Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Monday, December 24, 2018

Alam Persinggahan

Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW suatu hari berdekatan denganku dan ia memegang pundakku sambil bersabda: 'Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau seperti orang yang menyebrang jalan'". 

Hadis di atas mengandung satu pesan bahwa kita jangan terlena oleh kehidupan duniawi beserta pernak pernik lainnya. Rasulullah SAW menganjurkan kita agar dapat menjalani hidup layaknya orang asing yang selalu berpikir untuk pulang. Atau seperti ungkapan berikutnya, "Jadilah kita seperti seorang penyeberang jalan".

Tentu banyak hal yang harus kita perhatikan saat menyebrang jalan. Kita harus selalu berhati-hati agar tidak tertabrak kendaraan atau tersenggol orang lain yang berlalu lalang. Seorang penyeberang jalan pun akan bersegera untuk sampai ke ujung jalan berikutnya. Isi hadis ini menggambarkan sebuah kiasan dari Rasulullah SAW tentang bagaimana kita menghadapi kehidupan dunia ini. Ada hal lain yang cukup menarik berkaitan dengan hadis ini, yaitu komentar dari Ibnu Umar. Ia berkata, "Jika kamu mampu mengerjakan (menyelesaikan) sebuah pekerjaan pada sore hari, maka janganlah kamu menundanya hingga esok pagi. Dan jika kamu memiliki kesempatan untuk mengerjakan sesuatu pagi hari, maka janganlah ditunda hingga datangnya waktu sore. Dan hendaklah kamu memanfaatkan semaksimal mungkin ketika kamu dalam kondisi sehat. Dan hendaklah mempersiapkan dirimu semaksimal mungkin, sebelum datangnya kematian". Apa yang diungkapkan Ibnu Umar ini, sejatinya adalah penjelasan yang tepat tentang hal yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis di atas. Betapa Rasulullah SAW menyuruh kita hidup di dunia sebagaimana seorang yang sedang dalam perjalanan, di mana kita akan selalu memikirkan untuk pulang dan hanya mengerjakan hal-hal yang dianggap perlu saja. Dan yang jelas, kita tidak akan menunda-nunda pekerjaan saat itu karena kita diburu waktu. 

Contoh konkretnya adalah saat kita menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah. Sesakral dan seingin apapun kita mengunjungi Makkah, maka yakinlah kita akan tetap menginginkan untuk pulang. Karena kita di sana hanyalah sekadar gharim atau orang asing. Begitu pula kondisi yang harusnya kita jalani dalam hidup ini. Sebahagia dan sesuka apapun kita di dunia, atau sekaya apapun kita di dunia, maka kita harus tetap merindukan untuk kembali ke alam keabadian kita.

Maka dari itu, kehidupan dunia ini jangan sekali-kali menjadikan diri kita terlela dan sampai lupa diri. Inilah pesan Rasulullah SAW yang kemudian dikomentari oleh Ibnu Umar bahwa kesementaraan hidup kita di dunia seharusnya membuat kita tidak menunda-nunda berbuat kebaikan. Janganlah hidup di dunia ini kita isi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Apa pun yang ada di dunia ini harus menjadi bekal kepulangan kita menuju alam keabadian. Benarlah apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib ra ketika seseorang bertanya tentang apa yang dilakukan para sahabat di zaman Rasulullah SAW. 

Ali ra mengatakan bahwa apa yang dilakukan para sahabat adalah ibadah. Tidak ada satupun yang dilakukan mereka kecuali bernilai ibadah, baik itu dalam kesendiriannya, berkeluarga, maupun dalam bermuamalah. Kenapa mereka mampu melakukan semua ini? Jawabnya, mereka tahu bahwa hidup ini hanya persinggahan sementara dan ada kematian yang akan menjadi akhir hidup mereka di dunia. Karena itu, mereka menjadikan dunia sebagai ajang berbekal diri untuk menyambut hidup yang lebih abadi. 

Wallahu a'lam
Share:

Hukum Membaca Al-Qur'an dengan Langgam Jawa

Imam Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah mendokumentasikan tentang perbedaan para ulama dalam menyikapi pembacaan Al-Quran dengan berbagai langgam. Menurutnya ada dua kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

وَقَالَ الشَّاشِيُّ فِي الْحِيلَةِ فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ فَأَبَاحَهَا قَوْمٌ وَحَظَرَهَا آخَرُونَ
“Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah berkata, adapun membaca (Al-Qur`an) dengan berbagai langgam maka sebagian kalangan membolehkan, sedang kalangan yang lain melarangnya. (Lihat: Ar-Ramli, Hasyiyah ar-Ramli, Juz 4, h. 344)

Sedangkan Imam Syafii cenderung untuk memerinci. Menurutnya membaca Al-Quran dengan berbagai langgam adalah boleh sepanjang tidak mengubah huruf dari nazhamnya. Namun apabila sampai menambahi hurufnya maka tidak dibolehkan.  

وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ التَّفْصِيلَ وَإِنَّهَا إنْ كَانَتْ بِأَلْحَانٍ لَا تُغَيِّرُ الْحُرُوفَ عَنْ نَظْمِهَا جَازَ وَإِنْ غَيَّرَتْ الْحُرُوفَ إلَى الزِّيَادَةِ فِيهَا لَمْ تَجُزْ
“Imam Syafi’i memilih untuk merincinya, jika membacanya dengan berbagai langgam yang tidak sampai mengubah huruf dari nazhamnya maka boleh, tetapi apabila mengubah hurufnya sampai memberikan tambahan maka tidak boleh. (Hasyiyah ar-Ramli, Juz 4, h. 344)

Pandangan Imam Syafi’i sebenarnya ingin menegaskan bahwa boleh saja Al-Qur’an dibaca dengan berbagai langgam asalkan tidak merusak tajwid, mengubah orisinalitas huruf maupun maknanya. Pandangan Imam Syafi’i tersebut kemudian diamini juga oleh Imam ad-Darimi dengan mengatakan bahwa membaca Al-Qur’an dengan berbagai langgam adalah sunnah sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya. Sebab, menggeser atau menghilangkan huruf dari harakatnya adalah haram.  

وَقَالَ الدَّارِمِيُّ الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ مُسْتَحَبَّةٌ مَا لَمْ يُزِلْ حَرْفًا عَنْ حَرَكَتِهِ أَوْ يُسْقِطُ فَإِنَّ ذَلِكَ مُحَرَّمٌ
“Imam ad-Darimi berkata, membaca dengan berbagai langgam itu disunnahkan sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya, karena hal itu diharamkan”. (Hasyiyah ar-Ramli, Juz 4, h. 344)

Dengan mengacu kepada penjelasan singkat ini, maka dapat disimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa adalah boleh sepanjang tidak menabrak sisi tajwid, makharij huruf, dan terpeliharanya orisinalitas makna Al-Qur’an itu sendiri. 

Ada yang berbeda pendapat? Silakan. Tapi sikapilah perbedaan itu dengan cara yang bijak.
Share:

Friday, December 21, 2018

Ucapan Selamat Natal: Antara yang Menghalalkan dan Mengharamkan

A. Dalil Ulama yang Menghalalkan Ucapan Selamat Natal

لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8)

وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“...serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...” (QS. al-Baqarah: 83)

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. an-Nahl: 90)

وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا ۗ
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)... (QS. an-Nisa: 86)

B. Ulama-ulama yang Menghalalkan Ucapan Selamat Natal

Syaikh Wahbah Zuhaili berkata :

لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka. (Sumber: Link: http://www.shariaa.net/forum/showthread.php?t=22917)

Syaikh Yusuf Qardhawi. Disebutkan:

يرى جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)».
ويرى د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات جاملة تعارفها الناس.
Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam. Allah berfirman: Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik.
Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (nonmuslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka atau rela dengan hal itu. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal. (Sumber: Link: http://www.qaradawi.net/new/all-fatawa/1483 ; link: http://goo.gl/dbTrma)

Syaikh Ali Jum’ah

Syaikh Ali Jumah adalah Mufti Besar Mesir periode 28 September 2003 - 11 February 2013. Ahli fiqih pengikut madzhab Syafi'i dan berakidah Asy'ariyah.

