Saat Allah
menyerukan perintah shalat dalam firman-Nya, “Dan dirikanlah shalat”,
maka Allah juga memerintahkan syarat-syaratnya. Hal ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqih:
الأمر بالشيء أمر به وبما لا يتم الفعل
إلا به
“Memerintahkan
perkara juga memerintahkan perkara yang menjadi penyempurnanya.”
Dalam
konteks perintah shalat, yang dimaksud penyempurnanya adalah syarat-syarat
shalat. Salah satu yang menjadi syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.
Menghadap kiblat disyaratkan bagi orang yang mampu menghadapnya. Kewajiban ini
berdasarkan firman Allah:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ
“Maka
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Demikian
pula sabda Nabi kepada Khallad bin Rafi’ al-Anshari yang memperburuk shalatnya:
إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل
القبلة
“Bila engkau
hendak menjalankan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah
kiblat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalil
lainnya adalah Ijma’ (konsensus) ulama bahwa shalat tidak sah tanpa
menghadap kiblat.
Menghadap
kiblat bisa dihasilkan dengan yaqin atau zhann (dugaan). Menghadap secara yakin
berlaku untuk orang yang dekat dengan Ka’bah,
misalkan orang yang berada di sekitar Masjidil Haram. Sedangkan untuk orang
yang jauh dari Ka’bah standarnya adalah zhann (dugaan) bahwa
ia telah menghadap kiblat.
Ada beberapa
hal yang dapat menjadi pijakan dalam menentukan arah kiblat, misalkan
berlandaskan kepada mihrab masjid yang teruji tanpa ada yang mencelanya, berita
dari orang terpercaya yang melihat kiblat secara langsung, berita dari banyak
orang yang mencapai taraf khabar mutawatir (diyakini kebenarannya), bait
al-ibrah (kompas) dan lain sebagainya. Dalam konteks kekinian, bait
al-ibrah yang dijelaskan di beberapa kitab turats saat ini bisa digantikan
dengan aplikasi sejenis google maps.
Saat kondisi
tidak memungkinkan, misalkan di tengah jalan tanpa menemukan petunjuk apapun,
maka seseorang diwajibkan untuk berijitihad (berusaha) dalam menentukan arah
kiblat. Misalkan dengan cara meneliti arah mata angin atau arah matahari. Bila
tidak memungkinkan untuk berijtihad, maka bertanya kepada orang lain.
Dalam
menentukan arah kiblat, seseorang tidak boleh ngawur, tidak boleh melakukan
shalat dengan asal menghadap tanpa dasar. Meski pada kenyataannya arahnya
tepat, shalatnya tetap tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan dengan
menghadap kiblat tanpa ada dasar, maka ulama sepakat wajib diulangi.
Ketika sudah
menghadap berdasarkan petunjuk yang didapat dari hasil ijtihadnya, namun
setelahnya diyakini keliru, maka menurut pendapat al-azhhar (pendapat kuat),
shalatnya tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan tanpa menghadap kiblat,
wajib diulangi. Saat kekeliruan terjadi di tengah-tengah shalat, maka shalat
wajib diulang dari awal dan menghadap arah yang benar.
Pendapat
pertama ini berargumen bahwa permasalahan kekeliruan menghadap kiblat bagi
orang telah berusaha menemukan arah kiblat dianalogikan dengan kasus seorang
hakim yang memutuskan persoalan berdasarkan ijtihadnya, kemudia ia menemukan
dalil nash yang menyelesihi hasil ijtihadnya. Dalam kondisi tersebut, hakim
wajib mencabut pendapatnya dan kembali kepada dalil nash.
Sementara
menurut pendapat kedua, shalatnya tetap sah. Sebab ia meninggalkan kiblat
disebabkan udzur, sehingga sama dengan persoalan meninggalkan kiblat saat
kondisi perang.
Penjelasan
di atas sebagaimana keterangan yang disampaikan dalam referensi berikut ini:
قوله (ومن صلى
بالاجتهاد) منه أو من مقلده (فتيقن الخطأ) في جهة أو تيامن أو تياسر معينا قبل
الوقت أو فيه أعاد أو بعده (قضى) وجوبا (في الأظهر) وإن لم يظهر له الصواب لتيقنه
الخطأ فيما يؤمن مثله في العادة كالحاكم يحكم باجتهاده ثم يجد النص بخلافه
“Orang yang shalat dengan ijtihad dari dirinya sendiri atau orang yang dia
ikuti, kemudian yakin keliru di dalam arah kiblat, arah kanan atau kiri kiblat
secara tertentu, sebelum masuk waktu atau di dalamnya, maka ia wajib mengulangi
shalat. Atau apabila terjadi setelah shalat, maka wajib mengqadla’ menurut
pendapat al-Azhhar, meski tidak jelas baginya kebenaran. Sebab kayakinannya
akan sebuah kekeliruan dalam persoalan yang secara adat terjamin dari
kekeliruan, sebagaimana seorang hakim yang menghukumi berdasarkan ijtihad
kemudian ia menemukan dalil nash yang menyelisihinya”.
والثاني لا يقضي لأنه ترك القبلة بعذر
فأشبه تركها في حال القتال ونقله الترمذي عن أكثر أهل العلم واختاره المزني
وخرج بتيقن الخطأ ظنه
“Menurut
pendapat kedua, tidak wajib mengqadha’. Sebab ia meninggalkan kiblat disebabkan
uzur, maka serupa dengan kasus meninggalkan kiblat dalam kondisi perang.
Pendapat ini dikutip oleh At-Tirmidzi dari mayoritas ahli ilmu dan dipilih oleh
Imam Al-Muzni. Dikecualikan dengan ungkapan yakin keliru, dugaan akan
kekeliruan.”
قوله (فلو تيقنه فيها) أي الصلاة (وجب
استئنافها) بناء على وجوب القضاء بعد الفراغ لعدم الاعتداد بما مضى
“Bila yakin
keliru di dalam shalat, maka wajib memulai shalat dari awal, berpijak dari
pendapat yang mewajibkan mengqadla’ setelah selesai shalat, sebab tidak
dianggapnya shalat yang telah dikerjakan.” (Lihat: Syekh
Al-Khathib Al-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I halaman 147)
Demikian
penjelasan mengenai hukum seseorang yang terlanjur keliru dalam menghadap
kiblat. Ikhtilaf ulama di atas hendaknya tidak menjadi bahan untuk saling
menghujat, namun sebagai bahan untuk menghormati perbedaan. Bila
mempertimbangkan kehati-hatian, maka hendaknya mengikuti pendapat yang tidak
mengesahkan, terlebih pendapat itu adalah pendapat yang kuat dalam mazhab
Syafi’i. Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment