Kajian Seputar Aqidah dan Amaliah Aswaja

Bid'ah Sahabat Nabi dalam Shahih al-Bukhari

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW ...

Mengenal Sosok 'Mubham' dalam Hadits

Suatu hari, Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab kampung. Tak dinyana, ia kencing di Masjid Nabawi. Seusai kencing di area masjid, ia langsung pergi. Para sahabat yang mengetahuinya emosi...

Doa agar Terhindar dari Mengetahui Aib Guru

Dalam kitab at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qurân, disebutkan bahwa Rabi’ bin Sulaiman, murid sekaligus sahabat Imam asy-Syafi’i, tidak berani minum di hadapan Imam asy-Syafi’i, karena segan padanya....

Sifat Shalat Nabi Ala ASWAJA

Sangat disayangkan bila dewasa ini muncul sikap-sikap yang kurang bijaksana dari kelompok tertentu yang sibuk mencari-cari kesalahan tata cara shalat kelompok lain dengan mengatakan landasannya lemah, bahkan diiringi dengan vonis bid’ah...

Mayit Bisa Menerima Manfaat dari Amal Orang yang Masih Hidup (Bagian Pertama)

Selain menerima manfaat amal kebajikan yang pernah dikerjakannya semasa hidup, orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari amaliah saudaranya sesama Muslim,...

Wednesday, June 26, 2019

Hadits Kedua: Tentang Islam, Iman dan Ihsan

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً، قَالَ: صَدَقْتَ، فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. (رواه مسلم)
Dari Umar radhiyallahu 'anhu pula, ia berkata, “Ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya. Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya.  Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “ Engkau benar.”  Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat.”  Rasulullah menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan putrinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia. Aku tetap tinggal beberapa lama, kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah berkata, “Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian.” (HR Muslim no. 8)
 
Syarah:
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan batiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syariat dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu, hadits ini menjadi induk ilmu sunnah. 
 
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
 
Kalimat: “Ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, lalu ia berkata, Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Imam Nasai meriwayatkan dengan kalimat: “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.
 
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syariat. Namun terkadang dalam pengertian syariat, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
 
Kalimat: “Kami heran, ia bertanya tetapi ia sendiri yang membenarkannya”, maknanya mereka, yakni para sahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.
 
Kalimat: “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
 
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Iman kepada para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukallaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.
 
Iman kepada hari akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul di Padang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Iman kepada takdir yaitu mengakui semua yang tersebut di atas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat: 96, “Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar: 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam hadits Rasulullah, dari Ibnu Abbas: “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Para ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.” 
 
Kalimat: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah. Kalimat: “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya? Sabda beliau: Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum Muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya. Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah, Anak Adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan.
 
Kalimat: “Penggembala domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah, sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orangorang terhormat.
 
Kalimat: “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu tetap tinggal di tempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rasulullah.
 
Kalimat: “Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan Islam, Iman dan Ihsan, serta kewajiban beriman kepada taqdir Allah Ta'ala.
 
Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, “Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab Shahih-nya bahwa Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang sahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam.
 
Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam batin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu, kata “mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata “tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.
 
Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan. Syaikh Abu ‘Umar berkata, “Kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin”. Ia berkata, “Pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran.” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan di atas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain. Wallahu a’lam.
Share:

Tuesday, June 25, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Kelima)

الْوَظِيْفَةُ الثَّانِيَةُ: مُرَاعَاةُ حُقُوْقِ الصُّحْبَةِ. فَمَهْمَا انْعَقَدَتْ الشَّرِكَةُ، وَانْتَظَمَتْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ شَرِيْكِكَ الصُّحْبَةُ، فَعَلَيْكَ حُقُوْقٌ يُوْجِبُهَا عَقْدُ الصُّحْبَةِ، وَفِي الْقِيَامِ بِهَا آدَابٌ، وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ اْلأَخَوَيْنِ مَثَلُ الْيَدَيْنِ تَغْسِلُ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى
Tugas Kedua: Hendaklah engkau memenuhi hak-hak persahabatan. Tatkala persahabatan telah terjalin, dan kebersamaan antara dirimu dan sahabatmu pun telah terbina, maka engkau memiliki hak-hak sekaligus kewajiban yang mesti engkau penuhi dalam persahabatan itu, dan juga terdapat adab-adab yang harus diperhatikan di dalamnya. Rasulullah SAW telah bersabda: “Permisalan dua orang yang bersahabat seperti permisalan dua tangan yang saling membasuh antara satu dengan yang lain.”
 
وَدَخَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَمَةً، فَاجْتَنَى مِنْهَا سِوَاكَيْنِ، أَحَدُهُمَا مِعْوَجٌّ، وَاْلآخَرُ مُسْتَقِيْمٌ، وَكَانَ مَعَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ، فَأَعْطَاهُ الْمُسْتَقِيْمَ، وَأَمْسَكَ لِنَفْسِهِ الْمِعْوَجَّ، فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ، أَنْتَ أَحَقُّ مِنِّيْ بِالْمُسْتَقِيْمِ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ صَاحِبٍ يَصْحَبُ صَاحِبًا وَلَوْ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ إِلاَّ وَيُسْئَلُ عَنْ صُحْبَتِهِ، هَلْ أَقَامَ فِيْهَا حَقَّ اللهِ تَعَالَى أَوْ أَضَاعَهُ
Suatu ketika Nabi SAW masuk ke dalam semak belukar, lalu mengambil dua batang kayu siwak. Yang satu bengkok sedangkan yang lainnya lurus. Saat itu beliau bersama seorang sahabat yang kepadanya beliau berikan kayu siwak yang lurus, sementara yang bengkok beliau ambil untuk dirinya sendiri. Maka berkatalah sahabat itu, “Ya Rasulullah, engkau lebih berhak atas kayu siwak yang lurus ini daripada aku.” Rasulullah SAW kemudian bersabda: “Tidaklah seseorang bersahabat dengan sahabatnya meksipun hanya sesaat, kecuali akan ditanya tentang persahabatannya itu, apakah ia memenuhi hak-hak Allah di dalamnya atau menyia-nyiakannya.”
 
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اصْطَحَبَ اِثْنَانِ قَطُّ إِلاَّ وَكَانَ أَحَبُّهُمَا إِلَى اللهِ تَعَالَى أَرْفَقَهُمَا بِصَاحِبِهِ
Rasulullah SAW juga bersabda: “Tidaklah dua orang yang bersahabat, melainkan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling penyayang terhadap sahabatnya.”
 
وَآدَابُ الصُّحْبَةِ: اْلاِيْثَارُ بِالْمَالِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ هَذَا فَبَذْلُ الْفَضْلِ مِنَ الْمَالِ عِنْدَ الْحَاجَةِ؛ وَاْلإِعَانَةُ بِالنَّفْسِ فِي الْحَاجَاتِ عَلَى سَبِيْلِ الْمُبَادَرَةِ مِنْ غَيْرِ اِحْوَاجٍ إِلَى التِّمَاسٍ؛ وَكِتْمَانُ السِّرِّ، وَسَتْرُ الْعُيُوْبِ، وَالسُّكُوْتُ عَلَى تَبْلِيْغِ مَا يَسُوْؤُهُ مِنْ مَذَمَّةِ النَّاسِ إِيَّاهُ؛ وَإِبْلاَغُ مَا يَسُرُّهُ مِنْ ثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ، ، وَحُسْنِ اْلإِصْغَاءِ عِنْدَ الْحَدِيْثِ، وَتَرْكُ الْمُمَارَاةِ فِيْهِ
Ada pun adab-adab yang harus diperhatikan dalam menjalani persahabatan adalah sebagai berikut: (1) Dalam persoalan yang berkaitan dengan harta, hendaklah engkau lebih mengutamakan sahabatmu dibanding dirimu sendiri. Apabila engkau tidak mampu melakukan hal yang demikian itu, maka hendaklah engkau memberikan harta pada sahabatmu itu pada saat ia membutuhkan dalam jumlah yang lebih dari yang ia butuhkan. (2) Hendaklah engkau memberikan bantuan kepada sahabatmu itu dalam memenuhi hajatnya dengan segera tanpa diminta dan tanpa berpikir panjang. (3) Hendaklah engkau menjaga rahasia dan menutupi aib sahabatmu, serta tidak menyampaikan kepadanya ucapan-ucapan orang yang mencelanya karena itu dapat membuatnya menjadi sedih. (4) Menyampaikan padanya berbagai pujian yang dikatakan orang tentangnya yang dengan hal itu ia akan merasa senang, menyimak pembicaraannya dengan baik dan tidak berdebat dengannya.
 
