Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Thursday, April 25, 2019

Paksa Dirimu...

Sayyidina Ali ra berkata:

Paksakanlah dirimu agar tetap menanam kebaikan kepada saudaramu di saat ia memutuskan hubungan denganmu. Berusahalah agar tetap bersikap lunak serta mendekatinya di saat ia berpaling darimu. Bersikaplah dermawan kepadanya di saat ia menunjukkan kebakhilannya terhadapmu. Hampirilah ia di saat ia menjauhimu. Hadapilah ia dengan lemah lembut di saat ia memamerkan kekerasan hatinya. Berilah pemaafan untuknya di saat ia melakukan kesalahan terhadapmu, seolah-olah engkau adalah sahayanya dan dialah yang melimpahkan nikmatnya kepadamu.

TETAPI JANGAN MELETAKKAN HAL ITU SEMUA BUKAN PADA TEMPATNYA, ATAU MELAKUKANNYA UNTUK ORANG YANG TIDAK PATUT MENERIMANYA.
Share:

Wednesday, April 24, 2019

Berdehem Saat Shalat: Batalkah?

Pada umumnya, berdehem dilakukan oleh seseorang untuk membersihkan tenggorokan. Pada saat suara terganggu akibat tenggorokan kurang bersih, maka biasanya akan normal kembali ketika berdehem. Berdehem biasa dilakukan oleh seseorang dalam berbagai keadaan, termasuk ketika shalat. Jika seseorang berdehem ketika shalat, apakah shalatnya batal?
 
Di dalam kitab-kitab fiqih, berdehem disebut dengan tanahnuh. Secara umum, berdehem dalam shalat tidak membatalkan shalat jika seseorang tidak bisa mengendelikan dan menguasainya. Misalnya, untuk bisa melafalkan bacaan shalat dia harus berdehem, maka shalatnya tidak batal, meskipun ketika berdehem sampai mengeluarkan suara dua huruf.
 
Adapun jika seseorang masih bisa mengendalikan dan menguasainya, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
 
Pertama, jika seseorang berdehem sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Sebaliknya, jika tidak sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya tidak batal. Ini adalah pendapat yang paling shahih dan diikuti oleh kebanyakan ulama.
 
Kedua, berdehem tidak membatalkan shalat meskipun sampai mengeluarkan suara dua huruf. Ini adalah pendapat Imam al-Rafii.
 
Ketiga, jika seseorang berdehem dan mulutnya tertutup, maka shalatnya tidak batal, baik mengeluarkan suara dua huruf atau tidak. Namun jika berdehem dengan membuka mulut dan sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Jika tidak sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya tidak batal. Ini adalah pendapat Imam al-Mutawalli.
 
Penjelasan di atas telah disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu berikut:
 
وأما التنحنح فحاصل المنقول فيه ثلاثة أوجه الصحيح الذى قطع به المصنف والاكثرون ان بان منه حرفان بطلت صلاته والا فلا والثانى لا تبطل وان بان حرفان قال الرافعي وحكى هذا عن نص الشافعي والثالث ان كان فمه مطبقا لم تبطل مطلقا والا فان بان حرفان بطلت والا فلا وبهذا قطع المتولي
“Adapun berdehem, maka dari hasil nukilan pendapat ulama ada tiga pendapat. Yang paling shahih dan telah ditetapkan oleh mushannif (Imam Syairazi) dan kebanyakan ulama, jika seseorang berdehem sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Jika tidak sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka tidak batal. Kedua, shalatnya tidak batal meskipun sampai mengeluarkan suara dua huruf. Imam al-Rafii berkata, ‘Ini dinukil dari pernyataan Imam Syafii.’ Ketiga, jika mulutnya tertutup, maka secara mutlak tidak batal. Namun jika tidak tertutup (terbuka) dan sampai mengeluarkan suara dua huruf, maka shalatnya batal. Jika tidak mengeluarkan suara dua huruf, maka tidak batal. Ini yang ditetapkan oleh Imam al-Mutawalli.”
 
Wallahu a’lam
Share:

Pasal : Menjaga Lisan (Bagian Akhir)

السَّابِعُ: الدُّعَاءُ عَلَى الْخَلْقِ
Ketujuh: Peliharalah Lisanmu dari Mendoakan Keburukan Bagi Makhluk Allah
 
فَاحْفَظْ لِسَانَكَ عَنِ الدُّعَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى، وَإِنْ ظَلَمَكَ،فَكِلْ أَمْرَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Peliharalah lisanmu dari mendoakan keburukan untuk salah seorang dari makhluk Allah Ta’ala meskipun ia telah berlaku zalim terhadapmu. Lebih baik serahkan urusannya itu kepada Allah SWT.
 
