الثَّانِيَةُ: حُسْنُ الْخُلُقِ: فَلاَ
تَصْحَبْ مَنْ سَاءَ خُلُقُهُ، وَهُوَ الَّذِيْ لاَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ
الْغَضَبِ وَالشَّهْوَةِ. وَقَدْ جَمَعَهُ عَلْقَمَةُ الْعُطَارِدِيُّ رَحِمَهُ
اللهُ تَعَالَى فِيْ وَصِيَّتِهِ لاِبْنِهِ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ،
فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، إِذَا أَرَدْتَ صُحْبَةَ إِنْسَانٍ فَاصْحَبْ مَنْ إِذَا
خَدَمْتَهُ صَانَكَ، وَإِنْ صَحِبْتَهُ زَانَكَ، وَإِنْ قَعَدَتْ بِكَ مُؤْنَةٌ
مَانَكَ. اصْحَبْ مَنْ إِذَا مَدَدْتَ يَدَكَ بِخَيْرٍ مَدَّهَا، وَإِنْ رَأَى
مِنْكَ حَسَنَةً عَدَّهَا، وَإِنْ رَأَى مِنْكَ سَيِّئَةً سَدَّهَا. اصْحَبْ مَنْ
إِذَا قُلْتَ صَدَّقَ قَوْلَكَ، وَإِنْ حَاوَلْتَ أَمْرًا أَمَّرَكَ، وَإِنْ
تَنَازَعْتُمَا فِيْ شَيْءٍ آثَرَكَ
2. Kebaikan akhlaknya.
Hendaklah engkau tidak bersahabat dengan orang yang buruk akhlaknya, yakni
orang yang tidak mampu menguasai dirinya ketika ia sedang marah dan ketika
bangkit syahwatnya. ‘Alqamah al-‘Utharidi rahimahullah telah menghimpun
akhlak-akhlak yang baik itu dalam wasiat yang ia sampaikan kepada putranya di
saat kematian akan menghampirinya: “Wahai anakku, jika engkau ingin bersahabat
dengan manusia, maka bersahabatlah dengan orang yang apabila engkau berkhidmat
kepadanya, maka ia akan menjaga kehormatanmu; apabila engkau bersamanya, maka
ia akan menambah kemuliaanmu; dan bila suatu kebutuhan menimpamu, maka ia akan
mencukupimu. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau mengulurkan tanganmu
dengan membawa kebaikan, maka ia akan menyambutnya; apabila ia melihat
kebaikanmu, maka ia akan menghargainya; dan jika ia melihat keburukanmu, maka
ia akan menutupinya. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau mengatakan
sesuatu yang benar, maka ia akan membenarkan ucapanmu; apabila engkau berusaha
mencapai sesuatu, maka ia akan mendukungmu; dan apabila dia
berselisih pendapat denganmu tentang suatu hal, maka ia mengutamakan dirimu.”
وَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ رَجْزًا:
إِنَّ أَخَاكَ الْحَقَّ
مَنْ كَانَ مَعَكْ ... وَمَنْ يَضُرُّ نَفْسَهُ لِيَنْفَعَكْ
وَمَنْ إِذَا رَيْبُ
الزَّمَانِ صَدَّعَكْ ... شَتَّتَ فِيْكَ شَمْلَهُ لِيَجْمَعَكْ
Sayyidina
Ali ra pernah berkata:
Sesungguhnya
teman sejati itu adalah orang yang senantiasa bersamamu * dan yang merelakan
dirinya menderita demi memberikan kebaikan bagi dirimu
Dialah
orang yang ketika kegetiran zaman menyergapmu * merelakan dirinya berpisah
dengan kelompoknya demi menemanimu
الثَّالِثَةُ: الصَّلاَحُ:
فَلاَ تَصْحَبَ فَاسِقًا مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَةٍ كَبِيْرَةٍ، ِلأَنَّ مَنْ
يَخَافُ اللهَ لاَ يُصِرُّ عَلَى كَبِيْرَةٍ، وَمَنْ لاَ يَخَافُ اللهَ لاَ
تُؤْمَنُ غَوائِلُهُ، بَلْ يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ اْلأَحْوَالِ وَاْلأَعْرَاضِ،
قَالَ اللهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ تُطِعْ
مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا
3. Keshalihannya. Janganlah engkau bersahabat dengan seorang yang
fasiq, yakni orang yang berulang-ulang berbuat maksiat yang besar
kepada Allah SWT. Orang yang memiliki rasa takut kepada Allah tentu tidak akan
berulang-ulang melakukan dosa besar. Dan orang yang tidak takut kepada Allah
tidak akan aman dari perbuatan dosa dan berbagai keburukan. Bahkan ia bisa
berubah seiring dengan perubahan situasi dan keadaan. Allah SWT berfirman
kepada Nabi SAW: “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melampaui batas.”[1]
فَاحْذَرْ صُحْبَةَ
الْفَاسِقِ؛ فَإِنَّ مُشَاهَدَةَ الْفِسْقِ وَالْمَعْصِيَةِ عَلَى الدَّوَامِ
تُزِيْلُ عَنْ قَلْبِكَ كَرَاهِيَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَيَهُوْنُ عَلَيْكَ
أَمْرُهَا، وَلِذَلِكَ هَانَ عَلَى الْقُلُوْبِ مَعْصِيَةُ الْغِيْبَةِ
لإِلْفِهِمْ لَهَا، وَلَوْ رَأَو خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ أَوْ مَلْبُوْسًا مِنْ
حَرِيْرٍ عَلَى فَقِيْهٍ لاشْتَدَّ إِنْكَارُهُمْ عَلَيْهِ، وَالْغِيْبَةُ أَشَدُّ
مِنْ ذَلِكَ
Oleh karena itu, hendaklah engkau hindari bersahabat
dengan seorang yang fasiq, karena bersahabat dengan orang fasiq akan membuatmu
terus menerus menyaksikan kefasiqan dan kemaksiatan, dan itu dapat membuat
hatimu goyah dari membenci kemaksiatan dan membuatmu memandang remeh
kemaksiatan itu. Sebagian besar manusia menganggap remeh maksiat ghibah karena
mereka biasa melakukannya. Namun di sisi lain, saat mereka menyaksikan seorang faqih
mengenakan cincin emas atau memakai pakaian berbahan sutera, maka mereka akan
mengingkarinya dengan keras. Padahal dosa ghibah jauh lebih berat dari semua
itu.
Bersambung...
0 comments:
Post a Comment