وَأَنْ يَدْعُوْهُ بِأَحَبِّ أَسْمَائِهِ إِلَيْهِ، وَأَنْ يُثْنِيَ عَلَيْهِ بِمَا يَعْرِفُ مِنْ مَحَاسِنِهِ، وَأَنْ يَشْكُرَهُ عَلَى صَنِيْعِهِ فِيْ وَجْهِهِ، وَأَنْ يَذُبَّ عَنْهُ فِيْ غَيْبَتِهِ إِذَا تُعُرِّضَ لِعِرْضِهِ كَمَا يَذُبُّ عَنْ نَفْسِهِ، وَأَنْ يَنْصَحَهُ بِاللُّطْفِ وَالتَّعْرِيْضِ إِذَا احْتَاجَ إِلَيْهِ؛ وَأَنْ يَعْفُوَ عَنْ زَلَّتِهِ وَهَفْوَتِهِ، وَلاَ يَعْتِبَ عَلَيْهِ؛ وَأَنْ يَدْعُوَ لَهُ فِيْ خَلْوَتِهِ فِيْ حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ؛ وَأَنْ يُحْسِنَ الْوَفَاءَ مَعَ أَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
(5) Hendaklah engkau memanggilnya dengan nama panggilan yang ia sukai, memuji sifat-sifat baiknya, berterima kasih atas segala kebaikan yang telah dilakukannya, membela kehormatannya sebagaimana engkau membela kehormatanmu sendiri sekalipun pada saat itu ia tidak ada di hadapanmu, dan memberi nasihat padanya dengan cara yang lembut dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaannya apabila dibutuhkan. (6) Memaafan kesalahan dan kekeliruannya serta tidak mencelanya. (7) Mendoakan kebaikan untuknya secara sembunyi-sembunyi, baik di kala hidupnya maupun setelah kematiannya. (8) Tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga dan kerabatnya setelah kematiannya.
 
وَأَنْ يُؤْثِرَ التَّخْفِيْفَ عَنْهُ، فَلاَ يُكَلِّفَهُ شَيْئًا مِنْ حَاجَاتِهِ، فَيُرَوِّحُ سِرَّهُ مِنْ مُهِمَّاتِهِ، وَأَنْ يُظْهِرَ الْفَرَحَ بِجَمِيْعِ مَا يَرْتَاحُ لَهُ مِنْ مَسَارِّهِ، وَالْحُزْنُ عَلَى مَا يَنَالُهُ مِنْ مَكَارِهِهِ، وَأَنْ يُضْمِرَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْلَ مَا يُظْهِرُهُ، فَيَكُوْنُ صَادِقًا فِيْ وِدِّهِ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً؛ وَأَنْ يَبْدَأَهُ بِالسَّلاَمِ عِنْدَ إِقْبَالِهِ، وَأَنْ يُوْسِعَ لَهُ فِي الْمَجْلِسِ؛ وَيُخْرِجَ لَهُ مِنْ مَكَانِهِ، وَأَنْ يُشَيِّعَهُ عِنْدَ قِيَامِهِ؛ وَأَنْ يَصْمُتَ عِنْدَ كَلاَمِهِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ كَلاَمِهِ، وَيَتْرُكَ الْمُدَاخَلَةَ فِيْ كَلاَمِهِ.
(9) Hendaklah engkau lebih memilih untuk bersikap meringankan beban sahabatmu dan jangan engkau bebani dia dengan satu kebutuhan pun, maka dengan cara itu hatinya akan menjadi lapang dari berbagai hal penting yang dapat membebaninya. Hendaklah engkau menampakkan rasa gembira atas segala hal yang menggembirakannya dan memperlihatkan rasa sedih saat ia mengalami hal-hal yang membuatnya bersedih. Hedaklah yang tersembunyi di dalam hatimu sama seperti yang tampak pada sikap zahirmu, sehingga engkau benar-benar menjadi sahabat yang tulus dalam kasih sayang, baik secara terang-terangan maupun rahasia. (10) Mendahului mengucapkan salam saat bertemu dengannya dan meluaskan tempat baginya saat berada dalam majelis. (11) Keluar menyambut kedatangannya dan mengantarkannya saat ia beranjak dari tempat duduknya untuk pergi. (12) Diam dan mendengarkan dengan baik saat ia berbicara hingga ia menyudahi pembicaraannya dan tidak memotong pembicaraannya.
 