فَفِي الْحَدِيْثِ: إِنَّ الْمَظْلُوْمَ لَيَدْعُوْ عَلَى ظَالِمِهِ حَتَّى يُكَافِئَهُ، ثُمَّ يَبْقَى لِلظَّالِمِ فَضْلٌ عِنْدَهُ يُطَالِبُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَطَوَّلَ بَعْضُ النَّاسِ لِسَانَهُ عَلَى الْحَجَّاجِ فَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ اللهَ لَيَنْتَقِمُ لِلْحَجَّاجِ مِمَّنْ تَعَرَّضَ لَهُ بِلِسَانِهِ، كَمَا يَنْتَقِمُ مِنَ الْحَجَّاجِ لِمَنْ ظَلَمَهُ
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sungguh orang yang dizhalimi terkadang mendoakan buruk atas orang yang menzhalimi sehingga dia membalaskan kezhalimannya. Kemudian ia berdoa buruk lagi kepadanya sehingga melebihi kezhalimannya, maka orang yang menzhalimi itu akan menuntutnya pada hari kiamat.” Sebagian orang terlalu buruk menggunakan lisannya dalam membicarakan al-Hajjaj,[1] maka berkatalah sebagian ulama salaf:[2] “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang mencaci maki al-Hajjaj dan mendoakan keburukan atasnya dengan lisan mereka, sebagaimana Allah akan menyiksa al-Hajjaj karena kezhaliman yang ia lakukan pada banyak orang.”
 
الثَّامِنُ: الْمُزَاحُ وَالسُّخْرِيَةُ وَاْلاِسْتِهْزَاءُ بِالنَّاسِ
Kedelapan: Peliharalah Lisanmu dari Menjadikan Orang Lain sebagai Bahan Tertawaan dan Olok-olokan
 
فَاحْفَظْ لِسَانَكَ مِنْهُ فِي الْجِدِّ وَالْهَزْلِ؛ فَإِنَّهُ يَرِيْقُ مَاءَ الْوَجْهِ، وَيُسْقِطُ الْمَهَابَةَ، وَيَسْتَجِرُّ الْوَحْشَةَ، وَيُؤْذِي الْقُلُوْب
Peliharalah lisanmu dari semua itu, baik dalam keadaan serius maupun sedang bergurau. Karena ia dapat mengubah air muka, menjatuhkan kewibawaan, mengurangi romantisme, dan menyakiti perasaan. 
 
وَهُوَ مَبْدَأُ اللَّجَاجِ وَالْغَضَبِ وَالتَّصَارُمِ، وَيَغْرِسُ الْحِقْدَ فِي الْقُلُوْبِ
Ia juga bisa menjadi pemicu pertengkaran, amarah, kebengisan, dan menumbuhkan rasa dendam di dalam hati. 
 
فَلاَ تُمَازِحْ أَحَدًا؛ فَإِنْ مَازَحُوْكَ فَلاَ تُجِبْهُمْ، وَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ، وَكُنْ مِنَ الَّذِيْنَ إِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
Maka janganlah engkau menjadikan seseorang sebagai bahan gurauan; apabila ada orang yang menjadikanmu sebagai bahan gurauan mereka, hendaklah engkau tidak menjawabnya. Berpalinglah dari mereka hingga mereka mengalihkan topik pembicaraan mereka pada yang lain. Jadilah engkau termasuk golongan orang-orang yang apabila bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.
 
فَهَذِهِ مَجَامِعُ آفَاتِ اللِّسَانِ، وَلاَ يُعِيْنُكَ عَلَيْهِ إِلاَّ الْعُزْلَةُ، أَوْ مُلاَزَمَةُ الصَّمْتِ إِلاَّ بِقَدْرِ الضَّرُوْرَةِ
Itulah penjelasan yang menghimpun di dalamnya bahaya-bahaya lisan. Tidak ada yang dapat menghindarkanmu dari kecuali ‘uzlah (menyendiri) atau membiasakan diri untuk bersikap diam kecuali dalam keadaan yang memaksamu harus bicara.
 
فَقَدْ كَانَ أَبُوْبَكْرٍ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَضَعُ حَجَرًا فِيْ فِيْهِ لِيَمْنَعَهُ ذَلِكَ مِنَ الْكَلاَمِ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ، وَيُشِيْرُ إِلَى لِسَانِهِ وَيَقُوْلُ: هَذَا الَّذِيْ أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ. فَاحْتَرِزْ مِنْهُ بِجَهْدِكَ؛ فَإِنَّهُ أَقْوَى أَسْبَابِ هَلاَكِكَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Abu Bakar al-Shiddiq ra pernah meletakkan batu di dalam mulutnya dengan tujuan agar mencegahnya dari berbicara kecuali dalam keadaan yang mengharuskannya bicara. Sambil menunjuk ke arah lisannya ia berkata: “Inilah yang membawamu terjerumus ke dalam banyak kerusakan.” Maka, hendaklah engkau berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Karena ia menjadi penyebab paling besar kebinasaanmu di dunia maupun akhirat.


[1] Yakni, al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang penguasa yang dikenal alim, namun sering berlaku zalim terhadap rakyatnya.
[2] Yang dimaksud adalah Imam Muhammad bin Sirrin.
Share:

Sunday, April 21, 2019

Pasal : Menjaga Lisan (5)

الْخَامِسُ: تَزْكِيَةُ النَّفْسِ
Kelima: Peliharalah Lisanmu dari Menyucikan (Memuji-muji) Diri Sendiri
 
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعلَمُ بِمَنِ اتَّقَى، وَقِيْلَ لِبَعْضِ الْحُكَمَاءِ: مَالصِّدْقُ الْقَبِيْحُ؟ فَقَالَ: ثَنَاءُ الْمَرْءِ عَلَى نَفْسِهِ
Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman: Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”[1] Pernah ditanyakan kepada sebagian ahli hikmah, “Apakah kejujuran yang paling buruk?” Mereka menjawab: “Kejujuran yang paling buruk adalah memuji-muji dirinya sendiri.”
 