Pada 2008 ia mengeluarkan fatwa terkait mengucapkan selamat pada perayaan non-Muslim. Intinya: ucapan selamat itu boleh dan baik. Berikut teks Arabnya yang dibuat dalam bentuk reporting seperti dimuat dalam Islamonline.net pada 12 Januari 2008:

مفتي مصر: تهنئة غير المسلمين بأعيادهم بر جائز
القاهرة- أكد الدكتور علي جمعة مفتي مصر أن تهنئة النصارى وغيرهم من أهل الكتاب بأعيادهم جائزة، معتبرا أنها "من البر" الذي لم ينه الله عنه، شريطة ألا يشارك مقدم التهنئة فيما تتضمنه الاحتفالات بتلك الأعياد من "أمور تتعارض مع العقيدة الإسلامية".
وردا على سؤال في هذا الشأن لـ"إسلام أون لاين.نت" قال الدكتور جمعة: "إن تهنئة غير المسلمين بالمناسبات الاجتماعية والأعياد الدينية الخاصة بهم، كعيد ميلاد السيد المسيح، ورأس السنة الميلادية جائز... باعتبار أن ذلك داخل في مفهوم البر، وتأليف القلوب".
واعتبر أن هذه التهنئة داخلة في قول الله تعالى: {لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}

Mufti Mesir: Ucapan Selamat pada Hari Raya Non-Muslim itu Boleh dan Baik
Kairo (Mesir) - Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah menegaskan bahwa mengucapkan selamat pada umat Kristiani dan ahli kitab lain itu boleh. Bahkan menganggap itu hal yang baik yang tidak dilarang oleh Allah dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya terutama yang terkait dengan perkara yang bertentangan dengan akidah Islam.
Menjawab pertanyaan dari islam-online.net, Ali Jumah berkata: "Mengucapkan selamat pada non-muslim berkenaan dengan perayaan sosial dan agama mereka seperti Natal Nabi Isa dan Tahun Baru masehi itu boleh." Hal itu masuk dalam kategori baik dan melunakkan hati.
Ali Jumah menganggap mengucapkan selamat termasuk dalam firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 (yang artinya): "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

C. Dalil Ulama yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal

وَالَّذِيْنَ لاَ يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ وَإِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. al-Furqan: 72)

إِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ ۗ
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu;... (QS. az-Zumar: 7)

لِكُلٍِّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang... (QS. al-Maidah: 48)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا ۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu... (QS. al-Maidah: 3)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Hadits :  مَنْ تشبّه بقوم فهو منهم (Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian darinya).

D. ULAMA-ULAMA YANG MENGHARAMKAN UCAPAN SELAMAT NATAL

Mayoritas ulama salaf dari madzhab empat - Syafi'i, Hanafi Maliki, Hanbali, mengharamkan ucapan selamat pada hari raya non-Muslim. Berikut pendapat mereka:

MADZHAB SYAFI'I

Damiri dalam Al-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj, "Fashl Al-Takzir", hlm. 9/244, dan Khatib Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzil Minhaj, hlm. 4/191, menyatakan:

(تتمة : يُعزّر من وافق الكفار في أعيادهم ، ومن يمسك الحية ، ومن يدخل النار ، ومن قال لذمي : يا حاج ، ومَـنْ هَـنّـأه بِـعِـيـدٍ ، ومن سمى زائر قبور الصالحين حاجاً ، والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس ، قال يحيى بن أبي كثير : يفسد النمام في ساعة ما لا يفسده الساحر في سنة)
Ditakzir (dihukum) orang yang sepakat dengan orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi "Hai Haji", orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain), orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata Yahya bin Abu Katsir: Pengadu domba dalam satu jam dapat membuat kerusakan yang baru bisa dilakukan tukang sihir dalam setahun.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah, hlm. 4/238-239, menyatakan:

(ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك ومنها اهتمامهم في النيروز... ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم)
Aku melihat sebagian ulama muta'akhirin menuturkan pendapat yang sama denganku, lalu ia berkata: Termasuk dari bid'ah terburuk adalah persetujuan muslim pada Nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah kalangan orang Mesir. Nabi bersabda "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka". Ibnu Al-Haj berkata: Tidak halal bagi muslim menjual sesuatu pada orang Nasrani untuk kemasalahan hari rayanya baik berupa daging, kulit atau baju. Hendaknya tidak meminjamkan sesuatu walupun berupa kendaraan karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu. Salah satunya adalah perayaan Niruz (Hari Baru)... dan wajib melarang umat Islam menampakkan diri pada hari raya non-muslim.

MADZHAB HANAFI

Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 8/555, 


قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله وقال صاحب الجامع الأصغر إذا أهدى يوم النيروز إلى مسلم آخر ولم يرد به تعظيم اليوم ولكن على ما اعتاده بعض الناس لا يكفر ولكن ينبغي له أن لا يفعل ذلك في ذلك اليوم خاصة ويفعله قبله أو بعده لكي لا يكون تشبيها بأولئك القوم , وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } وقال في الجامع الأصغر رجل اشترى يوم النيروز شيئا يشتريه الكفرة منه وهو لم يكن يشتريه قبل ذلك إن أراد به تعظيم ذلك اليوم كما تعظمه المشركون كفر , وإن أراد الأكل والشرب والتنعم لا يكفر
Abu Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Niruz (tahun baru kaum Parsi dan Kurdi pra Islam - pen) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk mengagungkan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya. Berkata penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar: Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak bermaksud mengagungkan hari itu tetapi karena menjadi tradisi sebagian manusia maka tidak kafir akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan kaum tersebut. Nabi bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka." Penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar berkata: Seorang lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Niruz dia tidak membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum dan bersenang-senang saja tidak kafir.

MADZHAB MALIKI


Ibnul Haj Al-Maliki dalam Al-Madkhal, 2/46-48 menyatakan:

ومن مختصر الواضحة سئل ابن القاسم عن الركوب في السفن التي يركب فيها النصارى لأعيادهم فكره ذلك مخافة نزول السخط عليهم لكفرهم الذي اجتمعوا له . قال وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له . ورآه من تعظيم عيده وعونا له على مصلحة كفره . ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك
Ibnu Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya kebencian pada mereka karena mereka berkumpul karena kekufuran mereka. Ibnu Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari rayanya sebagai hadiah. Ia melihat hal itu termasuk mengagungkan hari rayanya dan menolong kemaslahatan kufurnya. Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda.

MADZHAB HANBALI

Al-Buhuti dalam Kasyful Qina' an Matnil Iqnak, hlm. 3/131, menyatakan:

( ويحرم تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم ) ; لأنه تعظيم لهم أشبه السلام .
( وعنه تجوز العيادة ) أي : عيادة الذمي ( إن رجي إسلامه فيعرضه عليه واختاره الشيخ وغيره ) لما روى أنس { أن النبي صلى الله عليه وسلم عاد يهوديا , وعرض عليه الإسلام فأسلم فخرج وهو يقول : الحمد لله الذي أنقذه بي من النار } رواه البخاري ولأنه من مكارم الأخلاق .
( وقال ) الشيخ ( ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى ) وغيرهم من الكفار ( وبيعه لهم فيه ) . وفي المنتهى : لا بيعنا لهم فيه ( ومهاداتهم لعيدهم ) لما في ذلك من تعظيمهم فيشبه بداءتهم بالسلام
.
Haram mengucapkan selamat, takziyah (ziarah orang mati), iyadah (ziarah orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti mengagungkan mereka menyerupai (mengucapkan) salam. Boleh iyadah kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam. Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, "Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka." Dan karena iyadah termasuk akhak mulia.
Haram menghadiri perayaan Yahudi dan Nasrani dan kafir lain dan membeli untuk mereka pada hari itu. Dalam kitab Al-Muntaha dikatakan: Tidak ada jual beli kita pada mereka pada hari itu dan memberi hadiah mereka karena hari raya mereka karna hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai ucapan salam.
Share:

Wednesday, December 19, 2018

Salah Arah Kiblat: Apakah Shalatnya Wajib Diulang?