وَعَلَى الْجُمْلَةِ فَيُعَامِلَهُ بِمَا يُحِبُّ أَنْ يُعَامَلَ بِهِ، فَمَنْ لاَ يُحِبُّ ِلأَخِيْهِ مِثْلَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَأُخُوَّتُهُ نِفَاقٌ، وَهِيَ عَلَيْهِ وَبَالٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Kesimpulannya, seseorang hendaklah melakukan kepada sahabatnya segala hal yang ia sendiri senang bila orang lain melakukan hal itu kepadanya. Barangsiapa yang tidak mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri, maka persaudaraan (persahabatan)nya itu adalah munafik/semu. Dan bahaya persahabatan yang seperti itu akan kembali kepadanya di dunia dan di akhirat.
 
فَهَذَا أَدَبُكَ فِيْ حَقِّ الْعَوَامِّ الْمَجْهُوْلِيْنَ، وَفِيْ حَقِّ اْلأَصْدِقَاءِ الْمُؤَاخِيْنَ
Ini adalah adab-adab yang hendaknya engkau perhatikan saat bergaul dengan kaum awam yang tidak engkau kenal dan saat bergaul dengan “teman sejati” yang engkau anggap sebagai saudara.
 
Bersambung...
Share:

Monday, June 24, 2019

Hadits Pertama: Tentang Niat

عَنْ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق عليه)
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.
 
(Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
 
Syarah:
 
Hadits ini adalah hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan di dalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab Shahih-nya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir Bab Jihad.
 
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dan yang lainnya. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat di dalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i: “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih.Sejumlah ulama mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran Islam.
 
Para ulama gemar memulai karangan-karangan mereka dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya.
 
Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al-Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para imam.
 
Pertama: Kata “Innamaa” إِنَّمَا bermakna “hanya/pengecualian”, yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya. 
 
Misalnya, kalimat pada firman Allah yang tercantum dalam surat Ar-Ra’d ayat 7: إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ “Engkau [Muhammad] hanyalah seorang penyampai ancaman”. Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas yang lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah yang tercantum dalam surat Muhammad ayat 36: إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian, apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.
 
Pada hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal di sini adalah semua amal yang dibenarkan syariat, sehingga setiap amal yang dibenarkan syariat tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama Islam. Tentang sabda Rasulullah, “Semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
 
Kedua: Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khatthabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyiddin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha shalat tanpa niat maka tidak sah shalatnya. Wallahu a’lam.
 
Ketiga: Kalimat “Dan barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syariat. Maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.
 
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah. Karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu a’lam.
Share:

Sunday, June 23, 2019

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Keempat)

وَالنَّاسُ ثَلاَثَةٌ: أَحَدُهُمْ، مَثَلُهُ مَثَلُ الْغِذَاءِ، لاَ يُسْتَغْنَى عَنْهُ. وَاْلآخَرُ، مَثَلُهُ مَثَلُ الدَّوَاءِ، يُحْتَاجُ إِلَيْهِ فِيْ وَقْتٍ دُوْنَ وَقْتٍ. وَالثَّالِثُ، مَثَلُهُ مَثَلُ الدَّاءِ، لاَ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ قَطُّ
Ada 3 macam bentuk perumpamaan manusia: (1) Manusia yang perumpamaannya seperti makanan pokok. Keberadaan mereka selalu dibutuhkan. (Mereka adalah para ulama dan orang-orang shalih). (2) Manusia yang perumpamaannya seperti obat. Keberadaannya ada kalanya dibutuhkan dan ada kalanya tidak. (3) Manusia yang perumpamaannya seperti penyakit. Keberadaannya sama sekali tidak dibutuhkan. 