فَإِيَّاكَ أَنْ تَتَعَوَّدَ ذَلِكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ ذَلِكَ يُنْقِصُ مِنْ قَدْرِكَ عِنْدَ النَّاسِ، وَيُوْجِبُ مَقْتَكَ عِنْدَاللهِ تَعَالَى
Karena itu, berhati-hatilah engkau. Jangan sampai engkau membiasakan diri memuji-muji diri sendiri. Ketahuilah bahwa sikap yang demikian itu akan mengurangi kehormatan dirimu di hadapan manusia dan mengundang kemurkaan Allah Ta’ala terhadapmu. 
 
فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ أَنَّ ثَنَاءَكَ عَلَى نَفْسِكَ لاَ يَزِيْدُ فِيْ قَدْرِكَ عِنْدَ غَيْرِكَ، فَانْظُرْ إِلَى أَقْرَانِكَ إِذَا أَثْنُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْفَضْلِ وَالْجَاهِ وَالْمَالِ، كَيْفَ يَسْتَنْكِرُهُ قَلْبُكَ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَثْقِلُهُ طَبْعُكَ، وَكَيْفَ تَذُمُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَارَقْتَهُمْ
Apabila engkau ingin mengetahui bahwa pujianmu atas dirimu sendiri tidak akan menambah kehormatanmu di hadapan orang lain, maka perhatikanlah teman-temanmu yang memuji dan menyanjung diri mereka sendiri dengan kehormatan, kedudukan dan kekayaan yang mereka miliki. Pada saat itu mestilah hatimu akan mengingkari mereka, perasaan dirimu akan berat menerimanya, dan betapa engkau akan mencela sikap mereka itu tatkala telah berpisah dari mareka. 
 
فَاعْلَمْ أَنَّهُمْ أَيْضًا فِيْ حَالِ تَزْكِيَتِكَ لِنَفْسِكَ يَذُمُّوْنَكَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ نَاجِزًا، وَسَيُظْهِرُوْنَهُ بِأَلْسِنَتِهِمْ إِذَا فَارَقْتَهُمْ
Maka ketahuilah, sesungguhnya sikap mereka pun sama terhadap dirimu tatkala engkau memuji-muji dirimu sendiri, yakni mencelamu di dalam hati mereka saat itu juga, dan celaan itu akan mereka perlihatkan lewat lisan-lisan mereka manakala engkau telah berlalu dari hadapan mereka. 
 
السَّادِسُ: اللَّعْنُ
Keenam: Peliharalah Lisanmu dari Melaknat
 
فَإِيَّاكَ أَنْ تَلْعَنَ شَيْئًا مِمَّا خَلَقَ اللهُ تَعَالَى مِنْ حَيَوَانٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ إِنْسَانٍ بِعَيْنِهِ، وَلاَ تَقْطَعْ بِشَهَادَتِكَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِشِرْكٍ أَوْ كُفْرٍ أَوْ نِفَاقٍ؛ فَإِنَّ الْمُطَّلِعَ عَلَى السَّرَائِرِ هُوَ اللهُ تَعَالَى، فَلاَ تَدْخُلْ بَيْنَ الْعِبَادِ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى
Berhatilah-hatilah engkau, jangan sampai melaknat sesuatu yang diciptakan Allah Ta’ala secara khusus dan jelas, baik itu hewan, makanan, maupun manusia. Jangan pula engkau memvonis siapa pun dari kalangan ahli kiblat dengan syirik, kufur, maupun munafik dengan berdasar pada pengetahuanmu semata. Karena yang mengetahui seluruh rahasia yang tersembunyi itu hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, hendaklah engkau tidak masuk ke dalam persoalan yang terjadi hanya antara seorang hamba dengan Allah SWT.
 
وَاعْلَمْ أَنَّكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يُقَالُ لَكَ: لِمَ لَمْ تَلْعَنْ فُلاَنًا، وَلِمَ سَكَتَّ عَنْهُ؟ بَلْ لَوْ لَمْ تَلْعَنْ اِبْلِيْسَ طُوْلَ عُمُرِكَ، وَلَمْ تَشْغَلْ لِسَانِكَ بِذِكْرِهِ لَمْ تُسْأَلْ عَنْهُ وَلَمْ تُطَالَبْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَإِذَا لَعَنْتَ أَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى طُوْلِبْتَ بِهِ، وَلاَ تَذُمَّنَّ شَيْئًا مِمَّا خَلَقَ اللهُ تَعَالَى، فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَذُمُّ الطَّعَامَ الرَّدِىءَ قَطُّ، بَلْ كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
Ketahuilah, sungguh engkau tidak akan ditanya pada hari kiamat dengan pertanyaan: “Mengapa engkau tidak melaknat si Fulan? Mengapa engkau mendiamkan dia?” Bahkan seandainya di sepanjang usiamu engkau tidak pernah melaknat iblis dan tidak menggunakan lisanmu untuk menyebutnya, niscaya pada hari kiamat engkau tidak akan ditanya tentangnya dan tidak pula akan dituntut karenanya. Namun bila engkau melaknat seorang saja dari makhluk Allah, niscaya pertanggungjawabanmu akan diminta. Dan hendaklah engkau tidak mencela apa pun ciptaan Allah, karena di dalam hadits dijelaskan bahwa Nabi SAW sama sekali tak pernah mencela makanan yang menurut beliau tidak enak. Bila beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Namun bila tidak, maka beliau membiarkannya.