Saat Allah menyerukan perintah shalat dalam firman-Nya, “Dan dirikanlah shalat”, maka Allah juga memerintahkan syarat-syaratnya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih:

الأمر بالشيء أمر به وبما لا يتم الفعل إلا به
“Memerintahkan perkara juga memerintahkan perkara yang menjadi penyempurnanya.”

Dalam konteks perintah shalat, yang dimaksud penyempurnanya adalah syarat-syarat shalat. Salah satu yang menjadi syarat sah shalat adalah menghadap kiblat. Menghadap kiblat disyaratkan bagi orang yang mampu menghadapnya. Kewajiban ini berdasarkan firman Allah:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (QS. Al-Baqarah: 144)

Demikian pula sabda Nabi kepada Khallad bin Rafi’ al-Anshari yang memperburuk shalatnya:

إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة
“Bila engkau hendak menjalankan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalil lainnya adalah Ijma’ (konsensus) ulama bahwa shalat tidak sah tanpa menghadap kiblat.

Menghadap kiblat bisa dihasilkan dengan yaqin atau zhann (dugaan). Menghadap secara yakin berlaku untuk orang yang dekat dengan Ka’bah, misalkan orang yang berada di sekitar Masjidil Haram. Sedangkan untuk orang yang jauh dari Ka’bah standarnya adalah zhann (dugaan) bahwa ia telah menghadap kiblat. 

Ada beberapa hal yang dapat menjadi pijakan dalam menentukan arah kiblat, misalkan berlandaskan kepada mihrab masjid yang teruji tanpa ada yang mencelanya, berita dari orang terpercaya yang melihat kiblat secara langsung, berita dari banyak orang yang mencapai taraf khabar mutawatir (diyakini kebenarannya), bait al-ibrah (kompas) dan lain sebagainya. Dalam konteks kekinian, bait al-ibrah yang dijelaskan di beberapa kitab turats saat ini bisa digantikan dengan aplikasi sejenis google maps.

Saat kondisi tidak memungkinkan, misalkan di tengah jalan tanpa menemukan petunjuk apapun, maka seseorang diwajibkan untuk berijitihad (berusaha) dalam menentukan arah kiblat. Misalkan dengan cara meneliti arah mata angin atau arah matahari. Bila tidak memungkinkan untuk berijtihad, maka bertanya kepada orang lain.

Dalam menentukan arah kiblat, seseorang tidak boleh ngawur, tidak boleh melakukan shalat dengan asal menghadap tanpa dasar. Meski pada kenyataannya arahnya tepat, shalatnya tetap tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan dengan menghadap kiblat tanpa ada dasar, maka ulama sepakat wajib diulangi.

Ketika sudah menghadap berdasarkan petunjuk yang didapat dari hasil ijtihadnya, namun setelahnya diyakini keliru, maka menurut pendapat al-azhhar (pendapat kuat), shalatnya tidak sah. Shalat yang terlanjur dilakukan tanpa menghadap kiblat, wajib diulangi. Saat kekeliruan terjadi di tengah-tengah shalat, maka shalat wajib diulang dari awal dan menghadap arah yang benar.

Pendapat pertama ini berargumen bahwa permasalahan kekeliruan menghadap kiblat bagi orang telah berusaha menemukan arah kiblat dianalogikan dengan kasus seorang hakim yang memutuskan persoalan berdasarkan ijtihadnya, kemudia ia menemukan dalil nash yang menyelesihi hasil ijtihadnya. Dalam kondisi tersebut, hakim wajib mencabut pendapatnya dan kembali kepada dalil nash.

Sementara menurut pendapat kedua, shalatnya tetap sah. Sebab ia meninggalkan kiblat disebabkan udzur, sehingga sama dengan persoalan meninggalkan kiblat saat kondisi perang.

