa jika tidak diikuti dengan ingat kepada Tuhan. 

Dia akan menyertai kita pada saat kita ingat dan menyebut nama-Nya. Namun muncul pertanyaan, apakah kita dapat merasakan kehadiran-Nya? Apa tandanya bahwa Dia sedang bersama kita?

Sebenarnya tidak sulit jawabannya, namun sulit membuktikannya. Coba kita memperhatikan diri sendiri manakala menggerakkan bibir. Apakah kita merasa bahwa gerakan bibir itu dari kita sendiri, ataukah karena digerakkan Allah? Apa yang kita rasakan saat itu? Jika kita masih merasa bahwa kita sendiri yang berdzikir, berarti kita tidak lebih seperti robot. Kita seperti manusia kartun dalam play station, kita merasa hidup padahal tidak. Namun jika kita merasa bahwa saat itu yang berdzikir bukan kita, itu berarti kita telah merasakan hadirnya Tuhan. Kitalah pemain sekaligus penonton permainan play station itu.

Logikanya, Tuhan tidak mungkin hadir dalam jasad kita. Kalau itu terjadi, kita akan hancur binasa. Dia terlalu Agung. Jika Dia benar-benar hadir dalam hati kita, pasti binasa pula kedirian kita, "Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya" (QS. al-Qashash [28]: 88). Saat itu di mana kita? Masihkah kita mengaku sebagai pelaku? Masihkah kita merasa memiliki kedirian?

Bisa saya katakan, Tuhan akan hadir dan menyertai orang yang telah menghilangkan ego-nya. Orang tersebut akan merasakan kehadiran Tuhan manakala mengesampingkan peran dirinya dan mengembalikan semua itu kepada-Nya sebagai pelaku Tunggal, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali" (QS. al-Baqarah [2]: 156).

Firman Allah, "Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang..." (QS. al-A'raf [7]: 205).

Firman Allah, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah..." (QS. al-Hadid [57]: 16).

Kita bisa melihat, banyak orang yang melantunkan dzikir dengan keras. Mendendangkannya dalam bentuk nyanyian. Menampilkannya dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan. Tak ada salahnya memang, namun apakah semua itu akan didengar Allah? Wallahu a'lam. Hanya Dia yang tahu.

Jika dzikir tersebut dibarengi dengan ingat kepada Allah dalam hati, niscaya Dia akan menyambutnya. Sekali lagi, dzikir lisan merupakan perantara atau pengantar menuju dzikir hati, yaitu ingat kepada Allah dengan hati. Namun bukan berarti bahwa setelah hati ingat, lalu lisan tidak perlu dibasahi dengan kalimat dzikir. Bagaimana pun juga, dzikir lisan sangat diperlukan. Jasmani memiliki hak mendapat makanan ruhani. Dan dzikir adalah salah satu makanan ruhaninya.

Dzikir hati dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Mengingat Allah tidak dibatasi waktu dan tempat. Bahkan dianjurkan untuk melakukannya setiap saat. Nabi Saw pun mencontohkan demikian.

Aisyah ra berkata, "Rasulullah Saw senantiasa ingat kepada Allah pada setiap saat yang dijalaninya." (HR Muslim)

Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana bisa ingat kepada Allah setiap saat? Saya dan Anda masih lemah dalam pengetahuan ini. Tapi lihatlah kepada para ulama kekasih Allah yang hati mereka selalu terkait dengan Allah Ta'ala. Mereka adalah pewaris Nabi Saw, hingga Allah memberi kemudahan untuk mengikuti jejak beliau. Jika mereka bisa seperti Nabi, apakah kita juga bisa? Kita hanya bisa ber-husnuzhan, berbaik sangka, insyaallah Dia akan memberi kemampuan pada kita. 

Wallahu a'lam
 

 
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online