[1] QS. an-Najm [53]: 32.
Share:

Saturday, April 20, 2019

Pasal : Menjaga Lisan (4)

الرَّابِعُ: الْمِرَاءُ وَالْجِدَالُ وَمُنَاقَشَةُ النَّاسِ فِي الْكَلاَمِ
Keempat: Peliharalah Lisanmu dari Berdebat dan Berbantahan
 
فَذَلِكَ فِيْهِ إِيْذَاءٌ لِلْمُخَاطَبِ وَتَجْهِيْلٌ لَهُ وَطَعْنٌ فِيْهِ، وَفِيْهِ ثَنَاءٌ عَلَى النَّفْسِ وَتَزْكِيَةٌ لَهَا بِمَزِيْدِ الْفِطْنَةِ وَالْعِلْمِ
Karena yang demikian itu akan menyakiti perasaan lawan bicaramu, engkau pun akan menganggapnya bodoh dan mencela kehormatannya. Berdebat juga dapat memunculkan rasa bangga pada diri sendiri yang dengannya ia merasa lebih cerdas dan lebih berilmu.
 
ثُمَّ هُوَ مُشَوِّشُ لِلْعَيْشِ؛ فَإِنَّكَ لاَ تُمَارِيْ سَفِيْهًا إِلاَّ وَيُؤْذِيْكَ، وَلاَ تُمَارِيْ حَلِيْمًا إِلاَّ وَيَقْلِيْكَ وَيَحْقِدُ عَلَيْكَ
Berdebat dan berbantahan dapat membuat hidup tidak tenang. Karena tidaklah engkau berdebat dengan orang bodoh kecuali ia akan menyakitimu, dan tidaklah engkau berbantahan dengan orang yang berilmu kecuali ia akan membencimu dan dendam terhadapmu. 
 
فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ رَبَضِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ
Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sedangkan ia berada pada posisi yang salah, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di sekitar surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sedangkan ia berada pada posisi yang benar, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di bagian paling atas dari surga.”[1]
 
وَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يَخْدَعَكَ الشَّيْطَانُ وَيَقُوْلَ لَكَ: أَظْهِرِ الْحَقَّ وَلاَ تُدَاهن فِيْهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ أَبَدًا يَسْتَجِرُّ الْحَمْقَى إِلَى الشَّرِّ فِيْ مَعْرِضِ الْخَيْرِ، فَلاَ تَكُنْ ضُحْكَةً لِلشَّيْطَانِ فَيَسْخَرُ بِكَ
 Mestinya engkau tidak terpengaruh oleh tipudaya setan yang berkata kepadamu: “Tunjukkanlah kebenaran itu dan jangan pernah mengalah demi mempertahankan kebenaran.” Karena sungguh setan itu selamanya akan mengajak orang-orang yang dungu kepada keburukan dengan cara membalut keburukan itu dengan kebaikan. Maka janganlah engkau mau jadi bahan tertawaan setan hingga kemudian ia mencemoohkanmu.
 
فَإِظْهَارُ الْحَقِّ حَسَنٌ مَعَ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْكَ، وَذَلِكَ بِطَرِيْقِ النَّصِيْحَةِ فِي الْخُفْيَةِ لاَ بِطَرِيْقِ الْمُمَارَاةِ
Menunjukkan kebenaran adalah sesuatu yang baik, namun tentunya kepada orang yang bersedia menerimanya darimu. Dan itu pun mestinya disampaikan melalui nasihat tersembunyi, bukan dengan jalan berdebat dan berbantahan.
 
وَلِلنَّصِيْحَةِ صِفَةٌ وَهَيْئَةٌ، وَيُحْتَاجُ فِيْهَا إِلَى تَلَطُّفٍ وَإِلاَّ صَارَتْ فَضِيْحَةً، وَكَانَ فَسَادُهَا أَكْثَرَ مِنْ صَلاَحِهَا
Menyampaikan nasihat memiliki sifat dan cara tersendiri, dan padanya dibutuhkan adanya kelembutan. Jika tidak, maka penyampaian nasihat akan berubah menjadi ajang mempermalukan orang lain. Akibatnya, keburukannya menjadi lebih besar daripada kebaikannya. 
 
وَمَنْ خَالَطَ مُتَفَقِّهَةَ الْعَصْرِ غُلِبَ عَلَى طَبْعِهِ الْمِرَاءُ وَالْجِدَالُ، وَعَسُرَ عَلَيْهِ الصَّمْتُ، إِذْ أَلْقَى إِلَيْهِ عُلَمَاءُ السُّوْءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ، وَالْقُدْرَةُ عَلَى الْمُحَاجَّةِ وَالْمُنَاقَشَةِ هُوَ الَّذِيْ يُمَتَدَّحُ بِهِ؛ فَفِرَّ مِنْهُمْ فِرَارَكَ مِنَ اْلأَسَدِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْمِرَاءَ سَبَبُ الْمَقْتِ عِنْدَاللهِ وَعِنْدَ الْخَلْقِ
Dan barangsiapa yang sering bergaul dengan “ahli fiqh (ulama)” masa sekarang ini, maka ia akan terpengaruh dengan kebiasaan mereka yang suka berdebat dan berbantahan, dan akan sulit pula baginya untuk bisa bersikap diam. Apabila itu yang terjadi maka ia akan masuk ke dalam kelompok ulama suu’ yang mengajarkan bahwa berdebat dan berbantahan itu adalah suatu kebaikan. Para ulama yang demikian ini juga menegaskan bahwa kemampuan dalam menyampaikan hujjah (berdalil) dan berdebat merupakan kemampuan yang patut mendapat pujian. Oleh karena itu, larilah engkau dari mereka seperti halnya melarikan diri dari seekor singa. Ketahuilah bahwa sikap berdebat dan suka berbantah-bantahan menjadi sebab kebencian di sisi Allah dan di sisi sesama makhluk.