وَلَكِنَّ الْعَبْدَ قَدْ يُبْتَلَى بِهِ، وَهُوَ الَّذِيْ لاَ أُنْسَ فِيْهِ وَلاَ نَفْعَ؛ فَتَجِبُ مُدَارَاتُهُ إِلَى الْخَلاَصِ مِنْهُ، وَفِيْ مُشَاهَدَتِهِ فَائِدَةٌ عَظِيْمَةٌ إِنْ وُفِّقْتَ لَهَا، وَهُوَ أَنْ تُشَاهِدَ مِنْ خَبَائِثِ أَحْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ مَا تَسْتَقْبِحَهُ فَتَجْتَنِبَهُ؛ فَالسَّعِيْدُ مَنْ وُعِظَ بِغَيْرِهِ، وَالْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
Namun demikian setiap hamba akan diuji oleh Allah dengan keberadaan manusia tipe ketiga ini, yakni orang yang apabila bergaul dengannya tidak akan memperoleh keramahan maupun manfaat darinya. Maka sudah semestinya engkau menjauh darinya agar selamat dari keburukan sifatnya. Namun memperhatikan manusia tipe ketiga ini mengandung manfaat yang besar apabila engkau mendapat limpahan taufik dari-Nya. Dengan memperhatikan keburukan sifat dan perilakunya, maka engkau mengetahui  hal-hal yang buruk darinya dan engkau pun bisa menghindarinya. Orang yang beruntung adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. 

وَقِيْلَ لِعِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ: مَنْ أَدَّبَكَ؟ فَقَالَ: مَا أَدَّبَنِيْ أَحَدٌ، وَلَكِنْ رَأَيْتُ جَهْلَ الْجَاهِلِ فَاجْتَنَبْتُهُ. وَلَقَدْ صَدَقَ - عَلَى نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ - فَلَوِ اجْتَنَبَ النَّاسُ مَا يَكْرَهُوْنَهُ مِنْ غَيْرِهِمْ لَكَمُلَتْ آدَابُهُمْ وَاسْتَغْنَوْا عَنِ الْمُؤَدِّبِيْنَ
Ditanyakan kepada Nabi Isa AS: “Siapakah yang mengajarkan padamu tentang adab?” Beliau menjawab: “Tidak seorang pun yang mengajariku tentang adab, namun aku melihat perilaku bodoh dari orang yang bodoh, maka aku menjauhinya. Sungguh benar apa yang beliau ucapkan itu –sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi kita, Muhammad SAW—bahwa sekiranya manusia menjauhi segala hal yang dibencinya dari orang lain, niscaya sempurnalah adab-adab mereka dan tidak diperlukan lagi adanya para pembimbing yang mengajarkan tentang adab.

Bersambung...
Share:

Tuesday, June 18, 2019

Nifas Perempuan yang Melahirkan Bayi Kembar

Deskripsi Masalah:
Seorang perempuan melahirkan bayi kembar, sehingga dia jadi bingung bagaimana hitungan nifasnya.

Pertanyaan:
Dihitung sejak kapankah nifas perempuan yang melahirkan bayi kembar?

Jawaban:
Nifasnya dihitung setelah lahirya bayi yang kedua.

Rujukan:

وأقل النفاس أي الدم الذي أوله يعقب الولادة (قوله يعقب الولادة) لو قال يعقب فرغ الرحم من الحمل كما مر لكان أولى ليشمل نحو المضمضة وليخرج ما بين التوأمين فإنه دم فساد ودم حيض إن كان في زمنه كما مر والمراد يعقب الولادة أن يوجد قبل مضي خمسة عشر يوما من تمامها وأن لايجد في أثنائه نقاء خمسة عشر يوما متصلة وإلا فهو حيض إلخ اه (حاشيتان، 109/1) و (نهاية المحتاج، 124/1)
Share:

Adab-adab Bergaul dengan Orang Lain (Bagian Ketiga)

