Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Friday, April 19, 2019

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi.
 
Para sahabat yang mengetahuinya emosi. Kurang ajar, beraninya kencing di masjid? Barangkali demikian perasaan yang berkecamuk di antara mereka. Nabi Muhammad setiba di lokasi, langsung meminta bekas kencing tadi disiram sampai bersih.
 
Kita tak tahu siapa nama orang Arab kampung yang kencing di Masjid Nabawi. Dalam redaksi hadits, hanya tertulis “rajulun” yang artinya seorang pria, atau dalam redaksi matan yang lebih spesifik, rajul min a’rabiy, seorang pria dari kalangan Arab kampung.
 
Namanya tak kita ketahui hingga kini, kendati kisahnya demikian populer. Dalam hadits, rupanya banyak sosok yang tidak disebutkan namanya, baik dalam sanad atau matan hadits. Berdasarkan ilmu hadits, sosok yang tidak disebutkan namanya ini disebut mubham. Mubham berasal dari kata abhama-yubhimu yang artinya “tidak jelas”.
 
Sebagaimana disinggung di atas, sosok yang mubham ini berada dalam matan hadits. Banyak kisah Nabi didatangi pria atau perempuan yang tidak disebutkan siapa identitasnya, atau hanya sekilas belaka. 
 
Semisal pada peristiwa Haji Wada’, Nabi Muhammad yang sedang dibonceng di unta oleh sahabat Al Fadhl bin Abbas, didatangi oleh perempuan dari Bani Khats’am yang menanyakan apakah ia boleh menghajikan bapaknya yang sudah renta. Siapakah nama perempuan itu? Tidak disebutkan.
 
Kadang dalam matan sendiri dijelaskan siapa orang yang dimaksud. Semisal hadits yang dikenal sebagai hadits tentang Iman, Islam dan Ihsan. Dalam berbagai riwayat disebutkan Nabi kedatangan seorang pria rupawan, rambutnya klimis, tiba-tiba muncul dari padang pasir tanpa ada bekas perjalanan, dan duduk di depan Nabi menanyakan seputar Iman, Islam, Ihsan dan tanda kiamat. 
 
Kita tidak tahu siapakah sang pria, sampai Nabi menjelaskannya kepada para sahabat di akhir kisah: “Dia adalah Jibril, ia datang untuk mengabarkan tentang agama kalian.”
 
Secara garis besar, cara mengetahui sosok mubham ini, menurut Mahmud Thahhan dalam Taysir Musthalahil Hadits, dilakukan dengan membandingkan berbagai riwayat hadits yang serupa, atau melalui keterangan ahli biografi dan sejarah.
 
Pada taraf yang lebih lanjut, tentu sosok mubham diketahui lewat hubungan guru-murid, wilayah tinggal, dan banyak lagi cara ulama “menemukan” nama mereka. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas tentang seorang pria yang bertanya kepada Nabi,
 
“Wahai Nabi, apakah haji itu setiap tahun?” Pria yang disebutkan Abdullah bin Abbas ini, setelah dilacak oleh para ulama ternyata bernama Al Aqra’ bin Habis.
 
Berikut hadits yang juga diriwayatkan Abdullah bin Abbas, tentang seorang perempuan dari Bani Juhainah yang menanyakan apakah ia bisa meng-qadha haji ibunya yang telah wafat. Imam an-Nasa’i menyebutkan bahwa ia adalah istri sahabat Sinan bin Salamah Al Juhani, dan Imam Ahmad menyimpulkan ia adalah istri Sinan bin Abdullah Al Juhani.
 
Demikianlah contoh sosok mubham dalam matan. Menurut para ulama hadits, mengetahui nama yang mubham pada matan akan menunjang pemahaman yang lebih baik akan suatu hadits.
 
Sementara ulama, tanpa mengabaikan pentingnya mengetahui nama tokoh dalam hadits, memahami tujuan disampaikannya hadits lebih penting dibanding debat seputar siapa orang dalam hadits itu. Tentu dengan syarat persoalan penilaian sanad hadits sudah rampung.
 
Bagaimana jika mubham itu berada dalam rantai sanad? Ulama berbeda pendapat soal ini. Dikarenakan penilaian sanad hadits memiliki standar ilmiah ketat dengan keharusan identifikasi tiap profil perawi hadits, maka adanya sosok yang samar dalam sanad, apalagi tidak diketahui namanya, bisa membuat penilaian akan suatu hadits terhambat – atau malah mengurangi kualitasnya. Bagaimana para peneliti hadits bisa menilai kualitas sanad dari beragam aspeknya, jika nama perawinya saja tidak tahu?
 
Sebagai pengecualian, oleh mayoritas ulama hadits, jika perawi yang sosoknya tidak disebutkan namanya itu berasal dari kalangan sahabat, maka “rajulun” itu dinilai sebagai pribadi tsiqah kendati tidak diketahui siapa dia. Kaidahnya: setiap sahabat itu ‘udul (berkepribadian baik – tidak mungkin berbohong atas nama Nabi).
 
Demikian sekilas pembahasan perihal sosok-sosok yang tidak disebut namanya dalam hadits. Memperhatikan detail nama tokoh dalam hadits, juga perawi yang belum atau tidak tercatat namanya oleh para ulama, adalah kekayaan khazanah keilmuan Islam khususnya bidang hadits, yang membikin ulama tidak terburu-buru dalam menelaah ilmu agama. 
 
Untuk lebih lanjut soal sosok mubham dalam hadits, Anda bisa merujuk kitab al-Mustafad min Mubhamatil Matn wal Isnad karya Syekh Al ‘Iraqi. 
 
Wallahu A’lam.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online