[1] Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dengan lafazh yang mirip dengan hadits di atas dari Anas bin Malik ra:  مَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ بُنِيَ لَهُ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلاَهَا [Barangsiapa yang meninggalkan berbohong (dan berbohong pada waktu itu sesuatu yang tidak dibenarkan) maka akan dibangunkan untuknya rumah di sekitar surga, barangsiapa yang meninggalkan perdebatan (sedang dia orang yang berhak untuk berdebat) maka akan dibangunkan untuknya rumah di tengah surga, dan barangsiapa yang memperbagus akhlaknya maka akan dibangunkan rumah untuknya di bagian yang paling atas].
Share:

Friday, April 19, 2019

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi.
 
Para sahabat yang mengetahuinya emosi. Kurang ajar, beraninya kencing di masjid? Barangkali demikian perasaan yang berkecamuk di antara mereka. Nabi Muhammad setiba di lokasi, langsung meminta bekas kencing tadi disiram sampai bersih.
 
Kita tak tahu siapa nama orang Arab kampung yang kencing di Masjid Nabawi. Dalam redaksi hadits, hanya tertulis “rajulun” yang artinya seorang pria, atau dalam redaksi matan yang lebih spesifik, rajul min a’rabiy, seorang pria dari kalangan Arab kampung.
 
Namanya tak kita ketahui hingga kini, kendati kisahnya demikian populer. Dalam hadits, rupanya banyak sosok yang tidak disebutkan namanya, baik dalam sanad atau matan hadits. Berdasarkan ilmu hadits, sosok yang tidak disebutkan namanya ini disebut mubham. Mubham berasal dari kata abhama-yubhimu yang artinya “tidak jelas”.
 
Sebagaimana disinggung di atas, sosok yang mubham ini berada dalam matan hadits. Banyak kisah Nabi didatangi pria atau perempuan yang tidak disebutkan siapa identitasnya, atau hanya sekilas belaka. 
 
Semisal pada peristiwa Haji Wada’, Nabi Muhammad yang sedang dibonceng di unta oleh sahabat Al Fadhl bin Abbas, didatangi oleh perempuan dari Bani Khats’am yang menanyakan apakah ia boleh menghajikan bapaknya yang sudah renta. Siapakah nama perempuan itu? Tidak disebutkan.
 
Kadang dalam matan sendiri dijelaskan siapa orang yang dimaksud. Semisal hadits yang dikenal sebagai hadits tentang Iman, Islam dan Ihsan. Dalam berbagai riwayat disebutkan Nabi kedatangan seorang pria rupawan, rambutnya klimis, tiba-tiba muncul dari padang pasir tanpa ada bekas perjalanan, dan duduk di depan Nabi menanyakan seputar Iman, Islam, Ihsan dan tanda kiamat. 
 
Kita tidak tahu siapakah sang pria, sampai Nabi menjelaskannya kepada para sahabat di akhir kisah: “Dia adalah Jibril, ia datang untuk mengabarkan tentang agama kalian.”
 
Secara garis besar, cara mengetahui sosok mubham ini, menurut Mahmud Thahhan dalam Taysir Musthalahil Hadits, dilakukan dengan membandingkan berbagai riwayat hadits yang serupa, atau melalui keterangan ahli biografi dan sejarah.
 
Pada taraf yang lebih lanjut, tentu sosok mubham diketahui lewat hubungan guru-murid, wilayah tinggal, dan banyak lagi cara ulama “menemukan” nama mereka. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas tentang seorang pria yang bertanya kepada Nabi,
 
“Wahai Nabi, apakah haji itu setiap tahun?” Pria yang disebutkan Abdullah bin Abbas ini, setelah dilacak oleh para ulama ternyata bernama Al Aqra’ bin Habis.
 
Berikut hadits yang juga diriwayatkan Abdullah bin Abbas, tentang seorang perempuan dari Bani Juhainah yang menanyakan apakah ia bisa meng-qadha haji ibunya yang telah wafat. Imam an-Nasa’i menyebutkan bahwa ia adalah istri sahabat Sinan bin Salamah Al Juhani, dan Imam Ahmad menyimpulkan ia adalah istri Sinan bin Abdullah Al Juhani.
 
Demikianlah contoh sosok mubham dalam matan. Menurut para ulama hadits, mengetahui nama yang mubham pada matan akan menunjang pemahaman yang lebih baik akan suatu hadits.
 