الرَّابِعَةُ: لاَتَصْحَبْ حَرِيْصًا عَلَى الدُّنْيَا: فَصُحْبَةُ الْحَرِيْصِ عَلَى الدُّنْيَا سُمٌّ قَاتِلٌ؛ لأَنَّ الطِّبَاعَ مَجْبُوْلَةٌ عَلَى التَّشَبُّهِ وَاْلاِقْتِدَاءِ، بَلِ الطَّبْعُ يُسْرَقُ مِنَ الطَّبْعِ مِنْ حَيْثُ لاَ يَدْرِيْ، فَمُجَالَسَةُ الْحَرِيْصِ تَزِيْدُ فِيْ حِرْصِكَ، وَمُجَالَسَةُ الزَّاهِدِيْنَ تَزِيْدُ فِيْ زُهْدِكَ
4. Hendaklah engkau tidak bersahabat dengan orang yang rakus/tamak terhadap dunia, karena bersahabat dengan orang yang rakus/tamak terhadap dunia adalah racun yang mematikan. Hal itu dikarenakan tabiat tumbuh dari kecenderungan manusia yang suka meniru dan mengikuti, bahkan tabiat itu dapat saling menjangkiti tanpa disadari. Oleh karena itu, apabila engkau bergaul dengan orang yang rakus/tamak terhadap dunia, maka hal itu akan dapat menambah kerakusan/ketamakanmu terhadap dunia. Sedangkan bila engkau bergaul dengan orang-orang yang zuhud, maka hal itu akan menambah sikap zuhudmu.

الْخَامِسَةُ: الصِّدْقُ: فَلاَ تَصْحَبْ كَذَّابًا، فَإِنَّكَ مِنْهُ عَلَى غُرُوْرٍ، فَإِنَّهُ مِثْلُ السَّرَابِ، يُقَرِّبُ مِنْكَ الْبَعِيْدَ، وَيُبْعِدُ مِنْكَ الْقَرِيْبَ
5. Kejujurannya. Janganlah bersahabat dengan seorang pendusta, karena engkau akan tertipu olehnya. Sesungguhnya keadaannya seperti fatamorgana, yang mendekatkan padamu sesuatu yang jauh, dan menjauhkan darimu sesuatu yang dekat.

وَلَعَلَّكَ تَعْدَمُ اجْتِمَاعَ هَذِهِ الْخِصَالِ فِيْ سُكَّانِ الْمَدَارِسِ وَالْمَسَاجِدِ، فَعَلَيْكَ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا الْعُزْلَةُ وَاْلانْفِرَادُ؛ فَفِيْهَا سَلاَمَتُكَ. وَإِمَّا أَنْ تَكُوْنَ مُخَالَطَتُكَ مَعَ شُرَكَائِكَ بِقَدْرِ خِصَالِهِمْ
Apabila engkau tidak menemukan semua sifat dan karakter tersebut pada diri orang-orang yang memenuhi sekolah-sekolah dan masjid-masjid, maka seyogyanya engkau memilih satu di antara dua hal berikut: pertama, mengasingkan diri (dari pergaulan) dan menyendiri (agar dapat beribadah kepada Allah). Dengan cara ini engkau akan menemukan keselamatan. Kedua, bergaul dengan mereka sekedarnya saja, sesuai dengan keadaan sifat dan karakter masing-masing mereka.

بِأَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اْلاِخْوَةَ ثَلاَثَة: أَخٌ ِلآخِرَتِكَ فَلاَ تُرَاعِ فِيْهِ إِلاَّ الدِّيْنَ، وَأَخٌ لِدُنْيَاكَ فَلاَ تُرَاعِ فِيْهِ إِلاَّ الْخُلُقَ الْحَسَنَ، وَأَخٌ لِتَأْنَسَ بِهِ فَلاَ تُرَاعِ فِيْهِ إِلاَّ السَّلاَمَةَ مِنْ شَرِّهِ وَفِتْنَتِهِ وَخُبْثِهِ
Disertai dengan pemahaman bahwa sahabat itu ada tiga macam: (1) Sahabat dalam urusan akhiratmu. Dalam hal ini tidak ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan selain agamanya. (2) Sahabat dalam urusan duniamu. Dalam hal ini tidak ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan selain kebaikan/kemuliaan akhlaknya. (3) Sahabat dalam bersantai. Dalam hal ini tidak ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan selain keselamatan dirimu dari keburukan, fitnah, dan kejahatannya.