Penjelasan di atas sebagaimana keterangan yang disampaikan dalam referensi berikut ini:

قوله (ومن صلى بالاجتهاد) منه أو من مقلده (فتيقن الخطأ) في جهة أو تيامن أو تياسر معينا قبل الوقت أو فيه أعاد أو بعده (قضى) وجوبا (في الأظهر) وإن لم يظهر له الصواب لتيقنه الخطأ فيما يؤمن مثله في العادة كالحاكم يحكم باجتهاده ثم يجد النص بخلافه 
“Orang yang shalat dengan ijtihad dari dirinya sendiri atau orang yang dia ikuti, kemudian yakin keliru di dalam arah kiblat, arah kanan atau kiri kiblat secara tertentu, sebelum masuk waktu atau di dalamnya, maka ia wajib mengulangi shalat. Atau apabila terjadi setelah shalat, maka wajib mengqadla’ menurut pendapat al-Azhhar, meski tidak jelas baginya kebenaran. Sebab kayakinannya akan sebuah kekeliruan dalam persoalan yang secara adat terjamin dari kekeliruan, sebagaimana seorang hakim yang menghukumi berdasarkan ijtihad kemudian ia menemukan dalil nash yang menyelisihinya”.

والثاني لا يقضي لأنه ترك القبلة بعذر فأشبه تركها في حال القتال ونقله الترمذي عن أكثر أهل العلم واختاره المزني  وخرج بتيقن الخطأ ظنه
“Menurut pendapat kedua, tidak wajib mengqadha’. Sebab ia meninggalkan kiblat disebabkan uzur, maka serupa dengan kasus meninggalkan kiblat dalam kondisi perang. Pendapat ini dikutip oleh At-Tirmidzi dari mayoritas ahli ilmu dan dipilih oleh Imam Al-Muzni. Dikecualikan dengan ungkapan yakin keliru, dugaan akan kekeliruan.”

قوله (فلو تيقنه فيها) أي الصلاة (وجب استئنافها) بناء على وجوب القضاء بعد الفراغ لعدم الاعتداد بما مضى
“Bila yakin keliru di dalam shalat, maka wajib memulai shalat dari awal, berpijak dari pendapat yang mewajibkan mengqadla’ setelah selesai shalat, sebab tidak dianggapnya shalat yang telah dikerjakan.(Lihat: Syekh Al-Khathib Al-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I halaman 147)

Demikian penjelasan mengenai hukum seseorang yang terlanjur keliru dalam menghadap kiblat. Ikhtilaf ulama di atas hendaknya tidak menjadi bahan untuk saling menghujat, namun sebagai bahan untuk menghormati perbedaan. Bila mempertimbangkan kehati-hatian, maka hendaknya mengikuti pendapat yang tidak mengesahkan, terlebih pendapat itu adalah pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i. Semoga bermanfaat. 

Wallahu a‘lam
Share:

Tuesday, December 18, 2018

Inilah Lafal Dzikir Utama di Waktu Subuh

Imam Nawawi dalam Kitab Al-Azkar menyebutkan bahwa banyak lafal zikir yang baik dibaca di waktu Subuh berasal dari Rasulullah SAW. Mereka yang dapat mengamalkan semuanya terbilang orang beruntung yang mendapatkan nikmat dan anugerah Allah SWT.

Adapun mereka yang tidak sanggup mengamalkan semuanya dapat menyingkat amalan tersebut meski hanya satu lafal zikir.

Imam Nawawi menyebutkan sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar anjuran zikir di waktu Subuh, yaitu Surat Thaha ayat 130, Surat Ghafir ayat 55, Surat An-Nisa ayat 148, Al-An‘am ayat 52, An-Nur ayat 36, dan Surat As-Shad ayat 18.

Ada baiknya kami kutip dua ayat darinya sebagai berikut:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا
“Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit dan sebelum terbenam matahari. (QS. Thaha: 130)

Sedangkan Surat Ghafir ayat 55 berbunyi sebagai berikut:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
“Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu pada pagi dan petang. (QS. Ghafir ayat 55)

Semua ayat ini menunjukkan anjuran agar manusia berzikir memuji Allah pada waktu Subuh atau pagi hari dan tentu saja sore hari.