Sementara ulama, tanpa mengabaikan pentingnya mengetahui nama tokoh dalam hadits, memahami tujuan disampaikannya hadits lebih penting dibanding debat seputar siapa orang dalam hadits itu. Tentu dengan syarat persoalan penilaian sanad hadits sudah rampung.
 
Bagaimana jika mubham itu berada dalam rantai sanad? Ulama berbeda pendapat soal ini. Dikarenakan penilaian sanad hadits memiliki standar ilmiah ketat dengan keharusan identifikasi tiap profil perawi hadits, maka adanya sosok yang samar dalam sanad, apalagi tidak diketahui namanya, bisa membuat penilaian akan suatu hadits terhambat – atau malah mengurangi kualitasnya. Bagaimana para peneliti hadits bisa menilai kualitas sanad dari beragam aspeknya, jika nama perawinya saja tidak tahu?
 
Sebagai pengecualian, oleh mayoritas ulama hadits, jika perawi yang sosoknya tidak disebutkan namanya itu berasal dari kalangan sahabat, maka “rajulun” itu dinilai sebagai pribadi tsiqah kendati tidak diketahui siapa dia. Kaidahnya: setiap sahabat itu ‘udul (berkepribadian baik – tidak mungkin berbohong atas nama Nabi).
 
Demikian sekilas pembahasan perihal sosok-sosok yang tidak disebut namanya dalam hadits. Memperhatikan detail nama tokoh dalam hadits, juga perawi yang belum atau tidak tercatat namanya oleh para ulama, adalah kekayaan khazanah keilmuan Islam khususnya bidang hadits, yang membikin ulama tidak terburu-buru dalam menelaah ilmu agama. 
 
Untuk lebih lanjut soal sosok mubham dalam hadits, Anda bisa merujuk kitab al-Mustafad min Mubhamatil Matn wal Isnad karya Syekh Al ‘Iraqi. 
 
Wallahu A’lam.
Share:

Hukum Puasa Setelah Nishfu Sya'ban

Sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis, Rasulullah SAW memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Pada bulan tersebut terdapat banyak keutamaan dan berbagai macam peristiwa penting terjadi pada bulan Sya’ban. Tidak hanya itu, bulan Sya’ban juga memiliki malam yang istimewa dan penuh berkah, yaitu malam Nishfu Sya’ban.
 
Malam Nishfu Sya’ban diyakini sebagai malam pengampunan dan penuh keberkahan. Dianjurkan pada malam pertengahan Sya’ban memperbanyak ibadah, doa dan istighfar.  Setelah malam Nishfu Sya’ban, apakah masih ada kesunnahan yang bisa kita lakukan? Apakah pada tanggal 16 Sya’ban dan seterusnya masih dianjurkan untuk berpuasa?
 
Terkait persoalan ini, ulama berbeda pendapat karena ada satu hadis yang melarang puasa setelah Nishfu Sya’ban; dan dalam riwayat al-Bukhari, Nabi juga melarang puasa dua atau tiga hari sebelum Ramadhan. Syekh Wahbab al-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
 
قال الشافعية: يحرم صوم النصف الأخير من شعبان الذي منه يوم الشك، إلا لورد بأن اعتاد صوم الدهر أو صوم يوم وفطر يوم أو صوم يوم معين كالا ثنين فصادف ما بعد النصف أو نذر مستقر في ذمته أو قضاء لنفل أو فرض، أو كفارة، أو وصل صوم ما بعد النصف بما قبله ولو بيوم النص. ودليلهم حديث: إذا انتصف شعبان فلا تصوموا، ولم يأخذبه الحنابلة وغيرهم لضعف الحديث في رأي أحمد
“Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah Nishfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahar, puasa Daud, puasa Senin-Kamis, puasa nadzar, puasa qadha’, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarah, dan melakukan puasa setelah Nishfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari Nishfu Sya’ban. Dalil mereka adalah hadis, ‘Apabila telah melewati Nishfu Sya’ban janganlah kalian puasa’. Hadis ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hanbali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad dhaif.”
 
Ulama melarang puasa setelah Nishfu Sya’ban dikarenakan pada hari itu dianggap hari syak (ragu), karena sebentar lagi bulan Ramadhan tiba. Khawatirnya, orang yang puasa setelah Nishfu Sya’ban tidak sadar kalau dia sudah berada di bulan Ramadhan. Ada juga ulama yang mengatakan, puasa setelah Nishfu Sya’ban dilarang agar kita bisa menyiapkan tenaga dan kekuatan untuk puasa di bulan Ramadhan.
 
Meskipun dilarang, ulama dari mazhab Syafi’i pun tetap membolehkan puasa sunnah bagi orang yang terbiasa mengerjakannya. Seperti mengerjakan puasa Senin dan Kamis, puasa ayyamul bidh, puasa nadzar, puasa qadha, ataupun orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa dahr.
 