Bersambung...
Share:

Monday, June 17, 2019

Makna Hadits Silaturahim Melapangkan Rezki dan Memanjangkan Umur

Banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang keutamaan silaturahim. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahim.”

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud “dilapangkan rezkinya” adalah diluaskan dan dijadikan banyak hartanya, dan menurut pendapat yang lain, artinya adalah diberi keberkahan harta (meskipun secara lahiriah harta tidak bertambah banyak).

Sedangkan penangguhan ajal seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut, apakah tidak bertentangan dengan ayat:

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ 
... Apabila ajal mereka telah tiba, maka mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun” (QS. al-A’raf: 34 dan an-Nahl: 61)? Bukankah rezki dan ajal telah ditakdirkan oleh Allah, sehingga tidak dapat dimajukan dan ditunda serta tidak dapat bertambah dan berkurang?. Bukankah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, tiada siapapun yang dapat mengubahnya karena takdir Allah adalah kepastian dan tidak bisa berubah?

Ada beberapa jawaban yang dikemukakan oleh para ulama untuk memadukan antara hadits dan ayat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Di antaranya:

Pertama, penambahan umur (penangguhan ajal) yang dimaksud dalam hadits adalah kinayah (kiasan) mengenai berkahnya usia. Artinya, dengan sebab silaturahim, seseorang akan diberi kemampuan berbuat ketaatan dan diberi kemudahan untuk dapat melalui masa hidupnya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya kelak di akhirat, sekaligus ia dijaga dari tindakan menyia-nyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadi silaturahim menjadi sebab bagi seseorang untuk memperoleh taufiq (kemampuan berbuat taat) dan menjadi sebab terjaga dari maksiat. Dengan demikian, keharuman namanya akan tetap terjaga meski ia telah meninggal dunia. Di antara yang ia peroleh dengan sebab taufiq yang Allah berikan kepadanya adalah ilmu yang bermanfaat sepeninggalnya, shadaqah jariyah dan keturunan yang shalih.

Kedua, penambahan usia seperti yang disebut dalam hadits di atas, maknanya adalah hakiki (arti sebenarnya), bukan kiasan. Namun yang dimaksud penambahan usia dalam maknanya yang hakiki itu adalah yang terkait dengan ilmu dan pengetahuan malaikat yang ditugasi oleh Allah mengurusi umur. Adapun yang dijelaskan ayat bahwa ajal tidak dapat dimajukan maupun ditunda, maksudnya adalah yang terkait dengan ilmu Allah. 

Dikatakan kepada malaikat, misalkan, bahwa usia Fulan seratus tahun jika ia bersilaturahim, dan jika memutus silaturahim usianya hanya enam puluh tahun. Sedangkan Allah telah mengetahui dan menentukan pada azal (keberadaan yang tidak bermula) bahwa Fulan itu akan bersilaturahim ataukah akan memutuskan silaturahim, dan usianya akan mencapai seratus tahun ataukah hanya enam puluh tahun. Semuanya telah diketahui dan ditakdirkan oleh Allah. Dan tentu saja, takdir dan ketentuan Allah tidak akan berubah sebagaimana dijelaskan dan disepakati oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Jadi, apa yang dalam ilmu Allah tidak berubah. Sedangkan yang mungkin menerima penambahan maupun pengurangan adalah yang ada dalam ilmu malaikat. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan pada-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. ar-Ra’d: 39)

Penetapan dan penghapusan terkait dengan apa yang ada dalam ilmu malaikat, inilah yg disebut qadha’ mu’allaq. Dan apa yang ada dalam Ummul Kitab, hal itulah yang ada dalam ilmu Allah dan tidak ada penghapusan sama sekali. Inilah yang disebut qadha’ mubram.

Wallahu a’lam.
Share:

Waktu Saat Ini


Syubbanul Wathon

Tahlilan

Tamu Online