Imam An-Nawawi menyebut Sayyidul Istighfar sebagai lafal yang baik dan utama dibaca saat Subuh atau pagi hari dan petang. Bunyi lafal Sayyidul Istighfar sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Bukhari adalah sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ. أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ. فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
[Allâhumma anta rabbî, lâ ilâha illâ anta khalaqtanî. Wa anâ ‘abduka, wa anâ ‘alâ ‘ahdika wa wa‘dika mastatha‘tu. A‘ûdzu bika min syarri mâ shana‘tu. Abû’u laka bini‘matika ‘alayya. Wa abû’u bidzanbî. Faghfirlî. Fa innahû lâ yaghfirudz dzunûba illâ anta].

“Hai Tuhanku, Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang disembah selain Engkau. Engkau yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perintah iman sesuai perjanjian-Mu sebatas kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang kuperbuat. Kepada-Mu, aku mengakui segala nikmat-Mu padaku. Aku mengakui dosaku. Maka itu ampunilah dosaku. Sungguh tiada yang mengampuni dosa selain Engkau.”

Perihal keutamaan Sayyidul Istighfar yang dibaca waktu pagi atau sore hari disebutkan di ujung hadits riwayat Imam Bukhari. Mereka yang mengamalkan Sayyidul Istighfar kemudian wafat beberapa jam kemudian mendapat garansi surga dari Allah SWT.

إذا قال ذلك حين يمسي فمات من ليلته دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال ذلك حين يصبح فمات من يومه...مثله
“Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Syaddad bin Aus RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang membacanya [Sayyidul Istighfar] ketika sore, lalu ia wafat pada malamnya, maka ia masuk surga atau ia tergolong penghuni surga. Siapa yang membacanya ketika pagi, lalu ia wafat pada siangnya, maka nasibnya sama seperti orang yang mengamalkannya pada petang hari.’” (Lihat: Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 63)

Adapun zikir lainnya adalah lafal tasbih sebagaimana dipahami secara harfiah dari ayat-ayat tersebut. Riwayat hadits pada Shahih Muslim menyebut lafal tasbih sebagai berikut:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
[Subhānallāhi wa bi hamdih].
“Mahasuci Allah dengan segala puji bagi-Nya.”

Adapun riwayat hadits pada Sunan Abu Dawud menyebut lafal tasbih sebagai berikut

سُبْحَانَ اللهِ العَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
[Subhānallāhil ‘azhīmi wa bi hamdih].
“Mahasuci Allah yang maha agung dengan segala puji bagi-Nya.”

Lafal tasbih yang dianjurkan untuk dibaca sebanyak 100 kali ini memiliki keutamaan luar biasa. Siapa saja yang mengamalkannya akan membawa amal terbaik pada hari kiamat kelak sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim berikut ini:

وروينا في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال حين يصبح وحين يمسي سبحان الله وبحمده مائة مرة لم يأت أحد يوم القيامة بأفضل مما جاء به إلا أحد قال مثل ما قال أو زاد عليه
“Diriwayatkan kepada kami di Shahih Muslim dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang membaca ketika pagi dan ketika sore ‘Subhānallāhi wa bi hamdih,’ sebanyak 100 kali, niscaya pada hari kiamat tidak ada orang yang lebih baik membawa amal daripadanya selain orang yang mengamalkan seperti apa yang diamalkan olehnya atau bahkan melebihi amalnya. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 63).

Imam An-Nawawi, sebagaimana di awal disebutkan, mengatakan bahwa lafal zikir di waktu Subuh atau pagi hari begitu banyak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Masih banyak lagi lafal zikir di waktu Subuh yang belum tertera di sini. Semua lafal itu mengandung keutamaan luar biasa sebaiknya tidak dilewatkan meski hanya satu jenis zikir.

Wallahu a‘lam
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online