Sementara menurut ulama lain, khususnya selain mazhab Syafi’i, hadis di atas dianggap lemah dan termasuk hadis munkar, karena ada perawi hadisnya yang bermasalah. Dengan demikian, sebagian ulama tidak melarang puasa setelah Nisfhu Sya’ban selama dia mengetahui kapan masuknya awal Ramadhan. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan:
 
وقال جمهور العلماء يجوز الصوم تطوعا بعد النصف من شعبان وضعفوا الحديث الوارد فيه وقال أحمد وبن معين إنه منكر
“Mayoritas ulama membolehkan puasa sunnah setelah Nishfu Sya’ban dan mereka melemahkan hadis larangan puasa setelah Nishfu Sya’ban. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan hadis tersebut munkar”
 
Dengan demikian, ulama berbeda pendapat terkait hukum puasa sunnah mutlak setelah Nishfu Sya’ban, karena mereka berpeda pendapat dalam memahami dan munghukumi hadis larangan puasa setelah Nishfu Sya’ban. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka sepakat akan kebolehan puasa sunnah bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa dahr dan lain-lain. Dibolehkan juga puasa bagi orang yang ingin membayar kafarah, qadha puasa, dan orang yang ingin melanjutkan puasa setelah puasa Nishfu Sya’ban. 
 
Wallahu a’lam
Share:

Pasal : Menjaga Lisan (3)

الثَّالِثُ: الْغِيْبَةُ
Ketiga: Peliharalah Lisanmu dari Perbuatan Ghibah (Bergunjing)
 
فَاحْفَظْ لِسَانَكَ عَنْهَا، وَالْغِيْبَةُ أَشَدُّ مِنْ ثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً فِي اْلإِسْلاَمِ، كَذَلِكَ وَرَدَ فِي الْخَبَرِ
Peliharalah lisanmu darinya, karena ghibah dalam pandangan Islam dosanya lebih berat daripada dosa perzinahan yang dilakukan sebanyak tiga puluh kali. Seperti itulah yang dijelaskan di dalam hadits.
 
وَمَعْنَى الْغِيْبَةُ: أَنْ تَذْكُرَ إِنْسَانًا بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ سَمِعَهُ، فَأَنْتَ مُغْتَابٌ ظَالِمٌ وَإِنْ كُنْتَ صَادِقًا
Yang dimaksud dengan ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya bila ia mendengarnya. Dengan melakukan hal itu maka engkau telah menjadi seorang pelaku ghibah yang zalim sekalipun yang engkau katakan itu adalah benar. 
 
وَإِيَّاكَ وَغِيْبَةَ الْقُرَّاءِ الْمُرَائِيْنَ، وَهُوَ أَنْ تُفْهِمَ الْمَقْصُوْدَ مِنْ غَيْرِ تَصْرِيْحٍ فَتَقُوْلَ: أَصْلَحَهُ اللهُ فَقَدْ سَاءَنِيْ وَغَمَّنِيْ مَا جَرَى عَلَيْهِ، فَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُصْلِحَنَا وَإِيَّاهُ
Hendaklah engkau berhati-hati dari model ghibah yang dilakukan oleh orang-orang yang riya dengan ibadahnya. Ghibah model ini adalah engkau memahami maksud dari pergunjingan itu meskipun tidak dengan menggunakan kata-kata yang jelas. Misalnya, engkau berkata tentang seseorang: “Semoga Allah menjadikannya lebih baik, sungguh ia telah berbuat buruk padaku dan menyulitkanku dengan perbuatannya. Marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Dia memperbaiki kita dan memperbaikinya.”
 
فَإِنَّ هَذَا جَمْعٌ بَيْنَ خَبِيْثَيْنِ، أَحَدُهُمَا: الْغِيْبَةُ إِذَا حَصَلَ بِهِ التَّفَهُّمُ، وَاْلآخَرُ: تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهَا بِالتَّحَرُّجِ وَالصَّلاَحِ
Perkataan seperti itu terkumpul padanya dua keburukan: Keburukan pertama, menjadi ghibah apabila orang lain mengerti apa maksud perkataan tersebut. Keburukan kedua, menyucikan dan memuji diri sendiri dengan menyingkapkan keburukan orang lain di satu sisi, dan menampakkan kebaikan diri sendiri di sisi yang lain. 
 
وَلَكِنْ إِنْ كَانَ مَقْصُوْدُكَ مِنْ قَوْلِكَ: أَصْلَحَهُ اللهُ - الدُّعَاءُ؛ فَادْعُ لَهُ فِي السِّرِّ، وَإِنْ اغْتَمَمْتَ بِسَبَبِهِ، فَعَلاَمَتُهُ أَنَّكَ لاَ تُرِيْدُ فَضِيْحَتَهُ وَاِظْهَارَ عَيْبِهِ، وَفِيْ إِظْهَارِكَ الْغَمَّ بِعَيْبِهِ إِظْهَارُ تَعْيِيْبِهِ
Apabila maksud ucapanmu: “Semoga Allah menjadikannya lebih baik” adalah doa, maka doakanlah ia secara sirri (secara rahasia) saja. Apabila engkau merasa sedih (prihatin) dengan keadaannya, maka itu adalah pertanda bahwa engkau tidak akan sanggup membeberkan aibnya di hadapan orang lain. Namun dengan sikapmu yang memperlihatkan rasa susah (rasa kesal) terhadap aibnya itu, maka engkau telah menyingkap aibnya di hadapan orang lain.
 
وَيَكْفِيْكَ زَاجِرًا عَنِ الْغِيْبَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيِْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
Dan cukuplah bagimu firman Allah SWT berikut ini sebagai peringatan agar engkau menjaga lisanmu dari ghibah: “Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”[1]
 
فَقَدْ شَبَّهَكَ اللهُ بِآكِلِ لَحْمِ الْمَيْتَةِ؛ فَمَا أَجْدَرُكَ أَنْ تَحْتَرِزَ مِنْهَا
Perhatikanlah ayat di atas, betapa Allah telah mempersamakanmu yang suka melakukan ghibah dengan seorang pemakan bangkai. Maka alangkah pantasnya bila engkau benar-benar menjauhinya.
 
وَيَمْنَعُكَ عَنْ غِيْبَةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَمْرٌ لَوْ تَفَكَّرْتَ فِيْهِ، وَهُوَ أَنْ تَنْظُرَ فِيْ نَفْسِكَ، هَلْ فِيْكَ عَيْبٌ ظَاهِرٌ أَوْ بَاطِنٌ؟ وَهَلْ أَنْتَ مُقَارِفٌ مَعْصِيَةً سِرًّا أَوْ جَهْرًا؟
Jika engkau mau merenungkan perkara berikut ini, niscaya engkau akan mencegah dirimu dari melakukan ghibah terhadap kaum Muslimin. Yakni, perhatikanlah dirimu sendiri. Apakah pada dirimu terdapat aib, baik yang bersifat zhahir maupun batin? Apakah engkau melakukan kemaksiatan kepada Allah, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan? 
 
فَإِذَا عَرَفْتَ ذَلِكَ مِنْ نَفْسِكَ، فَاعْلَمْ أَنَّ عَجْزَهُ عَنِ التَّنَزُّهِ عَمَّا نَسَبْتَهُ إِلَيْهِ كَعَجْزِكَ، وَعُذْرَهُ كَعُذْرِكَ، وَكَمَا تَكْرَهُ أَنْ تُفْتَضَحَ وَتُذْكَرَ عُيُوْبُكَ، فَهُوَ أَيْضًا يَكْرَهُهُ
Apabila engkau menyadari bahwa semua itu ada pada dirimu, maka ketahuilah bahwa ketidakmampuan orang lain untuk melepaskan diri dari segala hal (buruk) yang engkau nisbatkan padanya adalah sama seperti ketidakmampuanmu untuk terbebas dari segala hal itu. Pahamilah keadaannya sebagaimana engkau memahamimu dirimu. Maka sebagaimana halnya engkau tidak suka bila aibmu dibeberkan dan dibicarakan, maka orang lain pun demikian, benci bila aibnya diperbincangkan.
 
فَإِنْ سَتَرْتَهُ سَتَرَ اللهُ عَلَيْكَ عُيُوْبَكَ، وَإِنْ فَضَحْتَهُ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكَ أَلْسِنَةً حِدَادًا يُمَزِّقُوْنَ عِرْضَكَ فِي الدُّيْنَا، ثُمَّ يَفْضَحُكَ اللهُ فِي اْلآخِرَةِ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Apabila engkau menutupi aib orang lain, maka Allah akan menutupi aib-aibmu. Namun bila engkau membuka dan membeberkan aib orang lain, maka Allah akan menguasakan atasmu lidah-lidah tajam yang akan mencabik-cabik kehormatan dirimu di dunia ini, kemudian di akhirat nanti Allah akan membeberkan keadaan dirimu yang sesungguhnya di hadapan seluruh makhluk.
 
وَإِنْ نَظَرْتَ إِلَى ظَاهِرِكَ وَبَاطِنِكَ، فَلَمْ تَطَّلِعْ فِيْهِمَا عَلَى عَيْبٍ وَنَقْصٍ فِيْ دِيْنٍ وَلاَ دُنْيَا، فَاعْلَمْ أَنَّ جَهْلَكَ بِعُيُوْبِ نَفْسِكَ أَقْبَحُ أَنْوَاعِ الْحَمَاقَةِ، وَلاَ عَيْبَ أَعْظَمُ مِنَ الْحُمْقِ
Bila engkau melihat keadaan dirimu secara zhahir maupun batin, lalu engkau tidak menemukan padanya suatu aib maupun kekurangan baik dalam urusan agama maupun dunia, maka ketahuilah bahwa ketidaktahuanmu akan aib-aibmu merupakan suatu kedunguan yang paling fatal, dan tidak ada aib yang lebih besar daripada kedunguan semacam itu. 
 
وَلَوْ أَرَادَ اللهُ بِكَ خَيْرًا، لَبَصَّرَكَ بِعُيُوْبِ نَفْسِكَ، فَرُؤْيَتُكَ نَفْسَكَ بِعَيْنِ الرِّضَا غَايَةُ غَبَاوَتِكَ وَجَهْلِكَ. ثُمَّ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا فِيْ ظَنِّكَ فَاشْكُرِ اللهَ تَعَالَى عَلَيْهِ وَلاَ تُفْسِدْهُ بِثَلْبِ النَّاسِ وَالتَّمَضْمُضِ بِأَعْرَاضِهِمْ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ الْعُيُوْبِ
Sekiranya Allah berkehendak memberikan kebaikan padamu, niscaya Dia akan memperlihatkan kepadamu aib-aibmu. Maka pandanganmu terhadap dirimu dengan perasaan ridha merupakan puncak kebodohanmu. Kemudian apabila prasangkamu terhadap dirimu yang tidak memiliki aib dan kekurangan adalah benar, maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas hal itu. Dan janganlah engkau merusaknya dengan menggunjing manusia dan mencela kehormatan mereka, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah aib yang paling besar.


[1] QS. al-Hujurat [49]: 12.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online